Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Margaretha Hanita
Depok: UI Publishing, 2019
324.7 MAR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tohadi
Abstrak :
Bila dibandingkan dengan masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan pasca Orde Baru relatif berjalan secara reformis dan demokratis. Pada masa Orde Baru, yaitu pemerintahan Presiden Soeharto, meskipun pada awalnya menunjukkan adanya praktik pemerintahan yang demokratis konstitusional, namun segera dalam waktu berikutnya Orde Baru menampilkan struktur dan praktik politik yang otoriter. Pemerintahan Orde Baru dibangun dan diselenggarakan dengan watak pemerintahan bersifat dominan, intervensionis, dan hegemonik. Seluruh sistem Orde Baru, dalam kenyataannya, kemudian menjadi sistem Soeharto. Dalam hubungan antara lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR, maka dalam format politik otoritarian Orde Baru, lembaga Kepresidenan mengatasi dan mendominasi lembaga DPR. Kontrol dan intervensi lembaga Kepresidenan atas lembaga DPR paling penting ialah dengan adanya kekuasaan lembaga Kepresidenan yang mengangkat keanggotaan DPR selama masa Orde Baru, selain keanggotaan DPR/MPR yang dipilih dalam Pemilihan Umum. Berbeda dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru, pemerintahan pasca Orde Baru utamanya pada masa pemerintahan hasil Pemilu 1999, yaitu pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid sebaliknya kontrol lembaga DPR atas lembaga Kepresidenan sangat kuat. Pada masa ini hampir setiap kebijakan pemerintahan Presiden Wahid selalu mendapat kontrol dari DPR. DPR secara aktif meminta keterangen dan/ atau mengadakan penyelidikan atas kebijakan yang diambil Presiden Wahid. Hasil penelitian deskriptif-analisis yang menggunakan studi kasus dengan menggunakan analisis kualitatif dan induktif; dan memakai teknik pengumpulan data wawancara mendalam, diskusi dan studi dokumentasi (kepustakaan) menjelaskan bahwa dilihat dari konstitusi, kekuasaan lembaga Kepresidenan dan lembaga DPR RI pada masa pemerintahan Presiden K.K. Abdurrahman Wahid pasca Orde Baru mengalami pergeseran bila secara komparatif dibandingkan dengan masa sebelumnya, terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Pada masa pemerintahan Presiden Wahid telah terjadi perpindahan titik pendulum kekuasaan ke arah dominasi lembaga DPR RI. Demikian dilihat dari praktik penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan lembaga DPP RI hasil Pemilu 1999 pada masa pemerintahan Presiden Wahid lebih kuat mengatasi kekuasaan lembaga Kepresidenan. Selama kurun pemerintahannya, sebagaimana diteliti penulis dengan melihat kebijakan yang diambil Wahid, yaitu likuidasi Depsos dan Deppen; pemberhentian Kapolri Jenderal Polisi Roesdihardjo; usaha pemberhentian Gubemur Bank Indonesia Syahril Sabirin; pemberhentian Menperindag Jusuf Kalla dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi; pencalonan Ketua MA; kasus Buloggate dan Bruneigate; dan pelantikan Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Kapolri, lembaga DPR secara aktif dan kuat mengontrol lembaga Kepresidenan (Presiden Wahid) melalui hak interpelasi, hak mengadakan penyelidikan melalui pembentukan panitia khusus (Pansus) dan memorandum DPR. Lalu, mengapa terjadi pergeseran kekuasaan serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid? Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya pergeseran kekuasaan pada masa pemerintahan Presiden Wahid, yaitu berpindahnya ,titik pendulum kekuasaan dari lembaga Kepresidenan ke lembaga DPR, disebabkan oleh tiga faktor: 1). Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945. Kekuasaan yang dimiliki lembaga Kepresidenan yakni kekuasaan di bidang eksekutif atau penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan di bidang legislatif atau perundang-undangan, kekuasaan di bidang yustisial, dan kekuasaan di bidang hubungan luar negeri, seiring dengan ada dan berlakunya Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua UUD 1945 itu menjadi berkurang. Pada saat yang sama, kekuasaan lembaga DPR menjadi lebih terinci tegas, 2). Konfigurasi Politik di Kabinet Persatuan Nasional. Pada awalnya, konfigurasi politik Kabinet Persatuan Nasicnal secara kuat mendukung pemerintahan Presiden Wahid. Dengan adanya reshuffle kabinet ini, konfigurasi politik kabinet pemerintahan Presiden Wahid menjadi melemah dan kemudian meninggalkan dukungan kepada keberlangsungan pemerintahan yang dipimpinnya, sebagai akibat kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri atas digantinya menteri-menteri yang berasal dari aliansi kekuatan politik itu oleh Wahid; dan 3). Konfigurasi Politik di DPR RI Hasil Pemilu 1999. Seiring dengan kekecewaan dari aliansi kekuatan politik dari partai-partai politik dan TNI/Polri sebagai akibat pergantian kabinet ditambah dengan adanya kasus Buloggate dan Bruneigate yang mengindikasikan (patut diduga) keterlibatan Presiden Wahid, membuat Wahid pada akhirnya kehilangan dukungan di DPR. Di DPR, Wahid hanya bertumpu pada adanya dukungan kecil dari PKB di DPR (10,2 %) ditopang NDKB (1,0 %).
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfar Yusar Sanit
Abstrak :
Perkembangan politik Indonesia sekarang ini memberikan banyak ruang kepada para sarjana untuk meneliti perubahan politik dan sosial. Karena itu penulis meneliti perubahan tersebut, dengan mengkhususkan perhatian pada pergeseran peranan politik dari militer (Koramil) kepada partai politik. Dalam rangka itu penulis teliti apa yang menyebabkannya dan kondisi apa yang mempengaruhinya. Penelitian ini penulis lakukan di daerah kecamatan Ciputat, Kabupaten Tanggerang dengan alasan bahwa pergesaran tersebut perlu dipahami (diuji) dari tingkatan yang paling bawah. Dengan permasalahannya adalah apakah pergeseran peran dari Koramil kepada partai politik terjadi atau tidak di tingkat Kecamatan terutama Kecamatan Ciputat. Untuk menganalisa dan melihat terjadi atau tidak perubahan tersebut, dimanfaatkan Teori Oligarki. Baik elit Koramil, maupun elit partai politik, sama-sama berkecenderungan mencapai keuntungan pribadi atas kekuasaan pemerintahan yang didominasinya. Konsekuensi dari sikap pamrih itu adalah penyalahgunaan kekuasaan. Dan ternyata dalam wilayah pemerintahan yang terkecil diketahui keadaan Koramil yang selama ini berperan dominan dibanyak sektor kehidupan mulai dari sektor Politik, Sosial dan Ekonomi sampai ke bidang Pertahanan dan Keamanan, sehingga membuat peran partai menjadi amat terbatas dalam kehidupan politik, sosial serta ekonomi. Perubahan politik yang diharapkan seperti perubahan sistim politik, kultur politik dan proses politik dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Presden Abdurrahman Wahid tidak terjadi. Oleh karena itu, agar perubahan politik yang diharapkan dapat terwujud peran dari partai dan Koramil dikembalikan kepada jalurnya dan jalan yang cukup efektif adalah penertiban hukum yang dihasilkan oleh DPR dalam bentuk Undang-undang, dengan demikian akan jelas fungsi koramil sebgai alat pertahanan, polisi sebagai aparat keamanan dan partai sebagai kekuatan masyarakat yang berperan dalam politik dan sosial.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Aryesam
Abstrak :
Pengibaran bendera Papua pada tanggal 1 Desember 1961 yang tidak disertai dengan Proklamasi Kemerdekaan dan aksi konfrontasi yang dilakukan pihak Indonesia serta ditandatanganinya Persetujuan New York tahun 1962 oleh Indonesia dan Belanda menyebabkan tidak terwujudnya gagasan pembentukan negara Papua. Reaksi dari masyarakat Irian Barat menjelang penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda yaitu ada yang mendukung gagasan pembentukan negara Papua dan ada yang mendukung perintah Trikora tahun 1961 dan Persetujuan New York tahun 1962.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurakhman
Abstrak :
