Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Achmad
Abstrak :
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk dapat memahami mengenai perkembangan proses Enlargement atau penambahan keanggotaan bare yang telah dilakukan oleh Uni Eropa, serta pengaruhnya bagi perkembangan integrasi Uni Eropa secara menyeluruh (dalam hal ini berkaitan pula dengan upayanya menuju suatu Uni Politik). Penelitian ini dilakukan mengingat Uni Eropa sebagai suatu blok kerjasama regional dan merupakan salah satu aktor internasional yang signifikan pada konstelasi politik internasional. Permasalahan yang hendak diteliti adalah melihat pada kondisi normatif proses enlargement yang dilakukan oleh Uni Eropa sejak tahun 1973 ketika masih bernama Masyarakat Ekonomi Eropa, dan segala proses'dalam perkembangan tersebut berkaitan dengan apa-apa yang menjadi cita-cita bersama Uni Eropa akan tetapi dalam realitanya, penambahan keanggotaan tersebut ditenggarai membawa pengaruh berupa tantangan serta peluang yang akan dihadapi oleh Uni Eropa dalam hal jangkauan jangkauan integrasi (Functional Scope, Institutional Capacity serta Geographical Domain). Berangkat dari permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitial ini adalah mengenai apa yang akan didapat oleh Uni Eropa dari proses penambahan keanggotaan, terutama bagi perkembangan integrasi Eropa serta upayanya menuju suatu uni politik ? Penulis menggunakan konsep utama Region-Regionalisme dan Integrasi Internasional yang digunakan dalam mengamati perkembangan integrasi Eropa. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yang bersifat deskripi if-analitis, yaitu penulis memaparkan fakta-fakta yang telah ada dalam sejarah regionalisasi Eropa di Bab II serta perkembangan Uni Eropa sejak Traktat Maastricht beserta perubahan-perubahan yang dihasilkannya di Bab III. Selain itu penulis juga mendeskripsikan serta menjelaskan hubungan antara penambahan keanggotaan dengan perubahan-perubahan dalam jangkauan integrasi Uni Eropa yang dihasilkan dalam Traktat lice dan prospek Uni Eropa menuju uni politik di Bab W. Pada akhirnya, berdasarkan hash analisis dari pembahasan ini kesimpulan yang dapat diambil penulis adalah bahwa: Pertama, perluasan keanggotaan ini sangat berkaitan dengan perubahan-perubahan proses pengambilan keputusan oleh lembagaiembaga dalam Uni Eropa (institiaiona1 capacity), dalam hal ketetapan-ketetapan yang dihasilkan mengenai peningkatan hubungan kerjasama dalam integrasi tersebut; Kedua, upaya Uni Eropa dalam mencapai suatu uni politik memang harus memikirkan suatu landasan konstitusional mengenai hal itu, dalam hal ini federalisme merupakan pilihan objektif. Selain itu jugs dengan adanya proses enlargement pada Traktat Nice ini diharapkan Uni Eropa dapat mencapai cita-citanya menyatukan benua Eropa secara geographical domain.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T146
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Zaim Alkhalish
Abstrak :
Perubahan-perubahan kebijakan dalam politik luar negeri Amerika Serikat seringkali terjadi bahkan secara mendadak, antara lain karena disebabkan oleh munculnya prioritas-prioritas kepentingan yang dipandang urgen atau mendesak. Dalam suatu policy-making process, Amerika Serikat senantiasa memperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi balk pada tingkat nasionai maupun internasional. Pada tingkat domestik, di satu pihak kecenderungan apa yang terjadi di masyarakatnya terakomodasikan melalul saluran-saluran yang sesuai, balk di pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah. Di lain pihak, perkembangan-perkembangan di dunia internasional juga mempengaruhi formulasi kebijakan Iuar negeri Amerika Serikat. Deegan munculnya paradigma baru dalam tata hubungan internasional pasta Perang Dingin, hubungan-hubungan intemasional telah