Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
A. Hasymi Ali
Jakarta: Bumi Aksara, 1993
368.002 HAS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hasymi Ali
Jakarta: Bumi Aksara, 1999
368.002 HAS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anita Rohmah
Abstrak :
Asuransi Tanggung Jawab Hukum Operator Pesawat Udara Terhadap Pihak Ketiga merupakan suatu cabang yang khusus dari Asuransi Penerbangan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya kegiatan pengangkutan udara khususnya pengangkutan udara di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan pengangkutan udara. Masalah yang diteliti adalah Sampai sejauh manakah tanggung jawab PT. Asuransi JASINDO(Persero) dan bagaimanakah tanggung jawab PT. Garuda Indonesia sebagai operator pesawat udara dalam peristiwa kecelakaan pesawat udara yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak ketiga, proses penyelesaian klaim ganti rugi yang diberikan PT. Asuransi JASINDO (Persero) kepada PT. Garuda Indonesia dalam kaitannya terhadap tanggung jawabnya kepada pihak ketiga, dan peraturan perundang-undangan asuransi tanggung jawab hukum yang ideal untuk pihak-pihak yang berkepentingan. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan sosiologis serta data yang diperoleh dianalisa dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan PT. Asuransi JASINDO (Persero) bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti rugi sepanjang apa yang telah diperjanjikan oleh PT. Garuda Indonesia dengan PT. Asuransi JASINDO (Persero) didalam Polis Asuransi Tanggung Jawab AVN 1C 21.12.98 dan PT. Garuda Indonesia telah mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga pada PT. Asuransi JASINDO (Persero) yang tercantum dalam Polis Asuransi Tanggung Jawab AVN 1C 21.12.98 sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pengangkutan udara, serta terdapat enam tahap prosedur penyelesaian klaim ganti rugi untuk pihak ketiga dimana prosedur tersebut sudah memenuhi prosedur yang berlaku dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini perlu ditinjau kembali dengan melakukan perubahan yang mampu menjawab permasalahan perdata khususnya mengenai asuransi tanggung jawab hukum yang tidak atau belum cukup diatur dan tentunya harus memenuhi rasa keadilan masyarakat banyak sehingga kongkritisasi suatu peraturan perundang-undangan yang ideal pun dapat teralisasi dengan sempurna.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16465
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zakiy
Abstrak :
Notaris dalam membuat akta pemisahan dan pembagian harta warisan harus mengetahui status harta yang ditinggalan. Dalam hal harta warisan berupa polis asuransi jiwa terdapat ketidakpastian hukum terkait status harta tersebut yang didalamnya hanya memuat satu nama penerima manfaat. Permasalahan yang dibahas adalah status polis asuransi jiwa sebagai harta peninggalan dan ketentuan dalam polis asuransi jiwa apabila hanya mencantumkan satu nama ahli waris dari beberapa ahli waris. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah yuridis normatif dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan yang didukung dengan hasil wawancara. Berdasarkan penelitian ini status polis asuransi jiwa sebagai harta peninggalan pewaris adalah bagian dalam budel harta waris dan bukan wasiat walaupun didalam polis tersebut hanya mencantumkan satu nama ahli waris. Namun untuk memberikan kepastian hukum kepada pewaris ataupun ahli waris maka ketentuan dalam polis asuransi harus mencantumkan klausula yang menyatakan bahwa pencairan uang klaim asuransi jiwa sebagai bagian harta waris. Apabila polis asuransi jiwa memang diniatkan oleh pewaris sebagai wasiat untuk penerima manfaat maka notaris harus dilibatkan untuk pembuatan akta wasiat nya sehingga akta wasiat tersebut menjadi satu kesatutan dokumen dengan polis asuransi jiwa yang diterbitkan dan hal ini mempermudah notaris dalam pembuatan akta pemisahan dan pembagian harta warisan. ......The notary has to know the treasure status that left behind in making the deed of the separation and distribution of inheritance. In case of inheritance in life insurance policy, there is legal uncertainty regarding the treasure status, which contains only a beneficiary. The problems discussed are life insurance policy status as an inheritance and the provisions that only includes the name of heir which from several heirs. The researcher used normative juridical by reviewing the provisions legislation and supported by the interview results as the research method. Based on this research, the life insurance policy status as an inheritance of heir is part of inheritance in a bundle and is also not an inheritance if the insurance policy includes only a name of heir. However, to give legal certainty to heir, so that there has to be provision in insurance policy must include clause stated that the fund disbursement of life insurance as part of inheritance. If insurance policy is intended benefit from the heir as inheritance, then the notary has to be involved in making inheritance deed so that it becomes one complete document with life insurance policy that published and can make easier for the notary in making the deed and classifying the allocation of inheritance.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1994
S23088
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jayani Widia Nooriendasari
