Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ilham
Abstrak :
Tesis ini bertujuan memahami ideologi perlawanan buruh dalam konflik perburuhan di pabrik. Peningkatan konflik perburuhan merupakan indikator perubahan ideologi perlawanan buruh dewasa ini jika dibandingkan dengan keadaan di masa lalu. Cara ideologi tersebut diekspresikan bukan saja lebih beragam, tapi juga berbeda sifatnya dari yang digambarkan dalam studi-studi konflik perburuhan selama ini. Bertentangan dengan pandangan yang menekankan lemahnya identitas politik buruh industri manufaktur, tesis ini menunjukkan bahwa perlawanan buruh kini lebih kuat dan radikal sebagaimana ditunjukkan oleh meningkatnya aksi-aksi kolektif buruh akhir-akhir ini. Namun berbeda dari pandangan kaum Mandan, konflik dan perlawanan buruh tidak begitu saja mencerminkan ekspresi kesadaran kelas dan watak revolusioner mereka. Ideologi perlawanan buruh dewasa ini ditentukan oleh strategi ekonomi tiap-tiap individu sehingga lebih bersifat ekanomis-pragmatis daripada kecenderung politis-revolusioner. Tesis ini menggunakan pendekatan konstruktivis {interpretif) karena memperhatikan pembentukan ideologi dalam kelompok sebagai pendorong terjadinya konflik. Ideologi dilihat sebagai sistem simbolik yang memberi acuan bagi pembentukan kesadaran kolektif dan menjadi pengarah bagi berbagai problem kehidupan. Dalam hal ini, ideologi buruh-buruh anggota FNPBI tidakiah tunggal, karena merupakan hasil dari proses sosial. Ideologi tersebut senantiasa didefinisikan, dinegosiasikan, dan diaktifkan dalam interaksi intrakelompok karena para organiser buruh-buruh dan buruh-buruh mengembangkan orientasi yang berbeda-beda mengenai diri dan tujuannya dalam organisasi. Para aktivis menggunakan aksi-aksi kolektif sebagai sarana pendidikan politik dan penanaman ideologi gerakan dengan tujuan-tujuan yang bersifat politik, sementara buruh-buruh lebih cenderung menggunakannya sebagai sarana untuk memperoleh tujuan-tujuan ekonomi. Dengan demikian, organisasi gagal menjadi pembentuk ideologi dan kesadaran kolektif yang koheren bagi para anggotanya untuk menjadi gerakan sosial yang signifikan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singkir Hudijono
Abstrak :
Ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan angkatan kerja disatu tempat dengan laju pertumbuhan kesempatan kerja, menimbulkan mobilitas tenaga kerja. Kajian-kajian yang membahas mobilitas tenaga kerja yang disebabkan tekanan ekonomi pada umumnya hanya membahas aspek-aspek yang tampak dari tekanan ekonomi yang menyebabkan mobilitas tersebut. Aspek-aspek yang tampak itu misalnya terbatasnya lapangan kerja di daerah asal dan mudahnya memperoleh uang di daerah tujuan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Kajian ini menjelaskan terjadinya mobilitas tenaga kerja yang disebabkan tekanan ekonomi dan kebutuhan akan biaya upacara adat, belis (emas kawin) yang berwujud gading gajah. Harga belis sangat mahal, harus dibayar, karena bila tidak dibayar akan sangat tercela bagi masyarakat setempat sebab menimbulkan "kawin masuk". Tanjung Bunga di Kabupaten Flores Timur merupakan salah satu pemasok tenaga kerja (laki-laki) ke Sabah Malaysia Timur. Para pelaku dalam upayanya masuk ke Sabah memilih cara ikut camping (ilegal). Cara ini terlaksana melalui bantuan para calo. Cara ini juga memudahkan berpindah kerja sewaktu-waktu. Mobilitas penduduk membawa perubahan dalam pola pekerjaan, baik itu yang langsung menghasilkan maupun tidak langsung. Mobilitas ini menimbulkan suatu pola pembagian kerja baru yang menggambarkan adanya peranan yang lebih meningkat dari kaum wanita dalam keluarga, rumah tangga dan masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi
Abstrak :