pula dipengaruhi oleh isu-isu baru yang menonjol seperti demokrafisasi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia (low politics/non-conventional)Tidaklah mengherankan kalau kebijakan luar negeripun seringkali mengalami penyesuaian-penyesuaian (adaptive) karena dipengaruhi oleh isu-isu tersebut dalam politik luar negerinya, khususnya hak asasi manusia. Tujuan tesis ini adalah untuk mengkaji apakah dalam kasus Timor Timur, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Indonesia mengalami perubahan dari yang awalnya bersifat akomodatif. Metode yang digunakan adalah studi komparatif melalui pendekatan teori perubahan kebijakan. Hasil analisis mengambarkan bahwa seiring dengan munculnya paradigma baru dalam tata hubungan internasional setelah berakhirnya Perang Dingin politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Indonesia mengenai: masalah Timor Timur berangsur-angsur mengalami perubahan. Pengaruh dari politik domestik dan politik internasional telah mempengaruhi pemerintahan untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada kecenderungan tersebut. Melalui kebijakan HAM, Amerika mulai menilai kembali kebijakannya terhadap Indonesia mengenai masalah Timor Timur, terutama setelah semakin gencar terjadinya pelanggaran HAM di Timor Timur.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grata Endah Werdaningtyas
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini berbicara mengenai kebijaksanaan Inggris terhadap Uni Ekonomi dan Moneter, dengan fokus kebijaksanaan Inggris terhadap mata uang tunggal Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Euro. Pembentukan mata uang tunggal Eropa sebagai tahap akhir uni ekonomi dan moneter merupakan salah satu fenomena terakhir dalam integrasi kawasan. Integrasi kawasan Eropa Barat yang dimulai semenjak paska PD II, kini telah mencapai tahap integrasi antar negara yang paling mendalam di dunia, dengan dibentuknya mata uang tunggal Eropa/Euro, sebagai tahap akhir dan uni moneter dan ekonomi Eropa. Uni moneter diharapkan akan membuka jalan bagi langkah -langkah lebih maju ke arah uni politik.

Namun dalam atmosfir integrasi yang sudah cukup dalam ini, tetap terdapat beberapa hambatan di antara negara anggota Uni Eropa untuk memberikan komitmen yang kuat ke arah integrasi menyeluruh. Hal ini tampak saat Inggris, Swedia dan Denmark memutuskan untuk menunda bergabung dalam euro. Penulis memilih untuk membahas lebih lanjut berbagai faktor yang melatar belakangi keputusan Inggris tersebut. Mengingat keberadaan Inggris sebagai salah satu negara besar di Eropa, maka setiap tindakannya akan memberikan dampak pada langkah-langkah integrasi Eropa selanjutnya. Besarnya peran, pentingnya peran dan komitmen pemerintah nasional dalam suatu proses integrasi juga menjadi bagian dari kajian Robert Keohane dan Stanley Hoffman, Keohane dan Hoffman berargumentasi bahwa fokus awal yang tepat bagi analisa adalah tawar-menawar yang terjadi pada tingkat antar pemerintahan (intergovermental).

Di balik berbagai teori yang berupaya menjelaskan fenomena kerjasama antar negara di Eropa Barat, satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa selama ini terdapat berbagai kekuatan yang menyatukan maupun memecah belah Eropa (unifying and dividing forces). Kekuatan-kekuatan ini bermunculan pada tingkat regional dan nasional, serta mempengaruhi prospek masa depan integrasi Eropa. Dalam kasus Inggris, proses pengambilan kebijaksanaan terhadap EMU dipengaruhi oleh Kekuatan Negara (Statism) dan Kekuatan Pasar (Market Forces). Di satu sisi kekuatan pasar cenderung menciptakan dan mendorong interdependensi serta tidak menghiraukan kedaulatan. Di sisi lain, walaupun Inggris secara kelembagaan telah menjadi anggota EC, namun kehidupan bernegara masyarakat Inggris belum terintegrasi dalam komunitas Eropa.