Tesis ini membahas proses interaksi kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler di Indonesia pada tahun 1908 hingga 1959. Pertumbuhan nasionalisme mengawali penulisan ini dan diakhiri dengan diberlakukannya sistem demokrasi terpimpin. Sebuah bangsa dalam proses menuju terbentuknya sebuah negara diawali dengan tumbuhnya rasa nasionalisme. Proses tumbuhnya rasa nasionalisme di Indonesia diawali dengan munculnya organisasi kemasyarakatan yang modern. Organisasi tersebut merupakan wadah bagi semua tokoh pergerakan nasional berinteraksi dan menyalurkan aspirasi mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonial. Perjuangan pergerakan ini ditandai dengan pencarian ideologi bagi perjuangan mereka. Hal tersebut memunculkan dua kekuatan dalam pergerakan nasional, yaitu nasionlis Islam dan nasionalis sekuler. Adanya dua kekuatan ini memunculkan persaingan dalam meraih pengaruh dari masyarakat. Sehingga pembentukan wadah persatuan lewat konfederasi pun, interaksi mereka tidak dapat muncul sebagai sebuah kekuatan yang mampu menekan kolonialisme Belanda untuk mewujudkan citacita kebangsaan Indonesia, Indonesia Merdeka. Persaingan ini terus berkembang dalam kehidupan politik Indonesia hingga Indonesia merdeka. Sehingga dalam kehidupan politik Indonesia selalu ditandai dengan singgungan dua kelompok tersebut. Melihat hal di atas persatuan bukan satu hal yang mudah dan banyak tantangan yang muncul dalam mewujudkannya. Kecurigaan di antara sesama menyebabkan ketidakpercayaan diantara mereka. Ketidakpercayaan membawa mereka kepada kebencian tehadap kelompok lain yang akhirnya kebencian itu membawa perpecahan dikalangan tokoh pergerakan. Hal tersebut menjadi suatu hambatan dalam mencapai persatuan Indonesia. Perbedaan pendapat ini bukan semata oleh karena perbedaan ideology antara Islam dan sekuler namun lebih pada adanya kepentingan pribdai atau golongan tertentu. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam persatuan bangsa kita dalam menuju Indonesia yang adil dan sejahtera.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T14842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik H.
Abstrak :
Persoalan hubungan sipil-militer selama masa reformasi yang paling penting dan patut untuk dijadikan kajian maupun bahan penelitian adalah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak-lebih dari 20 bulan, dari bulan Nopember 1999 hingga Juli 2001. Bukan saja karena terdapatnya sejumlah kebliakan penting yang dihasilkan dalam rangka penegakan supremasi sipil, keberhasilan militer Indonesia melakukan konsolidasi lnternal, ataupun hubungan sipil (Presiden Abdurrahman Wahid) dengan militer yang dipenuhi dengan 'ketegangan'. Lebih dari itu, militer indonesia memiiiki peranan yang cukup signifikan bagi naik dan turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan Rl ke-4.

Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI. Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden Rl ke-4 hasil Pemilu 1999. Sejumlah kebijakan penting ilu diantaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya "dewirantoisasi', dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI dibawah Menhan. Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ?perlawanan' atas beberapa kebijakan Abdurrahaman Wahid di atas, terutama yang berkaitan dengan seiumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas Sl MPR 2001.

Dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dengan para pelaku (tokoh) penting di sipil maupun militer selama Abdurrahman Wahid menjabal Presiden Rl dan studi pustaka, dikumpulkan dan diverifikasi data-data itu, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana pola hubungan sipil-militer di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sejauhmana reposisi militer berlangsung di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan apakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mampu membuat hubungan sipil-militer yang betul-betul mencerminkan adanya reposisi militer dari domain politik dan terbentuknya supremasi sipil yang akan mendukung demokratisasi di Indonesia ?.