Apabila dicermati, eskalasi gerakan buruh di era reformasi ini, tidak hanya melulu masalah tuntutan buruh yang bersifat normatif. Bahkan kesadaran politik yang ada pada buruh acap kali bersinggungan dan mengusung isu dan hal-hal yang berbau politik yang cenderung menggugat kebijakan pemerintahan. Organisasi buruh yang berkembang pesat, yang ditandai dengan berdirinya Serikat Pekerja (SP) di dalam setiap perusahaan, dapat dipastikan adalah faktor yang mendukung bahkan menjadi penyebab tingginya kesadaran itu. Kesadaran buruh itu telah tumbuh sejak lama dan akan terus tumbuh di masa depan, seiring dengan semakin menumpuknya persoalan, yang disebabkan karena pola penyelesaian yang tidak terselenggara secara memadai. Oleh karena itu pada gilirannya buruh akan menjadi kekuatan politik yang sangat dahsyat. Karena bersamaan dengan itu pendidikan dan kesadaran politik dan skema perjuangan semakin canggih dan berkekuatan besar. Dinamika buruh internasional juga akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap dinamika perburuhan di Indonesia. Sudah tidak asing bahwa berbagai gerakan buruh di berbagai negara seringkali menyokong gerakan buruh di nusantara atau juga sebaliknya. Gerakan buruh di berbagai negara akan memberikan pengaruh atau paling tidak inspirasi bagi gerakan buruh di Republik ini. Seiring dengan itu meningkat pula kesadaran hukum buruh Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya melalui pengadilan, semboyan yang menyatakan "meski langit hendak runtuh, hukum harus ditegakkan" menghinggapi buruh Indonesia, yang meng-aplikasi dalam wujud melakukan gugatan legal action melalui lembaga pengadilan. Melek-nya kesadaran hukum buruh ini untuk memperjuangkan hak-haknya melalui pengadilan, yang diyakini sebagai benteng terakhir keadilan ini ditandai dengan dimajukannya gugatan legal action karyawan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui Serikat Pekerja PLN terhadap PT. PLN yang diduga kuat telah berkong-kalikong dengan Paiton Energy dengan cara membeli satuan energi listrik menjadi begitu mahal, sehingga berpotensi merugikan keuangan Negara. Motif yang hampir sama dilakukan juga oleh karyawan PT. Indosat yang tergabung dalam Serikat Pekerja PT. Indosat dengan mengajukan gugatan actio popularis sehubungan penjualan saham PT. Indosat.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sulistyo
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini membuktikan bahwa pemogokan buruh bukan sekedar masalah hukum dan bahkan hubungan kerja. Pemogokan, sebagai bagian dari politik buruh di tempat kerja, merupakan produk dari hubungan-hubungan social, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya atau dengan kata lain sebagai protes komunitas lokal. Pemahaman atas dunia perburuhan industri minyak tidak cukup hanya dengan membayangkan hubungan antara buruh dan pengusaha tetapi juga masyarakat sekitar bahkan negara menempati peran sangat menentukan. Buruh yang bersama-sama mogok memerlukan keberanian, karena mempertaruhkan penghidupannya. Oleh karena itu pemogokan dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa. Dukungan kelompok-kelompok di luar tempat kerja diperlukan karena resiko pemecatan sangat besar. Apabila terjadi konflik antara pengusaha dan buruh, maka terdapat kecenderungan negara memihak pengusaha, karena terdapat ketergantungan ekonomi negara pada pengusaha. Secara koseptual negara terdiri dari seluruh masyarakat, termasuk buruh. Namun dalam sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai masa reformasi mengalami perubahan-perubahan penting yang kontradiktif. Pada masa sebelum kemerdekaan, negara kolonial cenderung berpihak pada pengusaha, meskipun terdapat anggota dewan yang berpihak pada buruh, setelah politik Etis di awal abad 20 bermunculan partai-partai politik pembela l uruh; pada awal kemerdekaan negara merupakan pendukung gerakan t. ruh yang bercirikan dekolonisasi atas keberanaan perusahan asing. Akan tetapi pada masa Orde Baru negara berbalik menjadi pendukung pengusaha asing. Konsekuensinya buruh minyak yang sejak awal kemerdekaan dalam mengatasi masalah hubungan perburuhan terhadap pengusaha mendapat pengawalan negara, kecuali di Sumatra. Pada masa Orde Baru buruh diperlakukan