Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Haryanto
"Relief gana mulai muncul pada candi-candi masa klasik tua di Jawa Tengah, seperti Dieng dan Gedong Songo. Pada candi candi tertua di Jawa Tengah ini, gana hanya muncul sangat sedikit. Penggambaran relief gana mulai berkembang pesat pada candi_-candi di Jawa Tengah selatan sekitar abad ke-8-10 M. Ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, tradisi penggambaran gana dalam bentuk relief masih juga muncul meski dengan frekuensi yang tidak terlalu banyak. Gana, tidak hanya digambarkan dalam bentuk relief di candi-candi melainkan dipahatkan pula pada yoni, dengan posisi menyangga carat Yoni. Berdasarkan bahan dasar pembuatannya, relief gana ada yang dibuat dari batu dan ada pula dari tanah liat. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analisis. Relief gana ditelaah dari segi variasi bentuk hingga makna penggambarannya. Penyelusuran relief gana di Jawa Timur meliputi l3 candi di Jawa Timur, relief gana yang ada di Museum serta relief gana pada yoni yang masih in sitar, di Jebuk, Kediri, Sementara sebagai data banding, sekitar 15 candi di yogyakarta dan Magelang juga dikunjungi. Penelusuran makna penggambaran gana meliputi literatur tentang candi-candi di India, naskah Jawa kuna, prasasti dan literatur sejarah eni dan kebudayaan Jawa.
Hasil analisis menunjukkan bahwa relief gana pada masa klasik tua di Jawa Tengah, umumnya digambarkan dengan sikap khas, yakni posisi tangan menyangga, naturalis, ekspresi biasa atau tersenyum, alat kelamin tidak diperlihatkan. Pada masa kemudian, yakni klasik muda di Jawa Timur. Frekuensi penggambaran gana pada candi tidak sebanyak di Jawa Tengah. Relief gana juga digambarkan berbeda dengan masa Jawa Tengah, yakni dengan ciri khas, penggambaran relief secara kaku dan pipih dengan sudut pandang meyamping, ekspresi menyeramkan dan alas kelamin yang selalu diperlihatkan. Bentuk relief gana yang pipih dan kaku di Jawa Timur merupakan pengaruh dari seni wayang kulit yang tengah berkembang pesat. Agaknya pengaruh seni Indonesia lama sangat kuat mempengaruhi tradisi penggambaran relief. Pada relief gana, selain digambarkan kaku dan pipih, juga digambarkan ekspresi wajah yang menyeramkan. Tradisi penggambaran wajah gana yang menyeramkan dan alat kelamin yang diperlihatkan, tidak popular di India maupun di Jawa Tengah. Ekspresi wajah yang scram dan penggambaran alat kelamin, mengingatkan pada tradisi prasejarah yang menganggap bahwa wajah seram dan alat kelamin merupakan simbol penolak bala yang utama, terutama mengusir roh-roh jahat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S11506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Harijanto
"Penulisan mengenai pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, yang penelitiannya dipusatkan daerah perkebunan Be_suki, dimulai dari awal munculnya sistem buruh kontrak yang sejalan dengan berkembangnya perusahaan perkebunan swasta di Hindia Belanda. Mengingat bahwa sejarah adalah suatu proses, maka pemogokan buruh perkebunan tahun 1950 adalah suatu proses panjang yang dialami oleh buruh perkebunan un_tuk memperjuangkan nasibnya. Maka penulisan pemogokan buruh perkebunan tahun 1950, pembahasannya ditarik ke belakang yaitu mulai munculnya perusahaan perkebunan swasta di Hin_dia Belanda. Kemudian diikuti dengan perkembangan gerakan buruh perkebunan dan gerakan buruh lainnya sampai munculnya Serikat Buruh Perkebunaa Republik Indonesia, hingga terja_di pemogokan buruh perkebunan tahun 1950. Tujuannya adalah untuk mengetahui sebab