Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmat Akbar
"Dewasa ini sistem outsourcing semakin berkembang di Indonesia terlihat dari semakin banyaknya perusahaan yang memanfaatkan jasa dari perusahaan outsourcing. Sistem ini telah terbukti efektif bagi perusahaan dalam melakukan efisiensi, baik dari segi operasional maupun biaya. Sedangkan bagi pencari kerja sistem ini dapat dijadikan alternatif sebagai batu loncatan bagi karirnya di masa datang. Namun pada kenyataannya di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan pekerja/buruh outsourcing, telah terbentuk persepsi buruk bahkan terjadi penolakan terhadap sistem outsourcing, karena sistem ini dianggap telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap buruh. Hal ini mengakibatkan timbulnya kontradiksi antara semakin berkembangnya praktek sistem outsourcing di Indonesia dengan semakin meningkatnya penolakan dari masyarakat terhadap sistem ini. Berkaitan dengan adanya persepsi yang sudah terlanjur buruk inilah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah sistem outsourcing telah sesuai dengan kaidah syariah dilihat dari hukum perjanjian Islam, serta mengetahui faktor dominan apakah yang menyebabkan timbulnya persepsi buruk tersebut.

These days the outsourcing system has been developing in Indonesia as we can see from the increasing number of companies using the service provided by outsourcing companies. The system is provided to be effective for companies which look for efficiency in term of operation and cost. For the workers, the system can be an alternative or as a stepping stone for their future career. However, in reality in the society particularly among the outsourced employees or workers, there is a negative perception over outsourcing and even there is a rejection to the system as the system is considered to be the cause of labor exploitation. Consequently, there is contradictory situation in which the practise of outsourcing continues to flourish while at the same time there is an increased rejection to the system among the society. Considering its negative perception, the objective of the research is to find out whether the outsourcing system is in line with the shariah principles seen from the perspective of Islamic contract law, and to find out what the dominant factors causing such a negative perception."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T29190
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pembinaan dan Pengendalian Proyek Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1981
378.92 IND b (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, 2007
R 340.54 Und
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Mungki Kusumaningrum
"Yogyakarta merupakan Propinsi di Indonesia yang memiliki kekhasan, keunikan dan daya tarik tersendiri. Dengan dibuatnya Undang-undang nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, maka terjadi penggabungan Kabupaten Kota Kesultanan Yogyakarta dan Kabupaten Kota Paku Alaman menjadi Kota Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta lainnya adalah pengelolaan Tanah Magersari. Tanah dengan hak Magersari merupakan tanah yang dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta yang untuk kemudian tanah tersebut digunakan dengan menggunakan hak pakai oleh masyarakat untuk mendirikan bangunan ataupun untuk kegiatan lain. Pengelolaan Tanah Magersari ini dikelola oleh Kantor Panitikismo sebagai Kantor Pertanahant Keraton Yogyakarta. Pembuatan sertifikatpun dilakukan langsung oleh Kantor Panitikismo. Ada keunikan dalam pembuatannya yaitu setiap sertifikat apabila yang memiliki tanahnya adalah pribadi maka akan ditempelkan sebuah foto sebagai identitas pemilik sedangkan apabila yang memilikinya sebuah badan hukum maka tidak perlu menempelkan foto tersebut."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Suryana
"ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan kontestasi ruang sosial, sebagai fenomena sosial kemasyarakatan yang menyumbang signifikan terhadap proses suburbanisasi. Pola kontestasi ruang sosial tersebut bertumpu pada prinsip memanfaatkan segala peluang, sebuah Cara pandang terhadap gejala mobilitas !capital-yang rlifasilitasi oleh proses suburbanisasi---sebagai kesempatan ekonomi (economic opportunity). Kontestasi ruang sosial yang terbentuk pun seirama dengan proses suburbanisasi wilayah tadi terhadap kota induknya, terstruktur secara berjenjang (berposisi terbawah) dalam sistem hirarki ruang sosial kota metropolitan, dan terbangun sebagai produk dialektika antara pasar, negara, dan masyarakat. Jadi, suburban adalah arena sosial ketiga aktor tadi berkontestasi. Proses ini pads akhirnya membentuk struktur ruang sosial suburban dalam kerangka menopang fungsinya terhadap kota metropolitannya itu.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian (Citayam) dipilih karena mewakili satu tipe suburbanisasi Jakarta yang bercirikan: (1) penyangga permukiman (bukan penyangga industi), (2) berada di jalur sistem transportasi massal yang murah dan cepat (jaringan kereta listrik Jakarta Bogor), (3) tumbuh begitu cepat pasta krisis ekonomi 1997, (4) dipicu oleh pasar perumahan dalam skala menengah-kecil (bukan seperti Bumi Serpong Damai yang berbentuk pasar rumah dalam skala besar untuk kalangan berpenghasilan atas), (5) bercorak suburban untuk kalangan berpenghasilan menengah dan bawah. Data dikumpulkan melalui penelusuran sumber sekunder maupun penelitian lapangan (field research). Koleksi stastistik milik Badan Pusat Statistik dan pustaka milik Perpustakaan Nasional (dalam kurun 1911-1960-an) menjadi salah satu acuan dalam penelusuran data sekunder. Sementara penelitian lapangan menggunakan teknik pengamatan, wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu. Sejumlah informan kunci diwawancarai. Mereka mewakili pare pemangku kepentingan terkait balk dari kalangan alit penduduk asii, lapis bawah, pedagang sektor informal, dan komuter.