semata-mata hanya sebagai alat produksi. Depolitisasi pekerja terjadi pada masa Orde Baru. Ideologi nasionalisme yang berkembang menjadi penggerak perjuangan buruh di perusahaan asing ditinggalkan digantikan dengan isyu tentang Ilubungan Industrial Pancasila. Karyawan Indonesia dalam perusahaan asing yang diharapkan akan lebih simpati pads nasib buruh pada lapisan bawah, tidak punya pilihan lain kecuali menunjukkan loyalitasnya kepada pengusaha asing. Tidak terdapat satu partai politik dan anggota dewan pun yang menjadi pembela buruh pertambangan minyak dalam mencari keadilan. Perusahaan mendapat pengawalan ABRI, terlindungi oleh sistem peradilan dan kontrak kerja menutup peluang protes terbuka kepada perusahaan asing sebagai kontraktor PERTAMINA. Oleh karena itu buruh subkontraktor dikalahkan dalam pemogokan tahun 1999 dan 2000 oleh VICO, perusahaan minyak multi-nasional di Muara Badak, Kalimantan Timur. Penulisan disertasi ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah dan etnografi sejarah. Pendekatan penelitian dan penulisan berdasarkan Grounded Research. Sumber_sumber yang digunakan berupa arsip, pers, dan internet. Wawancara dilakukan tidak hanya kepada para pejabat perusahaan, pihak kecamatan, kepala desa atau kelompok elit desa lainnya, tetapi juga masyarakat kebanyakan. Dalam penelitian disadari perlunya menciptakan situasi obyektivitas. Intervensi ide dihindari agar tidak mempengaruhi jawaban yang diberikan informan.
2005
D1569
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandar
Abstrak :
Penelitian tentang gerakan pekerja di Provinsi Jawa Barat terjadi pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1952. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa persoalan ekonomi menjadi penyebab utama timbulnya pemogokan pekerja lepas di Jawa Barat? Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori aksi kolektif model mobilisasi dari Charles Tilly. Menurut Tilly aksi kolektif terdiri atas komponen: interest, organization, mobilization, opportunity, dan collective action. Sedangkan elemen vital aksi kolektif model meobilisasi meliputi: power, repression/fasilitation, dan opportunity/threat. SOBSI menjadi agensi bagi pekerja lepas mampu mengintegrasikan kelima komponen aksi kolektif yang kemudian berpuncak pada pemogokan. Tuntutan pekerja berhasil karena Ketua Panitia Aksi SOBSI K.Werdoyo mempunyai power yang besar baik yang berupa posisi dan perannya sebagai Ketua Fraksi Buruh di DPR maupun kemampuannya dalam bernegosiasi. K.Werdoyo mampu mengatasi tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah dan memanfaatkan fasilitasi yang diberikan pemerintah kepadanya. K. Werdoyo juga mampu mengambil peluang yang diberikan oleh pemerintahan Perdana Menteri Wilopo (dari PNI) yang lebih lunak dalam menyikapi tuntutan pekerja lepas di Jawa Barat daripada Perdana Menteri sebelumnya, Sukiman dari Masyumi. Pemogokan pekerja lepas di Jawa Barat dikarenakan adanya tindakan ekploitasi dari Pemerintah Pusat. Pada hakekatnya kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat tersebut tidak melanggar ketentuan karena secara formal kewenangan tentang peraturan penetapan upah masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Persoalan utamanya lebih pada tindakan ketidakadilan yang dirasakan oleh pekerja lepas yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Di tengah-tengah pekerja lepas mengalami kesulitan ekonomi yang serius, Pemerintah Pusat menurunkan pendapatan mereka. Tuntutan pekerja lepas di Jawa Barat berhasil, bahkan kemudian berujung pada terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1954 tentang Pekerja Pemerintah. Keberhasilan tutunan tersebut telah meredakan aksi-aksi pekerja lepas di Provinsi Jawa Barat yang juga telah meluas ke Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, meningkatkan kesejahteraan pekerja, semakin besarnya organisasi SOBSI, dan telah jelasnya kewenangan Pemerintah Daerah dalam menetapkan peraturan tentang pekerja lepas.