yang paling mendasar timbulnya pemo_gokan buruh perkebunan terhadap perusahaan asing. Penelitian data dilakukan di perpustakaan dan Arsip Nasional di Jakarta dengan mengadakan interpretasi sumber Selain itu juga diadakan peninj auan ke lokasi peris tiwa pe_mogokan di daerah Jember ( sekarang PTP XXVI di Jelbuk dan PTP XXVII di Jember ). Kesimpulannya, bahwa pengalaman buruh perkebunan di jaman Hindia Belanda adalah bernasib buruk dan hidup tidak layak. Dan perjuangan untuk meningkatkan taraf hidup yang layak selalu tidak berhasil, karena pengusaha perkebunan mendapat perlindungan dari pemerintah kolonial baik yang berupa poenale sanctie ataupun undang-undang hukum pidana dari artikel 161. his yang membatasi gerakan buruh. Maka se_telah Indonesia Merdeka kaum buruh tidak menyenangi pengu_saha asing sebagai sisa-sisa kolonial. Namun buruh perke_bunan harus bekerja kembali pada pengusaha asing sisa-sisa kolonial, karena pemerintah Republik menerima perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949. Kaum buruh perkebunan harus menerima upah yang rendah dari pengusaha asing, sehingga mereka kembali hidup tidak layak seperti jaman kolonial. Ma_ka dalam diri kaum buruh perkebunan tumbuh sifat nasionalisme yang dinyatakan melalui sikap anti perusahaan asing sisa_-sisa kolonial yang masih memberi upah terlalu rendah di ne_gara Indonesia yang sudah merdeka. Jadi sifat nasionalisme dan kebutuhan sosial ekonomi yang mendasari terjadinya pe_mogokan buruh perkebunan tahun 1950."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore; New York: Oxford University Press, 1993
330.959 8 BAL (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suwondo Arief
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999
338.959 82 SUW p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suwondo Arief
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999
338.959 82 SUW p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suradi H.P.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1991
899.22 SUR b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Anugrahwati
"ABSTRAK
Pembentukan Negara Federal Jawa Timur (NDT), pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari politik devide et impera. Usaha memecah belah telah dilakukan oleh Van Mook melalui pembentukan Negara Indonesia Timur dan kemudian menyusul pembentukan kesatuan negara Kalimantan Barat. Setelah Agresi Militer Belanda I, beberapa daerah RI berha_sil dikuasai, di antaranya daerah Jawa Timur yang meliputi Keresidenan Besuki, sebagian besar Keresidenan Surabaya dan Malang.
Van for Plas mengira akan mudah saja menjadikan Ja_wa Timur sebagai negara bagian. Usaha-usaha awal melalui pembentukan Panitia Persiapan Penentuan Kedudukan Jawa Timur pada tanggal 2 Januari 1948 di bawah pimpinan Ch. Karimoen, pembentukan Dewan Islam Jawa Timur yang diketuai K.H. Noerjasin, kemudian PRDT pimpinan Darsosoekoer, GRDT dan Persatuan Warung Indonesia mengalami kegagalan.
Dengan berdasarkan Ordonansi tanggal 13 Agustus ta_hun 1948 ( Stbl. No, 179 ) dilakukanlah pembentukan Dewan-Dewan Kabupaten yang dipilih secara demokratis. Van Der Plas mulai melakukan sandiwara politiknya. Melalui Dewan Kabupaten akhirnya terselenggaralah Konferensi Bondowoso pada tanggal 16 Nopember 1948-3 Desember 1948 yang menghasilkan EDT dengan wali negaranya R.T.P. Achmad Koesoemonegoro. Pihak oposisi seperti Mr. Indra Koesoema, Dr. Dradjad, Djaswadi S, S. Bahreisj, Dr. Hidayat dan lainnya, harus menerima kekalahannya karena adanya blokade suara yang kuat dari pihak pro-NDT.
