Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Symmons, Clive R.
London: Martinus Nijhoff, 1979
341.448 SYM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Setyanto
Abstrak :
Tesis ini dilatarbelakangi oleh sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara yaitu antara Indonesia dan Malaysia terhadap suatu wilayah yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan wilayah. Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Pada bulan Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan untuk memberikan hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori kebijakan publik, teori kebijakan politik luar negeri dan teori geopolitik. Tesis ini lebih menekankan pada teori kebijakan politik luar negeri Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang menerapkan pula metode historis dan analisis interpretatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa buku, surat kabar, majalah, website dan sebagainya yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Data-data yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan, digenerelasikan, dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada. Perundingan bilateral ditempuh sebagai upaya penyelesaian melalui jalur politik diplomasi, menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ketidakefektifan dan kebuntuan perundingan bilateral ini membuka jalan bagi penyelesaian melalui jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court Justice).Penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court Justice) adalah jalan damai yang ditempuh oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang sudah cukup lama. Kegagalan formulasi kebijakan Pemerintah Indonesia mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan dan banyaknya wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia, ke depan harus mampu dikelola tidak hanya melalui pendekatan pertahanan dan keamanan namun juga menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.
This thesis are directed by dispute on the Sipadan-Ligitan islands was a conflict derived from dispute between two countries, there are Indonesia and Malaysia over the territory, in which the claim on the territory was based on the intention of gaining benefits and nation reinforcement through territorial extension. Indonesia and Malaysia faced this territorial dispute for 33 years, since year 1969 up to year 2002. In December 2002, the International Court Justice decided to give the ownership right of the Sipadan -Ligitan islands to Malaysia. As the theoritical basis, this research used public policy theory, foreign policy theory and geopolitical theory. This thesis more press up that Indonesian foreign policy theory. The method of data collection used in this research was the library research method. This research, the researcher also used equipment for collecting the documentation data by searching for data about items or variables related to the main problems from books, newspaper, magazine, websites and the others. The data that supported the research was conceptualized, generalized and analyzed using the available frameworks. The bilateral negotiation taken as an effort to settle problem through diplomatic course became uneffective when both Indonesia and Malaysia had an opposing intention that could not be compromised. The uneffectiveness and dead lock of the bilateral negotiation had given way to the settlement of the dispute through the law course by the International Court Justice. The settlement to International Court Justice was a peace way taken by both countries to solve their long term problem Sipadan-Ligitan islands. The failed of formulating policy Indonesian Government resulting the release Sipadan- Ligitan islands. Indonesia is archipilagic countries and has many territorial border that, in the future, should be good managed, not only through defense and security approaches but also through those of economics development of the territories.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T32589
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan, 2003
341.44 MOC k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochtar Kusumaatmadja
Bandung: Alumni, 2003
R 341.44 MOC k (1)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Fatima Putri
Abstrak :
ABSTRAK
The 1982 United Nations on the Law of the Sea memberikan diferensiasi terkait dengan fitur-fitur maritim di dalamnya. Walaupun demikian, masih terdapat perdebatan terkait dengan status hukum dari fitur-fitur maritim tersebut, khususnya terkait dengan pembedaan golongan Pulau serta Batuan. Penggolongan ini penting karena golongan tersebut mempengaruhi titel dari suatu fitur maritim yang bersangkutan terhadap zona maritim. UNCLOS memberikan hak atas Pulau memiliki hak atas seluruh zona maritim, sementara Batuan hanya memiliki hak atas laut teritorial. Skripsi ini kemudian melaksanakan analisis terhadap berbagai fitur maritim untuk menyimpulkan apakah suatu fitur maritim digolongkan sebagai pulau dengan menggunakan standar elemen sosio-ekonomi yang dijelaskan dalam putusan Laut China Selatan, dimana diantaranya dalam kasus dimana terjadi fenomena island-building. Simpulan dari permasalahan tersebut ialah walaupun perkembangan teknologi telah signifikan sehingga dapat dilaksanakan modifikasi terhadap fitur maritim asli, namun hal ini tidak mempengaruhi status hukum serta titel dari zona maritim yang bersangkutan.
