Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akisa Gestantya
Abstrak :
Latar Belakang: Ekspresi emosi marah yang tidak dapat diregulasi dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif khususnya pada remaja, termasuk juga terlibat dalam tindak kriminal kekerasan. Intervensi manajemen marah kelompok akan bermanfaat bagi remaja untuk menurunkan emosi marah. Metode: Penelitian dilakukan secara quasi experimental. Tujuh remaja laki-laki berusia 17-19 tahun yang memiliki tingkat emosi marah dan perilaku kekerasan tinggi berdasarkan alat ukur Sikap Terhadap Kekerasan dan Buss-Perry Aggression Questionnaire subskala anger dan telah melakukan tindak kriminal kekerasan menjadi partisipan dalam penelitian ini. Mereka diberikan intervensi manajemen marah yang terdiri dari 5 sesi utama, dimana setiap pertemuan berkisar antara 60 hingga 90 menit yang dilakukan dengan jeda 3 sampai 7 hari setiap sesinya. Pada sesi terakhir dilakukan pengukuran post-test dan satu bulan kemudian dilakukan follow-up dengan menggunakan alat ukur yang sama. Hasil: Berdasarkan pengukuran kuantitatif didapatkan hasil yang inkonklusif. Melalui hasil pengukuran kualitatif diketahui bahwa seluruh partisipan mengalami penurunan emosi marah. Kesimpulan: Berdasarkan hasil pengukuran kualitatif, penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi manajemen marah kelompok berhasil mengatasi emosi marah pada remaja pelaku kekerasan di Lapas Anak Pria Tangerang. ...... Background: Anger that are failed to be expressed and regulated in a healthy way can often bring various negative consequences, including involvement in violent crime in adolescents. Group anger management is argued able to bring favorable outcomes, especially in reducing anger. Methods: This study is a quasi experiment. Seven adolescents aged 17 to 19 years old who have committed serious violent crimes and now serving prison-time at Lapas Anak Pria Tangerang participated in this study. All of them scored high in Attitude Towards Violence and high in anger from the measures of Buss-Perry Aggression Questionnaire anger subscale. They were all given a 5-session group anger management program, with each session lasting for 60 to 90 minutes. Each session also has a 3 to 7 days interval. Post-test were given in the last session and also a follow-up test 1 month after the last session, using measurements that were used in the pre-test. Result: The results from the quantitative measures are deemed to be inconclusive. However, qualitative measures showed that group anger management was effective in reducing anger for all participants. Conclusion: According to the qualitative results, this study showed that group anger management is effective in reducing anger in juvenile delinquents serving prison-time at Lapas Anak Pria Tangerang.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T42240
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fara
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran pekerja sosial dalam program rehabilitasi anak nakal di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pemilihan informannya adalah purposive sampling dengan informannya adalah koordinator pekerja sosial, pekerja sosial, dan juga penerima manfaat sebagai klien lembaga. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam setiap tahapan program rehabilitasi PSMP handayani, terdapat banyak peranan pekerja sosial yang membantu rehabilitasi anak nakal. Namun pekerja sosial di dalamnya masih kurang memadai. ......This study aimed to describe the role of social workers in rehabilitation programs in juvenile delinquents at Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani. The research approach used was qualitative descriptive research. Informant selection techniques is purposive sampling with the informant is the coordinator of social workers, social workers, and beneficiaries as well as the agency's clients. The results showed that in each phase of the rehabilitation program PSMP handayani, there are many roles of social workers who help rehabilitate juvenile delinquents. But social workers in it is still inadequate.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S45082
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sulistijaningsih
Abstrak :
The delinquent who are in the prison have right to get education and training according to their talents and competence.

In connection with the case above and to gat how far the guidence has an impact on change of delinquent behavior as long as they are doingtime in prison. ln this research, the researcher use qualitative method with social control paradigm especially social bounding theory by Travis Hirschi.