Untuk itu, kerangka teori yang penulis gunakan dalam melihat hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Abdurrahaman Wahid, pertama, bisa dijelaskan dengan teorinya Perimuller (1980), Huntington (1959) dan Welch (1970) yang melihat faktor eksternal militer menjadi penyebab munculnya intervensi. Sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihal faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil. Kedua, Alfred Stepan (1998) tentang pengurangan hak istimewa militer dan otorilas politik militer serta Sundhaussen (1985) tentang alasan dan syarat penarikan diri militer dari wilayah politik. Ketiga, Perlmutler (1980) dengan teori fusionist (peleburan)-nya menjelaskan tentang model-model hubungan sipil-militer di dunia ketiga. Keempat, berkaitan dengan variasi dominasi militer banyak dilakukan oleh Huntington (1959), Monis Janowilz (1964), Claude E. Welch (1970), David E. Albright (1980), Qrouch (1985) dan Nordlinger (1994), yang menjelaskan model dominasi militer dalam pemerintahan sipil sesuai dengan posisi dan peran mililer di dunia ketiga.

Berdasarkan metode penelitian dan kerangka teoritik di atas, beberapa temuan penting hasil studi, analisis dan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, posisi militer pasca Orde Baru masih kuat, Kedua, militer pasca Orde Baru telah melakukan beberapa perubahan internal yang merupakan jawaban atas tuntutan dan tekanan publik. Ketiga, inkonsistensi reposisi militer dari politik praktis juga dilakukan oleh kekuatan sipil. Keempat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memang lelah menandai adanya upaya untuk mereposisi militer dan keinginan untuk memprofesionalkan tentara. Kelima, Hubungan Abdurrahman Wahid-militer awalnya harmonis, namun tidak berlangsung Iama, sebab Abdurrahman Wahid terlalu mengakomodasi ?kelompok moderal? TNI yang menghendaki terciptanya militer profesional dan meninggalkan kelompok yang masih memperlahanlkan status quo dimana TNI tidak hanya berfungsi sebagai ?pemadam kebakaran? saja, tetapi sekaligus menolak prinsip supremasi sipil. Presiden dianggap lerlalu jauh melakukan intervensi ke tubuh TNI, sehingga kelompok konservatif mampu mengkonsolidasikan kekuatannya bekerja sama dengan kelompok sipil (Iawan polilik Abdurrahman Wahid) menolak Maklumat Presiden dan menggelar Sl-MPR.

Keenam, cita-cita penegakan prinsip supremasi sipil pada era kepemimpinanan Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan oleh dua hal ; (1) presiden, parlemen dan para elite partai polilik menjadi titik lerlemahnya. Konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer ini ditunjukkan melalui dukungannya lterhadap penyelenggaraan Sl MPR dan, (2) secara ideologis, militer belum sepenuhnya bersedia menarik diri dari domain polilik praktis. Karena, secara substansi, doktrin dan keyakinan anggola mililer belum berubah. Selain itu, keengganan militer unltuk back to barrack karena pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan militer yang profesional.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli
Abstrak :
Penelitian mengenai Gerakan Aspirasi Merdeka telah dilakukan di Jayapura dan Sorong sekitar bulan Nopember 2001 dan bulan Juni 2003. Penelitian dilakukan dengan maksud untuk membcrikan gambaran yang komprehensif dan aktual tentang prospek politik Papua menuju kemerdekaan dan pemisahan diri dari Ncggara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl). Tujuannya guna mencari solusi terbaik dalam komitmen bersarna mcmpertahankan kedaulatan NKRI. Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu melalui sumber tertulis dan lisan. telapi lebih banyak menggunakan sumber tulisan. Hasil penelitian menunjukkan bagi masyarakat Papua, proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dianggap tidak sah. Pclaksanaan Papua mereka anggap tidak sesuai dcngan ketentuan New York Agreement. Di samping itu mereka berpendapat Papua pada tanggal 1 Desember 1961, telah merdeka. Dengan demikian Indonesia telah merampas kemerdekaan mereka. Di situlah letak akar perlawanan sebagian orang Papua terhadap Pcmcrintah Indonesia. Situasi itulah yang memunculkan stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dalam