Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ananto Wiji Wicaksono
Abstrak :
Latar Belakang: Intubasi nasotrakeal adalah manajemen jalan napas yang banyak digunakan, terutama pada operasi di daerah oral. Beragam perangkat ditemukan untuk melakukan teknik intubasi, seperti video laringoskop. Penggunaan Video Laringoskop C-MAC® (CMAC) memungkinkan visualisasi glottis yang lebih baik bila dibandingkan dengan laringoskop Machintosh. Pada kasus jalan napas sulit, CMAC meningkatkan angka kesuksesan intubasi orotrakeal. Namun perangkat ini tidak umum digunakan pada intubasi nasotrakeal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 86 subjek penelitian untuk membandingkan keberhasilan intubasi dan durasi waktu intubasi nasotrakeal pada pasien dewasa ras Melayu antara penggunaan laringoskop video C-MAC® dengan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok derajat 2 atau 3, hipertensi tak terkontrol, Sindrom Guillen Barre, Myasthenia Gravis, dan kontraindikasi intubasi nasotrakeal. Hasil: Penggunaan CMAC meningkatkan angka keberhasilan upaya pertama kali intubasi (RR 1,265, CI 95% (1.084-1.475)) dan membutuhkan durasi waktu intubasi yang lebih singkat (nilai p<0,001) dibandingkan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh pada populasi dewasa ras Melayu. Simpulan: Pada pasien dewasa ras Melayu, intubasi nasotrakeal lebih mudah dengan menggunakan video laringoskop CMAC dibandingkan dengan menggunakan laringoskop konvensional Macintosh. Kemudahan intubasi didefiniskan sebagai keberhasilan upaya pertama kali yang lebih sering dan waktu prosedur intubasi yang lebih singkat. ......Background: Nasotracheal intubation is a widely used airway management, especially in oral surgery. Various devices were found to perform intubation techniques, such as video laryngoscopes. The use of the C-MAC® Video Laryngoscope (CMAC) enables better glottis visualization compared to the Machintosh laryngoscope. In the case of a difficult airway, CMAC increases the success rate of orotracheal intubation. However, this device is not commonly used in nasotracheal intubation. Methods: A single blinded randomized clinical trial study of 86 subjects has been done to compare the success of intubation and duration of nasotracheal intubation in adult Malay patients between the use of C-MAC® video laryngoscopes and the use of a conventional Macintosh laryngoscope. Exclution criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, heart failure, second or third degree block, uncontrolled hypertension, Guillen Barre syndrome, Myasthenia Gravis, and contraindications to nasotracheal intubation. Results: The use of CMAC increased the success rate of the first attempt at intubation (RR 1,265, 95% CI (1,084-1,475)) and required a shorter duration of intubation (p value <0.001) than the use of conventional Macintosh laryngoscopes in the adult Malay race population. Conclusion: In adult Malay patients, nasotracheal intubation is easier using the CMAC video laryngoscope compared to using a conventional Macintosh laryngoscope. The ease of intubation is defined as the high rate of successful first attempt and the shorter time of the intubation procedure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zeta Auriga
Abstrak :
Pendahuluan: Pemasangan pipa nasogastrik (NGT) pada pasien terintubasi memiliki beberapa kesulitan. Beberapa metode pemasangan NGT telah diteliti dengan tujuan untuk mencari cara yang lebih mudah, cepat dan kurang traumatik bagi pasien. Metode chin lift merupakan cara baru yang digunakan untuk memasang NGT pada pasien terintubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan, lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah saat pemasangan NGT pada pasien terintubasi antara metode chin lift dan reverse Sellick. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis, acak dan tersamar tunggal yang dilakukan pada 210 pasien yang menjalani anestesia umum terintubasi lalu dilakukan randomisasi untuk dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A menggunakan metode chin lift dan kelompok B menggunakan metode reverse Sellick untuk pemasangan NGT. Angka keberhasilan, lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah dicatat pada penelitian ini. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna (p=0,786) antara angka keberhasilan pemasangan NGT pada kelompok chin lift (79,2%) dengan reverse Sellick (81,7%). Lamanya waktu pemasangan dan kejadian komplikasi bercak darah saat pemasangan NGT juga tidak berbeda bermakna. Simpulan: chin lift tidak meningkatkan keberhasilan pemasangan pipa nasogastrik (NGT) pada pasien terintubasi dibandingkan dengan metode reverse sellick. ......Introduction: Nasogastric tube (NGT) insertion in intubated patients has several difficulties. Several researches of NGT insertion have been conducted aiming to find the fastest, easiest, and less traumatic method to the patients. Chin lift is the new method to insert the NGT in intubated patients. The aim of this study is to compare the success rate, duration of insertion, and the incidence of blood spot complications of NGT insertion in intubated patients between chin lift and reverse Sellick's methods. Methods: This study is a single blinded randomized controlled trial. 210 patients who underwent general anesthesia and intubated were randomly allocated into two groups. Group A is the chin lift method and group B is the reverse Sellick's method. The success rate, duration of insertion, and the incidence of blood spot complications were noted in this study. Results: There were no significant differences (p = 0.786) between the success rate of NGT insertion in the chin lift group (79.2%) and the reverse Sellick's group (81.7%). The duration of insertion, and the incidence of blood spot complications during NGT insertion were also not significantly different. Conclusion: The chin lift method did not increase the success rate of NGT insertion in intubated patients compared to the reverse sellick method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikar
Abstrak :
Latar belakang: Intubasi merupakan standar emas untuk menjaga patensi jalan nafas. Rapid Sequence Induction (RSI) adalah metode induksi anestesia yang cepat untuk mencapai kontrol jalan nafas dengan meminimalkan risiko regurgitasi dan aspirasi lambung. Video laringoskop CMAC® mempermudah tampilan visualisasi laring sehingga diharapkan mempermudah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya. Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya dengan teknik RSI antara video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Total 120 pasien Ras Melayu yang memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenuhi kriteria penolakan dan menandatangani informed consent, menjalani operasi elektif dengan anestesia umum fasilitasi intubasi dengan induksi teknik RSI dibagi dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok dengan menggunakan video laringoskop CMAC® dan laringoskop konvensional Macintosh. Penilaian yang diambil adalah angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya antara dua kelompok. Data yang terkumpul di olah dengan SPSS dan di uji statisik. Hasil: Angka keberhasilan intubasi pertama kali upaya dengan video laringoskop CMAC adalah 81,7% dan pada laringoskop konvensional adalah 76,3%. Uji statistik chi-square didapatkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) Simpulan: Angka keberhasilan intubasi pada pertama kali upaya menggunakan video laringoskop CMAC® dibandingkan laringoskop konvensional dengan teknik RSI pada ras Melayu tidak lebih tinggi.
Background: Intubation is the gold standard for maintaining airway patency. Rapid Sequence Induction (RSI) is a rapid method of induction of anesthesia to achieve airway control by minimizing the risk of gastric regurgitation and aspiration. The CMAC® laryngoscope video facilitates laryngeal visualization so that it is expected to facilitate the success rate of intubation at the first attempt. Objective: To compare the first attempt success rate of intubation with the RSI technique between CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope Method: This study was a single blind randomized clinical trial. Total 120 patients Malay Race who met the inclusion criteria, did not meet the exclusion criteria and signed the consent, undergoing elective surgery with general anesthesia and intubation with RSI induction techniques then divide into two treatment groups, namely the group using CMAC® video laryngoscope and conventional Macintosh laryngoscope. The assessment taken was the first attempt success rate of intubation between the two groups. The collected data is analyze and statistically tested with SPSS. Results: The first attempt success rate of intubation with CMAC® laryngoscope video was 81.7% and the conventional laryngoscope was 76.3%. Chi-square test found no significant difference between two group (p> 0.05). Conclusion: The first attempt success rate of intubation using CMAC® video laryngoscope compared conventional laryngoscopy with RSI technique in the Malay race is statistically not significant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Antonius W.
