Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widiastuti S. Manan
"ABSTRAK
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 78 sampel tinja penderita tersangka HIV/AIDS yang berasal dari RS. Pemerintah dan RS Swasta di Jakarta.
Dengan menggunakan teknik Ritchie (Konsentrasi) dapat ditemukan berbagai spesies Parasit Usus yaitu telur Nematoda Usus dan Kista Protozoa usus. Kista Protozoa usus yang ditemukan adalah Entamoeba histolytica 32 (24,96%) ; Giardia Lamblia 41(31,98%); Blastocyctis hominis 5 (3,9%), sedangkan telur Nematoda Usus yang ditemukan adalah Ascaris lumbricoides 14 (10,92%) ; Trichuris trichiura 23 (17,94%) dan Cacing tambang 4 (3,12%). Dari sampel tinja yang diperiksa ditemukan 21 (26,91%) campuran antara telur Nematoda dan kista Protozoa.
Ditemukannya spesies Parasit Usus pada penderita tersangka HIV/AIDS sebagai indikator untuk diagnosis AIDS, karena Parasit usus dapat berperan dalam infeksi oportunistik tersebut pada penderita HIV/AIDS."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Firmansyah
"ABSTRAK
Saluran Cerna Berkembang Pesat Selama Masa Pranatal Dan Masa Laktasi
Saluran cerna berkembang amat pesat selama kehidupan intrauterin. Tetapi perkembangan saluran cerna belum lengkap pada saat lahir; perkembangan fungsi saluran cerna masih akan berlanjut pascanatal terutama pada masa laktasi. Oleh karena itu, masa pranatal dan masa laktasi merupakan tenggang waktu yang amat kritis dalam perkembangan saluran cerna. Cekaman yang terjadi pada masa ini akan berakibat buruk bagi perkembangan saluran cerna. Di lain pihak, perkembangan saluran cerna merupakan hasil interaksi dari 4 faktor, yaitu bakat genetik, tahapan biologis, mekanisme pengaturan endogen (hormonal), dan pengaruh lingkungan. Bakat genetik menyediakan potensi untuk perkembangan, tetapi penjelmaan penuhnya membutuhkan tersedianya lingkungan yang optimal. Malnutrisi merupakan faktor lingkungan penting yang dapat menghambat perkembangan saluran cerna (Lebenthal dan Leung, 1987).
2.Malnutrisi Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Diare
Hubungan timbal balik antara diare dan malnutrisi telah lama dikenal. Di satu pihak, diare dapat menyebabkan/mencetuskan terjadinya malnutrisi (Rowland dkk, 1977; Martorell dkk, 1980). Beberapa faktor penting yang menyebabkan terjadinya malnutrisi adalah anoreksia, malabsorpsi, masukan makanan yang kurang dan meningkatnya proses katabolik (Molla dkk, 1983). Di lain pihak malnutrisi dapat menyebabkan diare melalui beberapa mekanisme, seperti atrofi vilus usus halus dan atrofi pankreas (Firmansyah, 1989).
World Health Organization (1989) berdasarkan penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menyatakan bahwa 2 di antara 6 faktor risiko untuk terjadinya diare persisten adalah umur dan status nutrisi. Angka kejadian diare persisten terbanyak pada tahun pertama kehidupan anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa malnutrisi mempengaruhi lamanya diare; rata-rata lama episod diare lebih lama dan terdapat angka kejadian diare persisten lebih banyak. Keempat faktor lainnya adalah status imunologik, infeksi terdahulu, susu hewan, dan bakteri enteropatogen.
