Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abidah Nur
"Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan angka insiden diare pada
balita di Indonesia sebesar 6,7%. Aceh merupakan provinsi dengan insiden
diare tertinggi, mencapai 10,2%. Profil Kesehatan Aceh menunjukkan
bahwa secara umum terjadi peningkatan penyakit infeksi seperti influenza,
tuberkulosis, dan diare dalam kurun waktu tujuh tahun (2006 - 2012).
Penyakit tersebut dapat dicegah dengan pemberian ASI yang berperan
dalam peningkatan kekebalan tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan riwayat pemberian ASI dengan penyakit infeksi pada balita.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik
Provinsi Aceh, yaitu data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional tahun 2012
dengan jumlah sampel 3.486 balita. Data penelitian dianalisis menggunakan
uji regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan secara umum ada
hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan penyakit
infeksi. Terdapat hubungan yang signifikan antara lama pemberian ASI, ASI
eksklusif, dan pemberian makanan pendamping ASI dengan penyakit infeksi
pada balita di Provinsi Aceh.
Basic Health Research in 2013 mentions the incidence of diarrhea in toddlers
in Indonesia amounted to 6.7%. Aceh Province has the highest incidence
of diarrhea reached 10.2%. Aceh?s Health Profile indicates that in general
there is an increase in infectious diseases such as influenza, tuberculosis,
and diarrhea within a period of seven years (2006 - 2012). The disease
can be prevented by breastfeeding to increase immune system. This
study used secondary data from the Central Statistics Agency of Aceh
Province, The National Socio-Economic Survey 2012 using 3,486 toddlers
as samples. Data were analyzed using logistic regression. Results showed
in general no significant relationship between a history of breastfeeding
with infectious diseases. There is a significant relationship between duration
of breastfeeding, exclusive breastfeeding, and complementary feeding with
infectious disease in toddlers in the Aceh province."
Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Malnutrisi akut berat merupakan malnutrisi yang paling serius yang memengaruhi balita dan merupakan masalah kesehatan utama di negara-negara berkembang. Malnutrisi telah meluas baik di perkotaan maupun perdesaan. Akar permasalahan malnutrisi di negara berkembang salah-satunya adalah faktor sosial demografi. Tujuan penelitian untuk melihat perbedaan kejadian malnutrisi dan determinannya di area perkotaan dan pedesaan di Yogyakarta. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan responden adalah semua balita malnutrisi akut berat di Kabupaten Sleman (23 balita) dan Kota Yogyakarta (33 balita). Analisis data menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2012 - Februari 2013. Prevalensi balita malnutrisi akut lebih banyak di perkotaan daripada di pedesaan (59% vs. 41%). Persentase faktor risiko kejadian malnutrisi pada kelompok urban dan rural adalah jumlah balita dalam keluarga satu orang (60,7%), jenis kelamin laki-laki (58,9%), riwayat pemberian ASI tidak eksklusif (60,7%), usia ibu kurang dari 35 tahun (62,5%), pekerjaan non-PNS (98,2%), penghasilan orang tua lebih dari UMR (58,9%), tingkat pendidikan ayah dan ibu tinggi (71,4% dan 64,3% ) dan pengasuh balita di rumah adalah ibu (82,1%). Perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada variabel pekerjaan dan penghasilan orang tua, tingkat pendidikan orang tua dan pengasuh balita, sedangkan hasil pengukuran antropometri tidak menunjukkan adanya perbedaan. Determinan kejadian malnutrisi pada kelompok urban dan rural adalah jumlah balita dalam keluarga.

Severe acute malnutrition is the most serious form of malnutrition affecting children under-five and widely recognized as a major health problem in developing countries. It is wide spread in rural and urban areas. Social demographic factor is one of the main causes of severe acute malnutrition. This study was conducted to determine the prevalence of severe acute malnutrition and determinants of children in urban and rural area in Yogyakarta. A cross-sectional study was used in this study, where the respondents were all children with severe acute malnutrition in Sleman and Yogyakarta (23 and 33 children respectively). Descriptive and inferencial statistic were used to analyze the data. The study was carried out in December 2012-February 2013. The prevalence of severe acute malnutrition children was higher in urban than rural communities (59% vs. 41%). Risk factors percentage of malnourished were number of children in family was one person (60.7%), male gender (58.9%), the history of not exclusive breastfeeding (60.7%), mother age less than 35 years old (62.5%), lower class job (98.2%), monthly income was high (58.9%), higher education of father and mother (71.4% and 64.3% respectively), and children caregiver was mother (82.1%). There were a significant diference (p<0.05) in father profession, parents? education, household economic status, and caregiver of children, whereas anthropometric measurement did not show any difference between two groups. Determinants of malnutrition in urban and rural groups is the number of children in the family."