konteks nasional sering disebut scbagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan ini tetap ada sarnpai sekarang walaupun tidak sampai mengguncangkan stabilitas nasional. Pada era reformasi, dimana orang relatif dapat bebas berbicara dan menuntut apa saja, gerakan perlawanan orang Papua mulai terlihat bangkit kembali. Namun cara perjuangannya berbeda Jika scbelum era reformasi perlawanan mereka menitikberatkan pada gerakan bersenjata maka pada era reformasi dilakukan secara politik. Namun, isu yang mereka lontarkan dalam perlawan relatif lama yaitu; : masalah Pepera. pelanggaran HAM, perlakuan tidak adil dan faktor suku bangsa yang berbeda. Aspirasi untuk merdeka sccara resmi disampaikan kepada Presiden B.J. Habibie di lstana Negara, pada tanggal 26 Februari, 1999. Dari ketiga butir pcrnyalaan yang disampaikan satu di antaranya berbunyi. Papua ingin merdeka. Langkah selanjutnya tanggal 23 Februari 2000 mereka mengadakan Musyawarah Besar di Sentani yang dihadiri oleh 500 elemen perjuangan Papua merdeka, lcrmasuk Moses Weror, tokoh senior OPM. Mubes ini berhasil membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) wadah tunggal perjuangan kemerdekaan Papua yang dikeluai olch Theys Hiyo Eluay dan Tom Beanal. Sebagai tindak lanjut dari Mubes tanggal 29 Mci hingga 5 Juni 2000 diselenggarakain Kongres. Kongres ini melahirkan resolusi yang berisi antara lain menolak hasil Pepera. Tetapi pemerintah tetap pada pendiriannya yaitu hanya akan memberikan status otonomi khusus bagi Papua, pada tanggal 22 Oktober 2001 Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) disyahkan oleh Presiden Megawati menjadi UU No. 21 Tahun 2001. Di tengah situasi konilik. pada tanggal 10 Nopember 2001, pemimpin PDP Theys Hiyo Eluay ditemukan lervas. Pelaku pembunuhan ternyata adalah anggota Kopassus Para pelaku pembunuhan ini kemudian diajukan kepengadilan militer di Surabaya dan dijatuhi hukuman penjara.
The research done by Freedom of Aspiration Movement was conducted in Jayapura and Sarong in November 2001 and June 2003. The research was done to give a realistic actual and comprehensive picture on the political prospect of Papua into freedom and to separate from the Republic of Indonesia. We utilized two methods of data collection by oral and written but much more using the written source. The result reflects the condition of Papua deny the integration process deny the act of free choice (Penentuan Pendapat Rakyat - Pepera) 1969, which has been considered illegitimate. Pepera was not conducted according to the New York agreement. Additionally, the people of Papua believed that ,they actually gained independence aim December 1st , 1961. They believe Indonesia interfered with their sovereignty. So that is' the root cause of the opposition (struggle) from the Papua is Indonesia. This situation created stigma towards Gerakan Pengacau Keamanan (GPK.), which on the national context is commonly referred to as Free Papua Movement (OPM). The struggle continues to exist although it has not risen to national stability damaging. The reformation era marked the first implementation of freedom for speech and to claim the struggle of Papua society growing up but in a different way. The struggle has stuffed from around to the more sophisticated political movement. However the issues remained the same of PEPERA problems, Human Right, unfair treatment and cultural differences. The aspiration to be free according formally decelerated to the President, B.J. Habibie at Istana Negara, February 26th 1999. One of three demands among other thing stated: Papua wants to be free. On February 23rd 2000 OPM to arrange Musyawarah Besar in Sentani than came 500 elements from the various Freedom of Papua, including Moses Weror, a senior figure in OPM. The Assembly formed Presidium Dewan Papua (PDP) that unified the various elements struggle of Papua Freedom elected Theys Hiyo Eluay and Tom Beanal as their leaders. POP'S 1st congress washed on May 29th until June 5?Th 2000, which produced the resolution, any which PDP rejected the result of Pepera. Unfortunately the Indonesian government ignored the resolution of the offered special autonomy status for Papua. On October 22nd 2001, the draft and the special autonomy law was sign by President Megawati into law UU No.21, 2001. In the conflict situation, on November 10th, 2001, Kopassus murdered Theys Hiyo Eluay. All of the murderer suspect and than to proposed at military judgment in Surabaya and was detention in prison.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Heri Suhanda