Abstrak :
Latar belakang: World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 menjadi pandemi pada April 2020. Komplikasi yang berpotensi dan terus mengancam adalah gagal napas akut yang membutuhkan intubasi. Intubasi dikatakan memiliki risiko penyebaran viral load yang tinggi. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan menjadi hal yang harus dilakukan secara konsisten tanpa melupakan keselamatan pasien yang menjalani prosedur intubasi pipa endotrakeal. Penelitian ini ditujukan sebagai studi pendahuluan untuk melihat pengaruh dari penggunaan APD dan jenis laringoskop terhadap proses intubasi yang dilakukan pada pandemi COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study) dengan uji klinis acak terbuka (open randomized clinical trial). Pengambilan data penelitian dilakukan di kamar operasi IGD, Unit Pelayanan Bedah Pusat (UPBT), UPK Mata Kirana, dan kamar operasi Cleft and Craniofacial Center (CCC) RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Agustus hingga September 2020. Intubasi dilakukan oleh residen Anestesiologi dan Terapi Intensif tahap II atau magang. Populasi subjek adalah pasien yang bukan tersangka dan bukan terkonfirmasi COVID-19 sesuai dengan penapisan oleh tim Pinere RSCM. Hasil: Durasi total proses intubasi cenderung lebih panjang pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskopi video dibandingkan kelompok lainnya. Keberhasilan percobaan pertama tindakan intubasi lebih banyak pada kelompok yang menggunakan laringoskop direk. Kejadian desaturasi paling banyak terjadi pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk. Komplikasi cedera jalan napas selama proses intubasi paling banyak ditemukan pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk Kesimpulan: Terdapat perbedaan antara ketiga kelompok penelitian yang menggunakan tingkat APD dan jenis laringoskopi yang berbeda pada studi pendahuluan ini. ......Introduction: World Health Organization (WHO) declare COVID-19 pandemi on April 2020. One of the fatal complications of COVID-19 are respiratory failure with the need of an intubation. However, intubation has been reported as high-risk viral load spread. Protection for healthcare workers should be done consistently without jeopridizing patient’s safety, especially in intubation process. This pilot study is aimed to describe the effect of level 3 PPE usage and types of laryngoscope to intubation process in COVID-19 pandemic. Method: This study is a preliminary study with open randomized clinical trial. Data collection was conducted in operating room, central operating room, Kirana opthalmology centre, and Cleft and Craniofacial Center (CCC) of Cipto Mangunkusumo National hospital on August to December 2020. The intubation process was done by anesthesiology and intensive care residents at the second phase (second until third year) of recidency. Subjects are non COVID-19 suspect which has been examined by Pinere RSCM team. Results: Total duration of intubation was tend to longer in level 3 PPE with video guided laryngoscopy. First time success was higher in the group with direct laryngoscopy. Complicaton such as desaturation and airway injury was higher in level 3 PPE with direct laryngoscope. Conclusion: There is a difference of intubation process between the PPE groups and the use of laryngoscopy in this pilot study. Therefore, further study can be conducted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Sesario
Abstrak :
Latar Belakang: Manajemen jalan napas pada bayi dan anak memiliki kesulitan tersendiri karena ukurannya yang lebih kecil, proporsi struktur anatomi yang berbeda dari orang dewasa, dan risiko hipoksemia yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Berbagai intervensi telah dilakukan untuk meningkatkan efisiensi intubasi endotrakea pada bayi dan anaknya, salah satunya adalah dengan memanipulasi bentuk dan sudut ETT. ETT spiral merupakan salah satu hasil manipulasi bentuk dan sudut ETT di mana ETT dengan stylet fleksibel dipuntir secara manual. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji klinis efektivitas penggunaan ETT spiral dibandingkan dengan ETT tanpa stylet pada intubasi pasien anak usia 1 bulan sampai 6 tahun dengan menggunakan videolaringoskop. Tujuan: Membandingkan angka keberhasilan first attempt, akurasi penempatan, waktu penempatan, dan efek samping penggunaan ETT spiral dibandingkan dengan ETT tanpa stylet pada intubasi pasien anak usia 1 bulan-6 tahun dengan menggunakan videolaringoskop. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis terandomisasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama September sampai dengan November 2021. Sebanyak 50 subjek yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi dirandomisasi dan dikelompokkan ke dalam kelompok ETT spiral dan ETT tanpa stylet. ETT spiral dibentuk dengan cara memuntir ETT dengan bantuan alat yang dibuat oleh peneliti. Keberhasilan first attempt, akurasi penempatan, waktu penempatan dan efek samping dari kedua jenis ETT dicatat dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis komparasi kategorik/numerik tidak berpasangan. Hasil: Hubungan antara keberhasilan intubasi first attempt pada ETT spiral dan ETT tanpa stylet adalah 80 % vs 64% dan  dengan nilai  p = 0.208 tidak bermakna. Perbandingan total intubation time pada kedua jenis ETT didapatkan tidak signifikan (46.532±5.195 detik ETT spiral vs 48.376±4.952 detik ETT tanpa stylet; nilai p = 0.205). Perbandingan total tube handling time pada kedua jenis ETT didapatkan bermakna, di mana ETT spiral menunjukkan perbedaan rata-rata waktu yang lebih singkat dibandingkan ETT tanpa stylet (16.764±3.572 detik vs 18.828±3.654 detik; p = 0.049). Penempatan ETT berhubungan signifikan dengan jenis ETT, di mana ETT spiral memiliki kemungkinan penempatan ETT di sentral yang lebih besar dibandingkan dengan ETT tanpa stylet dengan nilai p = 0.015. Tidak ada satupun subjek yang mengalami efek samping pada kedua jenis ETT. Kesimpulan: Angka keberhasilan intubasi first attempt, didapatkan data yang tidak bermakna, namun dilihat dari nilai total tube handling time dan akurasi penempatan ETT di sentral, terdapat perbedaan yang bermakna. ......Background: Airway management in infants and children has its own difficulties due to its smaller size, different proportions of anatomical structures than adults, and a higher risk of hypoxaemia than adults.  Various interventions have been carried out to increase the efficiency of endotracheal intubation in infants and their children, one of which is by manipulating the shape and angle of the ETT.  Spiral ETT is one of the results of manipulation of the shape and angle of the ETT where the ETT with flexible stylets is twisted manually.  This study aims to conduct a clinical trial of the effectiveness of the use of a spiral ETT compared to an ETT without a stylet in intubating pediatric patients aged 1 month to 6 years using a videolaryngoscope. Objective: To compare the successful first attempt intubation, placement accuracy, placement time, and side effects using a spiral ETT compared to an ETT without a stylet in intubating pediatric patients aged 1 month-6 years using a videolaryngoscope. Methods: This study was a randomized clinical trial at Cipto Mangunkusumo General Hospital during September to November 2021. A total of 50 subjects who met the inclusion and exclusion criteria were randomized and grouped into spiral ETT and styletless ETT groups.  The spiral ETT was formed by twisting the ETT with the help of a tool made by the researcher.  Placement accuracy, placement time and side effects of both types of ETT were recorded and analyzed using the unpaired categorical/numeric comparative analysis method. Results: The relationship between successful first attempt intubation in spiral ETT and ETT without stylet was 80% vs 64% and with p value = 0.208 was not significant. The comparison of total intubation time for both types of ETT was not significant (46.532±5.195 seconds spiral ETT vs 48.376±4.952 seconds ETT without stylet; p value = 0.205). The comparison of the total tube handling time for the two types of ETT was significant, where the spiral ETT showed a shorter average difference than the standard ETT (16,764±3.572 seconds vs 18,828±3.654 seconds; p = 0.049). ETT placement was significantly related to the type of ETT, where spiral ETT had a greater likelihood of central ETT placement compared to styletless ETT with p value = 0.015. None of the subjects experienced side effects on both types of ETT. Conclusion: The success rate of first attempt intubation, obtained data that is not significant, but seen from the total tube handling time and the accuracy of the placement of the ETT in the center, there is a significant difference.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Anggi Sinantara
Abstrak :