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, *Departemen Keperawatan Komunitas Prodi Ilmu Keperawatan, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Fitriani
"Upaya pengobatan sendiri merupakan perilaku individu dalam mengenali
jenis penyakit yang diderita dan memilih sendiri jenis pengobatan. Kriteria
yang menentukan pemilihan sumber pengobatan adalah persepsi sakit/
pengetahuan akan penyakit, keyakinan akan sumber pengobatan, dan
efisiensi waktu yang dipengaruhi oleh keterjangkauan biaya dan jarak.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan upaya pengobatan sendiri pada
balita di Aceh dalam era cakupan semesta jaminan kesehatan dan menge-
tahui faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini merupakan analisis
data sekunder hasil KOR-MODUL Susenas 2011 dengan pendekatan
potong lintang sebanyak 43.866 responden atau 455.750 rumah tangga di
23 Kabupaten/Kota Provinsi Aceh. Terdapat 5.147 responden balita yang
mewakili populasi balita Aceh, sebanyak 2.052 balita (39,87%) dilaporkan
menderita sakit selama sebulan sebelum survei, 62,52% ternyata dirawat
dengan upaya pengobatan sendiri. Meskipun telah berlaku cakupan
semesta jaminan kesehatan di Aceh, masih banyak balita yang diobati
sendiri oleh keluarganya. Hasil analisis uji kai kuadrat dan regresi logistik
menunjukkan bahwa faktor domisili, usia balita, dan diare memengaruhi
upaya pengobatan sendiri pada balita.
Self medication is the choice of medications by individuals to cure self-
recognized symptoms or indications. Self medication are determined by the
perception/knowledge of the illness, beliefs, and efficiency as it is affected
by affordability and distance to health care facility. This study aimed to
describe the use of self-medication among toddler in Aceh during the era of
universal health coverage, and to determine the factors that control its. This
was a secondary data analysis of the results of KOR-MODUL Susenas 2011
with a cross-sectional approach as many as 43,866 respondents or 455,750
households in 23 districts/cities in Aceh province. There are 514 respon-
dents representing toddler population of Aceh, and 2,052 toddler or 39.87%
are sick during the last month prior to the survey and 62.52% were self-
medication. Nevertheless, some families still practice self-medication in the
era of universal health coverage; in short, chi-square and logistic regression
imply that living area, age of toddler, and diarrhea are determining the use
of self-medication."
Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rizanda Machmud
"Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang menjadi kausa utama kematian balita. Di Indonesia, pada akhir tahun 2000, angka
kematian balita akibat pneumonia diperkirakan 4,9/1000 balita. Faktor sosio-ekonomi berkontribusi besar terhadap penyakit saluran pernapasan. Tujuan pe-
nelitian ini adalah mengetahui faktor sosio-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap pneumonia pada balita. Penelitian dengan dengan disain krossek-
sional ini menggunakan sumber data sekunder Benefit Evaluation Study (BES) II oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Proyek Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular, Departemen Kesehatan. Sampel diambil berdasarkan multilevel statistical framework dari 7.170 ba-
lita pada 10.900 rumah tangga di 27 kabupaten di tujuh provinsi. Metode analisis yang digunakan adalah multilevel logistic regression. Penelitian ini mem-
perlihatkan bahwa sosio-ekonomi rumah tangga berperan secara bermakna terhadap kejadian pneumonia balita. Rumah tangga miskin berisiko lebih besar
untuk terkena pneumonia. Pada keluarga miskin, risiko pneumonia yang lebih besar disebabkan oleh faktor kontekstual lingkungan yang buruk berupa pen-
cemaran di dalam rumah yang dikontrol faktor komposisi status gizi (95% CI OR 4.05- 4.78). Kebijakan intervensi program P2ISPA disarankan lebih mengu-
tamakan intervensi pada faktor kontekstual lingkungan buruk pencemaran dalam rumah tangga miskin.
Pneumonia is an acute respiratory tract infection disease that becomes a major cause of death among under five years old children. In Indonesia, in 2000,
pneumonia specific cause of death rate among under five children is predicted to be 4.9/ 1000. The socio-economic factor has significant contribution to res-
piratory tract infection. The objective of this study is to know the socioeconomic factor that affect pneumonia among under five children. The study uses cross
sectional study design using secondary data of Benefit Evaluation Study (BES) II conducted by Centre for Health Research, University of Indonesia in col-
laboration with Intensification of Infectious Diseases Eradication Project, MOH-RI. The study sample is selected based on multilevel statistical framework from
7170 under five children in 10900 households within 27 districts in seven provinces. Analysis method used in this study is multilevel logistic regression. This
study shows that the low level of socioeconomic status affect significantly the pneumonia occurrence among under five children. The risk of pneumonia among
lower socioeconomic household is higher than that of the high socioeconomic household. It was found that the association was found for poor environmen-
tal factor including in-house hygienic condition after controlled by nutritional status. The pneumonia occurrence among under five children is more influenced
by environmental factors than individual factors (compositional effect). It is suggested to prioritize intervention on environmental factors to eradicate respira-
tory tract infection."
