Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Devi Yunanda
Abstrak :
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan unifikasi di bidang hukum perkawinan, yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama dan ras. Namun dalam hal perkawinan yang antara mereka yang berbeda agama, ternyata Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit sehingga menimbulkan berbagai macam penafsiran. Meskipun pendapat yang lazim diterima dari para pakar hukum adalah bahwa UU Perkawinan tidak menghendaki perkawinan beda agama, tidak menyurutkan pasangan yang berbeda agama untuk tetap mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan. Berbagai cara dilakukan agar perkawinan dapat dicatatkan dan mendapat pengakuan dari Negara. Salah satu cara yang akhir-akhir ini ditempuh oleh banyak pasangan yang berbeda agama adalah melangsungkan perkawinan dengan difasilitasi oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang mengakui sahnya perkawinan beda agama. Dalam penelitian ini, penulis meneliti apakah perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Yayasan Wakaf Paramadina dapat dicatatkan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan upaya yang dapat ditempuh oleh pasangan beda agama yang telah melangsungkan perkawinan dengan difasilitasi Yayasan Wakaf Paramadina agar perkawinannya dapat dicatatkan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat yuridis-normatif, dimana penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan dan pencatatan perkawinan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa bahan kepustakaan yang didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber terkait. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa perkawinan beda agama yang dilangsungkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina tidak dapat dicatatkan di baik di Kantor Urusan Agama maupun di Kantor Catatan Sipil, namun apabila mereka mempunyai bukti pengesahan perkawinan dari agama dan kepercayaannya selain agama Islam, maka perkawinannya dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Kemudian untuk masa yang akan datang, berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah membuka peluang untuk dapat dicatatkannya perkawinan beda agama di Indonesia, yakni melalui penetapan pengadilan.
The Law Number 1 Year 1974 concerning Marriage is acknowledged as the unification of the law in term of marriage that is applied to all Indonesian citizens that are consist of different ethnics, religions as well as races. However, it is found out that the Law did not regulate explicitly things about marriage between people from different religious background. This in turn brings about consequence in form of various interpretation of the vague condition. Even though the majority of legal experts hold that The Law concerning Marriage does not acknowledge any marriage between two different religious backgrounds, there are yet still some of such couples pursue further their interest under the marriage institution. Among many ways they take for this purpose, getting them-selves under religious ceremony held by Yayasan Wakaf Paramadina, which acknowledges the validity of such marriages, is one of the most renowned alternatives. In this research paper, the writer seeks to find out whether the marriage ceremony held by Yayasan Wakaf Paramadina, as well as the effort conducted by the couples from different religious background can be registered according to the positive law. The research applies the juridical-normative method, since it refers to the laws that regulate matters concerning marriage and marriage registration. Meanwhile the data utilized are secondary ones, in form of literatures, which further supported by the result of in-depth interview with the respondents. It is eventually concluded that any marriage happens between two persons from two different religious backgrounds that is held under the supervision of Yayasan Wakaf Paramadina cannot be registered in either Office of Religious Affairs (Kantor Urusan Agama) or Office of Civil Registration (Kantor Catatan Sipil). However if they have an acknowledgement certificate validating the marriage from their respective religion authority, then the marriage shall be registered in the Office of Civil Registration. In addition, the recent implementation of the Law Number 23 Year 2006 concerning Demography Administration has further advanced in the opportunity to such couples to register their marriage in the concerned authorities in Indonesia, that is by court order.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T38057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina G. Mulatsih
Abstrak :
Keseriusan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan akan memgantarkan mereka pada suatu ikatan perkawinan untuk membentuk rumah tangga sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh masing-masing agamanya. Sejatinya seluruh agama mengajarkan agar perkawinan terjadi antara mereka yang seiman, namun perkembangan jaman tidak membatasi hubungan antara kedua manusia hanya karena berbeda agama. Hubungan cinta. Mellyana Manuhutu seorang perempuan yang beragama Kristen Protestan dengan Prakaca Kasmir yang Moslem menjadi halangan bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan karena berbeda agama, oleh karena itu mereka mengajukan surat permohonan ke Pengadilan agar dapat dikeluarkan penetapan atas ijin perkawinan berbeda agama. Penulis dalam menyeyelesaikan skripsi ini melakukan penelitian atas penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tersebut, baik secara langsung yaitu melihat praktek dan efektifitas ijin perkawinan tersebut di lembaga yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan secara teori yaitu study perpustakaan guna mendapat data pendukung baik melalui undang-undang, peraturan , buku dan literature. Perkawinan berbeda agama bukanlah perkawinan campuran karena tidak mungkin mencampurkan dua aturan agama yang berbeda, oleh karena itu pengertian tersebut tidak dapat dimasukkan dalam UD No. 1 Tahun 1974 terutama pasal 57 tentang perkawinan campuran. Dalam peraturan perkawinan campuran Stb 18 98 No. 158 ditemukan yang mengatur bahwa perbedaan agama bukanlah menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 7 ayat (2)), sehingga. Majelis Hakim dalam membuat penetapan menggunakan peraturan tersebut sebagai dasar pertimbangannya atas dikeluarkannya penetapan tersebut maka perkawinan dapat ยท dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dengan demikian perKawinan tersebut adalah "sah menurut hukum" maka akibatnya istri mengikuti hukum suami baik secara privat maupun publik. Karena perkawinan tersebut terjadi berdasarkan penetapan pengadilan, maka akibatnya jika muncul permasalahan dikemudian hari akan diselesaikan melalui Pengadilan, tidak berdasarkan agama suami- yang seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama karena suami seorang Moslem.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmah Wahyuni
Abstrak :
Saat ini pergaulan sudah menjadi sangat majemuk dan mendunia, tidak hanya terbatas pada pergaulan lintas agama atau ras saja tetapi juga lintas negara, sehingga bukan suatu hal yang aneh lagi kalau fenomena perkawinan campuran antara Warga. Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing banyak terjadi. Untuk melindungi kepentingan perempuan Indonesia yang menikah dengan warga asing maka dibuatlah perjanjian perkawinan. Hal inilah yang rmendasari penulis untuk mengangkat pembahasan mengenai perjanjian perkawinan sebagai suatu bentuk perlindunqan hukum bagi isteri Warga Negara Indonesia dan akibat hukum yang terjadi apabila terjadi perceraian dalam perkawinan campuran dengan dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah nmtode kepustakaan untuk mencapai hasil yang bersifat evaluatif analitis. Anggapan sebagian masyarakat bahwa apabila menikah dengan Warga Negara Asing dapat memperbaiki tingkat ekonomi seseorang tidak selamanya benar, karena mungkin saja orang asing tersebut yang hendak memanfaatkan orang Indonesia untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu yang nwmang hanya dapat diperoleh apabila menikahi orang Indonesia, maka untuk melindungi kepentingan wanita Warga Negara Indonesia perjanjian perkawinan menjadi sangat membantu dalam hal pengelolaan harta kekayaan, karena dengan dibuatnya perjanjian perkawinan pisah harta hak isteri Warga Negara Indonesia menjadi semakin kuat perlindungannya, salah satunya untuk tetap dapat memperoleh hak milik atas tanah. Selama perkawinan campuran tersehut berlangsung dengan damai dan bahagia maka tidak akan menjadi masalah, masalah baru akan timbul apabila perkawinan campuran tersebut berakhir dengan sebuah perceraian, sehingga salah satu akibat hukumnya yaitu harus ada pembagian harta kekayaan diantara suami isteri tersebut, tetapi dengan dibuatnya perjanjian perkawinan sehelum perkawinan tersebut berlangsung pembagian harta kekayaan akan menjadi lebih mudah karena harta sudah tercatat atas nama masing-masing begitu pula hak milik atas tanah yang dipunyai isteri Warga Negara Indonesia tersebut, sehingga para pihak hanya tinggal membuktikan kebenarannya di muka Pengadilan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basri
Abstrak :
Masalah perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan beda agama merupakan masalah yang sangat rumit, Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, yang mengatur mengenai perkawinan beda agama ialah Regeling op de Regemengde Huwelijken, 5. 1898 No. 158 (SHR) namun ketentuan-dari GHR ataupun dari Ordornansi perkawinan Indonesia, Kristen {S.1933 No. 74 tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar dengan Undang-undang Perkawinan, jika diteliti pasal-pasal dalam Undang-undang perkawinan tidak akan ditemukan satu pasal pun yang yang mengatur secara jelas dan tegas, hal ini menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya, bagi sebagian menganggap perkawinan beda agama adalah dilarang, bagi yang lain membolehkan, Pasal 2 Undang-undang perkawinan menentukan bahwa, (1)Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi yang beragama Islam pencatatan Perkawinan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang beragama selain Islam dilaksanakan di Kantor Catacan Sipil. Hal tersehut mengharuskan perkawinan dilakukan menurut Negara dan tanpa mengabaikan agamanya akan membingungkan jika perkawinan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, pasal ini berlaku untuk perkawinan pasangan yang seagama, sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya Undang-undang Perkawinan melarang perkawinan beda agama. Dalam penelitian yuridis normatif ini, analisis yang digunakan ialah dengan cara mengumpulkan data untuk kemudian diolah dan dianalisa sesuai dengan sifat data yang terkumpul, untuk selanjutnya disajikan secara evaluatif analis. Terutama mengenai alasan mengapa Mahkamah Agung dapat mengijinkan perkawinan yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Sehingga walau perkawinan dapat dialaksanakan, namun bagaimana dengan keabsahannya. Dengan kata lain perkawinan perkawinan tersebut memenuhi syarat perkawinan perdata, namun belum memenuhi syarat perkawinan agama, seperti yang dimaksud Pasal 2 Undang-undang Perkawinan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Ulfa Zuhardi