Latar Belakang. Pemantauan respon keadaan nosiseptif dengan objektif melalui metode non-klinis masih dalam keadaan pengujian dan pengembangan, tanpa metode yang terdokumentasi dan terbukti baik untuk penggunaan sehari-hari secara klinis. Pemantauan terhadap nosiseptif hingga saat ini lebih banyak berdasarkan status hemodinamik pasien yang dinilai dari laju nadi dan tekanan darah. qNOX telah membuktikan korelasi dengan tanda-tanda klinis dari nosiseptif dan/atau antinosiseptif yang tidak memadai, seperti gerakan selama insersi LMA, laringoskopi dan intubasi trakea Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. Metode. Penelitian merupakan penelitian reliabilitas dan diagnostik yang menilai kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea, dan menilai validitas qNOX sebagai prediktor respon nyeri. 54 subjek dilakukan pendataan nilai qNOX sebelum dilakukan intubasi, dan dua kali pendataan hemodinamik yaitu sebelum anestesia dan dalam satu menit pasca-intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dan dikategorikan menjadi reaktif dan nonreaktif. Data qNOX yang didapatkan dikategorikan menjadi responsif dan nonresponsif. Hasil. Uji Kappa menunjukkan kesesuaian qNOX dengan perubahan hemodinamik adalah bermakna dengan nilai Kappa 0,715. qNOX menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 86%. Simpulan. Terdapat kesesuaian yang kuat antara nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX dan perubahan hemodinamik merupakan prediktor respon nyeri yang reliabel dalam prediksi respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. ......Background. Objectively monitoring the response of nociceptive states through non-clinical methods is still in testing and development, without well-documented and proven methods for clinical daily use. Nociceptive monitoring to date has largely been based on the patient's hemodynamic status as measured by heart rate and blood pressure. qNOX has been shown to correlate with nociceptive and / or inadequate antinociceptive clinical signs, such as movements during LMA insertion, laryngoscopy and tracheal intubation. Therefore, researchers want to find out the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of pain response in tracheal intubation procedures. Method. The study is a reliability and diagnostic study that assesses the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of pain response intracheal intubation procedures, and assesses the validity of qNOX as a predictor of pain response. 54 subjects were collected qNOX values before intubation, and hemodynamic data collection twice before anesthesia and within one minute postintubation. Hemodynamic data is then determined by the difference and categorized as reactive and nonreactive. The qNOX data obtained is categorized as responsive and non-responsive. Results. Kappa test shows that the suitability of qNOX with hemodynamic changes is significant with a Kappa value of 0.715. qNOX shows a sensitivity of 100% and a specificity of 86%. Conclusion. There is a strong compatibility between qNOX values and hemodynamic changes as predictors of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX and hemodynamic changes are reliable predictors of pain response in the prediction of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX has a high sensitivity and specificity as a predictor of pain response in tracheal intubation procedures.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Wuri Handayanto
Abstrak :
ABSTRAK
Tekanan balon pipa endotrakeal (ETT) akan menimbulkan komplikasi bila diberikan lebih atau kurang dari batas aman yang direkomendasikan. Perubahan tekanan ini, dapat disebabkan oleh perubahan posisi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus. Penelitian ini merupakan uji klinis eksperimental untuk mengetahui perbedaan tekanan balon ETT setelah perubahan posisi supine ke lateral decubitus pada pasien yang menjalani anestesi umum. Sampel diambil dengan cara consecutive sampling dalam satu kelompok (n=40). Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tekanan balon ETT pada saat posisi supine dan pada saat setelah posisi lateral decubitus. Hasil menunjukan bahwa dari semua sampel penelitian yang diambil terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT saat diposisikan supine dan lateral decubitus, dimana pada saat diposisikan lateral decubitus tekanan balon ETT lebih tinggi daripada tekanan balon ETT saat diposisikan supine. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Terdapat perbedaan yang signifikan pada tekanan balon ETT setelah perubahan posisi pasien dari supine ke lateral decubitus. Perubahan posisi ini terbukti dapat meningkatkan tekanan balon ETT.. Berdasarkan penelitian ini, disarankan perlu penggunaan alat pengukur tekanan balon ETT pada setiap tindakan anestesi umum dengan intubasi ETT khususnya untuk operasi yang memerlukan posisi pasien lateral decubitus, guna memastikan tekanan balon ETT selalu dalam batas aman. Sehingga komplikasi akibat tekanan balon ETT diluar batas aman tidak terjadi dan keamanan pasien tetap terjaga.
