Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simamora, Sontang
Abstrak :
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan di Indonesia. GGT (Gagal Ginjal Terminal) merupakan bentuk lanjut dari GGK GGT ditetapkan berdasarkan bersihan kreatinin dibawah 5 mL/menit. Salah satu gejala pada GGT adalah terjadinya osteodistrofi renal yang dihubungkan dengan masalah penurunan kadar Ca dan peningkatan kadar fosfat darah. Sehubungan dengan hal ini GGK pada umumnya diberikan terapi kalsitriol, diet rendah fosfat dan pengikat fosfat. GGT memerlukan terapi pengganti, seperti dialisis. Pengaturan homeostasis Ca dan fosfat darah dilakukan oleh hormon kalsitriol dan hormon paratiroid. Pada pasien GGK homeostasis tersebut terganggu oleh karena berkurangnya sintesis kalsitriol dan timbulnya retensi fosfat. Penurunan kadar kalsitriol menyebabkan penurunan absorbsi Ca dari usus. Retensi fosfat menimbulkan peningkatan kadar fosfat yang akan mengikat Ca. Kedua hal diatas menyebabkan terjadinya penurunan kadar Ca darah. Pada penderita GGT kerusakan masa gnjal menyebabkan penurunan kadar kalsitriol sehingga tetjadi gangguan homeostasis Ca darah terutama kadar ion Ca. Hal iru menyebabkan terjadinya peningkatan kadar hormon paratiroid. Pada penelitian ini akan dibuktikan bahwa pemberian kalsitriol secara oral dapat menurunkan kadar hormon paratiroid (PTH) dan menormalkan kadar ion Ca darah. Dilakukan studi experimental pada pasien GGT yang mengikuti dialisis. Pasien yang diteliti adalah pasien yang tidal( mendapat pengobatan kalsitriol, tapi mengikuti diit rendah fosfat. Pasien GGT dengan hiperparatiroid sekunder diberikan kalsitriol 0,25 ug oral, tiap hari selama 2 minggu. Pada akhir pemberian kalsitriol diperiksa ulang kadar PTH, Ca, fosfat dan alkali fosfatase. Hasil dan Kesimpulan: Setelah perlakuan terdapat penurunan kadar PTH secara bermakna p<0,015 dari 397 menjadi 149 pg/mL. Peningkatan kadar ion Ca secara bermakna p<0,020, dari 1,08 menjadi 1,16 mMoVL yang dihitung berdasarkan rumus. Penurunan fosfat bermakna dengan p<0,024, dari 4,18 mg/di, menjadi 3,65 mgldL serta penurunan alkali fosfatase bermakna dengan p<0,002, dari 250 menjadi 173 UIL.
2001
T8250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soetardhio
Abstrak :
ABSTRAK
Perdarahan merupakan salah satu penyulit dan penyebab kematian yang sering dijumpai pada penderita gagal ginjal akut maupun kronik. Angka kematian yang disebabkan karena perdarahan pada penderita gagal ginjal sekitar 10 %.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan hemostasis pada penderita gagal ginjal terminal sehingga usaha untuk mengatasinya lebih terarah. Selain itu juga untuk mengetahui pengaruh hemodialisis terhadap gangguan hemostasis tersebut.

Penelitian dilakukan terhadap 30 penderita gagal ginjal terminal yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam Subdivisi Ginjal dan Hipertensi FKUI-RSCM Jakarta, yang terdiri dari 21 pria dan 9 wanita, berusia antara 33 sampai 62 tahun. Kelompok kontrol terdiri atas 30 orang sehat yang tidak termasuk kriteria tolakan.

Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini ialah masa perdarahan, hitung trombosit, masa protrombin plasma, masa tromboplastin parsial teraktivasi, masa trombin, EDP, PF3 dan agregasi trombosit terhadap ADP 10uH, 5uM dan luM. Pengambilan bahan penelitian untuk penderita ialah sesaat sebelum dilakukan hemodialisis dan segera sesudah hemodialisis, untuk kontrol, pengambilan bahan penelitian segera setelah memenuhi kriteria.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna antara kelompok GGX sebelum HD dengan kelompok kontrol dijumpai pada masa perdarahan, hitung trombosit faktor trombosit 3, MT dan FDP, sedangkan MP, MTPT dan agregasi trombosit tidak berbeda bermakna. Karena rata-rata hitung trombosit pada kelompok GGK masih dalam batas normal, maka disimpulkan penyebab masa perdarahan yang memanjang adalah gangguan fungsi trombosit yaitu aktivitas faktor trombosit 3, MT yang memanjang mungkin disebabkan fungsi atau kadar fibrinogen yang menurun atau mungkin karena adanya inhibitor.

Dari penelitian ini ternyata efek HD tidak terlihat pada masa perdarahan maupun hitung trombosit, sedangkan terhadap tes koagulasi dan faktor trombosit 3 efek HD adalah memperburuk, mungkin ini karena efek heparin.

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai gangguan hemostasis pada gagal ginjal terminal, untuk mengetahui penyebab MT memanjang, perlu diperiksa fibrinogen baik kadar, fungsi maupun adanya inhibitor. FDP dilanjutkan dengan D. diner. Faktor von Willebrand dan adhesi trombosit untuk mengetahui fungsi trombosit.

Efek heparin sebaiknya dinetralkan dengan menambah protamin sebelum pengambilan sample sesudah HD.

1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Rosa Tanihatu
Abstrak :
Penyakit ginjal merupakan masalah yang besar di seluruh dunia. Permasalahan yang timbul di negara maju berbeda dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Jumlah penderita gagal ginjal kronik (GGK) di Indonesia khususnya Jakarta, cukup banyak dan mempunyai banyak faktor penyebab. Tindakan hemodialisis (HD) merupakan Salah satu pengobatan untuk penderita GGK disamping transplantasi ginjal. Tetapi tindakan ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain penurunan kadar asam folat dengan segala akibatnya.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan prevalensi defisiensi Serta perubahan kadar asam folat dan vitamin B12 pada kelompok GGK dan GGK pasca HD dengan pemberian asam folat 20 mg/bari. Selain itu juga menentukan klasifikasi anemia pada GGK berdasarkan morfologi eritrosit dan melihat efektivitas pemberian aaam folat sebanyak 20 mg/hari pada penderita GGK pasca HD.

Penelitian ini dilakukan terhadap 50 penderita GGK tanpa tindakan HD, 20 penderita GGK pasoa HD dengan suplementasi asam folat sebanyak 20 mg/hari dan vitamin B12 2 ug dalam tablet Unioap-M selama 24 - 36 minggu. Sebagai kelompok kontrol dipakai 20 penderita penyakit ginjal tampa gagal ginjal. Terhadap ketiga kelompok ini dilakukan pemeriksaan kadar asam folat eritrosit dan serum Serta vitamin B12 dengan cara CPB menggunakan kit Vitamin B12/falaf dual count Amersham CT_301_ Pemeriksaan parameter Hb, Ht, hitung eritrosit, VER, HER dan KHER dilakukan dengan penghitung sel darah otomatis. Hitung Rt dilakukan dengan pulasan vital Brilliant cresyl blue, sedangkan sediaan hapus darah tepi dipulas dengan pewarnaan Wright.

Pada penelitian ini belum dapat dipastikan adanya defisiensi asam folat pada kedua kelompok GGK (dibandingkan kontrol). Kadar asam folat eritrosit kelompok GGK (nt= 208 ng/mL) lebib rendah dari pada kontrol (nt= 504 ng/mL)(p <0,05). Hal yang sama dijumpai pada kelompok GGK pasca HD (nt= 407 ng/mL). Kadar aaam folat serum kelompok GGK (nt = 4,2 ng/mL) sama dengan kadar asam folat serum GSK pasca HD. Kadar asam folat serum pada kelompok GGK tampa HD maupun GGK pasca HD, lebih tinggi dari kelompok kontrol (nt = 2,9 ng/mL)(p > 0,05).