2009
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Kusumawati
"Stunting merupakan masalah gizi, terbukti data pemantauan status gizi
Kabupaten Banyumas 2012 prevalensi stunting sebesar 28,37% dan
prevalensi tertinggi (41,6%) di Puskesmas Kedungbanteng. Tujuan penelitian
untuk menganalisis faktor risiko terkait faktor anak, ibu, lingkungan terhadap
stunting bawah tiga tahun (batita) agar dapat dikembangkan model
pengendaliannya. Penelitian menggunakan desain kasus kontrol, populasi
adalah seluruh anak usia 6 sampai 36 bulan di Puskesmas Kedungbanteng
Kabupaten Banyumas selama enam bulan tahun 2013. Sampel kasus
adalah 50 batita stunting, sampel kontrol adalah 50 batita status normal.
Teknik pengambilan sampel kasus diambil dari tujuh desa yang terbanyak
stuntingnya, sedangkan kontrol adalah batita normal tetangga terdekat kasus
dengan usia yang disamakan. Pengumpulan data dengan wawancara
dan pengukuran. Analisis data univariat, bivariat (uji kai kuadrat), dan multivariat
(uji regresi logistik ganda). Hasil penelitian menemukan karakteristik
batita stunting terkena penyakit infeksi (82%), riwayat panjang badan
lahir < 48 centimeter (66%), riwayat pemberian ASI dan makanan pendamping
ASI kurang baik (66%), riwayat berat badan lahir rendah (8%).
Pada penelitian ini, faktor risiko stunting adalah penyakit infeksi, pelayanan
kesehatan, immunisasi, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, ketersediaan
pangan keluarga, dan sanitasi lingkungan. Faktor yang paling dominan
adalah penyakit infeksi. Model pengendalian stunting melalui peningkatan
pemberdayaan keluarga terkait pencegahan penyakit infeksi, memanfaatkan
pekarangan sebagai sumber gizi keluarga dan perbaikan sanitasi
lingkungan.
Stunting is a nutritional problem, proved by the evidence of nutritional status
monitoring at Banyumas District in 2012, the prevalence of stunting was
28.37% and the highest prevalence 41.6% at Kedungbanteng Primary
Health Care. This study aimed to analyze risk factors related to child, maternal,
and environmental factors toward stunting among children under
three year old in 2013 in order to develop the control model. This study used
case control design, the population was all children aged of six to 36 months
at Kedungbanteng Primary Health Care, Banyumas District. Sample was 50
stunting children, while the control sample was 50 normal children.
Sampling technique was taken from seven villages with the highest stunting
number, meanwhile the control was normal children living closest to the
case with similar age. Data was collected through interview and measurement.
Data analysis was conducted in univariate, bivariate (chi-square test),
and multivariate analyze (multiple logistic regression test). The results found
that characteristics of stunting children under three years old were often suffering
infectious diseases (66%), having body length record < 48 centimeter
(66%), bad records of breastfeeding and comlementary feeding (66%),
and record of low birth weight (8%).Stunting risk factors in this study were
infectious disease, health services, immunization, maternal knowledge, family
income, family food availability, and environmental sanitation. The most
dominating factor was infectious disease. The stunting control model
through enhancement of family empowerment related to infectious disease
prevention, utilization yard as a family nutrition source and environmental
sanitation repair."
Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan,Jurusan Kesehatan Masyarakat, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Kusumawati
"Stunting merupakan masalah gizi, terbukti data pemantauan status gizi
Kabupaten Banyumas 2012 prevalensi stunting sebesar 28,37% dan
prevalensi tertinggi (41,6%) di Puskesmas Kedungbanteng. Tujuan penelitian
untuk menganalisis faktor risiko terkait faktor anak, ibu, lingkungan terhadap
stunting bawah tiga tahun (batita) agar dapat dikembangkan model
pengendaliannya. Penelitian menggunakan desain kasus kontrol, populasi
adalah seluruh anak usia 6 sampai 36 bulan di Puskesmas Kedungbanteng
Kabupaten Banyumas selama enam bulan tahun 2013. Sampel kasus
adalah 50 batita stunting, sampel kontrol adalah 50 batita status normal.