ABSTRACT
Endotracheal tube (ETT) cuff pressure will cause complications when given more or less than the recommended safe limits. These pressure changes, can be caused by a change in patiens position. This study aims to know the cuff pressure difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus. This study is an experimental clinical trial to determine the pressure cuff difference of endotracheal tube after position changes from supine to lateral decubitus in patients undergoing general anesthesia. Samples were taken by consecutive sampling in one group (n = 40). Variables measured in this study is the cuff pressure during supine position and after position changes to lateral decubitus position. The results showed that of all study samples are taken there are significant differences in cuff pressure when positioned supine and lateral decubitus, At which time the ETT cuff pressure is higher when positioned in lateral decubitus than supine position. The conclusion of this study was there are significant differences in ETT cuff pressure after changing position of the patient from supine to lateral decubitus. This change causes an increase in cuff pressure was statistically significant. Based on this study, it is advisable to use a ETT cuff gauge in every act of general anesthesia with ETT intubation, especially for operations that require long surgery with lateral decubitus position, to ensure the cuff pressure was always within safe limits. So that the complications of cuff pressure did not occur beyond safe limits and patient safety is maintained.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinal Effendi
Abstrak :
Latar Belakang : Penggunaan penanda anatomis jarak tiromental (TMD) dan skor Mallampati banyak digunakan sebagai prediktor kesulitan visualisasi laring preoperatif, namun akurasi kedua penanda tersebut masih dipertanyakan. Penelitian ini mengevaluasi perbandingan tinggi badan terhadap jarak tiromental (RHTMD) sebagai salah satu prediktor kesulitan visualisasi laring kemudian dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati yang merupakan prediktor yang sudah ada sebelumnya. Metode Penelitian : Data didapatkan dari 277 pasien yang dijadwalkan operasi elektif yang akan dilakukan anestesia umum. Pengukuran TMD, RHTMD dan penilaian skor Mallampati dilakukan preoperasi. Laringoskopi dan penilaian skor Cormack-Lehane dilakukan oleh residen anestesi minimal tahun kedua. Data kemudian diolah menggunakan SPSS 15 untuk mendapatkan nilai AUC, sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai AUC dari RHTMD, TMD dan skor Mallampati kemudian dibandingkan untuk memperlihatkan performa dari masing-masing prediktor. Hasil : Kesulitan visualisasi laring didapatkan pada 28 orang (10,1%), luas daearah dibawah kurva AUC RHTMD (85,5%) sedikit lebih baik dibandingkan TMD (82,7%) dan jauh lebih baik dibandingkan dengan skor Mallampati (61,4%), dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa akurasi RHTMD lebih baik bila dibandingkan dengan TMD dan skor Mallampati. ...... Background : Preoperatif evaluation anatomycal landmark of TMD and Mallampati score has widely used to identify potentially difficult laryngoscopies; however it’s predictive reliability is unclear. This research purpose are to evaluate the ratio height to thyromental distance (RHTMD) as a new predictor of difficult laryngoscopies compare to thyromental distance (TMD) and Mallampati score. Methode : The authors collect data on 277 consecutive patients schedule to receive general anesthesia for elective surgery. TMD, Mallampati score and RHTMD are evaluated preoperatively. Residents of anesthesia minimum at second years performed laryngoscopy and grading (as in Cormack-Lehane classifications). all data processed with spss 15 to get the AUC, sensitivity, spesifity, positive predictive value and negative predictive value. The AUC of each predictor were compared to determine the perform. Result : Difficult visualisation of the laryng occur in 28 patient (10,1%). The AUC of RHTMD (85,5%) is better compared to TMD (82,7%) and much better if compared to Mallampati score (61,4%). The authors conclude thatRHTMD had better accuracy in predicting difficult laryngoscopy than TMD and Mallampati score.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Prakoso Adji