This research studies the workers movement in West Java Province that rose in the middle of twentieth century, especially in 1952. The main objective of the research is to prove that the economic problem was the main cause of the government workers strike in West Java. In this research, author utilizes the theory of collective action - mobilization model of Charles Tilly. Tilly argues that the collective action consist of several components, which are interest, organization, mobilization, opportunity, and collective action. Meanwhile, the vital elements of the collective action - mobilization model comprise power, repression/facilitation, and opportunity/threat. SOBSI became an agency for the government workers that integrated five components of collective action, which later led to government workers strike. The demand of government workers was successful, because the Chair of Action Committee of SOBSI, K. Werdoyo had not only a great power within his position and role as the Head of Government workers Faction in the Parliament, but also in his negotiation ability. He not only controlled repressive actions that exercised by the government, but also utilized the government facilities that provided for him. K. Werdoyo was able to take opportunities that were given by Prime Minister Wilopo (from PNI), who acted softly in dealing with the demands of government workers in West Java rather than the former Prime Minister, Sukiman from Masyumi. The government workers strike in West Java caused by the exploitation from the Central Government. Essentially, the policy of Central Government did not against any regulation because the regulation of wage determination was the authority of the Central Government. The main problem emphasized on the injustice action, which suffered by the government workers, by the Central Government. While the workers encountered a serious economic difficulty, the Central Government lowered their income. The demand of government workers in West Java not only succeeded, but also later led to the issue of the Government Regulation Number 31 Year 1954 about the Government workers. The accomplishment of the demand relieved other government workers actions in West Java that already spread to Central Java and East Java Provinces, increased the welfare of government workers, made the organization of SOBSI bigger, and brought the authority to Regional Government in issuing the regulations about government workers.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2227
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Ashari Saputra
Abstrak :
ABSTRACT
Mekanisme pencatatan serikat pekerja/serikat buruh telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep.16/Men/2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Namun demikian, terdapat kesenjangan antara pengaturan tersebut dengan pelaksanaan pencatatan serikat pekerja/serikat buruh. Akibatnya, dengan banyaknya jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat malah melemahkan gerakan pekerja/buruh dalam perannya. Penelitian dilakukan terhadap proses pencatatan Serikat Pekerja Pengelola dan Pekerja Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Kebumen (SP4KLA Kebumen) pada Dinas Tenaga Kerja dan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Kebumen (Disnakerkukm). Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan terhadap data sekunder, dilengkapi dengan wawancara terhadap informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepmenaker tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh belum mengatur secara rinci tahapan pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada tahap pemberitahuan pencatatan dan tahap penelitian kelengkapan administrasi. Bahkan,  dalam tahap verifikasi lapangan belum terdapat pengaturannya dalam peraturan tersebut. Oleh karena itu,  secara umum, diperlukan pengaturan yang lebih rinci dan tegas dalam tahap pemberitahuan pencatatan dan penelitian kelengkapan administasi serta secara khusus, diperlukan pengaturan yang mengatur pelaksanaan tahap verifikasi lapangan.
ABSTRACT
The mechanism of trade union registration is regulated in the Decree of the Minister of Manpower and Transmigration Number. Kep.16/ Men/2001 about procedures for registration of trade union. However, there are several discrepancies between the regulation and the registration of union. As a result, the large number of unions that have been registered has weakened the labor movement in its role.This research is conducted toward the registration process of  Serikat Pekerja Pengelola and Pekerja Pedagang Kaki Lima Alun-Alun Kebumen (SP4KLA Kebumen) to the Minister of Manpower Local Office, District of Kebumen (Disnakerkukm). The research method used is normative judiricial law conducted with literature study of secondary data and completed by conducting an interview. The result of the study indicates that the Ministry of Manpower and Transmigration regulation about the procedure of registration of  union has not been regulated in detail for the stages of registration of trade union, specifically in the stage of registrastration notification and in the stage of administration completeness. Moreover, in the field verification stage  there is also no specific regulation about it. Therefore, generally, more detailed and clear regulation is needed in stage of registration notification and administration completeness, and specifically, the implementation regulation is nedeed in stage of field verification.