3. Diare Persisten Dan Malnutrisi Masih Merupakan Masalah Kesehatan Di Indonesia Karena Angka Kejadiannya Yang Cukup Tinggi Dan Akibatnya Terhadap Tumbuh Kembang Anak
Diare persisten dan malnutrisi merupakan masalah kesehatan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagian besar penderita diare akut akan sembuh spontan bila ditangani secara memadai, terutama pencegahan terhadap dehidrasi yang merupakan penyebab utama kematian. Oleh karena beberapa hal, diare akut melanjut 14 hari atau lebih dan disebut sebagai diare persisten. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa 3-20% diare akut pada anak di bawah lima tahun melanjut menjadi diare persisten (World Health Organization, 1989). Di Indonesia angka kejadian diare persisten berkisar 1-9% dari kasus diare akut (Munir dkk, 1981; Soeparto dkk, 1982; Suharyono dkk, 1982; Sutanto dkk, 1984).
Malnutrisi, walaupun telah menunjukkan penurunan angka kejadian, jumlahnya masih cukup banyak. Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 jumlah anak di bawah usia 3 tahun yang menderita gizi kurang adalah 30%, dan 3% di antaranya dengan gizi buruk. Angka tersebut menurut SKRT 1986 telah mengalami penurunan yang bermakna ialah 12% untuk gizi kurang dan 1,2% untuk gizi buruk. Namun, bila angka tersebut dikalikan dengan jumlah anak balita yang jumlahnya sekitar 23 juta orang maka jumlah anak yang menderita gizi kurang masih sebanyak 2,76 juts jiwa (33.000 di antaranya gizi buruk).
Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi oleh penyakit diare adalah 15,5% dan angka tersebut pada anak balita ialah 26,4%. Berdasarkan survai kesehatan diprakirakan pada awal Repelita V masih terdapat sekitar 125.000 kematian oleh diare pada bayi dan anak balita (Hartono, 1989). Angka kematian diare akut telah dapat ditekan serendah-rendahnya dan mendekati 0%, tetapi angka kematian diare persisten masih tinggi, yaitu 20,3% (Suharyono, 1982).
4. Penelitian Mengenai Malnutrisi Dan Diare Persisten Yang Telah Dilakukan Di Indonesia Menitikberatkan Perhatian Pada Usus Halus
Selama 20 tahun terakhir ini telah dilakukan beberapa penelitian di Indonesia mengenai malnutrisi dan diare kronik. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Angka kejadian intoleransi laktosa dan malabsorpsi lemak pada anak dengan malnutrisi dan diare kronik ternyata sangat tinggi (Sunoto dkk, 1971; Sunoto dkk, 1971; Sunoto dkk, 1973).
Pemeriksaan biopsi usus pada anak dengan malnutrisi memperlihatkan atrofi mukosa usus halus. Tetapi sayangnya pada saat itu tidak dilakukan pengukuran aktivitas disakaridase (Suharyono dkk, 1971; Darmawan, 1974;Gracey dkk, 1977).
Pertumbuhan bakteri (overgrowth) di dalam usus halus secara bermakna ditemukan pada anak dengan malnutrisi (Gracey dkk, 1973; Gracey dkk, 1977; Gracey dick, 1977).
Kadar imunoglobulin serum dan imunoglogulin usus ternyata tidak berkurang pada anak malnutrisi (yang mencerminkan adanya infeksi berulang pada usus); tetapi imunitas selular secara bermakna menurun (Casazza dkk, 1972; Bell dkk, 1976).
Pengobatan dengan formula rendah laktosa yang mengandung asam lemak tidak jenuh atau trigliserida rantai sedang memberikan hasil baik (Suharyono dkk, 1977).
Sejauh ini, hampir semua penelitian tersebut memberi perhatian pada usus halus, lambung, dan orofarings. Kolon kurang mendapat perhatian. Alasannya mudah dimengerti, karena selama ini...
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D131
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutty Rajayu
"Hovarth, dkk mengevaluasi gastrointestinal pada 36 anak dengan gangguan autistik dan didapatkan adanya inflamasi kronis usus termasuk esofagus, lambung dan duodenum. Karena adanya defisiensi enzim yang menyebabkan gangguan pencernaan dan absorpsi karbohidrat yang mungkin menyebabkan adanya konstipasi dan terbentuknva gas. Abnormalitas ini mungkin berhubungan dengan dengan per ubahan tiba-tiba dari tingkah laku anak seperti iritabel, agresif dan bangun tengah malam. Malabsorbsi lemak, disfungsi pankreas, overgrowth bakteri di usus banyak ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.
