Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jihan Ammatuz Zakiah
Abstrak :
Wacana gerakan masyarakat adat muncul di Indonesia seringkali dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perlawanan dari ancaman pihak eksternal. Sebagian masyarakat memahami bahwa adat merujuk pada sebuah praktik ritual, norma, atau pun kebiasaan—sebagian juga memahami bahwa adat merujuk pada prosedur untuk menyelesaikan sengketa tenurial yang saat ini menjadi agenda LSM. Masyarakat adat di Indonesia didukung oleh pihak LSM untuk memperjuangkan hak-haknya dengan membawanya turut berperan dalam ranah legislasi. Tulisan ini mengeksplorasi bagaimana aktivitas LSM dalam mengupayakan perlindungan dan pengakuan masyarakat lokal yang memiliki klaim hak atas tanah melalui serangkaian praktik inskripsi. Penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa proses kegiatan advokasi AMAN dan BRWA di beberapa wilayah IKN. Bersamaan dengan posisi saya sebagai fasilitator yang membantu kedua LSM tersebut, tulisan ini juga menjadi refleksi etnografis. Oleh karenanya, tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana agenda advokasi AMAN BRWA dilakukan untuk mengidentifikasi dan merumuskan ‘wilayah adat’ serta memperlihatkan bagaimana agenda advokasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sifatnya prosedural, tetapi pada kenyataannya menimbulkan serangkaian konstruksi dan negosiasi.  ......The discourse of the indigenous peoples' movement emerging in Indonesia is often interpreted as an attempt to resist external forces. Some communities define adat as referring to ritual practices, norms or customs—while others define adat as a procedure for resolving tenurial disputes, which is currently on the agenda of NGOs. Indigenous peoples in Indonesia are supported by NGOs to advocate for their rights by involving them in legislation. This paper explores how NGO activities seek to protect and recognize local communities with land rights claims through a set of inscription practices. The research was conducted by covering several processes of AMAN and BRWA advocacy activities in several IKN areas. Along with my position as a facilitator assisting the two NGOs, this paper is also an ethnographic reflection. Therefore, this paper aims to explain how AMAN BRWA's advocacy agenda is to identify and formulate 'customary territories' and to illustrate how this advocacy agenda is carried out through procedural steps, but in reality leads to a series of constructions and negotiations.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oxford: Oxford University Press, 2014
325.3 RET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Corry, Stephen
Cookhill: Freeman Press, 2011
305.8
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Apit Andrianto
Abstrak :
Kaum muda atau remaja banyak melakukan eksperimen untuk mencari jati diri antara lain dengan menggunakan musik. Mereka bahkan kemudian menjadi pendorong dari kelahiran subkultur. Musik rock dipakai sebagai salah satu satu yang mampu merangsang pemikiran dan pembentukan kelompok tandingan yang direpresentasikan melalui lahirnya komunitas-komunitas subkultur. Kelahiran subkultur, pada awalnya, tidak pernah bisa dipisahkan dengan gaya hidup menyimpang. Anggota-anggota subkultur dianggap melakukan praktek-praktek penyimpangan perilaku seperti tindakan kriminal, alkohol, drugs, atau seks bebas. Rock sebagai musik yang muncul dengan semangat pemberontakan dijuluki sebagai musik 'iblis' karena dianggap merangsang kebiasaan hidup menyimpang tersebut. Komunitas slanker merupakan salah satu kelompok subkultur kaum muda di Indonesia yang mendasarkan pada musik rock. Seperti halnya subkultur-subkultur lain, slanker juga tidak bisa melepaskan diri dari stigma negatif berupa penyimpangan hidup. Di awal kemunculannya, anggota-anggota kelompok slanker juga banyak melakukan gaya hidup menyimpang seperti mengkonsumsi alkohol dan obat terlarang. Namun pada perkembangannya, mereka meninggalkan kebiasaan hidup menyimpang itu. Dipengaruhi oleh kelompok musik idola mereka Slank, subkultur slanker menentang budaya bangsa yang penuh dengan korupsi, kolusi, dominasi, segregasi, dan kepalsuan yang dianggap sebagai 'kultur dominan'. Sebagai kelompok subkultur mereka menciptakan simbol-simbol spesifik untuk menegosiasikan bentuk budaya alternatif atas budaya