Tesis ini menyimpulkan bahwa suburbanisasi merupakan epifenomena, sebuah gejala yang digerakan oleh proses mobilitas kapital di sekitar kota metropolitan pinggiran. Suburban sendiri terbangun sebagai produk mekanisme pasar rumah yang "diatur" negara. Sebagian besar penghuninya adalah penduduk kota metropolitan yang tidak mampu membeli rumah di hunian pusat kota. Sebagian mereka tergolong berpenghasilan menengah-bawah yang pindah ke suburban karma alasan finansial, disamping juga terdorong oleh alasan yang bersifat suburban dream. Suburban yang dapat dilaju setiap hart pun mereka pilih (karena adanya sistem transportasi massal), mesh dituntut mental juang yang pantang menyerah lantaran fasilitas transportasi massalnya itu jauh dari memadai.
Lokasi riset ini berkategori suburban menengah bawab, bukan hunian strategis, dan tidak dianggap panting oleh memori kolektif aparat Negara. Hal tersebut juga tersumbang oleh fakta bahwa wilayah suburban ini adalah daerah periferi dalam sistem kewilayahan daerah otonom. Dalam kaftan ini, negara abai menyediakan fasilitas publik, karma wilayah suburban ini dianggap tidak memberikan rente kepada dirinya. Pada sisi lain, mesh suburban menengah-bawah ini dibentuk oleh pasar perumahan, penyediaan fasilitas publik oleh pengembang sangat terbatas dan selalu saja berkorelasi dengan kemampuan finansial pars penghuni perumahan. Untuk mengompensasi sangat terbatasnya fasilitas publik tadi, penghuni suburban melakukan apa yang oleh riset ini dikonseptualisasikan sebagai frase penduduk-membangun-suburban (people making suburban). Mereka secara kreatif membangu infrastruktur hunian dan fasilitas umum dengan berpatokan pada prinsip memanfaatkan segala peluang.
Gejala penduduk membangun suburban pun kemudian bergerak ke tahap lebih lanjut, sebagai upaya mengisi celah sosial ekonomi akibat dampak berganda (multiplayer effect) sirkulasi kapital di wilayah ini. Di wilayah sentral suburban yang memiliki tingkat kapasitas tanah yang tinggi, gejala penduduk membangun suburban terjadi secara mendalam dan penuh dinamika. Migran lapis bawah menyerbu wilayah pusat untuk mencari peruntungan di sektor informal. Mereka melakukan kontestasi ruang sosial. Pojok tanah mereka duduld, dan berjualan apa saja agar lake dan meraup keuntungan. Hal yang sama juga dilakukan penduduk asli. Mereka pun melakukan kontestasi ruang sosial dengan mengaktifkan identitas sosial mereka sebagai "orang asli". Pojok perempatan mereka kuasai dan duduld. Sebagiannya mereka ubah menjadi sistem pangkalan ojek yang terorganisir dan bertumpu path ikatan sosial sebagai "orang ash". Dunia hitam pusat perdagangan suburban pun dikuasai sebagian kalangan penduduk asli.
Tampak bahwa prinsip memanfaatkan segala peluang bekerja di batik gejala penduduk membangun suburban. Prinsip ini bertumpu pads anggapan bahwa gejala suburbanisasi dipandang sebagai proses tumbuh dan tersedianya peluang ekonomi, betapapun kecilnya kesempatan ekonomi tersebut. Upaya kreatif pun mereka kedepankan agar dapat menangkap, memanfaatkan, dan meraup peluang ekonomi tadi. Pola pemanfaatan peluang ekonomi ini mereka lakukan secara mandiri, tanpa fasilitasi pemerintah maupun bantuan dart lembaga keuangan formal. Mereka membangun sistem bantuannya secara horisontal melalui pelbagai jaringan sosial yang mereka miliki, seperti mengaktifkan jaringan etnis, modal sosial sesama pekerja sektor informal, atau mengaktifkan ikatan sosial sebagai "orang asli".