Metoda untuk mengevaluasi permeabilitas usus masih dikernbangkan dalam beberapa tahun ini. Pemeriksaan permeabilitas usus dengan menggunakan laktulosa-maruitol dalam studi Minis menggambarkan perubahan yang sangat kecil dari permeabilitas usus, namun pemeriksaan ini belum dapat dilakukan di Indonesia. Xilosa adalah suatu pentosa yang tidak dimetabolisme, diabsorpsi pada usus halus sehingga dapat digunakan untuk menentukan permeabilitas usus. Hasil absorpsi yang menurun dari pemeriksaan uji xilosa darah menggambarkan terdapatnya enteropati usus halus bagian atas yang terutama terdapat pada celiac disease, sindrom postgastroenteritis dan cow's milk protein intolerance (CMPSE).
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian adalah: Apakah terdapat peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
- Mengetahui terdapatnya peningkatan permeabilitas usus dengan uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal di Jakarta.
Tujuan Khusus
- Menilai uji xilosa pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui batas nilai normal uji xilosa pada anak di Jakarta.
- Mengetahui angka kejadian peningkatan permeabilitas usus pada anak dengan gangguan autistik.
- Mengetahui hubungan gejala gangguan saluran cema pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal.
- Mengetahui hubungan riwayat alergi pada anak dengan gangguan autistik dibandingkan dengan anak normal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The current study investigated the effect of temu ireng (Curcuma aeruginosa rhizome) sequester on parasitic worm infection in primary school students located in Kecamatan Taman Sari in West Jakarta
.."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Elina Dewi Sutyarjoko
"Infeksi parasit intestinal sering ditemukan pada masyarakat yang mempunyai perilaku kebersihan rendah dan sering kontak dengan tanah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi infeksi parasitik pada murid Madrasah Tsanawiyah X, di daerah perkebunan sayur di Kecamatan Pacet, Cianjur. Desain penelitian adalah cross sectional dan data diambil pada tanggal 10 September 2011. Semua murid (133 orang) diikutsertakan dalam penelitian ini. Subjek diminta mengumpulkan feses, yang kemudian dibawa ke laboratorium parasitologi FKUI untuk dibuat sediaan dengan pewarnaan lugol 1% dan diperiksa di bawah mikroskop. Data diproses menggunakan SPSS program ver. 17.0 dan dianalisis dengan metode Fisher Exact, menunjukkan bahwa terdapat 63 (54.3%) subjek terinfeksi parasit dengan rincian Blastocystis hominis 76,2%, Giardia lamblia 1,6%, Ascaris lumbricoides 4,8%, Entamoeba coli 3,2 % infeksi campur Blastocystis hominis + Ascaris lumbricoides 7,9 %, Blastocystis hominis + Entamoeba coli 4,8 %, Trichuris trichiura + Hymenolepis diminuta 1,6 %. Disimpulkan bahwa infeksi protozoa intestinal tergolong tinggi sedangkan prevalensi cacing tergolong rendah.