From the research we can conclude the connection between implementation guidance and wich is given tothe delinquent at bandung prison can change the children behavior as long as they are doing time in prison.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T 22297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Irawati
Abstrak :
Balai Pemasyarakatan disingkat Bapas, berada dalam ruang lingkup Dirjen Pemasyarakatan dan merupakan unit pelaksana. teknis dari Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM. Melaksanakan bimbingan yang di dalamnya dilaksanakan juga konseling bagi klien warga binaan pemasyarakatan adalah salah satu tugas pokok PK. Klien Bapas adalah individu yang mempunyai kewajiban menjalani pembimbingan, sebagai konsekuensi dari vonis yang diterima dari Pengadilan Negeri bagi pidana bersyarat atau konsekuensi dari pembinaan luar yang diterima oleh seorang narapidana setelah menjalani dua pertiga atau lebih masa pidananya di dalam lapas. Tujuan bimbingan klien adalah untuk membantu klien agar menjadi manusia seutuhnya, menguasai pengetahuan, sikap, nilai, dan kecakapan dasar yang diperlukan bagi kehidupannya di masyarakat. (Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Dengan demikian, tujuan bimbingan dititikberatkan pada kepribadian dan kemandirian klien untuk dapat menyesuaikan diri dan integrasi secara sehat di masyarakat. Dalam rangka membimbing kepribadian dan kemandirian klien yang menjadi tugas Dirjen Pemasyarakatan secara keseluruhan, seyogyanya proses bimbingan klien berlangsung sebagai suatu proses pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan YME, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 31 dan 32 Tahun 1999. Namun, dalam pelaksanaannya menggambarkan kurangnya pemahaman, keterampilan, dan sikap positif PK dalam bimbingan dan konseling yang didasarkan pada penerapan orientasi psikologi, sehingga proses bimbingan (dan konseling) kurang mendukung bagi tercapainya tujuan pembimbingan klien sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ada dua faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman, keterampilan, dan sikap positif PK dalam melaksanakan bimbingan (dan konseling), yaitu : 1) Faktor internal, bersumber dari diri PK sendiri yang dalam hal ini berupa intelegensi. 2) Faktor eksternal, bersumber dari lingkungan yang didalamnya terdapat juga orang lain atau model Atas dasar ini, masalah yang ada pada PK dalam melaksanakan bimbingan dan konseling dijelaskan melalui Teori Belajar sosial (Social Learning T henry) dari Albert Bandura (1986). Menurut Teori Belajar Sosial, faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kognitif) Serta model yang dapat ditiru atau imitasi, adalah merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku. Untuk meningkatkan pemahaman seseorang diperlukan adanya proses belajar. Oleh karena itu, program Pelatihan Bimbingan dan Konseling Bagi PK diusulkan untuk dapat dilaksanakan selain berorientasi pada kaidah hukum, untuk kesempurnaannya perlu mengacu pada proses-proses psikologis sesuai teori di atas. Dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, keterampilan, dan sikap positif PK dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Kusuma
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan melihat gambaran prasangka diantara siswa yang terlibat tawuran, pada dua sekolah yang dikelola oleh organisasi keagamaan yang berbeda. Menurut Baron & Byrne (1994), prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan pada anggota-anggota suatu kelompok tertentu, dikarenakan keanggotaannya pada kelompok tersebut. Hogg dan Abrams (1988) menyatakan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk membagi dunia sosialnya menjadi dua kategori Us ^n Them, dan memandang orang-orang di sekitamya sebagai bagian dari kelompoknya {in-group) atau kelompok lain {out-group) dan inilah yang menjadi awal timbulnya sikap prasangka terhadap kelompok out-group. Selanjutnya menurut Myers (1988) prasangka memiliki tiga komponen yaitu kognitif, terdiri dari keyakinan stereotip tentang kelompok outgroup-^ afektif, dimana perasaan emosional negatif mengikuti reaksi kognitif; dan behaviour tendency, yaitu adanya kecenderungan untuk bertingkah laku negatif terhadap target prasangkanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif untuk memahami prasangka-prasangka yang ada secara lebih mendalam serta lebih terperinci sebagaimana subyek mengalaminya di dalam konteks mereka. Subyek penelitian ini adalah 17 orang siswa dari dua sekolah yang dikelola organisasi keagamaan yang berbeda, berlokasi berdekatan dan yang saling bermusuhan serta sering terlibat tawuran. Metode pengambilan data yang utama menggunakan wawancara mendalam, serta observasi sebagai metode penunjang. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam permusuhan ini para siswa dari masing-masing sekolah memiliki prasangka terhadap kelompok siswa dari sekolah musuhnya yang berkembang melalui proses kategoii sosial berdasarkan agama yaitu kelompok siswa dan sekolah-sekolah beragama Islam dan beragama Kristen/Katolik, serta accentuation effect dan in-groupfavouritism seperti misainya pembedaan antara kelompoknya yang berkeinginan imtuk damai sedan^an kelompok musuh tidak ingin berdamai dan kelompoknya tidak pemah membawa senjata tajam sedangkan pihak musuh selalu membawa senjata tajam. Prasangka-prasangka siswa SMU X adalah bahwa: siswa musuh membenci dan melakukan penghinaan terhadap agama Islam, siswa musuh mayoritas bersuku Ambon, sekolah musuh memaksakan agamanya terhadap siswa non-Kristen, siswa musuh menggunakan julukan Israel karena menyamakan keberadaannya dengan negara Israel, membawa senjata tajam dalam tawuran, menggunakan susuk agar kebal jika dilukai, berperilaku sadis terhadap lawan tawurannya, dibantu pihak lain dalam tawuran (alumni, siswa beberapa sekolah musuh, anak asrama di depan SMK Y.'orang kampung' beberapa daerah, siswa SMP Y), didukung pihak polisi dan media koran, serta siswa musuh tidak berkeinginan berdamai. Prasangka-prasangka siswa SMK Y adalah bahwa: siswa musuh membenci agama Kristen/Katolik dan suku Ambon, melakukan penghinaan terhadap agama Kristen/Katolik, menggunakan julukan Doski berkaitan dengan agamanya, mempunyai reputasi buruk di perusahaan tempatnya praktek kerja lapangan atau bekeija, melakukan tekanan terhadap siswa baru yang berasal dari SMP Y, menuduh SMK Y membakar A1 Quran, sengaja mencari musuh untuk lawan tawurannya, hanya berani memulai tawuran jika bequmlah banyak, membawa senjata tajam dalam tawuran, berperilaku sadis (sampai membunuh) terhapda lawan tawurannya, guru di sekolah musuh menjadi provokator dalam tawuran, siswa musuh dibantu pihak lain dalam tawuran ('orang kampung' beberapa daerah, siswa SMP musuh, siswa beberapa sekolah musuh), didukung pihak polisi, serta siswa musuh tidak berkeinginan untuk berdamai.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S2840
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Ismoyo Y.