Abstrak :
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang mengambarkan Model Birokrasi Pemerintah Dalam Otonomi Khusus yang berfokus pada penataan struktur organisasi dan tata kerja di Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian ini bersumber dari timbulnya permasalahan dalam birokrasi pemerintah dalam merealisasikan kebijakan otonomi khusus dalam hal struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) yang kurang efektif dan efisien Disamping itu terdapat ketidakjelasan dalam pembuatan SOTK yang menyebabkan terhambatnya pembahauran. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sebelum dilaksanakan penelitian ini diadakan analisa kepustakaan untuk memperoleh gambaran model birokrasi yang tepat diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya data diperoleh melalui studi kepustakaan, wawancara mendalam dengan para informan dan observasi. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dimana informan dipilih berdasarkan informasi yang dibutuhkan. Jumlah informan sebanyak 13 orang yang terdiri dari Aparatur pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan jumlah 10 orang kemudian dari tokoh agama 1 orang, tokoh masyarakat 1 orang, dan 1 orang tokoh pendidikan. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan model birokrasi yang tepat bagi pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara teori dan mendiskripsikan kenyataan model birokrasi yang diterapkan. Dengan penganalisaan akan diperoleh bentuk optimal dari model birokrasi secara kelembagaan dalam konteks otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan analisa kepustakaan didapatkan bahwa model birokrasi yang tepat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang kelembagaan harus memiliki struktur organisasi dan hirarki yang jelas sehingga setiap pegawai mempunyai wewenang-wewenang khusus yang ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria kedudukan yang telah ditetapkan. Di samping itu harus terdapat adanya peraturan yang jelas tentang tugas yang harus dilaksanakan sehingga setiap pegawai dapat mengambil keputusan dalam tiap unit tugas yang didasarkan pada pembagian tugas dan fungsi berdasarkan keahlian (spesialisasi). Penciptaan struktur kelembagaan harus mencerminkan keinginan masvarakat. Mengakomodasi karakteristik masyarakat. Potensi wilayah, Kemampuan keuangan, Kebutuhan daerah, dan Sumberdaya aparatur yang ada. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih terdapat hambatan internal dan eksternal dari organisasi perangkat daerah, sehingga dalam pelaksanaan pembangunan didaerah terhambat. Untuk itu diperlukan adanya penataan dalam bidang kelembagaan perangkat daerah sehingga akan tercipta bentuk optimal dari kelembagaan pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21962
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Martini
Abstrak :
Pakaian mempunyai arti yang sangat penting dalam peradaban manusia. Sejalan dengan perkembangan jaman, fungsi pakaian juga mengalami perkembangan. Pakaian yang semula hanya sebagai pelindung badan kemudian berkembang hingga akhirnya digunakan untuk kepentingan politik pada masa pemerintahan Orde Baru. Keluarnya pedoman pakaian seragam sekolah tahun 1982 yang mengatur pakaian seragam sekolah secara nasional tentunya dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi yang terjadi waktu itu. Dan keluarnya pedoman pakaian seragam sekolah tersebut akan membawa dampak bagi siswa-siswa sekolah. Dampak yang dirasakan siswa-siswa pada akirnya mengundang aksi perlawanan menentang pedoman pakaian seragam sekolah dan dukungan simpatik yang menyebabkan pedoman pakaian seragam sekolah ditinjau ulang lagi dan disempurnakan dengan keluarnya pedoman pakaian seragam sekolah tahun 1991. Untuk mendapatkan pemahaman secara baik terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini digunakan teori collective action Charles Tilly. Penelitian ini menempuh tahapan sesuai metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan penulisan. Sumber-sumber yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer meliputi surat keputusan, surat-surat, koran dan majalah serta wawancara dengann tokoh terkait. Sedang sumber sekunder terdiri dari buku-buku dan artikel.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T37250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Prasetya