Abstrak :
Asuransi adalah suatu cara pengalihan resiko kepada pihak lain, salah satu contoh resiko yang bisa dialihkan yaitu resiko sakit. Untuk menghindari seseorang terkena kerugian yang besar akibat sakit maka dikeluarkan suatu produk asuransi kesehatan. Penyelenggaran asuransi kesehatan di Indonesia dilakukan secara sosial oleh pemerintah dan secara komersial oleh asuransi swasta. Penyelenggaraan asuransi sosial dilakukan secara tunggal/monopoli oleh Pemerintah melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Meskipun secara hukum, hal ini sah untuk dilakukan karena didasarkan pada amanat Undang-Undang, namun monopoli BPJS dikhawatirkan tidak sejalan dengan prinsip persaingan usaha karena berpotensi timbulnya praktek monopoli, menghambat persaingan usaha dan mematikan pelaku usaha asuransi komersial yang telah ada. ...... Insurance is one of the way to shift transferrable risk to another party, which one of them includes health risk. In order to divert person loss due to health reason, therefore health insurance is necessary to be issued. The Indonesian health insurance has been socially organized by government and commercially organized by the private insurance company. The implementation of social insurance is conducted in single or monopoly way by government through Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Although according to law this matter is legitimate since it is based on the legislation, nonetheless BPJS monopoly is feared to be not in line with the business competition principle since it potentially causing monopoly practice, impeded completition, and turning off any existed commercial insurance business.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60988
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rofiatul Muna
Abstrak :
Berdasarkan Hasil Ijtima Ulama MUI Tahun 2015, BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam, karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Permasalahan BPJS Kesehatan yang dianggap tidak sesuai syariah dibahas berdasarkan perspektif hukum Islam dengan menggunakan metode normatif. Berdasarkan perspektif hukum Islam memang masih terdapat beberapa hal dalam BPJS Kesehatan yang masih belum sesuai dengan syariah. Denda dalam BPJS Kesehatan bisa digolongkan sebagai riba apabila tidak dialokasikan sebagai dana sosial. Selain itu, Pengembangan aset BPJS Kesehatan dengan investasi juga belum memberikan kepastian dilakukan pada sektor yang dihalalkan. Solusi yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan perbaikan akad melalui pembuatan suatu produk syariah. Akad dalam BPJS Kesehatan harus dimaknai sebagai akad tabarru, sehingga peserta BPJS Kesehatan harus mempunyai niat ikhlas bahwa iuran yang akan dibayarkan digunakan untuk membantu sesama peserta yang tertimpa musibah. Selain itu, Pelaksanaan program jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan harus dilakukan berdasarkan konsep taawun (tolong-menolong) sehingga dapat menghindari unsur gharar, maisir, dan riba. ......Based on the ijtima results of MUI in 2015, BPJS Kesehatan is considered inappropriate with Islamic law, because it contains elements of gharar, maisir and riba. The problems arising from BPJS Kesehatan is considered inappropriate with sharia from the perspective of Islamic Law by using normative methods. Based on the perspective of Islamic law, there are some things in BPJS Kesehatan which are still not in accordance with sharia. Fines in BPJS Kesehatan can be classified as riba, if it is not allocated as social funds. Asset development of BPJS Kesehatan with investment also does not provide the certainty on the lawful sector. The problems of BPJS Kesehatan can be solved by revising the contract from the good making of sharia product. Contract in BPJS Kesehatan must be construed as contract tabarru, so the participants of BPJS Kesehatan must have a sincere intention that the dues paid will be used to assist other participants who suffered from disasters. The implementation of the health insurance program by BPJS Kesehatan should be based on the concept of ta'awun (mutual help) so as to avoid gharar, maisir and riba.;Based on the ijtima results of MUI in 2015, BPJS Kesehatan is considered inappropriate with Islamic law, because it contains elements of gharar, maisir and riba. The problems arising from BPJS Kesehatan is considered inappropriate with sharia from the perspective of Islamic Law by using normative methods. Based on the perspective of Islamic law, there are some things in BPJS Kesehatan which are still not in accordance with sharia. Fines in BPJS Kesehatan can be classified as riba, if it is not allocated as social funds. Asset development of BPJS Kesehatan with investment also does not provide the certainty on the lawful sector. The problems of BPJS Kesehatan can be solved by revising the contract from the good making of sharia product. Contract in BPJS Kesehatan must be construed as contract tabarru, so the participants of BPJS Kesehatan must have a sincere intention that the dues paid will be used to assist other participants who suffered from disasters. The implementation of the health insurance program by BPJS Kesehatan should be based on the concept of ta'awun (mutual help) so as to avoid gharar, maisir and riba.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62538
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>