Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Michelle
Abstrak :
Peradilan adat adalah salah satu bukti hidupnya penegakan hukum adat di dalam masyarakat Indonesia. Terlepas dari berbagai peraturan perundang-undangan di masa lalu yang berupaya untuk menghapuskan peradilan adat, pada kenyataannya berbagai kesatuan masyarakat hukum adat memiliki pranata sosial yang menjalankan fungsi peradilan sampai dengan saat ini, seperti Saniri Ria Muni pada masyarakat Nuaulu di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah. Melalui studi dokumen hukum, tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana sejarah serta perkembangan kedudukan dan kewenangan peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang Kekuasaan Kehakiman dan Pemerintahan Daerah atau Desa. Dengan melakukan penelitian sosio-legal seperti wawancara dan observasi di Negeri (Desa) Nua Nea dan Negeri Sepa, tulisan ini kemudian bertujuan untuk menganalisis bagaimana legitimasi lembaga peradilan adat Saniri Ria Muni dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nuaulu yang tinggal di dua Negeri tersebut. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peradilan adat tidak memiliki kedudukan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, namun lembaga-lembaga adat diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa oleh berbagai peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Desa sebagai bentuk pelaksanaan hak otonomi “Desa”.  Terkait dengan legitimasi Saniri Ria Muni, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Nuaulu memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap putusan-putusan peradilan adat, di antaranya, karena masyarakat melihat bahwa penegak hukum mampu memberikan hasil yang diharapkan, diberikan hak untuk bersuara dan menunjukkan bukti, dan penegak hukum memperlakukan para pihak yang terlibat secara terhormat dan mendengarkan serta mempertimbangkan penjelasan mereka yang dapat dipercaya. ......Indigenous juridical system is one proof of the persistence of indigenous/customary laws enforcement in Indonesia. Despite laws and regulations implemented in the past aiming for its abolishment, in reality hitherto many indigenous communities have social institutions that function like a court, for example the Saniri Ria Muni of the Nuaulu community in Seram Island, Central Maluku District. Through documentary legal research, this paper aims to explore the history and development of the position and authority granted to indigenous juridical systems in the Indonesian juridical power system by legal documents on juridical power and regional autonomy. By conducting a socio-legal research in Negeri (village) Nua Nea and Negeri Sepa, this paper continues to seek and analyze the legitimacy of the Saniri Ria Muni as an indigenous juridical court in the lives of the Nuaulu community residing in both said villages. The findings of this research shows that indigenous juridical system or courts do not have a legally regulated position in the Indonesian juridical power system, however indigenous institutions are given the authority to resolve disputes by legal documents on regional or village autonomy as a form of their rights. In regards to the legitimacy of Saniri Ria Muni, this research found that the people of Nuaulu have a strong degree of compliance to its decisions because, among others, the society perceives that the authorities were able to provide desired outcomes, allow people to speak and present evidence, and treat people with dignity and respect to explain judgments that they are trustworthy.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Septarini
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai warisan budaya yang beragam. Warisan budaya tersebut merupakan kekayaan tidak berwujud bagi Indonesia karena sifatnya yang tradisional dan turun temurun. Salah satu warisan budaya Indonesia adalah batik motif parang rusak. Pemeliharaan dan pelestarian pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional atau folklor Indonesia saat ini diatur di dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya dan Di dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Perlindungan folklor yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengumuman atau perbanyakan Ciptaan folklor oleh orang yang bukan Warga Negara Indonesia. Hal ini untuk mencegah pemanfaatan oleh pihak asing tanpa izin dari instansi yang terkait dalam masalah ini. Dengan diakuinya batik sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity pada tanggal 2 Oktober 1999, Pemerintah Indonesia harus mengantisipasi bagaimana apabila ada pihak lain (asing) yang akan melakukan pengumuman ataupun perbanyakan dari batik motif parang rusak untuk kepentingan komersial mereka sendiri. Tulisan ini membahas perlindungan Hak Cipta batik motif parang rusak menurut Undangundang Nomor 19 Tahun 2002, upaya hukum yang dapat dilakukan pemerintah Republik Indonesia dalam rangka melindungi folklor terutama Batik Motif Parang Rusak dan Efektifitas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dalam memberikan perlindungan atas Batik Motif Parang Rusak. Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian normatif terhadap Undangundang Nomor 19 Tahun 2002. Selain itu sebagai pelengkap juga dilakukan wawancara dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Pengolahan data dilakukan secara kualitatif, sedangkan pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif.