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Litwack, Leon
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1962
331.8 LIT a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London ; New York : Routledge, 2001.
331.880 95 ORG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Temple, Mark
Abstrak :
Gerakan Buruh di Indonesia memasuki era Reformasi (1993-2003), era yang baru secara politik and ekonomi. Hak berserikat diakui oleh pemerintah, jumlah serikat pekerja (SP) menjamur, sementara krisis ekonomi yang parah mempengaruhi keadaan perekonomian. Penelitian in terhadap empat serikat pekerja (SPSI, SBSI, FNPBI dan PPMI) menggunakan pendekatan kualitatif untuk memetakan strategi SP tersebut pada periode 1998-2003. Wawancara mendalam dengan pengurus SP didukung dengan analisis literatur keserikatpekerjaan, dan dicek-silang dengan pejabat pemerintah. Studi ini menggunakan tipologi Kendall (1975) mengenai perspektif unitaris, pluralis dan Marxis, dan dikotomi Poole (1986) antara SP yang politis dan SP yang cenderung ke ekonomisme dalam menganalisa strategi SP di Indonesia selama Reformasi. Penelitian ini juga membahas perdebatan teoretis mengenai sesuai-tidaknya teori ?Barat? terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Khususnya, teori Martin (1989) dan Deyo (1987), yang menyatakan bahwa secara inheren gerakan buruh di Asia Tenggara lemah, sebagai akibat dari industrialisasi yang berorientasi ekspor (EOI) dan peran negara di panggung politik yang menekan gerakan buruh yang mandiri. Sebagai akibat dari faktor historis, struktural dan kontemporer, SP dalam penelitian ini memiliki pandangan unitaris (SPSI dan PPMI, yang masing-masing dipengaruhi oleh pemikiran korporatis dan Islam), pluralis (SBSI, sesuai dengan norma serikat buruhisme Barat) dan Marxis (FNPBI, dalam tradisi radikal dari gerakan mahasiswa). Dari sisi strategi, SPSI, yang dahulu didominasi pemerintah, menekankan ekonomisme, serta menghandalkan hubungan dekatnya dengan pihak pemerintah dan pengusaha, walaupun pada beberapa kesempatan SPSI mengambil sikap yang melawannya. SBSI memiliki pendekatan ganda, dengan menggunakan alat politik (melalui partai-partainya) dan instrumental, seperti perundingan dan pendidikan keSPan. Hubungan dekat SBSI dengan SP internasional/LSM perburuhan menghasilkan dana yang cukup besar untuk kegiatannya Penelitian ini menunjukkan FNPBI adalah SP politis, yang cenderung bekerja di luar dan melawan sistem pemerintahan bersama dengan serikat pekerja dan unsur masyarakat radikal lainnya. Pada awal Reformasi, strategi PPMI sangat politis untuk memperjuankan syariat Islam, tetapi PPMI mengalami pergeseran pada tahun 2003 ke arah ekonomisme. Penelitian menemukan bahwa gerakan buruh di Indonesia mengalami fragmentasi, sebagai akibat dari hak berserikat yang baru, dan perspektif dasar and strategi yang berlawanan. Beberapa aliansi longgar (FSU dan KAPB) didirikan pada periode ini, tetapi tidak bersifat permanen atau luas untuk menciptakan persatuan. Gerakan buruh berhasil mengalahkan peraturan pro-pengusaha seperti Menaker 18/2001 tentang uang pesangon, tetapi gerakan buruh tidak memiliki strategi bersama dalam rangka rnenghadapi peraturan-perundangan perburuhan yang penting. Implikasi teoretis dari penelitian ini adalah untuk mempertanyakan teori-teori convergency mengenai kecenderungan otomatis ke arah ekonomisme, serta untuk mendukung teori Deyo mengeani kelemahan-kelemahan pada gerakan buruh di Indonesia.