dominan dan atau tradisional. Busana mereka cuek dan apa adanya, gaya bahasa mereka terbuka dan kadang kasar, mereka memiliki cara jabat tangan khas, dan mereka juga menciptakan pesan-pesan tertentu terkait dengan focal concern sebagai kritik sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menggali identitas subkultur slanker dengan mengaitkan peran media KoranSlank terhadap pembentukan identitas mereka. Paradigms konstruksionisme dipakai sebagai landasan penelitian dengan mengaplikasikan metode etnografi. Pengetahuan dan realitas dalam kerangka pemikiran konstruksionisme bersifat dialektis. Proses pemahaman terhadapnya, tidak dapat mengabaikan faktor historis dan kultural. Oleh sebab itu, etnografi dipilih sebagai metode untuk menggali data alamiah dengan lebih dalam, berkaitan dengan kebutuhan informasi historis dan kultural. Aplikasi metode penggalian data menggunakan tekhnik observasi Iangsung, observasi terlibat, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Etnografi juga dipilih agar memungkinkan terjadinya diskusi yang lebih mendalam dengan para informan berkaitan dengan informasi-informasi yang mereka berikan ataupun atas interpretasi-intepretasi hasil yang didapatkan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa identitas slanker terangkum dalam gaya yang disebut dengan slengean. Identitas tersebut beroperasi dalam interaksi antara apa yang dimiliki secara personal oleh masing-masing anggota (identitas personal) dengan gaya kolektif yang mencerminkan milik komunitas (identitas kelompok). Media KoranSlank berperan besar dalam membentuk gaya slengean, memberi pemaknaan aimbol-simbol komunitas, dan membangun kohesifitas slanker yang akan memperkuat identitas slengean. Implikasi dari hasil penelitian ini memberi pemahaman tentang komunitas slanker sebagai bentuk subkultur yang merespon dominasi budaya tidak dengan praktek-praktek penyimpangan hidup. Pembentukan subkultur slanker lebih merupakan negosiasi atas budaya darninan negeri yang dianggap penuh dengan korupsi, segregasi, hipokrisi, dan kepalsuan. Respon terhadap dominasi budaya tidak dilakukan seperti halnya gerakan politik, tetapi lebih melalui bentuk-bentuk ide budaya seperti gaya busana, gerakan sosial, dan gerakan moral melalui pembuatan kata-kata mutiara. Jumlah anggota, daya kreativitas, dan kohesifitas kelompok menjadi potensi besar bagi pengembangan dan pemberdayaan komunitas. Makna teoritik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelahiran subkultur sebagai bentuk dari budaya kaum muda menjadi penyedia bentuk identitas kelompok alternatif diluar dari yang ditawarkan oleh sekolah dan pekerjaan. Kaum muda merespon dominasi budaya dengan melakukan negosiasi budaya. Perubahan sosial yang tidak mungkin terhindarkan menyebabkan sifat otentisitas subkultur bersifat lentur, mengikuti perubahan tersebut. Subkultur slanker lebih menunjukkan perlawanan budaya dalam praktek kompromistis. Para anggota subkultur masih mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki orang tua. Norma-norma dan nilai-nilai tradisi atau religi tetap dihormati. Berbeda dengan subkultur lain yang banyak muncul di Barat, subkultur di Indonesia lebih terlihat masih memperhatikan nilai-nilai tradisional. Karenanya, cakupan teoritik (theoretical scope) terkait dengan subkultur perlu memperhatikan faktor lokalitas. Sifat kompromi subkultur terhadap budaya dominan dan atau budaya orang tua perlu diperhatikan terutama terhadap subkultur-subkultur yang lahir di dunia timur.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Hudson
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang legal standing masyarakat adat yang belum atau tidak ditetapkan sebagai kesatuan masyarakat hukum melalui peraturan daerah (perda) karena menjadi masalah tentang bagaimana dapat membuktikan kedudukan hukumnya di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara ketika memperjuangkan tanah ulayat. Sebagaimana yang penulis teliti pada putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 584 tahun 2022 yang pada pokoknya menegaskan bahwa legal standing Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus dibuktikan secara hukum melalui Perda yang merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan (2) UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode deskriptif analitis dimana teori teori hukum digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah putusan hakim. Sebagai simpulan terdapat perbedaan pendapat antara penetapan ketua pengadilan TUN yang harusnya jadi pintu masuk masyarakat adat lolos dismissal sebagai kesatuan MHA dengan majelis hakim yang mengadili perkara sengketa yang berkesimpulan masyarakat adat harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan Perda. Kemudian bagi masyarakat adat yang belum mendapatkan pengakuan Perda dapat menggunakan pasal 6 ayat 2 Perma No 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai dasar pelaksana “self determination” (menentukan nasib sendiri) untuk pembuktian legal standing sebagai kesatuan MHA. Masyarakat Adat harus menyusun bukti bukti dalam gugatan tentang unsur unsur syarat kesatuan MHA sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Perma No 2 Tahun 2016 untuk selanjutnya dibuktikan dan diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara, jadi tidak perlu harus ada Perda. ......This thesis discusses the legal position of indigenous peoples who have not been or have not been established as a legal community unit through regional regulations (perda) because it becomes a problem of how to maintain their legal standing before the State Administrative Court when fighting for communal land. As the author examines the cassation decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 584 of 2022 which in essence emphasizes that the legal position of Indigenous Peoples (MHA) must be legally proven through a Regional Regulation which refers to the provisions of Article 67 paragraph (1) and (2) of the Forestry Law Number 41 of 1999. The form of research used is normative legal research with descriptive analytical methods where legal theories are used as an analytical knife in dissecting judge's decisions. For example, there is a difference of opinion between submitting the head of the TUN court which should be so that the entrance of indigenous peoples passes dismissal as an MHA Association and the panel of judges adjudicating lawsuits that conclude that indigenous peoples must first obtain recognition from a regional regulation. Then for indigenous peoples who have not received regional regulation recognition, they can use article 6 paragraph 2 of Perma No. 2 of 2016 concerning Guidelines for Proceeding in Disputes on Determining Development Locations for the Public Interest in the State Administrative Court as the basis for implementing "self-determination" to prove legal standing as a unit MHA. Indigenous peoples must compile evidence in a lawsuit regarding the elements of the MHA unitary requirements as stipulated in Article 6 2 Perma No 2 of 2016 to be further proven and tested at the State Administrative Court, so there is no need for a regional regulation.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batubara, Yosep Peniel
Abstrak :
ABSTRACT
REDD adalah mekanisme pengurangan emisi GRK oleh negara berkembang. Negara pelaksana kemudian akan mendapatkan insentif untuk setiap pengurangan emisi GRK yang dicapai. Untuk mencegah dampak negatif dari pelaksanaan REDD terhadap masyarakat lokal dan lingkungan, maka UNFCCC mendorong negara pelaksana Indonesia untuk menerjemahkan dan mengembangkan sistem informasi safeguard dan melaksanakan safeguard dalam pelaksanaan REDD. Penelitian ini memaparkan bagaimana perkembangan REDD di Indonesia dan penerjemahan safeguard dan sistem informasi safeguards di Indonesia, serta hubungan safeguard dan sistem informasi safeguard dengan mekanisme pendanaan result-based payment. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang didapatkan melalui metode kepustakaan dan wawancara dengan pihak KLHK dan ahli hukum. Kesimpulan dari penelitian ini, laporan pelaksanaan safeguard akan dinilai dengan APPS dan dilaporkan ke SIS-REDD. Laporan tersebut kemudian disampaikan ke Sekretariat UNFCCC untuk mendapatkan dana result-based payment. Perkembangan lainnya adalah adanya Permen No. 70 Tahun 2017 yang mengakibatkan mekanisme jual beli karbon tidak diperbolehkan lagi dan berfokus menjadi mekanisme RBP untuk memenuhi INDC Indonesia. Penelitian ini menyarankan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kembali safeguard nasional, menambah aturan terkait safeguard dan membantu melakukan mediasi para pihak yang telah memiliki perjanjian jual-beli karbon.