Intestinal parasitic infection are commonly found in society with low hygiene behavior and frequent contact with soil. The objective of this research is to know the prevalence of intestinal parasitic infection among tsanawiyah students in Madrasah Tsanawiyah X, plantation site Pacet subdistrict, Cianjur. The design method of this research is cross sectional where data was taken at 10 September 2011. All students (133 respondents) were included in this study. Subjects were instructed to collect feces specimen, which later was taken to parasitology laboratorium at FKUI. The specimen were then made into preparation with lugol 1% staining then observed under microscope. Data was processed using SPSS program ver. 17.0 and analyzed using Fisher’s Exact method. Results showed 63 (54.3%) infected subjects with each infection of Blastocystis hominis 76.2%, Giardia lamblia 1.6%, Ascaris lumbricoides 4.8%, Entamoeba coli 3.2 % mixed infection Blastocystis hominis + Ascaris lumbricoides 7.9 %, Blastocystis hominis + Entamoeba coli 4.8 %, Trichuris trichiura + Hymenolepis diminuta 1.6 %. In conclusion, prevalence of intestinal protozoan infections was high while helminthes infections were low."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dorothy
"Pendahuluan. Pada usus yang mengalami iskemia, maka tindakan reperfusi akan dapat membuat kerusakan yang lebih besar pada usus dan juga organ lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh destrangulasi intestinal terhadap organ yang dekat dengan organ yang mengalami iskemia yaitu usus halus, dan pada organ yang letaknya berjauhan yaitu gaster dan paru-paru, dibandingkan dengan subyek yang tidak mengalami destrangulasi sebelum reseksi usus.
Metode. Studi eksperimental yang bersifat deskriptif analitik pada 14 ekor tikus Sprague-Dawley jantan. Pada kelompok perlakuan destrangulasi-reseksi DR dilakukan strangulasi dengan meligasi satu loop usus selama 4 jam, kemudian dilakukan destrangulasi dan reseksi segmen usus yang iskemia. Pada kelompok perlakuan reseksi R dilakukan strangulasi usus selama 4 jam, kemudian segmen usus yang iskemia direseksi tanpa melakukan destrangulasi terlebih dahulu. Pada kelompok kontrol dilakukan laparotomi tanpa strangulasi maupun reseksi. Empat jam setelah intervensi kedua, tikus dimatikan, dan dilakukan pengambilan sampel dari usus halus, gaster, dan paru-paru untuk pemeriksaan histomorfologi dan biokimia dengan menggunakan malondialdehyde MDA.
Hasil. Pada pemeriksaan histomorfologi dan MDA, terdapat peningkatan kerusakan jaringan serta kadar MDA pada jaringan usus halus, namun perbedaannya tidak bermakna. Pada jaringan gaster dan paru-paru tidak ditemukan peningkatan kelainan histomorfologi maupun MDA.
Kesimpulan. Destrangulasi intestinal sebelum dilakukan reseksi menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan dan stress oksidatif pada usus yang berada di luar batas strangulasi, namun perbedaan yang didapatkan tidak bermakna secara statistik. Strangulasi terbatas pada satu segmen usus halus tidak selalu menimbulkan cedera iskemia-reperfusi pada organ gaster dan paru-paru.

Introduction. On the intestinal ischemia events, reperfusion towards the injured intestine can cause further damage to the bowel and other organ as well. This study aims to understand the influence of intestinal destrangulation before bowel resection towards organs that are near and far from the ischemic bowel, compared with subjects without intestinal destrangulation. The studied subject's organ was small bowel outside margin of strangulation, stomach, and lung.
Methods. Fourteen male Sprague-Dawley rats were randomized either to destrangulation-resection DR, resection R, or control group. One bowel loop was ligated for 4 hours. On the DR group the strangulated bowel was released for 5 minutes and then resected. On the R group the strangulated bowel was immediately resected without destrangulation. The control group received sham laparotomy. After four hours the animals were euthanasized and samples were drawn from small bowel, stomach, and lung for histologic analysis and biochemical analysis of malondialdehyde MDA level.
Results. The histologic injury and MDA level on the small bowel tissue is unsignificantly higher on the DR group compared to the R group p>0,05 . There was no significant injury to the stomach and lung tissue, or elevation of MDA level in both groups.