Jakarta : Nisata Mitra Sejati, 2019
344.032 76 GAL b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiatus Solikhah
Abstrak :
Perkelahian pelajar atau yang sering dl sebut tawuran merupakan salah satu bentuk kenakalan pelajar yang ada sejak tahun 70-an. Masalah tawuran sekarang ini telah berkembang menjadi iebih kompleks ditandai dengan peningkatan yang terjadi balk secara kualitas maupun kuantitas. Kegagalan program yang dilakukan selama ini disebabkan adanya fokus penanganan pada individu pelajar yang dianggap bermasalah karena terlibat tawuran. Melihat kenyataan di lapangan bahwa tawuran merupakan bentuk perilaku kelompok yang memiliki dinamika berbeda dengan perilaku individu. Berdasar asumsi diatas telah dilakukan penelitian lapangan yang dilakukan Winarini Mansoer (1998). Penelitian tersebut menjadi dasar bagi Kelompok Kerja (Pokja) Penanggulangan Tawuran Depdikbud untuk mengevaluasi dan mencari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tawuran. Untuk memberi gambaran komprehensif, penelitian ini akan melihat pelajar yang terlibat dan tidak terlibat tawuran. Bagaimana mereka memandang identitas sosialnya berkaitan dengan sekolahnya sebagai "Sekolah Tawuran ", alasan apa yang mendorong mereka terlibat atau tidak terlibat tawuran. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana pelajar yang tidak terlibat tawuran dapat tetap menghindarkan dari keterlibatan dalam tawuran. Hasil ini diharapkan akan memberi masukan yang konkret untuk mengatasi tawuran berdasarkan pengalaman dari pelajar yang tidak terlibat tawuran. Menurut Morse (1996), penelitian kualitatif dapat digabung pendekatan kuantitatif dengan melihat frekuensi subyek yang menjawab. Penelitian ini dilakukan dengan 40 subyek dari 4 SLTA yang pelajarnya memiliki tradisi tawuran, yaitu 3 SLTA yang ada di kawasan Budi Utomo dan 1 SMU yang merupakan "musuhnya". Teknik pengambilan sampling menggunakan Purposive Sampling dengan Incidental Sampling, sekolah dan subyek dipilih dengan kriiteria tertentu dan melihat ketermudahan subyek yang ditemui dan memenuhi kriteria. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah Wawancara Semi Terstruktur yang dilengkapi dengan observasi tidak terstruktur perilaku pelajar dalam Basis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pandangan stereotipe yang berkaitan dengan tawuran yang diakui pelajar yang terlibat dan tidak terlibat tawuran di sekolah-sekolah Boedoet. Hasil ini dipertegas dengan pandangan yang same pada sekolah "musuh". Hanya bedanya, pelajar yang terlibat tawuran menganggap stereotipe itu sebagai bagian dari keanggotaannya dalam sekolah Boedoet. Sedangkan pelajar yang tidak tawuran menganggap mereka berhak tidak ikut tawuran, walaupun mereka mengakui bagian dari sekolah yang memiliki Identitas sebagai "Sekolah Tawuran". Semua pelajar dalam penelitian ini mengakui adanya kecemasan adanya rasa aman yang terancam selama berangkat dan pulang sekolah. Untuk mendapatkan rasa aman tersebut, sebagian pelajar memilih ikut Basis dan sebagian dengan menghindari Basis. Alasan pelajar tergabung dalam Basis untuk mendapatkan rasa aman, rasa kebersamaan, rasa solidaritas ke teman, adanya keinginan menjaga dan meneruskan tradisi Basis, dan mencari teman. Alasan mereka terlibat tawuran adalah karena diserang "musuh", membela nama baik sekolah dan rasa solider dengan teman. Alasan pelajar tidak terlibat tawuran adalah adanya keyakinan pribadi yang kuat bahwa tawuran tidak baik, menyusahkan diri dan OT. Adanya pengalaman traumatis, kontrol dari orang tua, dan jarak rumah dekat dapat mendukung pelajar tetap tidak terlibat tawuran. Pelajar yang tidak tawuran intinya karena mereka menyakini tawuran sebagai sesuatu yang negatif dan mendorong mereka menghindari tawuran dengan berbagai strategi yang berbeda pada tiap pelajar disesuaikan dengan kondisi mereka saat itu. Beberapa kelompok sosial yang menjadi pendukung mereka adalah OT, OSIS, Rohis, teman bermain dan klub olah raga. Faktor lain yang mendukung pelajar terlibat atau