Kadar vitamin B12 serum pada kelompok GGK (865 pg/mL) dan GGK pasea HD (1043 pg/mL} lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (351 pg/mL).

Enam puluh persen penderita GGK, 65% GGK pasca HD- dengan suplementasi asam folat dan 90% kelompok kontrol memberikan gambaran anemia normositik normokrom. Pemeriksaan hematologi seperti Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok yang diteliti memberikan basil lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hipersegmentasi pada kedua kelompok GGK tidak disebabkan defisiensi asam folat dan /vitamin B12, tetapi mungkin disebabkan proses degenerasi leukosit.

Kadar Hb, Ht dan hitung eritrosit pada kedua kelompok GGK lebih rendah dibandingkan kontrol (p < 0,05). Tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada pemeriksaan nilai eritrosit rata-rata, dan indeks produksi Rt antara kedua kelompok GGK dibandingkan kontrol.

Hitung leukosit kelompok GGK tanpa HD lebih tinggi dibandingkan kontrol (p >0,05) dan GGK pasea HD (p <0,05). Hitung trombosit kelompok GGK tampa HD lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (p > 0,05}, tetapi lebih tinggi dibandingkan kelompok GGK pasca HD (p <0,05).

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan nilai rujukan asam folat eritrosit dan serum, Serta vitamin B12 serum untuk orang Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Dwi Putri
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) jarang ditemukan pada anak. Kesintasan kehidupan anak SNRS pada umumnya baik. Akan tetapi, anak SNRS sering mengalami penurunan fungsi ginjal dan pada perjalanan penyakitnya dapat mengalami end stage renal disease (ESRD). Tujuan. Mengetahui kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal anak SNRS pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5. Mengetahui pengaruh usia, fungsi ginjal, dan hipertensi saat awitan serta tipe resistensi terhadap kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal anak SNRS. Metode. Penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis anak SNRS yang datang berobat ke Poliklinik Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan praktik swasta konsultan Divisi Nefrologi dalam periode Januari 2000-Januari 2011. Kesintasan fungsi ginjal yang dinilai pada penelitian ini adalah kenaikan kreatinin ≥2 kali dan ESRD. Hasil. Sebanyak 45 anak SNRS diikutsertakan dalam penelitian. Lama sakit adalah 24 (rentang 3-95) bulan. Sebanyak 20% anak meninggal dunia, 31,1% anak mengalami kenaikan kreatinin ≥2 kali, dan 13,4% anak menjadi ESRD pada akhir penelitian. Kesintasan kehidupan anak SNRS pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 93, 84, 80, 72, dan 61%. Kesintasan anak SNRS terhadap terjadinya kenaikan kreatinin ≥2 kali pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 92, 72, 56, 42, dan 34%. Kesintasan anak SNRS terhadap terjadinya ESRD pada tahun ke-1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut adalah 97, 88, 81, 70, dan 58%. Usia, fungsi ginjal, hipertensi saat awitan dan tipe resistensi tidak berpengaruh terhadap kesintasan kehidupan, kenaikan kreatinin ≥2 kali, maupun terjadinya ESRD (semua nilai p>0,05). Simpulan. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa anak SNRS rentan untuk mengalami kenaikan kreatinin ≥2 kali dan ESRD. Faktor-faktor prognostik yang dipikirkan mempengaruhi kesintasan kehidupan dan fungsi ginjal seperti usia, fungsi ginjal dan hipertensi saat awitan serta tipe resistensi tidak terbukti berperan dalam kesintasan.
ABSTRACT