Teknik pengambilan sampel kasus diambil dari tujuh desa yang terbanyak
stuntingnya, sedangkan kontrol adalah batita normal tetangga terdekat kasus
dengan usia yang disamakan. Pengumpulan data dengan wawancara
dan pengukuran. Analisis data univariat, bivariat (uji kai kuadrat), dan multivariat
(uji regresi logistik ganda). Hasil penelitian menemukan karakteristik
batita stunting terkena penyakit infeksi (82%), riwayat panjang badan
lahir < 48 centimeter (66%), riwayat pemberian ASI dan makanan pendamping
ASI kurang baik (66%), riwayat berat badan lahir rendah (8%).
Pada penelitian ini, faktor risiko stunting adalah penyakit infeksi, pelayanan
kesehatan, immunisasi, pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, ketersediaan
pangan keluarga, dan sanitasi lingkungan. Faktor yang paling dominan
adalah penyakit infeksi. Model pengendalian stunting melalui peningkatan
pemberdayaan keluarga terkait pencegahan penyakit infeksi, memanfaatkan
pekarangan sebagai sumber gizi keluarga dan perbaikan sanitasi
lingkungan.
Stunting is a nutritional problem, proved by the evidence of nutritional status
monitoring at Banyumas District in 2012, the prevalence of stunting was
28.37% and the highest prevalence 41.6% at Kedungbanteng Primary
Health Care. This study aimed to analyze risk factors related to child, maternal,
and environmental factors toward stunting among children under
three year old in 2013 in order to develop the control model. This study used
case control design, the population was all children aged of six to 36 months
at Kedungbanteng Primary Health Care, Banyumas District. Sample was 50
stunting children, while the control sample was 50 normal children.
Sampling technique was taken from seven villages with the highest stunting
number, meanwhile the control was normal children living closest to the
case with similar age. Data was collected through interview and measurement.
Data analysis was conducted in univariate, bivariate (chi-square test),
and multivariate analyze (multiple logistic regression test). The results found
that characteristics of stunting children under three years old were often suffering
infectious diseases (66%), having body length record < 48 centimeter
(66%), bad records of breastfeeding and comlementary feeding (66%),
and record of low birth weight (8%).Stunting risk factors in this study were
infectious disease, health services, immunization, maternal knowledge, family
income, family food availability, and environmental sanitation. The most
dominating factor was infectious disease. The stunting control model
through enhancement of family empowerment related to infectious disease
prevention, utilization yard as a family nutrition source and environmental
sanitation repair."
Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan,Jurusan Kesehatan Masyarakat, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Malnutrisi pada balita masih merupakan permasalahan di Indonesia termasuk
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan indikator berat badan
menurut tinggi badan, 2,6% balita mengalami malnutrisi akut berat. Pada
beberapa dekade terakhir, telah terjadi pergeseran paradigma dalam
penanganan balita malnutrisi, yang sebelumnya berbasis pendekatan fasilitas
kesehatan bergeser menjadi pendekatan berbasis komunitas. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh program home care terhadap
peningkatan status gizi balita malnutrisi pada anak usia 6-60 bulan.
Penelitian menggunakan desain kuasi eksperimen dengan pretest dan
posttest control group melalui tiga tahap pendampingan yaitu intensif,
mandiri, dan penguatan dengan pendekatan asuhan keperawatan. Sampel
adalah 56 balita malnutrisi akut di dua wilayah, yaitu 33 balita di Kota
Yogyakarta (eksperimen) dan 23 balita di Kabupaten Sleman (kontrol) dengan
teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Intervensi home
care diberikan selama tiga 3 bulan (Januari sampai Maret 2013). Hasil
penelitian menunjukkan setelah program home care, terjadi peningkatan
yang signifikan pada status gizi balita (p < 0,05). Pada akhir intervensi, terjadi
penurunan kejadian malnutrisi akut berat dari 100% menjadi 56,7% (p
< 0,05).
Children undernutrition is still an issue in Indonesia, including in the Special
Region of Yogyakarta. Based on weight for height indicator, 2.6% children
experience severe acute malnutrition. In the last few decades, there has
been a paradigm shift in the management of acute malnutrition from a facility-
based to community-centered approach. The purpose of this study
was to analyze the effect of home care intervention on the improvement of
nutritional status of severe acute malnutrition children aged 6-60 months.
This study was designed with quasi-experimental and pretest-posttest control
group design, conducted in three phases; intensive, strengthening and
independent with nursing approach (January until March 2013). Samples
were 56 children with severe and moderate acute malnutrition for both study
sites, 33 children in Yogyakarta city (experiment) and 23 children in Sleman
district (control), selected using purposive sampling. Home care intervention
is given for three months (January until March 2014). Results findings show
there were significant increase in nutritional status (p < 0.05) after home
care intervention. At end line evaluation, the proportion of severe acute
malnutrition in the experimental groups reduced significantly from 100% to
56,7% (p < 0.05)."
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Program Studi Ilmu Keperawatan FKIK, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library