Trade Unionism in Indonesia faced a new climate in the era of Reformasi (1993-2003), both politically and economically. Union rights were acknowledged and many new trade unions were established, whilst a severe economic crisis affected industry. This study of four trade unions (SPSI, SBSI, FNPBI and PPMI) uses a qualitative approach to map out the (different) strategies of these unions during the period 1998-2003. In-depth interviews with union leaders are supported by analysis of union literature, and cross-referenced with govemment officials. The study adopts the typologies of Kendall (1975) regarding unitary, pluralistic and Marxist perspectives, and the economic unionist (instrumental-rational) and political unionist (value-rational) dichotomy of Poole (1936) in analysing the strategies of trade unions in Indonesia during Reformasi. Furthermore, the study addresses some of the theoretical discussions regarding the applicability of ?Western' theories to newly-industrialised nations such as Indonesia. In particular, the theories of Martin (1939) and Deyo (1987), who argues that the trade union movement in South East Asia is inherently weak as a result of export-oriented industrialisation (EOD and the state?s role in the political arena and in repressing a free union movement. As a result of historical, structural and contemporary factors, the unions variously had a unitary perspective (SPSI and PPMI, influenced by corporatist and Islamic thinking respectively), and pluralist (SBSI, in line with much modern-day Western unionism) and Marxist perspective (FNPBI, in the radical tradition of some elements of the student movement). In terms of strategy, the previously-government-domillated SPSI stressed economic unionism, relying on its good relations with the government and employers, although also on occasion, taking an oppositional stance. SBSI has a dual approach, using both political (through political parties, established by the union) and instrumental tools, such as bargaining and union education. Its good links with international unions/labour NGOs have meant it has received substantial funds for its activities. The study showed FNPBI was largely a political union, which tended to work outside and against the system, with other unions and other radical societal elements. PPMl?s strategy was initially heavily politicised in campaigning for sharia law, but underwent a change of direction in 2003 towards economic unionism. The study discovered that the Indonesian union movement is fragmented, as a result of newly-found rights of association and opposing world-views and strategies. Several loose alliances have been formed (FSU and KAPB), but have lacked the permanence and scope to forge unity. The labour movement has been successfully in overturning some pro-business legislation (notably Menaker 78/2001 od compensation), but the movement lacked a common strategy in opposing key labour legislation. The theoretical implications of the study are to question convergency theories about the tendency to economic unionism, and to largely support Deyo?s thesis regarding the weaknesses of the Indonesian labour movement.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T13883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rury Uswatun Hasanah
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Rury Uswatun HasanahProgram Studi : Ilmu PolitikJudul : Gerakan Buruh Pasca Reformasi: Studi Kasus Gerakan Serikat Pekerja Kereta Api SPKA pada tahun 2005, xiv 141 halaman, 10 lampiran, 37 buku, 39 dokumen, 11 jurnal, 4 tesis, 31 artikel koran, 1 sumber online, 3 wawancara Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pengalihan status pegawai PJKA yang semula sebagai PNS menjadi pegawai Perumka yang kemudian beralih status sebagai karyawan PT. KA Persero . Peralihan status tersebut menyisakan permasalahan bagi para pegawai karena mereka kehilangan hak-hak sebagai PNS dan tidak mengalami peningkatan kesejahteraan seperti yang telah dijanjikan oleh perusahaan setelah beralih status. Berawal dari persoalan tersebut, para pegawai melalui SPKA melakukan serangkaian aksi perjuangan untuk menuntut pengembalian status PNS dan peningkatan kesejahteraan. Aksi perjuangan tersebut baru dapat terlaksana pasca Reformasi dan mengalami peningkatan intensitas pada tahun 2005. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban bagaimana faktor kesempatan politik, struktur mobilisasi, dan proses pembingkaian mendorong kemunculan dan peningkatan frekuensi gerakan perjuangan SPKA terhadap PT. KA Persero dan pemerintah pada tahun 2005.Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori gerakan sosial dari Tilly, Diani, Binson, Burke,Turner, dan Killian, teori aktor gerakan sosial dari Heberle, Moris, Staggenbor, Gusfield, Tilly, teori kesempatan politik dari Kitschelt, Eisinger, Tarrow, dan Kurt, teori struktur mobilisasi dari McCarthy, dan teori proses pembingkaian dari Snow, Benford, dan Zald. Selain itu, penelitian ini menggunakan teori penertiban gerakan sosial yang disampaikan oleh Porta dan Fillieule dan teori tahapan gerakan sosial dari Blumer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan dokumen dan melakukan wawancara secara mendalam sebagai sumber primer. Sementara, sumber sekunder diperoleh melalui buku, jurnal, dan lain sebagainya.Temuan di lapangan menunjukkan bahwa gerakan perjuangan SPKA pada tahun 2005 memanfaatkan tiga faktor gerakan sosial, yaitu kesempatan politik, struktur mobilisasi dan proses pembingkaian untuk mencapai tujuannya. Selain itu, gerakan tersebut tergolong berhasil karena sikap pemerintah dan PT. KA Persero yang cukup kooperatif dalam menyelesaikan persoalan para pegawai.Implikasi teoritis memperlihatkan bahwa kesempatan politik, struktur mobilisasi dan proses pembingkaian berhasil dimanfaatkan oleh gerakan perjuangan SPKA. Selain itu, penertiban gerakan sosial terbukti bersifat lunak sehingga gerakan tersebut mencapai kesuksesan dan memasuki tahapan penurunan gerakan sosial.Kata kunci:Gerakan Buruh, Pasca Reformasi, Kesempatan Politik, Struktur Mobilisasi, Proses Pembingkaian
ABSTRACT
Name Rury Uswatun HasanahStudy Program Political ScienceTitle Labor Movement in Post Reform A Case Study of Indonesian Railways Workers Union Serikat Pekerja Kereta Api SPKA in 2005, xiv 141 pages,10 appendices, 37 books, 39 documents, 11 journals, 4 theses, 31 newspaper articles, 1 online source, 3 intervieweesThis research is motivated by the transfer of PJKA employee status who was originally as civil servant to Perumka employee who then switched status as an employee of PT. KA Persero . The transition of status left a problem for the employees as they lost the rights of civil servants and did not get the welfare improvements as promised by the company after switching status. Starting from that, the employees through the SPKA took precautions to get back the civil servant status and welfare improvement. The action of the struggle could only be implemented post Reformation and increased in 2005. Therefore, this research is conducted to find answers how the political opportunities, the mobilizing structures, and the framing process factors encourage the emergence and improvement of SPKA 39 s struggle movement against PT. KA Persero and the government in 2005.As a theoretical foothold, this study uses the social movement theories of Tilly, Diani, Binson, Burke, Turner, and Killian, the actor of social movement theories of Heberle, Moris, Staggenbor, Gusfield, Tilly, the political opportunities theories of Kitschelt, Eisinger, Tarrow, and Kurt, McCarthy 39 s theory of mobilization structure, and the framing process theories of Snow, Benford, and Zald. In addition, this research uses the policing protest theories submitted by Porta and Fillieule and the social movement stages theory of Blumer. The method used in this study is a qualitative method that is descriptive analytical. Techniques of data collecting are conducted by collecting documents and conducting in depth interviews as a primary source. Meanwhile, secondary sources are obtained through books, journals, and so forth.Field findings showed that the SPKA struggle movement in 2005 utilized three social movement factors, namely political opportunities, mobilizing structures and framing process to achieve its goals. In addition, the movement was quite successful because of the attitude of the government and PT. KA Persero was quite cooperative in solving the problems of the employees.The theoretical implication shows that political opportunities, mobilizing structures and framing process are successfully utilized by the SPKA struggle movement. In addition, the controlling of social movements proved to be soft so that the movement achieved success and entered the decline stage of social movements. Keywords Labor Movement, Post Reform, Political Opportunities, Mobilizing Structures, Framing Process
2017
T47915
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>