Background: Steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS) is seldom found in children. Children with SRNS generally have good survival although during the course of the disease may develop decreased kidney function, leading to end stage renal disease (ESRD). Data on survival of children with SRNS is still scarce. Objective: To determine survival in children with SRNS on the first, second, third, fourth and fifth year; to study the effect of age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance towards the survival of children with SRNS. Method: A retrospective cohort is performed using secondary data obtained from medical record of outpatient and inpatient clinic from Division of Nephrology, Department of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital as well as private clinic of the Pediatric Nephrology consultant from January 2000-January 2011. Kidney survival was determined as doubling of base creatinine levels and ESRD. Results: This study includes 45 children with SRNS. Median time of illness was 24 (range 3-95) months. Twenty percent died due to various reasons; 31.1% had a doubling of base creatinine levels and 13.4% develop ESRD. Survival on the first, second, third, fourth and fifth year are 93, 84, 80, 72 and 61% respectively. Kidney survival on the first, second, third, fourth and fifth year towards doubling of base creatinine levels are 92, 72, 56, 42 and 34%, whereas towards ESRD are 97, 88, 81, 70 and 58% respectively. Age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance does not affect the survival of children with SRNS (all P>0.05). Conclusion: Children with SRNS is prone to develop a doubling of base creatinine levels and ESRD. Factors such as age at onset, initial kidney function, hypertension and type of resistance does not affect the survival of children with SRNS.
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Maya Sari
Abstrak :
Pendahuluan: Acute kidney injury AKI merupakan komplikasi gagal organ pada sepsis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas di ICU.Hasil dan pembahasan: Pemenuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI sangat tergantung pada keadaan klinis pasien dan terapi AKI. Pada serial kasus ini terdapat satu pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan 3 pasien dengan AKI klasifikasi AKIN 3. Kebutuhan nutrisi pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 maupun sepsis dengan AKI AKIN 3 selama perawatan di ICU diberikan dengan target energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari. Perburukan fungsi ginjal pada pasien sepsis dengan AKI tidak disebabkan oleh pemberian nutrisi tinggi protein melainkan disebabkan oleh keadaan sepsis yang tidak teratasi. Terapi renal replacement therapy RRT dibutuhkan pada pasien sepsis dengan AKI klasifikasi AKIN 2 dan AKIN 3 agar nutrisi dapat diberikan secara optimal untuk menunjang perbaikan klinis. Terapi nutrisi optimal pada pasien sepsis dengan AKI dapat mempertahankan lean body mass, memperbaiki sistem imun, dan memperbaiki fungsi metabolik.Kesimpulan: Terapi nutrisi yang adekuat dengan energi 30 kkal/kg BB/hari dan protein 1,5 g/kg BB/hari pada pasien sepsis dengan AKI dapat menunjang perbaikan klinis. ......Introduction Acute kidney injury AKI is an organ failure complication in sepsis that increased morbidity and mortality in ICU.Results and discussion Nutrition in sepsis with AKI patients are dependent on clinical condition and AKI treatment. In this serial case displayed one case septic AKI classification AKIN 2 and three cases septic AKI classification AKIN 3. Nutritional requirements for sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKI classification AKIN 3 in ICU setting were targetted at 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day. Worsening renal function in sepsis with AKI are not caused by high protein intake but caused by unresolved infection. Renal replacement therapy is required in sepsis with AKI classification AKIN 2 and AKIN 3 to maintain adequate nutritional therapy for better clinical outcomes. The optimal nutritional therapy in sepsis with AKI aimed to maintain lean body mass, improved immune function, and metabolism.Conclusion Adequate nutritional therapy with energy 30 kkal kg body weight day and protein 1,5 g kg body weight day in sepsis with AKI can bolster better clinical outcomes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Risesa Djufri