Conclusion. Intestinal destrangulation before resection of the bowel cause more tissue injury and oxidative stress on the bowel outside the limit of strangulation, but the difference is not statistically significant. Limited strangulation of one bowel loop do not always cause ischemia-reperfusion injury to stomach and lung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rozana Nurfitri Yulia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang tetap menjadi masalah kesehatan global terutama di negara berkembang dan menjadi penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok penyakit menular. Selain paru, kuman tuberkulosis dapat menginvasi hingga ke organ ektrapulmoner salah satunya usus. Infeksi kuman pada mukosa usus karena tuberkulosis usus dapat menyebabkab ulserasi hingga nekrosis lapisan mukosa yang akan memengaruhi absorpsi nutrisi. Malabsorpsi dan anoreksia dapat menjadi penyebab malnutrisi pada tuberkulosis usus. Terapi medik gizi bertujuan untuk menyediakan nutrisi adekuat, meningkatkan status gizi, menurunkan risiko kematian, memperpendek lama rawat inap, mencegah terjadinya penurunan massa otot, mendukung proses kesembuhan penyakit, memenuhi kebutuhan mikronutrien yang adekuat, dan meningkatkan sistem imunitas. Metode:Pada serial kasus ini, dilaporkan 4 kasus tuberkulosis usus pada pasien laki-laki dan perempuan yang berusia antara 24-31 tahun, dengan 1 pasien koinfeksi HIV. Keempat pasien mengalami malnutrisi, 3 diantaranya adalah malnutrisi berat dan juga didiagnosis kaheksia. Pada 3 kasus awal, tatalaksana tuberkulosis usus disertai dengan pembedahan akibat komplikasi obstruksi usus mekanik, perdarahan, dan fistula sedangkan kasus terakhir hanya diberikan AOT. Masalah nutrisi terjadi pada keempat kasus terkait dengan perubahan anatomi saluran cerna, fungsi fisologis, dan pemberian mikronutrien yang kurang adekuat. Terapi medik gizi telah diberikan sesuai rekomendasi untuk pasien dengan tuberkulosis usus dengan malnutrisi. Hasil :Kasus pertama dan keempat mengalami perbaikan keadaan klinis hingga diperbolehkan rawat jalan. Namun, kasus kedua dan ketiga meninggal dunia masing-masing pada hari perawatan ke-54 dan 28 akibat sepsis dan perdarahan. Kesimpulan:Terapi medik gizi yang diberikan telah membantu perbaikan kondisi klinis pada pasien tuberkulosis usus dengan malnutrisi.

ABSTRACT
Background:Tuberculosis is a chronic infection that remains a global health problem especially in developing countries and become the second leading cause of death in infectious diseases. Beside lung organ, the Mycobacterium tuberculosis can invade up to an extrapulmonary organ such as intestine. Infections in the intestinal mucosa due to intestinal tuberculosis may cause ulceration to necrosis of the intestinal mucose that will be affected to nutrient absorption. Malabsorption and anorexia can be the cause of malnutrition in intestinal tuberculosis. Nutritional medical therapy aims to provide adequate nutrition, improve nutritional status, reduce the risk of death, shorten the length of stay, prevent the decrease of muscle mass, support the wound healing, giving adequate micronutrients, and improve the immune system. Methods: In this series of cases, 4 cases of intestinal tuberculosis were reported in male and female patients between 24 and 31 years old, with 1 patient co-infected with HIV. The four patients were malnourished, 3 of them with severe malnourished and also diagnosed with cachexia. In the third initial cases, management of intestinal tuberculosis was surgery due to complications mechanical bowel obstruction, hemorrhage, and fistulas while the last one was given only DOT. Nutrition problems occur in all four cases associated with altered gastrointestinal anatomy, physiological function, and inadequate micronutrient administration. Medical nutrition therapy has been given as recommended for patients with intestinal tuberculosis with malnutrition. Result: The first and fourth cases had an improvement on clinical conditions. However, the second and third cases died on the 54th and 28th day of treatment due to sepsis and bleeding. Conclusion: Medical nutritional therapy has been provided to improve clinical conditions in intestinal tuberculosis patients with malnutrition. "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Asyuri Yasmin