ABSTRAK
The 1982 United Nations on the Law of the Sea gives differentiation on offshore maritime features. However, problem arises on the legal status of those features, particularly on the matter of island and rocks under the regime of island. This is caused by the fact that differentiation between islands and rocks have a different effects on the feature rsquo s maritime zone. The 1982 United Nations on the Law of the Sea gives islands full entitlement to all maritime zone, however, rocks are only entitled to the territorial sea. This thesis analyzes on various disputed maritime features to conclude whether a maritime feature is an island based upon the socio economic element of an island as explained in the recent decision of the South China Sea Arbitration, particularly on the case of island building and land reclamation activity. The conclusion is that modification on maritime feature can be extensive and affecting the ability of the maritime feature to sustain human habitation, however that does not change the legal status and maritime zone entitlement of the feature.
2017
S67823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aristyo Rizka Darmawan
Abstrak :
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki garis pantai yang sangat panjang dan berbatasan dengan sepuluh negara. Hal tersebut menyebabkan delimitasi batas maritim merupakan hal yang penting bagi Indonesia. Namun demikian proses delimitasi batas maritim seringkali membutuhkan waktu yang sangat lama hingga ber tahun-tahun. Permasalahan yang sering timbul ketika proses negosiasi delimitasi batas maritim sedang berlangsung adalah apabila terjadi pelanggaran kenentuan hukum nasional dari kedua negara, sehingga sering menimbulkan ketidak pastian hukum terkait siapa yang memiliki kewenangan untuk menegakkan ketentuan hukum nasional di perairan perbatasan yang belum ditentukan diantara kedua negara. Ketidak pastian tersebut sering berakibat pada saling tangkap terhadap pelanggaran yang terjadi di perairan perbatasan yang belum ditentukan oleh kedua negara yang bersengketa. Terkait hal tersebut UNCLOS hanya memberikan kewajiban kepada kedua negara untuk membentuk pengaturan sementara di perairan perbatasan yang belum ditentukan untuk mencegah terjadinya konflik. Skripsi ini lebih lanjut akan menganalisa mengenai regulasi nasional dan Internasional serta praktek negara-negara terkait penegakan hukum di perairan perbatasan yang belum ditentukan. Adapun penegakan hukum di perairan perbatasan yang belum ditentukan dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu penegakan hukum secara preventif, Kuratif dan Represif. Berdasarkan praktek negara dan hukum internasional tindakan represif oleh negara di perairan perbatasan yang belum ditentukan dapat menimbulkan konflik dan memperlambat penyelesaian delimitasi batas maritim antara kedua negara. Sehingga dapat disarankan bahwa di perairan perbatasan yang belum ditentukan negara hanya dapat melakukan penegakan hukum secara preventif dan juga kuratif. ......Indonesia as the largest archipelagic country in the world has a very long coastline and is bordered by ten countries. This makes delimitation of the maritime boundary is genuinely important for Indonesia. Nevertheless, the process of maritime boundary delimitation often takes a very long time. The problem that often arises when the maritime boundary delimitation negotiation process is underway is if there is a violation of the provisions of the national law of both countries, which often leads to legal uncertainty over who has the authority to enforce national law provisions in the unresolved maritime boundary between the two countries. Such uncertainty often results in interception of violations occurring in undefined border waters by the two disputing countries. In this regard, UNCLOS only provides obligations to both countries to establish provisional arrangements in undefined border waters to prevent conflicts. This thesis will further analyze the national and international regulations as well as the practice of law enforcement related countries in undefined border waters. The law enforcement in unspecified border waters can be divided into three forms preventive law enforcement, curative and repressive. Based on country practice and international law, repressive action by the state in undefined border waters can lead to conflict and slow the completion of the delimitation of the maritime boundary between the two countries. So it can be suggested that in the undefined border waters country can only do law enforcement in a preventive and also curative.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S67740
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library