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan derajat hidronefrosis dan leukosit urin dengan kejadian komplikasi demam dan retropulsi pada pasien batu non-opaque yang menjalani URS. Penelitian ini bersifat prospektif, deskriptif analitik di RSUD dr. Fauziah Bireun Aceh selama Oktober-Desember 2016. Terdapat 42 pasien dengan didominasi laki-laki 73,8 , rata-rata berusia 47 tahun, 61,9 dengan batu di ureter proksimal, dan 76,2 diantaranya mengalami hidronefrosis sedang serta 28,5 mengalami leukosit urin ge;15/LPB. Komplikasi demam terjadi pada 11,9 pasien dan retropulsi batu sebanyak 7,1 . Derajat hidronefrosis dan leukosit urin merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya demam paska operasi. Kadar leukosit urin tidak mempengaruhi kejadian retropulsi. ......The purpose of this research is to know the relationship between degree of hydronephrosis, urinary leukocytes with incidence of fever and retropulsion as complication of non opaque stone patients underwent URS. This was prospective, analytical descriptive research in dr.Fauziah Bireun Hospital Aceh during October December 2016. From 42 patients, 73.8 were male with mean age 47y.o, 61.9 had proximal ureter stone, 76.2 had moderate hydronephrosis, 28.5 had urinary leucocytes ge 15 HPF. Fever occurred in 11.9 and retropulsion in 7.1 patients. Degree of hydronephrosis and urine leukocyte affect the incidence of post operative fever significantly. Urine leukocyte levels do not affect the incidence of retropulsion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rhismawati Djupri
Abstrak :
ABSTRAK
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Pada Pasien Gangguan Sistem Perkemihan Dengan Kasus Gagal Ginjal Kronik Stage V Menggunakan Pendekatan Model Keperawatan Adaptasi Roy Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Diana Rhismawati Djupri2017 AbstrakPraktek klinik Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Sistem Perkemihan adalah untuk mampu melakukan dan menganalisa asuhan keperawatan pada pasien Gagal Ginjal Kronik Stage V dan 30 pasien lain yang mengalami gangguan pada sistem perkemihan. Selain itu mampu menerapkan Evidence Based Nursing Practice EBNP dan sebagai inovator di ruang perawatan maupun di ruang rawat jalan. Peran pemberi asuhan keperawatan menggunakan Model Adaptasi Roy. Perilaku adaptasi fisiologi yang banyak mengalami gangguan adalah cairan dan masalah keperawatan yang banyak muncul adalah hipervolemia, sehingga intervensi yang diberikan adalah pencatatan secara akurat intake dan output, edukasi pembatasan cairan. Penerapan EBNP yang dilakukan adalah dengan melakukan identifikasi tingkat fatigue pada pasien Gagal Ginjal Kronik Stage V dengan menggunakan instrumen FACIT-F, sehingga dapat diketahui tingkat fatigue pasien dan dapat dilakukan asuhan keperawatan yang komprehensif. Program inovasi yang dilakukan adalah Range of Motion pada pasien intrahemodialisis untuk meningkatkan adekuasi hemodialisis dikaitkan dengan tingkat fatigue menggunakan instrumen FACIT-F Kata Kunci : fatigue, ROM exercise, gagal ginjal kronik, hemodialysis, FACIT-FABSTRACT
Analysis of Medical Surgical Nursing Residency Practice on UrinarySystem Disorders with Chronic Kidney Disease CKD STAGE V Cases Using Roy Adaptation Model Approach at Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta Diana Rhismawati Djupri2017 Abstract Ners Specialist Urinary System is to be able to perform and analyze nursing care in patients with Chronic Kidney Desease CKD Stage V and 30 other patients with urinary system disorders. It is also capable of implementing Evidence Based Nursing Practice EBNP and as an innovator in the treatment room as well as in the outpatient room. The role of nursing care providers uses the Roy Adaptation Model. Behavioral adaptation of many disordered physiology is fluid and nursing problems that many appear is hypervolemia, so that intervention given is accurate recording intake and output, fluid restriction education. Implementation of EBNP is done by identifying fatigue level in patients with Chronic Kidney Desease CKD Stage V using FACIT F instrument, so that can know fatigue level of patient and can be done comprehensive nursing care. The innovation program performed was the Range of Motion in intrahemodialysis patients to improve the hemodialysis adequacy associated with fatigue levels using the FACIT F instrument. Keywords fatigue, ROM exercise, Chronic Kidney Desease, hemodialysis, FACIT F