tidak terlibat tawuran adalah ada tidaknya kegiatan pada jam rawan tawuran. Studi ini sebaiknya dijadikan dasar untuk melakukan studi kuantitaif pada banyak pelajar yang tidak terlibat tawuran di sekolah yang pelajarnya memiliki tradisi tawuran. Sehingga hasilnya dapat digeneralisasikan untuk pelajar yang tidak terlibat tawuran di sekolah-sekolah yang memiliki tradisi tawuran. Melihat kuatnya persepsi pelajar tentang rasa aman yang terancam selama perjalanan berangkat dan pulang sekolah, dan melihat kuatnya keyakinan pelajar yang tidak terlibat tawuran tentang efek negatif tawuran, perlu kiranya segera dilakukan pelatihan untuk megubah pemikiran kognitif pelajar yang tawuran. Melihat karakteristik pelajar yang dekat dengan Basis, alangkah baiknya kegiatan tersebut melibatkan Basis sebagai kelompok sosial pelajar. Untuk membantu program penanggulangan yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang motivasi keterlibatan alumni yang dari penelitian ini sangat berperan melestarikan tradisi tawuran di sekolah Budi Utomo. Dengan melibatkan mereka dan mengetahui proses dokrinasi yang dilakukannya, akan membantu untuk mengurangi dan mencegah tawuran. Mengingat makin kompleknya masalah tawuran, semua penanggulangan tawuran tidak akan berhasil tanpa kerjasama semua pihak yang terkait.
Depok: Universitas Indonesia, 1999
S2692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraini Catur Kisami
Abstrak :
ABSTRACT
Fenomena tawuran merupakan suatu tindakan yang termasuk dalam kategori perilaku agresif yang dapat membahayakan keselamatan diri baik bagi individu yang melakukan atau bagi orang lain disekitarnya. Fenomena ini kerap terjadi di permukiman apalagi permukiman kumuh padat yang kondisinya serba marjinal. Fenomena ini biasa dilakukan oleh remaja yang sedang berada dalam masa pencarian jati diri, penuh tekanan dan kerap dilanda stress. Dibutuhkan suatu keterampilan dalam diri individu untuk mencegah atau tidak dilakukannya tindakan tersebut. Salah satu kemampuan atau keterampilan tersebut ialah keterampilan sosial dalam aspek perilaku asertif. Perilaku asertif merupakan suatu perilaku yang didominasi oleh kemampuan-kemampuan yang membuat individu dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku asertif remaja yang pernah melakukan perilaku agresi yaitu tawuran di RW 16 Kelurahan Kapuk Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini mejelaskan bahwa mereka yang pernah melakukan tindak agresif tawuran masih memiliki perilaku asertif yakni berupa sikap keterbukaan, menghargai, menolak sesuatu yang tidak rasional dan mengekspresikan kekecewaan atau kemarahan di situasi atau kondisi yang tepat.
ABSTRACT
The phenomenon of brawl is an action that is included in the category of aggressive behavior that may endanger the safety of themselves better for individuals who do or for others around him. This phenomenon often occurs in the settlements let alone the slums of the solid condition all round marginal. This phenomenon is commonly done by teenagers who are in the search of identity, full of pressure and often hit by stress. It takes a skill in the individual to prevent or did not commit such actions. One of the abilities or skills is social skills in the aspect of assertive behavior. Assertive behavior is a behavior which is dominated by the ability the ability that makes the individual can show proper behavior in a situation that is expected. This study aims to describe the assertive behavior of adolescents who ever did the behavior of aggression, namely the brawl at the RW 16 Kelurahan Kapuk Cengkareng, West Jakarta. This research is qualitative research with descriptive research type. The results of this study explain that they ever do follow aggressive brawl still has assertive behavior.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Wahyudi
Yogyakarta: Genta Publishing, 2011
345.081 SET i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: BKN-KKA, 1972
364.36 BAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>