ABSTRACT
REDD is a mechanism for reducing GHG emissions in developing countries. The Parties that implement REDD will get incentives for GHG emissions reductions. To prevent negative impacts of REDD implementation on local communities and environment, the UNFCCC encourages Parties Indonesia to address and develop safeguard information systems and to promote and support safeguard in REDD implementation. This research describes the development of REDD in Indonesia and the implementation of safeguards and safeguards information system in Indonesia, as well as the relation between safeguard and safeguards information system with result based payment mechanism. The method this research used is normative juridical using secondary data obtained through library research and interviews from MoEF and legal experts. The conclusions from this research shows that safeguards implementation reports will be self assessed by project proponent using APPS and must be reported to SIS REDD. The report then submitted to the UNFCCC Secretariat to obtain and receive the result based payment. Regulation of the Minister of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia No. 70 2017 regulate carbon market is not allowed anymore, thus only RBP mechanism is used to fulfill Indonesia INDC. This research suggests the Government of Indonesia to redevelop ldquo national rdquo safeguards, regulate safeguard related regulation and help mediate parties who already have carbon trading agreements.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiputra
Abstrak :

Penatalayanan lingkungan pada hakekatnya merupakan penggunaan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam dengan cara yang memperhitungkan kepentingan masyarakat, generasi mendatang, dan spesies lainnya, serta kebutuhan pribadi, dan menerima tanggung jawab yang signifikan kepada masyarakat. Salah satu aktor penatalayanan lingkunga yang paling “terkenal” tidaklah lain selain masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dalam praktiknya selalu dianggap sebagai sekelompok manusia yang sangat amat mencintai bumi, masyarakat hukum adat dalam praktik yang mereka lakukan selalu dikaitkan dengan betapa mereka sangat menjaga kelestarian alam. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidalah selalu sejalan dengan realitas hukumnya. Sebagai contohnya, Masyarakat Hukum Adat Bali dalam menjalankan upacara agamanya, membutuhkan daging penyu hijau yang mana termasuk kedalam hewan langka. Hal tersebut membangkitkan pertanyaan utama dimana benarkah masyarakat hukum adat merupakan actor penatalayanan lingkungan. Terhadap permasalahan tersebut, dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan metode yuridis normative. Seharusnya, Masyarakat hukum adat, sebagai kumpulan manusia haruslah dipandang sebagai manusia biasa yang tidaklah sempurna dan juga bisa berbuat kerusakan.


Environmental stewardship is essentially a responsible use of natural resources in a way that takes into account the interests of the community, future generations, and other species, as well as personal needs, and accepts significant responsibilities to the community. One of the most "well-known" environmental stewardship actors is nothing but indigenous peoples. Indigenous peoples in practice is always regarded as a group of people who really love the earth, indigenous peoples in their practice is always associated with how they are very preserve nature. However, this statement is not always in line with its legal reality. For example, the Balinese indigenous peoples in carrying out its religious ceremonies, requires green turtle meat which is included in rare animals. This raises the main question where is it true that indigenous people are environmental stewardship actors. Against these problems, in this paper the author conducts research with normative juridical methods. Supposedly, the customary law community, as a collection of people must be seen as ordinary human beings who are not perfect and can also do damage.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Direktorat Bina Masyarakat Terasing, 1990
307.7 IND p III
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Badarsyah
Abstrak :
Masyarakat adat mendiami dan tersebar di seluruh dunia dari Kutub Utara sampai dengan Pasifik Selatan, mereka berjumlah sekitar 370 juta. Sebaran wilayah tempat tinggal mereka mencangkup 22 persen dari permukaan bumi yang secara kebetulan merupakan daerah di mana 80 persen konsentrasi keanekaragaman hayati dunia berada. Masyarakat adat memiliki keterikatan yang erat dengan alam. Keterikatan itu menjadikan mereka memiliki sikap hidup, cara pandang dan budaya yang sangat menghargai alam. Praktek kehidupan mereka selaras dengan upaya menjaga keanekaragaman hayati. Hukum Internasional melalui Konvensi Keanekargaman Hayati mulai mengapresiasi dan memberikan perlindungan kepada hak masyarakat adat atas keanekaragaman hayati. Meski demikian, praktek‐praktek perampasan hak atas tanah, wilayah, dan biopiracy masih marak terjadi. Masyarakat adat juga sampai