ABSTRACT
Indonesia is known as a country that has a diverse cultural heritage. The cultural heritage is intangible property for Indonesia because it is traditional and hereditary. One of the cultural heritage of Indonesia is batik motif parang rusak. The maintenance and preservation of traditional knowledge and traditional cultural expressions or folklore in Indonesia is regulated in Article 10 paragraph (2) of Act Number 19 of 2002, The State holds the Copyright on folklore and folk culture results that belong together, like the story, saga, fable, legend, chronicle, songs, crafts, choreography, dance, calligraphy and other works of art and in Article 10 paragraph (3) of Act Number 19 of 2002 states that in order to publish or reproduce the works referred to in paragraph (2) , people who are not Indonesian citizens must first obtain permission from the institution related to the problem. The protection of folklore are referred to in this paper is the creation folklore announcement or multiplication by non Indonesian citizen. This is to prevent the use by a foreign party without the permission of the institution related to this issue. With the recognition of batik as an Intangible Cultural Heritage of Humanity on October 2, 1999 , the Indonesian government must anticipate what if there is another party (foreign) who will do the announcements or reproduction of defective parang motif for their own commercial interests. This paper discusses protection parang motif Copyright damaged by Act Number 19 of 2002, the law attempts to do the Indonesian government in order to protect folklore especially Batik Motif Parang Rusak and Effectiveness of Act Number 19 of 2002 on Copyright in giving protection of Batik Motif Parang Rusak. To answer these problems carried normative study of the Law Number 19 of 2002. In addition to complement the interviews were conducted by the Directorate Intellectual Property Right. Data processing is done qualitatively, while the deduction is done by using the deductive method.
2013
T39281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York : Routledge, 2018
342.087 2 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Rina Apriani
Abstrak :
Perdebatan mengenai kedudukan Desa Adat di Bali kembali mencuat pasca lahirnya UU Desa 2014. Bali menilai penormaan Pasal 6 sebagai pertanyaan retoris bagi mereka dan berbalik memperkuat eksistensi Desa Adar melalui Perda Desa Adat, 2019. Perda tersebut kembali menekan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali dengan karakternya yang khas dan dikelola berdasarkan filosofi Hindu, Tri Hita Karana yang bersumber dari Sad Kerti. Penelitian ini akan melihat tata hubungan antara Desa Adat Ubud yang memiliki otonomi saat bertemu dengan Kelurahan Ubud yang berposisi sebagai fungsinya. Observasi serta wawancara mendalam membuktikan bangwa Desa Adat Ubud dan Kelurahan Ubud membangun pola hubungan yang sinergis melalui asa Desa Mawacara dan Bali Mawacara dalam pemahaman bahwa manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan Penccipta, sesama dan lingkungan sekitarnya. Hubungan yang sinergis ini tentunya perlu dipertahankan dan dapat menjadi model hubungan antara Desa Adat lain di Bali dalam rangka menciptakan relasi yang baik antara sesama Desa Adat dan pemerintah. ......The debate about position of Desa Adat in Bali resurfaced after the birth of 2014 Village in Law. Bali considers the norm of Article 6 as a rhetorical question and turn to strengthen the existence of Desa Adat as a unity of customary law communities in Bali with its distinctive character and is managed based on Hindu Philosophy, Tri Hita Karana which comes from Sad Kerthi. This research will look at the relationship between Desa Adat Ubud which has autonomy when meeting with Kelurahan Ubud which is positioned as a sub-district apparatus and no longer has autonomy in carrying out its functions. In-depth observations and interviews prove that Desa Adat and Kelurahan Ubud build a synergistic relationship pattern through the principles of Desa Mawacara and Bali Mawacara in the understanding that humans must establish a good relationship with the Creator, others and the surrounding environment. This synergistic relationship certainly needs to be maintained and can be a model of relations between other Desa Adat in Bali in order to create good relations between Desa Adat and the government.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library