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Yusuf
Abstrak :
Latar Belakang: Periostin memainkan peran sebagai mediator proses inflamasi termasuk inflamasi dan fibrosis ginjal. Namun, data signifikansi periostin pada acute kidney injury terbatas. Kami meneliti korelasi kadar periostin urin dengan fungsi ginjal pada pasien keganasan yang mendapat terapi cisplatin dosis tinggi. Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilakukan di n ruang rawat HOM lantai 8 gedung A, di RSCM dari November 2019 hingga jumlah sampel minimal terpenuhi dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 23.0 sesuai tujuan penelitian. Hasil: Dari 37 responden diketahui 70,3% laki-laki, 29,7% berusia 41-50 tahun, 59,5% menderita KNF, serta 64,9% memiliki Skor Karnofsky 80. Kadar ureum dan kreatinin darah responden meningkat dari pra kemoterapi hingga 1 minggu paska kemoterapi I. Begitu juga dengan nilai eGFR yang makin menurun. Perubahan kadar periostin menurun selama kemoterapi I dan II, naik kembali 1 minggu paska kemoterapi III dengan nilai p>0,05. Pada uji korelasi kadar periostin urin dengan variabel fungsi ginjal lainnya tidak didapatkan domain yang signifikan bermakna (p>0,05) dengan nilai koefisien korelasi lemah (r = 0,017-0,254) dan beberapa domain memiliki arah korelasi negatif. Simpulan: Tidak didapatkan korelasi bermakna kadar periostin urin dengan kadar ureum darah, kreatinin darah serta laju filtrasi glomerulus pasien keganasan dengan terapi cisplatin dosis tinggi. ......Background: Periostin plays role as mediator of inflammatory processes including inflammation and kidney fibrosis. However, data on the significance of periostin in acute kidney injury are limited. We investigated the correlation of urine periostin levels with kidney function in malignant patients receiving high-dose cisplatin therapy. Methods: This prospective cohort study was conducted in the 8th floor HOM care room in building A, in the RSCM from November 2019 until the minimum sample size was fulfilled by consecutive sampling. Data were analyzed using SPSS version 23.0 according to the purpose of study. Results: Of the 37 respondents known to be 70.3% male, 29.7% aged 41-50 years, 59.5% suffer from NPC, and 64.9% have Karnofsky score of 80. Urea levels and blood creatinine of respondents increased from pre-chemotherapy to 1 week after chemotherapy I. Likewise, the eGFR value decreases. Changes in periostin levels decreased during chemotherapy I and II, rising again 1 week after chemotherapy III with a p value> 0.05. In the correlation test of urinary periostin levels with other kidney function variables, no significant domain was found (p> 0.05) with a weak correlation coefficient (r = 0.017-0.254) and some domains had a negative correlation direction. Conclusion: No significant correlation was found in urine periostin levels with blood urea levels, blood creatinine and glomerular filtration rates of malignant patients with high-dose cisplatin therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Ninggar Santoso
Abstrak :
Latar belakang. Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan vaskulitis sistemik yang paling umum ditemukan pada anak. Diagnosis PHS ditegakkan berdasarkan temuan klinis purpura/ptekiae yang palpable, ditambah minimal salah satu dari nyeri abdomen akut difus, artritis/artralgia akut, keterlibatan ginjal atau bukti histopatologi vaskulitis leukositoklastik atau deposisi IgA. Penyakit ini umumnya bersifat swasirna dan memiliki prognosis baik. Namun, rekurensi dapat terjadi, terutama pada kurun waktu 1-2 tahun setelah episode pertama, dan dihubungkan dengan peningkatan risiko komplikasi seperti penyakit ginjal kronik. Saat ini, belum diketahui data mengenai angka rekurensi