"Infeksi kecacingan merupakan penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan serta higiene perorangan. Sampai saat ini, prevalensi infeksi kecacingan di daerah tropis dan subtropis masih tinggi, salah satunya di Indonesia. Prevalensi tertinggi ditemukan pada anak usia sekolah dasar, yaitu sekitar 70%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku jajan dan kondisi jajanan yang dikonsumsi siswa SD Negeri 09 Pagi Paseban dengan kejadian infeksi kecacingan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode cross-sectional. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 169 orang dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 114 orang yang berasal dari kelas I-VI. Data dikumpulkan melalui pengisian kuisioner. Metoda analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji fisher.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi kecacingan pada sekolah dasar ini adalah 11,4% dengan Ascaris lumbricoides sebagai penyebab utama (53,8%). Dilihat dari karakteristik responden, proporsi siswa yang suka membeli jajanan 95,6%. Proporsi siswa yang membeli jajanan tak berkemasan (di jajakan secara terbuka) 29,8%. Proporsi siswa yang membeli jajanan yang telah dihinggapi lalat 60,5%. Dari uji fisher, diketahui bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara infeksi kecacingan dengan perilaku jajan (p=1), kebiasaan membeli jajanan yang dijajakan secara terbuka (p=0,203), dan kebiasaan membeli jajanan yang telah dihinggapi lalat (p=1) pada siswa SD Negeri 09 Pagi Paseban.

Helminthic infection is an environmental-based disease related to environmental sanitation and personal hygiene. Nowadays, prevalence of helminthic infections in tropic and subtropic area is still high, including in Indonesia. The highest prevalence of helminthic infections is found in school-aged children which is about 70%. This study is to determine the association of snacking behaviour and the hygiene of snacks with soil transmitted helminths (STH) infection among students of SDN 09 Pagi Paseban. This is an observational analytic study with cross-sectional method. The study population is 169; 114 are selected to be the samples for this study. The data are collected through questionnaire. Statistical analysis is carried out by using fisher exact test.
From the study we know that prevalence of STH infection in this school is 11.4%. Ascaris lumbricoides is the most frequent parasite in causing the infection (53.8%). Characteristics of respondents show the proportion of the students who like buying snacks (95.6%), students who buy snacks that are peddled openly (29.8%), and students who buy snacks which are already contaminated by flies (60.5%). The result of fisher exact test shows that there is no significant association between STH infection with the habit to buy snacks (p=1), habit to buy snacks that were peddled openly (p=0.203), and habit to buy snacks which are already contaminated by flies (p=1) among students in SDN 09 Pagi Paseban.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Elyn Dohar Idarin
"Infeksi protozoa usus pada kelompok usia anak masih merupakan masalah kesehatan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Di Indonesia dilaporkan prevalensinya berkisar antara 6,1-57,0%. Namun, infeksi protozoa usus pada anak seringkali tidak terdiagnosis karena gejala seringkali sudah tidak khas akibat berbagai pengobatan yang diberikan, terutama di rumah sakit tersier. Hasil negatif palsu juga dapat ditemukan pada kelompok pasien ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi terkait profil klinis pasien anak dengan kecurigaan diagnosis infeksi parasit usus serta hubungannya dengan hasil pemeriksaan spesimen feses. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi infeksi protozoa usus pada anak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo serta mengetahui karakteristik klinis dan faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus. Penelitian dilakukan secara potong lintang retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien anak usia <18 tahun dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang diperiksa fesesnya di Laboratorium Parasitologi FKUI. Data demografi, status gizi, riwayat penyakit, riwayat pemberian obat antiparasit, status HIV dan nilai CD4, dan hasil pemeriksaan feses diekstraksi dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antarvariabel terhadap deteksi protozoa usus. Dari total 251 rekam medis pasien yang tercatat pada tahun 2018 hingga 2020, terdapat 97 sampel yang memenuhi kriteria eligibilitas penelitian dan dilakukan analisis. Hasil penelitian menunjukkan proporsi infeksi protozoa usus sebesar 10,3% (10/97). Infeksi Blastocystis hominis paling banyak ditemukan (6/10), diikuti Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) dan Entamoeba histolytica (1/10). Kelompok usia sekolah, status HIV positif, dan nilai CD4 <200 sel/μl merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan deteksi protozoa usus pada studi ini.