Abstrak :
Latar belakang: Prosedur laringoskopi dan intubasi merupakan prosedur di bidang anestesi yang sering dilakukan namun merupakan prosedur yang mencetuskan rangsang nyeri yang hebat. Tekanan darah dan laju nadi dapat meningkat karena rangsang simpatis. Respon kardiovaskular tersebut dapat berbahaya pada pasien yang rentan, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung ataupun serebrovaskular. Salah satu metode untuk mengurangi hal tersebut adalah penggunaan anestesi, termasuk dengan lidokain. Peningkatan kadar plasma lidokain yang diberikan dengan intravena dapat menimbulkan berbagai efek samping. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek lidokain yang diberikan secara inhalasi. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sebanyak 24 pasien diberikan inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dan 25 subjek diberikan inhalasi NaCl 0.9% sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Paramater kardiovaskular yang diteliti yakni perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP) dan laju nadi yang dinilai secara serial. Hasil. Pada menit pertama pasca intubasi, MAP dan laju nadi pada kelompok NaCl lebih tinggi, dengan perbedaan MAP sebesar 15,5 mmHg(9,2-21,7 95%IK; p<0,001) dan laju nadi sebesar 9,5 denyut/menit (4,8-14,2 95% IK; p<0,001). Pada menit ke-3 pasca intubasi, perbedaan MAP dan laju nadi kedua kelompok yakni 16,6 mmHg (9,6-23,6 95%IK; p <0,001) dan 11,2 denyut/menit (5,2-17,2 95%IK ; p<0,001 ). Pada menit ke-5 pasca intubasi, tetap terdapat perbedaan bermakna variabel MAP dan laju nadi kedua kelompok, yakni 16,7 mmHg (11,3-22,2 95%IK; p<0,001) dan 10,0 denyut/menit (3,5-16,5 95%IK; p=0,03). Simpulan. Inhalasi lidokain mampu menekan respon peningkatan tekanan darah dan laju nadi akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
Background. Laryngoscopy and intubation are routine anaesthesiological procedures which stimulate great amount of pain. Blood pressure and heart rate can be increased by symphatetic stimulation. Laryngoscopy and intubation procedure is a procedure in the field of anesthesia is often done however is a procedure which sparked great pain stimuli. Blood pressure and pulse rate can be increased by stimulation of the sympathetic. The cardiovascular response can be harmful in patients who are vulnerable, especially those who have cardiac or cerebrovascular problems. One method to reduce these was the use of anesthetics, including lidocaine. Increased plasma levels of lidocaine given intravenously can cause various side effects. This study aimed to assess the effects of lidocain inhalation. Methods. Method. This study was a randomized, double-blind clinical trial on patients at the Surgical Center Installation Cipto Mangunkusumo. A total of 24 patients were given inhaled lidocaine 1.5 mg / kg and 25 subjects were given inhaled NaCl 0.9% before laryngoscopy and intubation. Cardiovascular parameters being investigated were changes in systolic and diastolic blood pressure, mean arterial pressure (MAP) and heart rate in a serial manner. Results. In the first minute after intubation, MAP and heart rate were higher in NaCl group. The difference in MAP was 15.5 mmHg (95% CI 9.2 - 21.7; p <0.001) while heart rate was 9.5 beats / min (95% CI 4.8 - 14.2; p <0.001). In the 3rd minute after intubation, MAP and heart rate kept different in both groups: 16.6 mmHg (95% CI 9.6 - 23.6; p <0.001) and 11.2 beats / minute (5.2 - 17, 2, 95% CI; p <0.001), respectively. In the 5th minute after intubation, MAP and heart rate remained different between two groups: 16.7 mmHg (95% CI 11.3 - 22.2; p <0.001) and 10.0 beats / min (3.5 - 16.5, 95% CI; p = 0.03), respectively. Conclusions. Lidocain inhalation was able to suppress the increased of blood pressure and heart rate due to pain stimuli and sympathetic stimulation after laryngoscopy and intubation.
