Ditemukan 64 dokumen yang sesuai dengan query
Aliana Yusuf
Abstrak :
ABSTRAK
Kepentingan ekonomi Jepang di Hindia Belanda khususnya Jawa pada masa depresi ekonomi tahun 1929 hingga menjelang Perang Dunia Il belumlah banyak ditulis oleh sejarawan Indonesia. Padahal kepentingan ekonomi Jepang tersebut, pada masa itu mempunyai peranan yang panting dalam perekonomian di Hindia Belanda.
Pedagang sebagai salah satu instrumen yang digunakan oleh penetrasi ekonomi Jepang di Jawa memiliki peranan yang besar dalam hal ini adalah pemilik toko Jepang. Toko sebagai pengecer (retail) dalam sistem ekonomi merupakan ujung tombak bagi pemasaran barang-barang industri suatu negara. Demikian juga halnya dengan toko-toko Jepang. Ketika itu Jepang sendirt baru tumbuh menjadi salah satu negara industri. Oleh sebab itu, toko Jepang memiliki peran panting dalam memasarkan barang-barang industri Jepang ke luar negert. Surabaya merupakan salah satu kota pelabuhan di pantai utara Jawa yang menjadi pusat kegiatan ekonomi Jepang di Jawa.
Depresi ekonomi dan disusul oleh kebijakan pemerintah Jepang untuk mendumping produk-produknya merupakan latar belakang perkembangan toko-toko Jepang di Surabaya sebagai kota pelabuhan. Salah satu faktor perkembangan toko-toko Jepang adalah strategi pemasaran. Dalam kondisi depresi ekonomi diperlukan strategi pemasaran yang tepat bukan hanya untuk mempertahankan toko-toko Jepang, namun lebih dari itu, untuk tetap dapat memajukan perkembangan toko-toko Jepang di Surabaya.
Harga barang-barang yang bersaing dan kuaiitas barang yang baik, pelayanan yang memuaskan pelanggan, analisa pemasaran dan terbentuknya jaringan distribusi (keiretsu) serta iklan sebagai slat promosi merupakan strategi pemasaran yang dilakukan oleh pemilik toko Jepang. Faktor lain dari perkembangan toko Jepang adalah dukungan pemerintah Jepang, dan organisasi-organisasi bisnis Jepang.
Persaingan antara pemilik toko terutama toko milik etnis Eropa, Cina, dan Pribumi sendiri merupakan salah sate nuansa yang terdapat dalam perkembangan toko Jepang. Selain itu tekanan-tekanan pemerintah kolonial Belanda melalui kebijakan-kebijakannya terutama untuk menghambat perkembangan ekonomi Jepang di Jawa.
2001
S12136
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
A. Nahri Mansyur
Abstrak :
ABSTRAK
Pada masa Perang Dunia I (1914-1918) dan pasca Perang Dunia I, Jepang mengalami masa booming perekonomian yang tinggl. Memasuki dekade 1920--an, perekonomian Jepang mulai memasuki fase yang sulit, karena sepanjang dekade 1920-an terdapat banyak krisis perekonomian yang melanda negara tersebut, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Memasuki dekade 1930-an, krisis yang terjadi di Jepang mencapai puncaknya ketika dunia dilanda depresi. Untuk melepaskan diri dari pengaruh buruk yang ditimbulkan depresi tersebut, pemerintah Jepang menerapkan serangkaian kebijakan perekonomian yang memfasilitasi dunia usaha dalam negerinya. Hal ini dapat dikatakain unik, karena ditengah depresi yang melanda, Jepang justeru semakin meningkatkan kegiatan perekonomiannya. Kebijakan-kebijakan perekonomian yang diterapkan Jepang ini mulai menampakkan hasilnya pada tahun 1933-1934 dan tahun-tahun setelahnya, dimana Jepang merupakan negara yang paling cepat bangkit dari pengaruh buruk depresi dunia, bahkan jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya. Bagaimanapun juga, dapat dikatakan bahwa keberhasilan Jepang dalam merekonstruksi perelconomiannya yang 'hancur' akibat depresi diakibatkan peranan pemerintah Jepang yang mempunyai andil yang sangat besar.