Dua variabel yang dianggap melatarbelakangi keputusan Inggris untuk menunda keanggotaannya dalam mata uang tunggal Eropa, yaitu Sentimen Nasionalisme di kalangan masyarakat Inggris dan berbagai pertimbangan dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris. Variabel yang pertama berkenaan perdebatan mengenai apakah uni moneter memang dapat mendorong ke arah integrasi politik, sementara uni moneter tidak dapat sukses tanpa dukungan dan komitmen politik masyarakat negara anggota Eropa. Bergabung dengan mata uang tunggal Eropa memiliki konsekuensi hilangnya Poundsterling dan otoritas kebijaksanaan moneter nasional. Kelompok yang bersifat skeptis, memiliki kekhawatiran euro akan menjadi titik awal perlucutan kebijaksanaan nasional di bidang lainnya, sehingga makin merongrong kedaulatan nasional suatu bangsa. Dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris, juga menjadi pertimbangan mendasar mengenai kebijaksanaan terhadap mata uang tunggal. Singkatnya negara Uni Eropa, terutama Inggris belum memenuhi tingkat integrasi yang diperlukan untuk mencapai suatu uni moneter yang sukses. Sebaliknya dengan kondisi yang ada sekarang dikhawatirkan sistem uni moneter menjadi tidak efisien, dan dalam sejarah telah terbukti bahwa suatu sistem perekonomian yang tidak efisien usianya tidak akan bertahan lama.

Kombinasi dari pertimbangan politis dan ekonomis mengenai berbagai dampak yang timbul sebagai konsekuensi keanggotaan dalam mata uang tunggal Eropa menjadi dasar keputusan Inggris untuk menunda keikutsertaannya. Namun keputusan ini tidak menutup peluang Inggris untuk menjadi anggota, bila suatu saat nanti keanggotaan dalam euro dianggap penting untuk mencapai kepentingan nasional Inggris.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Dharmawan
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas konflik India-Pakistan dengan memfokuskan pada sengketa wilayah Kashmir tahun 1972-1998. Periode tersebut dipilih karena konflik Kashmir memasuki babak baru setelah ditandatangani Perjanjian Simla pada tahun 1972 dan tahun 1998 kedua negara melakukan uji coba nuklir sehingga membuat konflik Kashmir menjadi Iebih kompleks. Pada awalnya konflik tersebut muncul ketika Inggris memutuskan untuk meninggalkan subkontinen pada tahun 1947, sekaligus membagi subkontinen tersebut menjadi dua negara yaitu India dan Pakistan sehingga kedua negara tersebut merdeka. Faktor utama penyebab dari konflik tersebut adalah faktor primordial yaitu faktor agama yang rekomendasikan oleh Inggris dalam pembagian subkontinen. Yang kemudian diperburuk dengan keterlibatan aktor internasional. Sengketa ,,,tersebut telah menyebabkan kedua negara terlibat dua kali peperangan pada tahun 1947 dan 1955. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah apa yang memicu kedua negara tersebut bersengketa dalam masalah Kashmir ?. Kedua, mengapa konflik tersebut cenderung terus berlarut ?. Ketiga, apa peranan aktor internasional dalam hal ini AS, Rusia dan China dalam konflik tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan konflik Kashmir dan meneliti mengapa masalah Kashmir sulit untuk diselesaikan meskipun kedua negara telah terlibat dua kali peperangan. Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menelaah konflik ini adalah pemikiran yang diberikan oleh Clifford Geertz mengenai primordial, dan pemikiran K.J. Holsti dan Werner Levi yang berkaitan dengan konflik. Metode penelitian tesis ini bersifat deskriptif analistis dengan menggunakah metode penelitian kepustakaan. Berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan namun sangat sulit mencari penyelesaian konflik karena begitu kompleksnya permasalahan. Faktor primordial menyebabkan masing-masing pihak cendrung bersikap irasional, apalagi konflik tersebut diperburuk dengan campur tangan negara-negara besar seperti AS, China dan Rusia yang kepentingannya bertolak belakang bagi penyelesaian konflik tersebut. Meskipun demikian, beberapa proporsal yang bersifat kompromistis yang mungkin. -dapat dipakai dalam penyelesaian konflik tersebut antara lain referendum, partisi, kemerdekaan, kondominium, trusteeship, dan statusquo. Yang paling realitis dan pragmatis diantaranya adalah kondominium karena melibatkan semua pihak yang bertikai. Namun demikian yang terpenting dalam konflik tersebut adalah adanya political will dari masing-masing pihak dengan mengenyampingkan sikap kebencian dan permusuhan.