Tampak bahwa isu identitas penduduk asli telah menjadi "senjata", agar mereka tetap terlibat secara signifikan dalam proses suburbanisasi. Hal ini adalah bentuk kompensasi psiko-sosial atas rentannya kemampuan individual sebagian besar penduduk asli dalam merespon suburbanisasi. Kompensasi sosial lainnya terlihat dalam berfungsinya organisasi sosial lokal (seperti kelompok preman setempat) dan perangkat kelembagaan resmi lokal (seper(i pemerintah desa) sebagai perisai sosial politik dan ekonomi. Dari sudut pandang negara, pasar, dan masyarakat, upaya berburu surplus tadi mereka lakukan di bawah kerinduan terhadap fungsi kesejahteraan negara. Negara mereka konsepsikan harus hadir dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan kelompok sosial ini. Dengan kata lain, gejala sekelompok penduduk asli menguasai tanah negara dan berkontestasi ruang sosial dalam rangka meraup surplus, terdorong oleh persepsi fungsi laten negara sebagai lembaga yang hares melindungi taraf hidup layak mereka. Maka, ketika fungsi ideal tadi tidak mereka jumpai, mereka pun menyerobot tanah negara. Perilaku sosial yang secara resmi dikategorikan sebagai tindak ilegal ini, justru terdorong oleh cara pandang mereka terhadap fungsi negara tadi. Pola kontestasi demikian dapat dimaknai sebagai cars paksa untuk menghadirkan fungsi ideal negara, sebuah upaya yang layak dipahami sebagai mencari perlindungan dari tirani pasar (market).

ABSTRAK
This study analyzes contestation of social space as a social phenomenon significantly contributed to the process of urbanization. The pattern of the contestation of social space is based on a principle of making use all the opportunities--a perspective to capital mobilization phenomenon-facilitated by the process of urbanization-as an economic opportunity. The contestation of social space in turn, went along with the process of urbanization of the area, hierarchically structured in the system of metropolitan city, and established as a product of dialectic between market, state and society. Therefore, suburban area is social arena where the three actors are contesting to each other. The process finally formed the structure of suburban social space in the framework of its function to the metropolitan city.
The research methods used in the study are primarily those of qualitative approach: observation, in depth-interviews, collection of statistical data from Badan Pusat Statistik and Perpustakaan Nasional, and case study as its primary data collection method. The locus of research in Citayam was chosen because it represents one type of suburban in Jakarta. To analyze the suburbani cation process and the contestation of social space, informants of the study are stakeholders consisting of the elites of the local residents, low class people, informal sector merchants, and commuters.
This study has found that suburbanization is epiphenomena driven by capital mobility process around sub metropolitan area. Suburban it self is established as product of house market mechanism regulated by the "state". Most of the residents are those who cannot afford to buy house at the center of the city. They also belong to low-income people who move to suburban for financial reason. Suburban residential areas that they can choose are also limited due to the limitation of the mass transport system.
The location of research can be categorized as a low-income residential area which is not consider important by the state due to the fact that this are is a peripheral area in the zoning system of the autonomous municipal government This is why the state does not provide any public facilities to the area. The private company developer that manages the area is also reluctant to provide any public facilities due to the lack of purchasing power of the residents. To compensate for all these shortcomings, the suburban residents take concrete measures which in this study conceptualized as "people making suburban areas". They creatively create residential infrastructure and public facilities based on the principle of making use of all the opportunities.
The phenomenon of people making suburban areas is also moving to the next step, which is an effort to fill the social economy niche generated by the multiplayer effect of the capital circulation in the area. In the central area of suburban, which has the high land capacity, lower class migrants as well as local residents dynamically develop suburban areas. The lower class migrants are looking for financial opportunities in the informal sector, while the local residents activate their social identity as "natives" to maximize economic gains.
It appears that the principle of making use of all the opportunities is operating behind the phenomenon of "people making suburban areas." This principle based on assumption that urbanization is regarded as a process of the development and the availability of economic opportunities, no matter how limited they are. Creative efforts are used by the residents to catch and maximize the economic opportunities, without any facilities from the government or formal financial institutions. They develop their systems horizontally by strengthening social and ethnic networks, and activating their social ties as "natives".
It also appears that the issue of local residents identity has become "the weapon" in order to stay involved significantly in the process of urbanization. However, the active involvements in gaining economic opportunities are due to the non-optimal function of the state. The pattern of the social contestation can be regarded to realize forcefully the ideal function of the state, an effort that should be regarded as to seek protection from the tyranny of the market.