Abstrak :
Pengakuan dan pengesahan anak luar kawin (ALK) yang dilahirkan dari perkawinan campuran orangtuanya seharusnya memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Hal ini dilakukan guna memberikan kedudukan ALK tersebut menjadi anak sah dan memiliki hubungan hukum dengan kedua orangtuanya. Namun, pada kenyataannya masih terdapat pelaksanaan perkawinan campuran yang hanya dilaksanakan menurut ketentuan agama dan tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini dapat menyebabkan kerancuan status anak yang dilahirkan. Penelitian tesis ini membahas mengenai akibat hukum dan upaya hukum yang dapat diberikan kepada anak dari hasil perkawinan campuran yang lahir pada saat perkawinan belum sah berdasarkan Studi Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor: 284/Pdt.P/2020/PA.Bgr. Metode yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini ialah penelitian yuridis normatif dengan sumber data sekunder dan bersifat eksplanatoris. Hasil penelitian ini adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah meskipun telah sah secara agama memliki status sebagai ALK dan hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja apabila pernikahan orangtua biologisnya tidak sah dimata hukum hal ini berdampak kepada status anak, waris dan kewaganegaraan anak tersebut. Upaya hukum terhadap ALK tersebut agar statusnya berubah menjadi anak sah adalah melalui pengesahan anak. ......Recognition and ratification of Out of Wedlock children born from mixed marriages of their parents should fulfill the provisions of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration (Population Administration Law). This is done in order to give the illegitimate children position to become a legal child and have a legal relationship with both parents. However, in reality there are still mixed marriages which are only carried out according to religious provisions and are not recorded at the Office of Religious Affairs. This can lead to confusion in the status of the child being born. This thesis research will discuss the legal consequences and legal remedies that can be given to children from mixed marriages who were born during an illegitimate marriage based on the Bogor Religious Court Decision Study Number: 284/Pdt.P/2020/PA.Bgr. The method used in writing this thesis is a normative juridical research with secondary and explanatory data sources. The results of this study are children born outside of legal marriage even though they are religiously legal have status as Out of Wedlock children and only have a legal relationship with their mother if the marriage of their biological parents is not legal in the eyes of the law this has an impact on the rights, inheritance and citizenship of the child. Legal efforts against the Out of Wedlock children so that its status changes to a legal child is through ratification the Out of Wedlock children.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Ariyulinda
Abstrak :
ABSTRAK
Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) merupakan akar dari instrument hak asasi manusia internasional. Dalam DUHAM dapat dibagi dalam tiga kelompok besar pengaturan yaitu: hak sipil dan politik, hak ekonomi, social dan budaya, dan ketentuan penutup. Dalam tingkat nasional banyak negara telah mengadopsi elemen-elemen dari deklarasi tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar mereka. Dalam hal ini Indonesia telah mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah mengenai perkawinan. Dalam hal perkawinan, masyarakat menyoroti pengaturan mengenai hal tersebut. Dalam Pasal 16 ayat (1) DUHAM, perkawinan karena perbedaan agama bukan merupakan suatu penghalang. Tetapi dalam pengaturan mengenai perkawinan di Indonesia, yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahuh 1974 tentang Perkawinan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, Pasal 2 ayat (2) bahwa Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga terdapat perbedaan antara DUHAM dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan kenyataan bahwa di Indonesia banyak yang melakukan perkawinan beda agama, hal ini disebakan karena interaksi sosial yang luas, pada hal dalam pengaturannya, perkawinan tersebut dilarang. Dalam hal penegakan hak asasi manusia, setiap negara yang berdaulat mempunyai hak untuk menafsirkan pelaksanaan dari nilai-nilai hak asasi manusia yang tercantum dalam DUHAM. Penerapan hak asasi tersebut disesuai dengan kondisi latar belakang masyarakat dalam suatu negara tersebut, budaya, adat istiadat, moral, dan nilai-nilai agama yang diyakini dalam suatu negara tersebut. Sehingga tidak dapat dilaksanakan secara mutlak nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam DUHAM. Sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama yang dilarang dalam UU No. 1 Tahun 1974 jik a dilihat dari perspektif HAM tidak melanggar hak asasi manusia.
2011
T38071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
Abstrak :
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan. ......Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarsono
Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Hoessien
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S19953
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>