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priadji
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Politik Luar Negeri Pakistan mengenai Keamanan Regional Asia Selatan periode 1990-1996. Pakistan memandang dua isu terpenting dalam kebijakan luar negerinya, yaitu masalah nuklir India dan masalah Kashmir. Program pengembangan nuklir India bagi Pakistan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. Penindasan pemerintah India terhadap warga Kashmir membuat Pakistan memutuskan untuk memberi dukungan pada warga yang tertindas tersebut. Dalam pembuatan tesis ini ada empat faktor yang dianggap mempengaruhi pelaksanaan Politik Luar Negeri Pakistan, yaitu situasi/politik domestik Pakistan, isu Kashmir, program pengembangan nuklir India dan faktor Amerika Serikat. Situasilpolitik domestik Pakistan mengacu pada pelaksanaan konsensus nasional yang disepakati oleh segenap komponen bangsa di Pakistan, termasuk kelompok oposisi yang biasanya berseberangan dengan elit yang berkuasa. Faktor kedua yang mempengaruhi pelaksanaan Politik Luar Negeri Pakistan adalah isu Kashmir. Dalarn kaitan ini perlawanan warga Kashmir yang berada di bawah tekanan penguasa IHK (Indian Held Kashmir) menjadi pendorong Pakistan untuk menjalankan kebijakan internasionalisasi isu Kashmir. Dalam kasus program pengembangan nuklir India, Pakistan beranggapan bahwa India memang merupakan ancaman terhadap keamanan nasional Pakistan. Percobaan rudal Agni oleh India pada tahun 1989 juga menambah keyakinan Pakistan bahwa India berniat menggoyahkan stabilitas kawasan Asia Selatan. Faktor Arnerika Serikat juga berperan dalam pelaksanaan politik luar negeri Pakistan. Kalau pada masa Perang Dingin Amerika Serikat dapat menjadi sumber bagi peningkatan petahanan nasional Pakistan antara lain dalam menghadapi persepsi ancaman India, maka pada periode pasca Perang Dingin dukungan Amerika Serikat sangat jauh berkurang sehingga Pakistan kemudian mengadakan pendekatan dengan Cina dalam bidang pertahanan dan bidang ekonomi sampai tahap tertentu selain dengan negara-negara Timur Tengah melalui jalur diplomatik. Penulis melakukan penelitian kepustakaan pada buku-buku, artikel, majalah dan surat kabar sebagai sumber data primer. Penulis jugs melakukan satu wawancara langsung dengan salah satu staf Kedubes Pakistan di Jakarta. Pembahasan tesis ini kemudian diperkuat oleh penggunaan teori antara lain oleh Barry Buzan mengenai persepsi ancaman terhadap keamanan nasional, John A Vasquez melalui pemikirannya mengenai sikap konfliktif satu negara yang terkait dengan keadaan/sikap domestik suatu negara dan Peter Calvert mengenai keterkaitan antara situasi dalam negeri dengan pelaksanaan politik luar negeri. Ketiga kerangka pemikiran ini kemudian dikombinasikan untuk menjelaskan permasalahan serta hubungan variabel yang terdapat dalam penulisan tesis ini.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raziana Tridjajakasih
Abstrak :
Ambivalensi berasal dari istilah dalam bahasa Inggris "ambivalence" yang artinya kurang lebih: Perasaan atau sikap-sikap yang bertentangan terhadap seseorang atau sesuatu yang timbul pada saat bersamaan, seperti misalnya rasa cinta dan benci (Webster's Kew World Dictionary, Second College Bdi.tipn, 1978). Sumber lain mendefinisikan Ambivalensi sebagai suatu koeksistensi dari perasaan-perasaan yang saling berlawanan terhadap seseorang, obyek atau gagasan. (En Carta, 1997) Dalam bahasa sederhana dan populer barangkali dapat diistilahkan dengan sikap "pli.n-plan", mendua, atau tidak konsisten yang punya konotasi luas. Misalnya saja sikap suatu pemerintahan terhadap negara atau negara-negara lain yang bersahabat namun pada waktu yang bersamaan juga melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan atau bahkan merugikan negara terkait. Kalau dalam definisi pertama perasaan cinta dan benci dapat timbul secara bersamaan dalam diri seseorang?.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan
Abstrak :