Depok: Universitas Indonesia, [;2016, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boni Nurcahyo
Abstrak :
Introduction: Mechanical ventilation as the management of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in critically ill COVID-19 patient is still controversial, including timing of intubation. The delay of intubation can cause patient self-induced lung injury (P-SILI). However, early intubation which resulted in prolonged mechanical ventilation can cause complications. Therefore, a systematic review is needed to provid information regarding the timing of intubation related to the clinical outcome of the patient. Methods: Database searching from PubMed, The Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), ProQuest, and Scopus was conducted and penelitianes were selected based on the eligibility criteria. It includes prognostic penelitianes of adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated. The penelitianes were critically appraised for risk of bias using Quality In Prognosis Penelitianes (QUIPS) tool. Result: We included seven penelitianes involving 1395 adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated, with two different methods.. Five of them assessed mortality in two groups of patients, early and late intubation, while two others determined the mean or median of intubation time in survivor and non-survivor group. All of the penelitianes showed no association between timing of intubation and mortality. Most of the penelitianes have low risk of bias for its respective domain, with only three penelitianes showed medium risk of bias due to unclear definition of prognostic factors. Conclusion: Mortality of critically ill COVID-19 adult patient cannot be predicted only with timing of intubation, yet many factors contributed to the prognosis. ......Pendahuluan: Ventilasi mekanik merupakan salah satu manajemen ARDS pada pasien dewasa COVID-19 yang sakit kritis yang masih sering diperdebatkan, salah satunya terkait waktu inisiasi intubasi. Keterlambatan intubasi dapat menyebabkan patient self-induced lung injury (P-SILI). Namun, intubasi yang terlalu dini juga dapat memberikan komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan telaah sistematis yang dapat memberikan informasi apakah intubasi dini pada fase awal penyakit memberikan luaran yang lebih baik pada pasien COVID-19 dewasa. Metode: Telaah sistematis dilakukan melalui pencarian penelitian pada basis data PubMed, CENTRAL, ProQuest, dan Scopus, dan dilakukan seleksi penelitian sesuai dengan kriteria eligibilitas. risiko bias dinilai dengan instrument Quality in Prognosis Penelitianes (QUIPS). Hasil: Dilakukan analisis terhadap 7 penelitian dengan total subyek 1395 pasien COVID-19 dewasa berat yang memerlukan ventilasi mekanik, dengan pendekatan penilaian yang berbeda, dimana 5 penelitian menilai mortalitas pada kelompok pasien intubasi dini dan intubasi tunda, dan 2 penelitian lainnya menilai rerata atau median dari waktu inisiasi intubasi pada kelompok yang meninggal dan hidup. Seluruh penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara waktu intubasi dengan mortalitas. Kebanyakan penelitian memiliki risiko bias yang rendah untuk setiap domain, kecuali tiga penelitian dengan risiko bias menengah karena tidak mendefinisikan faktor prognosis dengan jelas. Kesimpulan: Mortalitas pasien COVID-19 dewasa yang sakit kritis tidak hanya dapat diprediksi dari waktu pemberian intubasi, tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>