PHS di Indonesia dan prediktornya. Tujuan. Mengetahui insidens rekurensi dan prediktor rekurensi pada pasien PHS anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif melalui penelusuran rekam medis yang diikuti selama 6 bulan pada anak usia 1 bulan sampai <18 tahun yang terdiagnosis PHS sesuai kriteria EULAR/PRES/PRINTO tahun 2008, selama periode waktu 7 tahun di RSCM. Prediktor yang dinilai terdiri dari usia, jenis kelamin, riwayat atopi, manifestasi ginjal saat episode PHS pertama, durasi pemberian kortikosteroid saat episode PHS pertama, dan riwayat infeksi setelah episode pertama teratasi. Hasil. Sebanyak 116 subjek dengan PHS usia 2-17 tahun diinklusi dalam penelitian ini dengan rerata usia 9 tahun. Selama pemantauan, PHS rekuren didapatkan pada 26 (22,4%) subjek, dan mayoritas (57,6%) rekurensi terjadi dalam rentang waktu >3-6 bulan setelah episode pertama teratasi. Melalui analisis multivariat, riwayat infeksi setelah episode PHS pertama merupakan prediktor terjadinya rekurensi PHS yang secara statistik bermakna (HR 11,301 (IK 95% 4,327-29,519), p <0,001). Penyakit ginjal kronik (PGK) terjadi pada 10 (38,4%) subjek yang mengalami rekurensi. Melalui analisis kesintasan Kaplan-Meier, didapatkan 51% subjek yang mengalami riwayat infeksi terbebas dari PHS rekurenselama rerata waktu 5,3 bulan (IK 95% 4,76-5,99, dan p < 0,0001). Kesimpulan. Rekurensi PHS pada anak di RSCM didapatkan 22,4% dengan insidens rekurensi 3,56 per 100.000 orang/tahun. Riwayat infeksi setelah episode PHS pertama merupakan prediktor terjadinya rekurensi pada anak dengan PHS. Komplikasi PGK didapatkan pada  22 subjek (19%). ......Background. Henoch-Schonlein purpura (HSP) is the most common systemic vasculitis in children. The diagnosis of HSP is based on clinical findings of palpable purpura/ptekiae, and minimum one of acute diffused abdominal pain, acute arthritis/arthralgias, renal manifestation, or histopathology evidence of IgA deposition. It is usually a self-limiting disease with good prognosis. However, recurrence may occur in children, especially within 1-2 years after the first episode of HSP resolved, and it is associated with poorer prognosis, i.e. higher risk of progressing to chronic kidney disease (CKD) as long term complication. In Indonesia, the recurrence rate of HSP and its predictors in children have not been established. Objectives. To estimate the incidence of recurrent HSP and determine its predictors in children with HSP at Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM). Methods. This is a retrospective cohort from medical records reviews following 1 month-old to <18 year-old children with HSP at RSCM for 6 months. The diagnosis of HSP is based on the EULAR/PRESS/PRINTO 2008 criteria. There are six predictors being evaluated in this study: age; sex; history of atopy; duration of corticosteroid therapy; and history of infection after the first episode of HSP resolved.  Results. A total of 116 participants age 2-17 year-old with HSP were included in this study with median age of 9 (6-13) year-old. Out of 116 subjects, recurrent HSP occur in 26 (22,4%) subjects, with most cases (57,6%) occured within >3-6 months after the first episode had resolved. Multivariate analysis shows that history of infection after the first episode of HSP is the only statistically significant predictor (HR 11.301 ((95% CI 4.327-29.519), p <0,001). Chronic kidney disease is found in 10 (38,4%) subjects with recurrent HSP. Kaplan-Meier survival analysis shows 51% subjects with history of infection after the first episode of HSP resolved were free of HSP for 5,3 months ((95% CI 4,76-5,99) p < 0,0001). Conclusion. The recurrence rate is 22,4% in children with HSP at RSCM. The recurrence incidence is 3,56 per 100.000 person/years.  History of infection after the first episode of HSP resolved is the statistically significant predictor for recurrence of HSP. Chronic kidney disease occurs as long-term complication of HSP in 22 participants (19%).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>