Tesis ini menggunakan perspektif Realis untuk mengkaji fenomena kebijakan peacekeeping operations (PKO) Jepang. Perspektif ini mendasarkan pada beberapa asumsi pokok, yaitu: (1) konsekuensi dari sistem internasional yang anarki adalah bahwa tidak adanya otoritas utama yang dapat memaksakan penggunaan kekuatan atau menjamin perlindungan dari ancaman negara lain; (2) negara merupakan aktor utama (state actor) dalam politik internasional; (3) tujuan utama negara adalah keamanan (security), dan karena itu, motif utama yang mendasari perilakunya adalah mempertahankan atau mempertinggi kekuatan relatifnya terhadap negara lain; (4) kebijakan luar negerinya didasarkan pada adanya ancaman-ancaman dan kesempatan-kesempatan dari lingkungan eksternalnya, sehingga sistem internasional merupakan faktor yang menentukan dalam perilaku suatu negara dibanding karakteristik domestiknya; dan (5) para pemimpin negara merupakan aktor rasional (rational actor). Dalam konteks ini, Realisme menemukan pembenaran dalam menganalisa perkembangan-perkembangan di Asia Timur, khususnya Jepang. Kebijakan keamanan Jepang saat ini, dengan partisipasi aktif SDF dalam PKO PBB, dilihat sedang berupaya untuk menjadi suatu normal state dalam istilah Realis berarti suatu negara yang melihat kekuatan militer (military power) sebagal suatu fitur sentral yang diperlukan dari keseluruhan kemampuan nasionalnya, dan memandang politik kekuatan (power politics) sebagai fitur normal yang diterima dalam hubungan internasional. Krisis Teluk menjadi moment yang sangat penting bagi Jepang dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya berupa pengiriman SDF ke luar negeri dalam misi PKO PBB. Kebijakan PKO Jepang merupakan bentuk pragmatisme kebijakan luar negeri Jepang yang.dipengaruhi oleh setting eksternal dan desakan internal. Perubahan lingkungan strategis keamanan Asia Timur pasca Perang Dingin, ditandai dengan munculnya potensi ancaman sebagai akibat dari kemungkinan pengurangan pasukan Amerika Serikat dari kawasan Asia Pasifik, peningkatan kekuatan militer Cina, uji coba rudal balistik oleh Korea Utara, dan masih adanya konflik-konflik lain yang belum terselesaikan di kawasan. Sementara itu, tekanan Amerika Serikat (gaiatsu) pada Jepang untuk melakukan burden sharing semakin meningkat. Selain alasan yang terkait dengan struktur internasional, faktor domestik juga mendorong kebijakan PKO Jepang, yang ditunjukkan dengan perkembangan politik dalam negeri dan sikap publik Jepang yang membuka penafsiran terhadap Konstitusi Jepang untuk tidak menabukan pengiriman SDF untuk berperan lebih aktif dalam masalah-masalah keamanan internasional. Kesimpulan dari Tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan PKO Jepang merupakan salah satu pijakan dan indikator keinginan Jepang untuk menjadi normal state. Namun demikian, Jepang belum mencapai pada taraf normal state, tetapi masih dalam proses menuju ke arah normalisasi. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa proses Jepang untuk menjadi normal slate tidak berarti menandakan bangkitnya kembali militerisme Jepang seperti di masa lalu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13831
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Mochtar Cilah
Abstrak :
Timor Leste, Timor Timur, Loro Sae adalah nama yang sering disebut untuk negara yang baru hadir dalam politik internasional sebagai negara berdaulat. Kehadirannya tidak secara tiba-tiba, tapi lewat perjuangan yang panjang dari dua rezim yang menguasainya. Hubungan Australia dan Timor Leste bukan juga baru terbentuk sejak Timor lepas dan Indonesia, tapi telah berlangsung lama sebelum Timor Leste menjadi negara. Namun hubungan itu bukan dalam bentuk `state', karena ada rezim yang menguasainya. Hubungan Australia dan Timor Leste semakin intens sejak Indonesia mengalami krisis. Perjuangan rakyat Timor Timur untuk merdeka diperkuat dengan bantuan Australia sampai menuju kemerdekaan. Australia bagai juru selamat Timor Leste. Namun belakangan hubungan kedua negara menjadi buruk, karena hubungan kedua negara ditentukan oleh dua kepentingan yang sama yaltu 'kedaulatan territorial/perbatasan dan sumber daya alam yang diperebutkan. Kedua hal ini bukan persoalan baru tapi merupakan kisah lama yang berlanjut dan rumit karena berakar dari progres hukum internasional yang berubah. Australia merasa claim atas teritorialnya 'legitimate' dengan konvensi Genewa tentang hukum laut 1958, begitupun Timor Leste merasa lebih berhak dengan konvensi PBB mengenai