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai Mewujudkan Pemerintahan Presidensiil Efektif Dikaitkan Dengan Sistem Multipartai Di Indonesia, Sistem presidensial yang dimurnikan dalam perubahan UUD 1945 dipraktekkan di tengah kondisi nyata sistem multipartai dalam komposisi politik di DPR. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam kerangka sistem presidesial tidak berjalan dengan efektif sesuai dengan karakteristik sistem presidensial dalam konsepsi umum walaupun koalisi antarpartai di DPR sudah digalang secara signifikan oleh Presiden Yudhoyono untuk mendukung pemerintahannya. Indikasi ketidakefektifan sistem presidensial dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono tersebut dapat dilihat dari tiga point, sebagai berikut. Tereduksinya hak prerogatif, Terhambatnya proses legislasi, terhambatnya kebijakan non-legislasi. Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan desain Preskriptif, yaitu memberikan solusi/gagasan berdasarkan teori hukum, dimana suatu masalah dapat menjadi suatu gagasan. Hasil penelitian menyarankan Pertama, presiden harus memiliki legitimasi politik yang tinggi, karena dipilih melalui pemilihan umum, tidak hanya berdasarkan mayoritas suara, tetapi juga sebaran dukungan daerah, Kedua, keterlibatan penuh presiden dalam setiap pembahasan RUU yang menyangkut anggaran dan non anggaran. Ketiga,dengan adanya dukungan mayoritas dari anggota DPR, Keempat, Kepemimpinan politik dan administrasi, Kelima, Pejabat politik yang ditunjuk dalam jumlah yang memadai dan yang keenam yaitu, hadirnya Partai oposisi yang efektif.dan yang terakhir yaitu Pelembagaan kalender penyelenggaraan berbagai jenis pemilu merupakan desain sistem pemilu yang paling strategis untuk mewujudkan pemerintahan presidensiil yang efektif tersebut. ...... This thesis discusses Making Effective the Presidential government associated With a multiparty system in Indonesia, which was purified presidential system in the 1945 change was practiced in the real conditions of a multiparty system in the political composition of Parliament. This condition causes the government of President Yudhoyono in the framework presidential system is not operating effectively in accordance with the characteristics of a presidential system in general, although the conception of inter-party coalition in the Parliament have raised significantly by President Yudhoyono to support his government. Indication of the ineffectiveness of the presidential system in the government of President Yudhoyono can be seen from three points, as follows. reduced prerogative, inhibition of the legislative process, inhibition of non-legislative policy. The study was a qualitative research design with prescriptive, that provide solutions / ideas based on theories of law, where a problem may be an idea. The results suggest first, the president must have a high political legitimacy, as chosen through elections, not only by a majority vote, but also the distribution of regional support, Second, the full involvement of the president in any discussion concerning the draft budget and non budget. Third, with the support of a majority of the members of the Parliament, Fourth, political and administrative leadership, Fifth, political officials appointed in sufficient number and a sixth, namely, the presence of opposition parties that last effective.and the Institutionalization of the election calendar is organizing various kinds of design the most strategic electoral system to make effective the presidential government.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>