"
Lengkap +
2007
T19161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Mufrisno
"ABSTRAK
Kebijakan kelembagaan penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu (PM dan PTSP) di DKI Jakarta telah mengalami beberapa fase perubahan, dimulai dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap, Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu sampai dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Dinas PM & PTSP). Fase perjalanan reformasi kebijakan kelembagaan tersebut namun tidak diiringi dengan efektivitas kelembagaan dan perbaikan iklim investasi Penelitian ini memiliki tujuan untuk menemukan konfigurasi struktural Dinas PM & PTSP DKI Jakarta menggunakan teori Mintzberg dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa karakteristik kelembagaan Dinas PM & PTSP DKI Jakarta saat ini merupakan konfigurasi Birokrasi Mesin. Birokrasi mesin mengutamakan standardisasi dan spesialisasi pekerjaan secara tinggi. Hal demikian menjadi kelemahan pada birokrasi mesin dalam pengambilan keputusan yang tidak dapat diambil secara cepat sebagaimana kondisi empiris kelembagaan Dinas PM & PTSP DKI Jakarta itu sendiri. Dengan demikian diperlukan perubahan dari birokrasi mesin menjadi birokrasi profesional yang kemudian meletakkan standardisasi kepada keahlian/kemampuan individu sehingga efektivitas kelembagaan dan perbaikan iklim investasi dapat tercapai.

ABSTRACT
Institutional policy on investment and one stop shop in DKI Jakarta has been modified by several phase, started with One Stop Shop Service Unit (one roof system), One Stop Shop Service Agency and lastly, Investment and Integrated One-Stop Services Department. However, those institutional reform were not followed by its institutions effectiveness and the improvement of investment climate. Approached by using qualitative method, this study aims to find institutional configuration structure of Investment and One Stop Shop Service Department in DKI Jakarta based on Minztberg scheme. The research resulted that the characteristics of Investment and One Stop Shop Service Department of Jakarta Province is on the machine bureaucracy stage which characterized by the high level of standarization and specialization work. This result implicated that the institution has the weakness in decision-making process which could not be taken in immediate time as shown by the emprical condition of Investment and One Stop Shop Service Department. Thus, the institution still required to form a more professional bureaucracy which standardized on the expertise and ability of an individual to improve its institutional effectiveness in improving the investment climate."
Lengkap +
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wares, Alan C.
California: Santa Ana, 1968
016.41 WAR b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Vanbrori
"Skripsi ini membahas tentang jumlah limbah beton dan besi yang dihasilkan pada tahap pabrikasi di Plant Precast serta meneliti proses-proses yang menjadi penyebab timbulnya limbah tersebut. Skripsi ini juga membahas implementasi konsep Lean Construction dalam proyek konstruksi jembatan dan pengaruh yang dapat diberikan konsep ini dalam minimisasi limbah konstruksi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dan juga melalui wawancara tidak terstruktur untuk mencari semua informasi yang sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Last Planner System. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa lean construction memberikan pengaruh terhadap pengurangan penghasilan limbah.

This thesis discusses the amount of concrete and steel waste that are produced at the manufacturing stage in Precast Plant as well as examine the processes that cause the generation of waste. This thesis also discusses the implementation of Lean Construction concept in bridge construction projects and the influence of this concept in for waste minimization in construction processes. The study was a qualitative research using study case method and also through unstructured interviews to seek information according to the approach used in this research that Last Planner System. This result of this research proving lean construction contribution for reducing waste."
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42471
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo, the Jepan Institute of Labour
050 SJIL (1998)
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
"PURPOSE: Laparoscopic fundoplication (LF) has become a standard operative procedure for GERD-related diseases in Japan, although meta-analyses have mainly evaluated findings from Western countries. The propensity score matching method was used to compare and investigate the treatment outcomes of two fundoplication procedures (the Nissen and Toupet methods).
METHODS: Among 474 patients who underwent initial LF from December 1994 to April 2016, we extracted 401 cases (Nissen: 92 cases, Toupet: 309 cases), excluding 73 patients in whom follow-up was insufficient. We then matched 126 of these patients (63 per group).
RESULTS: The esophageal acid reflux time (%) was 12.2:2.8, being higher in the Nissen group than in the Toupet group (p < 0.001). Regarding the surgical outcome, the amount of bleeding was higher in the Nissen group (p = 0.001), and the number of hospitalization days following surgery was longer (p = 0.003). Furthermore, a significantly rate of postoperative difficulty in swallowing (%) was observed in the Nissen group, at 13:0 (p = 0.004). The recurrence rate (%) was 8:3, with no difference between the two groups (p = 0.243).
CONCLUSIONS: Although there was no marked difference in the recurrence rate between the two procedures, postoperative dysphagia was observed at a higher frequency with the Nissen method than the Toupet method."
Lengkap +
Tokyo: Springer, 2017
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>