hukum laut 1982. karena di dalam daerah yang disengketakan itu terdapat potensi ekonomi yang sangat signifikan bagi kedua negara, maka logika sehatnya memang mengharuskan mereka bertengkar. Pertengkaran itu bisa saja diselesaikan bila para pihak ingin selesai. Lembaga Hukum Internasional tersedia bila para pihak menghendakinya. Namun hukum internasional tak memiliki kekuatan memaksa seperti lembaga nasional. Menyusul pengumuman Australia keluar dan Mahkamah lnternasional maka pilihan penyelesaian tinggal pada kreatifitas bilateral. Dari sini diplomasi-negosiasi mengambil tempat untuk penyelesaian persoalan. Untuk satu masalah sumber daya yang berupa minyak dan gas, walaupun lewat ancaman-ancaman mereka berhasil mencapai kesepakatan 'Joint Development Area' yang mereka namakan `Timor Sea Treaty' dengan porsi 90:10, tapi persoalan perbatasan terus bertanjut. Hubungan kedua negara masih berlangsung walau dalam pertengkaran. Usaha diplomasi-negosiasi terus mereka usahakan dan sampai pada suatu pertemuan Australia mengajukan proposal penyelesaian perbatasan dalam waktu 20 tahun lagi. Hal ini semakin membuat Timor Leste marah dan menyebut Australia sebagai 'Kriminal'. Dalam tesis ini akan menelusuri dinamika pergerakan perundingan tawar menawar kedua belah pihak dalam apa yang dinamakan Diplomasi' sebagai `the Art Of The Compromise'. Meneliti kepentingan yang harus dipertahankan oleh Australia dalam hal perbatasan yang dapat dikatakan bahwa Australia menginginkan suatu penyelesaian untuk tidak selesai kecuali `minyak dan gas'. Hal itu dapat dilihat dari Cara Australia memainkan `pace' perundingan dan menolak menentukan ?Time Table' perundingan perbatasan, terus mengulur waktu dalam kondisi Timor Leste yang `desperado'.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uus Usman
Abstrak :
Bentuk dasar strategi kebijakan luar negeri Turki yang tertuang dalam program kerja pemerintahan koalisi DSP-MI-IP-ANAP maupun pemerintahan AKP sebagai penggantinya tetap mengutamakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta diorientasikan untuk berintegrasi dengan negara-negara Barat. Prinsip dasar "peace at home, peace in the world" yang merupakan motto Bapak pendiri Turki Kemal Ataturk secara konsisten tetap menjadi landasan utama dalam implementasi kebijakan politik luar negerinya tersebut. Dalam hal ini, Turki telah mengalami sejarah yang cukup panjang dalam hal kerjasama dengan negara-negara Barat dan Amerika. Seperti pada awal terjadinya krisis di kawasan Teluk, Turki telah mengambil sikap yang tegas sejalan dengan sikap negara-negara barat dan Amerika. Selain itu, AS secara intensif turut membantu dalam hal menekan negara-negara Eropa terhadap proses keanggotaan Turki di EU dan berusaha memfasilitasi proses perdamaian dalam persengketaan di Pulau Siprus, serta membantu Turki dalam upaya menekan aksi-aksi pemberontakan suku Kurdi (PKK) di perbatasan. Gambaran situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa bentuk kebijakan politik luar negeri yang dihasilkan oleh pemerintahan Turki dan AS mengarah pada sebuah bentuk konformitas dan saling memberikan dukungan pada politik luar negeri masing-masing kedua negara. Akan tetapi, perbedaan pendekatan dalam menyikapi masalah krisis Irak yang semakin menonjol pada akhir tahun 2002 lalu, menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara. Kampanye perang AS terhadap Irak yang ditanggapi secara hati-hati oleh pemerintah baru Turki (AKP), semakin memperlebar jurang pemisah dalam hubungan strategis kedua negara. Seperti diketahui, parlemen Turki menolak membuka front utara dari Turki bagi pasukan AS untuk kepentingan penyerangan ke Irak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi para pembuat kebijakan Turki (Parlemen) hingga memutuskan untuk menolak draft penempatan pasukan AS di wilayah Turki untuk kepentingan invasi ke Irak ketimbang mendukungnya. Gambaran tentang pergeseran arah kebijakan politik luar negeri tersebut di atas ditinjau dari sisi persepsi sebagian besar anggota Parlemen sebagai sekelompok pemegang kebijakan, yang memberikan tanggapan dan penilaian pada realitas invasi AS sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Temuan dalam tesis ini antara lain menyebutkan