Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutagalung, Daniel P.
Abstrak :
Perkembangan perekonomian Indonesia setelah berakhirnya kekuasaan kolonialisme Belanda dan Jepang, memiliki fase yang menarik. Pergulatan mengenai rumusan konsep perekonomian nasional yang dicita-citakan menjadi perdebatan yang menarik. Trauma akan penjajahan Belanda menjadikan ekonomi yang dicita-citakan haruslah ekonomi yang mewadahi seluruh kepentingan rakyat dan upaya pengambilalihan semua kepemilikan Belanda yang berada di Indoneisa menjadi agenda utama. Namun setelah persetujuan KMB yang mengembalikan hak-hak kedaulatan pemerintahan ke tangan Indonesia dengan bentuk pemerintahan serikat (RIS), pemerintah yang baru memperoleh kedaulatan haruslah mengakui semua kepemilikan Belanda sebelumnya, artinya seluruh kekayaan Belanda yang ada di Indonesia tetap menjadi kepemilikan Belanda sesuai dengan yang diatur dalam persetujuan KMB. Dalam kondisi seperti inilah Sumitro Djojohadikusumo Menteri Perdagangan dan Industri pada Kabinet Natsir dipercaya untuk menyusun sebuah rumusan kebijakan ekonomi yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan ekonomi Indonesia. Kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kekuatan industri menengah kebawah atau industri rakyat agar dapat menjadi dasar ekonomi Indonesia. Industri ini nantinya diharapkan dapat menunjang industri-industri besar yang sebelumnya sudah mapan. Namun kuatnya modal asing dan lemahnya kernampuan masyarakat dalam mengakses kemajuan teknologi dilihat menjadi penyebab tidak jalannya program tersebut, sehingga titik berat devisa coba diambil dengan pengembangan pengusaha importir nasional. Usaha ini juga dinilai gagal karena hampir semua pengusaha tidak mampu melakukan kegiatannya tanpa mendapat bantuan dari negara, sehingga posisi mereka sangat tergantung pada policy yang dikeluarkan negara. Sehingga hubungan yang muncul adalah hubungan nepotisme antara pengusaha dan penguasa. Juga bentuk pemerintahan parlementer yang berdasarkan demokrasi liberal menyebabkan tidak ada kabinet yang mampu bekerja secara maksimal, karena setiap kabinet langsung dijatuhkan apabila melakukan suatu kesalahan, sehingga umur tiap-tiap kabinet hanya beberapa bulan saja. Yang penting di sini adalah ketidakmampuan negara dalam mengembangkan dirinya sebagai pelaksana utama kegiatan ekonomi sehingga modal asing memiliki posisi yang semakin kuat dalam menguasai bidang usaha. Perencenaan ekonomi yang dijalankan dari awal juga dibuat terkesan darurat dan hanya sekedar untuk menjalankan sebuah kegiatan perekonomian, dengan tahapan waktu yang kurang jelas. Jadi kekuatan pasar yang diharapkan untuk mengarahkan kebijakan justru rnenjadi bumerang, karena ketidaksiapan negara dan juga pengusaha nasional, sehingga pencapaian hasil-hasil ekonomi hanya diperoleh segelintir orang yang memiliki akses ke arah itu.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S12458
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinna Safitri
Abstrak :
Penelitian tentang nasionalisasi NHM 1957-1960 dilakukan untuk menjelaskan mengenai kondisi NHM sebelum nasionalisasi, berjalannya proses nasionalisasi, dan kondisi NHM setelah di nasionalisasi. Penjelasan ini diharapkan dapat memberikan jawaban mengenai munculnya kebijakan pemerintah Indonesia menasionalisasi NHM. Pengumpulan data dilakukan melalui pencarian sumber primer dan sekunder. Kemudian dari data yang didapatkan diolah sesuai dengan aturan dalam metode penulisan sejarah. Nasionalisasi NHM berdasarkan pada PP no. 44/1960 dan melalui SK mentri keuangan No.261206/B.U.M tanggal 30 November 1960, yang menetapkan ketentuan-ketentuan tentang penyerahan segala hak dan kewajban, perlengkapan, dan kekayaan serta usaha perusahaan NHM N.V di indonesia kepada BKTN (Bank Koperasi Tani dan Nelayan). Dari telaah sumber didapatkan bahwa Kebijakan pemerintah Indonesia untuk menasionalisasi NHM berawal dari realitas politik dan ekonomi yang berkembang pasca perang kemerdekaan. Memasuki tahun 1950 semangat untuk melepaskan diri dari intervensi asing semakin kuat. Puncaknya adalah pada tahun 1957 ketika hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Kegagalan memperjuangkan Irian Barat melalui jalan diplomasi, mengakibatkan pemerintah Indonesia menempuh cara lain yaitu dengan melancarkan aksi-aksi untuk mengambil alih NHM. Nasionalisasi NHM berjalan tanpa proses perlawanan dari pihak Belanda. Sikap Belanda yang tanpa perlawanan selain disebabkan karena status Indonesia sudah merdeka dan dukungan dari buruh yang bekerja pada NHM juga dikarenakan lemahnya posisi Belanda dalam politik Internasional.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library