1998
S13761
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Vera Rahmawati
Abstrak :
Para pekerja wanita di Jepang sering mengalami perlakuan tidak adil di perusahaan bila dibandingkan dengan pekerja prianya. Hai ini disebabkan karena perusahaan tidak memanfaatkan pekerja wanita sebagai pekerja inti di perusahaannya, khususnya di perusahaan besar. Mereka hanya berfungsi sebagai tenaga pembantu saja. Hal ini dikarenakan masa kerja mereka yang relatif singkat. Karena masa kerja yang singkat inilah maka mereka otomatis tidak dimasukkan ke dalam sistem manajemen perusahaan yang menekankan pada sistem bekerja seumur hidup (shuushin koyou) dan sistem senioritas (nenkou joretsu).Perusahaan mempekerjakan pekerjanya dari perekrutan hingga masa pensiun. Sedangkan gaji dan promosi yang merupakan keuntungan yang bisa pekerja peroleh dari sistem bekerja seumur hidup dipraktekkan melalui sistem senioritas. Seiring dengan naiknya umur dan jangka waktu bekerja, pekerja dapat menikmati gaji yang lebih tinggi, dan setelah 10 tahun-an pekerja juga dapat mengikuti ujian promosi ke jenjang yang lebih tinggi.Walaupun begitu pekerja wanita tidak dapat mengikuti jalur kerja yang telah diterapkan oleh perusahaan tersebut. Banyak dari pekerja wanita yang keluar dari perusahaan dalam usia muda karena akan menikah atau karena harus membesarkan anaknya. Hal seperti ini menjadi stereotype pekerja wanita Jepang. Sehingga pihak perusahaan hanya mempekerjakan wanita sebagai tenaga pembantu saja.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13966
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Satrio Astungkoro Anindyajati
Abstrak :
Orang Jepang terkenal karena mereka memiliki etos kerja yang sangat baik. Mereka sangat loyal dan memiliki tingkat komitmen yang linggi terhadap pekerjaan dan perusahaan tempat mereka bekerja. Etos kerja masyarakat Jepang terbentuk dari budaya korporasi dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Shuushin Koyou dan Nenkou Joretsu adalah bagian penting dari budaya korporasi Jepang yang mencerminkan hubungan komitmen antara perusahaan dan pegawai. Perusahaan memiliki komitmen untuk menjamin kesehjateraan para pegawai, sementara para pegawai memberikan kesetiaannya terhadap perusahaan sebagai timbal baliknya.
Pada awal tahun 90-an, Jepang mengalami krisis ekonomi. Agar dapat bertahan dari krisis tersebut, banyak perusahaan yang terpaksa melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi. Banyak pegawai yang diberhentikan dari pekerjaannya dengan alasan efisiensi dan efektifitas kerja perusahaan. Perusahaan tidak dapat lagi memberikan komitmen terhadap pegawai sebesar pada saat masa sebelum krisis. Pada masa inilah budaya korporasi Jepang mulai mengalami perubahan. Di saat yang sama, jumlah orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan menghidupi diri mereka dengan bekerja sampingan atau temporer semakin meningkat. Mereka dikenal dengan sebutan furiitaa. Mereka sering berpindah-pindah kerja, dan masyarakat menganggap mereka tidak memiliki komitmen dan loyalitas terhadap pekerjaan dan perusahaan mereka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan budaya korporasi akibat krisis ekonomi tersebut ikut mempengaruhi etos kerja mereka. Berkurangnya kesempatan memiliki pekerjaan tetap membuat mereka terpaksa hidup dengan pola kerja yang temporer dan berpindah-pindah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13878
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Allen, G.C.
London: Oxford University Press, 1966
330.952 ALL j
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Nakamura, Takafusa
[Place of publication not identified]: Kementerian Luar Negeri Jepang, 1985
338.952 NAK e
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
650.52 JAP
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Kedutaan Besar Jepang, 1989
952 KED j (3)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Broadbridge, Seymour
London: Frank Cass, 1976
338.952 BRO i
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Dempster, Prue
London: Methuen & Co., 1971
915.2 DEM j
Buku Teks Universitas Indonesia Library