bahwa dengan Keputusan Parlemen Turki (TGNA) yang menolak kedatangan 62.000 pasukan militer AS yang akan ditempatkan di tapal batas dengan Irak, merupakan sebuah akibat dari persepsi negatif yang terbentuk dikalangan mayoritas anggota Parlemen terhadap rencana invasi Amerika. Terbentuknya persepsi negatif tersebut disebabkan oleh serangkaian citra tentang realitas invasi yang ternyata dianggap telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB, tidak sesuai dengan sikap mayoritas mayarakat Turki yang menentang perang, memperbesar kekhawatiran akan terjadinya destabilisasi suku Kurdi di wilayah perbatasan serta membangkitkan kembali kenangan masa lalu dimana Turki mengalami kerugian ekonomi setelah bersekutu dengan Amerika Serikat pada krisis Teluk Persia 1991.
Basic strategy of the Turkish foreign policy mentioned in its action plan of coalition government among Democratic Left Party (DSP) Nationalist Movement Party (MI-IP) Motherland Party (ANAP) as well as Justice and Development Party (AKP)'s government as the subsequent administration mainly exercises "Free and Active" policy and western-orientation. "Peace at home, peace in the world" as the basic principle developed by Turkish founding father, Kemal Attaturk, consistently remains the major foundation in implementing its foreign policy. In this regard, Turkey has a long history in building a close relationship with West and United States of America (US). At the beginning of the taking place a crisis in Gulf region, for the example, Turkey adopted a firm behavior, which was in harmony with the policy taken by West countries and US. In addition, US intensively supports Turkey in giving pressure toward European Union (EU) related with Turkey's membership in EU and mediates peace process concerning Cyprus dispute as well as helps Turkey to press rebel actions of Kurds in the border line. The condition mentioned above indicates that resulting foreign policy between Turkey and US tends to form conformity one and support each other. However, different approach in responding Iraqi crises dominantly at the end of 2002 became a turning point in the relationship of both countries. War campaign of US against Iraq responded carefully by the new administration in Turkey (AKP) widened some discrepancy concerning a strategic relationship of the countries. As we know, Turkish parliament refused to provide its land for US troops to attack Iraq from north front. This research aims to describe factors influencing the decision makers of the Turkish parliament so that it decided to refuse a draft of the US troop deployment in Turkish Land for the sake of attacking Iraq rather than supporting it. The writer describes that shift in Turkish foreign policy from the perception of major Turkish parliament member's point of view as a group of decision makers providing respond and judgment on US invasion. Findings of his research conclude that Decision of Turkish Parliament (TGNA) opposing the deployment of 62.000 US military troops positioned in Turkey's border line with Iraq was a result of negative perception of Turkish Parliament member majority regarding US attack plan. That perception is due to a set of images on US invasion having been regarded in violation of US Security Council values and principles, disagreement with the majority of Turks aspiration who opposed the invasion, enlarging fear of destabilization among Kurds in the border line as well as reviving past experience in which Turkey got a loss when the country allied US during Gulf Crises of 1991.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Hermawan
Abstrak :