Intestinal protozoa infection in the child age group is still a health problem in developing countries, one of which is in Indonesia. In Indonesia, the reported prevalence ranges from 6.1% to 57.0%. These infections tended to be undiagnosed due to nonspecific clinical and laboratory findings, as the patients might have been exposed to various antimicrobial treatments prior to examination. Thus, a study on the relationship between patients’ clinical profiles and stool specimen results needs to be performed. The current study aimed to identify the proportion of intestinal protozoan infection in pediatric patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital and the associated factors of the infection. The research was a retrospective, cross-sectional study on patients aged <18 years. Data on patients’ medical records were retrieved: demography, nutritional status, past medical history, treatment history, HIV status, CD4 levels, and results of the fecal examination. Bivariate analysis was performed to identify the associated factors of intestinal protozoan infection. A total of 251 medical records from patients admitted in years 2018 through 2020 were obtained, among which 97 fulfilled the eligibility criteria and underwent final analysis. The proportion of intestinal protozoan infection was 10.3% (10/97), the most prevalent being Blastocystis hominis (6/10), followed by Cryptosporidium spp. (3/10), Giardia duodenalis (2/10), Cyclospora sp. (1/10) and Entamoeba histolytica (1/10). Current study results demonstrated that being school-age children, being HIV-positive, and having CD4 <200 cells/μl contributed to intestinal protozoan infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Arinda Putri
"Indonesia masih memiliki prevalensi kasus infeksi parasit usus pada anak yang tinggi karena berbagai faktor seperti iklim dan suhu yang mendukung perkembangan parasit hingga sosioekonomi yang rendah. Anak-anak di TPA Bantar Gebang memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi oleh karena sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menjaga kebersihan diri menjadi hal yang penting. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara angka infeksi parasit usus pada anak-anak di Bantar Gebang dan kebiasaan mencuci tangan yang termasuk pola hidup yang sehat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Pengambilan data dari 100 subjek penelitian dilakukan pada Mei 2012. Data diolah dengan program SPSS 21.0 dengan uji Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan angka infeksi parasit usus pada anak-anak di TPA Bantar Gebang adalah 80% dengan parasit penyebab infeksi terbanyak adalah Blastocystis hominis (59%). Berdasarkan hasil perhitungan data, tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara angka infeksi parasit usus dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi angka infeksi melalui penyuluhan pola hidup bersih dan sehat oleh petugas kesehatan dan perbaikan sistem pengolahan sampah oleh pemerintah setempat.

Indonesia still has high prevalence of intestinal parasitic infections in children due to various factors such as climate and temperature which supports the development of parasites, to low socioeconomic class. Children in TPA Bantar Gebang have a greater risk for infection because of poor environmental sanitation, so that maintaining personal hygiene is important. The purpose of this study is to determine the relationship between the prevalence of intestinal parasitic infections in children in Bantar Gebang and the habit of washing hands as one of hygiene practices. The study design was cross sectional. The data was collected from 100 subjects in May 2012. The data was then processed with SPSS 21.0 program with Fisher test.
The results showed that intestinal parasite infection rates in children in TPA Bantar Gebang was 80% with the highest rate of infection caused by Blastocystis hominis (59%). Based on calculations, we found no significant association between the prevalence of intestinal parasitic infections and washing hands before eating and after defecation. Efforts should be made to reduce the number of infections through counseling about clean and healthy lifestyle by health workers and improvement of waste management system by the local government."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>