saat ini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan penuh atas hak menentukan nasib mereka sendiri karena dengan adanya pengakuan hak inilah mereka tidak hanya dapat menjamin keberlangsungan mereka tetapi juga dapat meneruskan sumbangsih positif mereka dalam menjaga lingkungan dan keanekaragaman dunia. Melihat kesenjangan antara pengakuan dan perlindungan hukum dengan praktik yang terjadi atas hak masyarakat adat di bidang keanekaragaman hayati, skripsi ini berupaya memberikan gambaran bagaimana hukum internasional melindungi hak masyarakat adat di bidang keanekaragaman hayati? Bagaimana negara‐negara seperti Brazil, Kamerun, Australia dan Malaysia melindungi hak tersebut bagi masyarakat adat di negara mereka masing‐masing? Kemudian bagaimana Indonesia melindungi hak keanekaragaman hayati masyarakat adatnya? ......Indigenous Peoples live and dwell stretch from north pole to southern pacific, approximately there are about 370 milions of them. They live in areas that cover 22 percents of earth surfaces, where apparently 80 percents of biological diversities concentrated. Indigenous peoples have strong and long ties with mother earth. The strong‐connection induces their ways of live, paradigms and cultures in so that they cherish, preserve and honor the nature. Their daily life practices intact with biodiversity preservation. Through the Convention of Biological Diversity, international law has begun to apreciate and protect Indigenous Peoples' Biodiversity Right. Nevertheless, practices of lands dispossession, miss‐appropriations of their traditional knowledges, biopiracy, existed until this very day. Meanwhile, Indigenous Peoples have been struggling to seek full acknowledgement of their self‐determination right, because with the recognition, they are not just may preserve their existance but also continue their positive contributions in preserving and protecting the environments and the world's biodiversity. Knowing the imbalance between the recognition, and protection of laws and negative practices against indigenous peoples right on biodiversity, this paper would like to draw how does international law protect indigenous peoples rights on biodiversity? How do international communities, specifically Brazil, Cameroon, Australia and Malaysia protect their Indigenous Peoples' Rights on biodiversity? Then, how Indonesia protecting such rights?
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26246
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Annur
Abstrak :
Pertambahan penduduk, konsumsi dan produksi masyarakat adat Kajang yang memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan lainnya. Pemanfaatan sumber daya alam dikelola dengan memanfaatkan hasil hutan berdasarkan praktik konservasi lingkungan. Bagaimana kondisi sosial ekonomi lingkungan, pengelolaan ekonomi kreatif, dan strategi pengembangan kerajinan yang berkelanjutan di Tana Toa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif. Populasi dalam penelitian ini yaitu pengrajin dan kedua adalah stakeholder. Metode pengambilan data dengan wawancara. Hasil penelitian menujukkan kondisi sosial ekonomi lingkungan masyarakat mengambarkan (1) sturkut kelembagaan, (2) produksi dan konsumsi masyarakat, (3) guna lahan, (4) sumber daya alam. Terkait pengelolaan menujukkan serangkai proses yang terdiri atas (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pelaksanaan, dan (4) pengawasan. Strategi pengembangan ekonomi kreatif berkelanjutan menujukkan upaya yang dilakukan dengan menjabarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Kemampuan stakeholder meminimalisasi kelemahan dan menekan dampak ancaman baik dengan stategi (S-O), (W-O), (S-T) dan (W-T) merupakan kunci keberhasilan pengembangan ekonomi kreatif di Tana Toa Kajang.
Growth of population, consumption and production of Kajang people who utilize natural resources to meet their daily needs and others. Utilization of natural resources are managed by utilizing forest products based on environmental conservation practice. How the socioeconomic conditions, management of creative industries, and sustainable development strategy of creative industry in Tana Toa. This study used a qualitative approach with descriptive methods. The population in this study are craftsmen and stakeholders. Methods of data collection by interview. The results showed the socio-economic conditions of the society explain (1) institutional structure (2) production and consumption, (3)division of zone (4) natural resources. Management of the process consists of (1) planning, (2) organization, (3) implementation, and (4) surveillance. The strategy of sustainable development of creative industries showed the efforts made to describe the strengths, weaknesses, opportunities, and threats. The ability of stakeholders to minimize weaknesses and minimize the impact of threats both with strategies (S-O), (W-O), (S-T) and (W-T) is the key to the successful development of creative industries in Tana Toa Kajang.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>