Hubungan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Singapura dibina bukan hanya karena faktor geografis yang berdekatan tapi juga faktor sejarah. Berbagai ranah kerjasama dibangun atas nama kepentingan negara baik dalam bidang ekonomi maupun bidang politik. Hubungan itu bisa berlangsung harmonis dan produktif bila kedua negara bisa memaksimalkan dan mempertahankan hubungan yang sudah baik, dan meminimalkan atau menghilangkan ganjalan yang masih ada. Setelah melalui proses negosiasi yang cukup panjang penuh dinamika lebih dari 30 tahun, pada tanggal 27 April 2007 di Tampak Siring, Bali, Indonesia dan Singapura telah menyepakati perjanjian kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement). Perjanjian tersebut ditandatangani satu paket dengan perjanjian ekstradisi (Extradition Treaty). Kerjasama pertahanan Indonesia dan Singapura merupakan salah satu bentuk dari posisi tawar atau bargaining power diplomasi Indonesia dalam menjalin hubungan kerjasama bilateral dengan negara Singapura. Bargaining power yang digunakan Indonesia dalam menyetujui kerjasama perjanjian pertahanan dan ekstradisi adalah adanya pemikiran bahwa DCA akan mampu menjadi alat yang efektif guna menekan Singapura agar melaksanakan perjanjian ekstradisi, dimana Singapura wajib mengejar dan mengekstradisi para tersangka tindak pidana korupsi yang lari dari Indonesia dan pergi ke Singapura. Sebagai konsekuensinya, Indonesia akan memberikan izin kepada Singapura untuk menggunakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) guna latihan militer tentara Singapura, dikarenakan Singapura merupakan negara yang tidak memiliki wilayah yang cukup luas untuk dijadikan sebagai tempat latihan militer. Walaupun Indonesia dan Singapura telah menyepakati perjanjian DCA yang ditanda tangani satu paket dengan perjanjian ekstradisi, namun sejak ditandangani hingga saat ini muncul sikap pro dan kontra. Dalam pembuatan perjanjian pertahanan dengan Negara lain harus seijin dan diratifikasi oleh DPR RI, bila belum ada ijin maka perjanjian tersebut belum bisa dilaksanakan. Kritik pun diarahkan pada aspek jangka waktu perjanjian yang berjangka waktu 25 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut dikhhawatirkan akan lebih merugikan Indonesia. Dikhawatirkan pula dalam kerjasama pertahanan tersebut adanya ketentuan dibolehkannya mengikut sertakan pihak ketiga dalam latihan militer yang dilakukan di dalam wilayah Indonesia akan memperbesar potensi tekanan-tekanan politik negara superpower untuk menempatkan basis kekuatan militernya di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia sebagai perimbangan posisi strategis baru dalam tatanan pertahanan dunia.
Bilateral relationship between Indonesia and Singapore is not only made bacause of close geografy but also becasue of history. Much relationship build instead of country needs in Economy and politics. Harmonics and productive relationship could happen if both countries maximise and preserve good relationship, also minimise or eliminate something that stands in between. After exceed long negotiation proces in full dynamics for almost 30 years, in Tampak Siring, Bali on April 27, 2007 Defence Cooperation Agreement was signed. This agreement sign in one package with Extradition Treaty. Indonesia and Singapore defence cooperation agreement is one of Indonesia bargaining power diplomacy in order to compose bilateral relationship with Singapore. Bargaining power which use by Indonesia in defence cooperation agreement and extradition is have opinion that DCA could become effective way to push hard Singapore carrier out extradition treaty, which Singapore have to chase and extradition corruption suspect disappear from Indonesia and went to Singapore. As consequence, Indonesia will give using Republik Indonesia teritory for Singapore militery force for training because Singapore do not have a wide land become militery training area. Eventhough Indonesia and Singapore agreed and signed Defence Cooperation Agreement in one package with extradition treaty, but until now many pro and contra appear. In order to defence agreement with other countries has to approve and ratify by Indonesia parliamentary, and lack of implementation of the agreement if not ratified. The factor of critic is 25 years of agreement length are too long. It will be anxious more not getting any profit for Indonesia in the length of agreement. The other anxious of defence agreement is permitted third parties in militery training thorough Indonesia teritory will enlarge potential pressure politic superpower country to occupy militery basis in South East Asia especially Indonesia as world defence system thorough new strategic position stability.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27872
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>