Ternyata kehendak rakyat juga yang berbicara, berita Pengakuan Kedaulatan oleh Belanda yang berarti penaklukan kekuatan senjata Belanda dari bumi Indonesia telah menyulut keberanian rakyat. Mosi-mosi pembubaran NDT bermuncul_an. Rakyat berdemonstrasi dan serempak memutuskan hubungan dengan pemerintah NDT. Pada tanggal 19 Januari 1950, wali negara NDT menyerahkan mandatnya. Untuk mengatasi keadaan, dibentuk Komisi Nasionalisasi yang berkewajiban dalam wak_tu singkat meninjau susunan jawatan-jawatan dan merasiona_lisasi seluruh pegawai. Akhirnya berdasarkan pasal 139 UUDS RIS maka pada tanggal 25 Pebruari 1950 diadakanlan Konferensi Pembubaran NDT, bertempat di Gedung Parlemen NDT. Maka usaha apapun yang dilakukan oleh Belanda untuk memecah_belah rakyat dan kepulauan Indonesia akan berakhir dengan kegagalan.

"
1990
S12586
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abi Kusno
"Penelitian ini mengkaji pemanfaatan hewan Bovidae oleh manusia sebagai bahan pemenuh kebutuhan konsumsi dan bahan pembuatan alat tulang. Sisa-sisa Bovidae merupakan temuan yang umum terdapat dalam situs arkeologi, khususnya situs hunian. Hal ini memberikan satu anggapan bahwa hewan ini merupakan salah sumber makanan yang menjadi pilihan manusia masa lalu untuk dimanfaatkan. Usaha untuk menginterpretasi pemanfaatan Bovidae oleh manusia masa lalu di Song Terus dilakukan dengan beberapa analisis. Tahapan analisis tersebut terdiri dari analisis ekofaktual yang mengamati aspek fisik tulang dan gigi Bovidae. Analisis tersebut menggunakan 2 satuan analisis, yaitu analisis taksonomik Bovidae untuk memperoleh gambaran mengenai klasifikasi taksonomik, gambaran populasi, frekuensi dan distribusi hewan per jenis; dan analisis non-taksonomik untuk menggambarkan ketidakutuhan sisa Bovidac yang nienggambarkan bentuk-bentuk pecahan, jejak-jejak pengolahan, dan indikasi terbakar bertujuan untuk memperoleh gambaran ntenganai pemanfaatan Bovidac sebagai bahan konsumsi. Selanjutnya dilakukan analisis artefaktual bertujuan untuk tnengetaltui bagian-bagian tulang apa saja yang digunakan sebagai alat. Dan terakhir yaitu analisis kontekstual bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai hubungan antara temuan Bovidae dengan lapisan tanah tempat terdepositnya dan dengan temuan arkeologis lainnya. Berdasarkan temuan gigi, Bovidae di situs Song Terus terdiri dari tiga genus, yaitu Bos, Bubalus, dan Duboisia santeng. Hewan jenis Bos dan Bubalus terdapat di dua lapisan, Keplek dan Tabuhan, sedangkan hewan jenis Duboisia santeng hanya terdapat di Lapisan Tabuhan saja. Pemanfaatan Bovidae untuk kebutuhan konsumsi terlihat dengan ditemukannya tulang-tulang Bovidac yang mengindikasikan ciri-ciri pecah segar, adanya jejak pukul, jejak bakar, dan goresan atau striasi. Bovidae dimanfaatkan oleh manusia masa lalu tidak hanya untuk diambil daging dan sumsumnya tetapi sisanya, berupa tulang, juga dimanfaatkan sebagai alat. Hal ini terlihat dengan diteinukannya tulang-tulang panjang dan pendek dengan ciri-ciri adanya goresan, perimping, kilapan, dan perbedaan permukaan tulang akibat aktivitas pembuatan alas. Interpretasi terhadap keadaan lingkungan pada masa lalu di sekitar gua berdasarkan temuan Bovidae dari dua lapisan, Keplek dan Tabultan, mengindikasikan telah terjadi perubahan lingkungan dari masa Pleistosen (Lapisan Tabuhan) ke masa Holosen (Lapisan Keplek). Keadaan lingkungan pada masa Pleistosen lebih merupakan padang rumput yang luas dengan hutan terbuka, sedangkan pada masa Hosen lingkungan tersebut telah digantikan dengan hutan hujan tropis yang merupakan hutan dengan kerapatan tanaman yang tinggi"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S11441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6   >>