Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lindi Grahawanti Haritsyah
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menganalisis ekspresi HIF-1? pada hati tikus yang diracuni CCl4 dalam kondisi normoksia, dengan atau tanpa perlindungan N-asetil sistein (NAC). Sebanyak 25 ekor tikus Sprague-Dawley jantan dibagi menjadi 5 grup: kontrol, diberikan minyak kelapa, diberikan CCl4, disuntik NAC lalu diberikan CCl4, diberikan CCl4 lalu disuntik NAC. Ekspresi mRNA HIF-1? dianalisis dengan real time RT-PCR dan dikuantifikasi menggunakan metode Livak. Ekspresi protein HIF-1? diukur menggunakan ELISA. Hasil ekspresi mRNA dan protein HIF-1? tertinggi terdapat pada grup tikus yang hanya diberi CCl4, lalu lebih rendah pada grup yang diberi NAC sebelum CCl4, grup yang diberi NAC setelah CCl4, grup kontrol, dan grup yang diberi minyak kelapa. Disimpulkan bahwa pemberian CCl4 pada kondisi normoksia menyebabkan peningkatan ekspresi HIF-1?, sedangkan pemberian NAC terbukti menurunkan ekspresi HIF-1a. Hal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme perubahan ekspresi pada HIF-1a memang dipengaruhi oleh radikal bebas yang terbentuk akibat metabolisme CCl4. ......This study analyzed the expression of HIF-1? in liver rat tissue induced by CCl4 under normoxic conditions, with or without N-acetyl cysteine (NAC) protection. Twenty five male Sprague-Dawley rats were divided into 5 group: control rats, rats administered with coconut oil, rats administered with CCl4, rats injected with NAC then administered with CCl4, rats administered with CCl4 then injected with NAC. The expression of HIF-1? mRNA was measured by real time RT-PCR using Livak method, while the HIF-1? protein was measured by ELISA assay. Results showed that the highest HIF-1? mRNA and protein expression were found in the group treated by CCl4 and then was gradually lowered in the pre-NAC group, post-NAC group, control group, and coconut oil group. The overall result of this study show the effect of CCl4-treated rats under normoxic conditions increased the expression of HIF-1?, while NAC treatment decreased the expression of HIF-1?. These findings show that free radical formed by CCl4 metabolism play a role in the regulation of HIF-1
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Silvia Hardiany
Abstrak :
Latar Belakang: Glioma merupakan tumor otak primer yang sering ditemukan di Indonesia. Sampai saat ini, terapi glioma belum memuaskan karena sering timbul resistens] dan rekurensi sehingga diperlukan terapi tambahan misalnya terapi gen. MnSOD diduga berperan sebagai supresor tumor, namun peran tersebut masih kontroversial. Tumor padat termasuk glioma mempunyai status oksigen yang kurang baik dibandingkan dengan jaringan normal. MnSOD sebagai antioksidan dapat mempengaruhi kadar ROS (Reactive Oxygen Species) yang meningkat pada kondisi hipoksia. Oleh karena itu perlu dianalisis bagaimana ekspresi gen MnSOD pada sel glioma manusia yang hipoksia. Hipoksia pada sel glioma diduga mempengaruhi respon sel tumor terhadap terapi radiasi. Hipoksia tersebut dapat dideteksi dengan suatu petanda Jaringan hipoksia yaitu HIF-1α. Tujuan: Untuk menganalisis ekspresi gen MnSOD, kondisi hipoksia pada sel glioma melalui analisis ekspresi gen HIF-1a serta menganalisis ekspresi gen MnSOD pada sel glioma yang hipoksia. Desain: Cross Sectional Metode: Ekspresi gen MnSOD dianalisis dengan membandingkan leve] mRNA dan aktivitas spesifik enzim MnSOD pada sel glioma dengan sel lekosit (kontrol). Ekspresi gen HIF-1a@ dianalisis dengan mebandingkan level MRNA HIF-1la pada sel glioma dengan sel jekosit. Ekspresi MnSOD dan HIF-1α dideteksi pada 20 pasien glioma menggunakan quantitative Real Time RT-PCR untuk kadar relatif mRNA MnSOD dan HIF-1α, serta pemeriksaan biokimia untuk mengukur aktivitas enzim MnSOD. Analisis statistik dengan menggunakan SPSS 16.0. Hasil: Ekspresi gen MnSOD baik mRNA maupun aktivitas spesifik enzim MnSOD pada sebagian besar sampel sel glioma manusia ditemukan lebih rendah secara signifikan (p< 0.01) dibandingkan dengan sel lekosit. Sedangkan mRNA HIF-la pada sebagian besar sel glioma manusia ditemukan lebih tinggi secara signifikan (p< 0.05) dibandingkan dengan sel lekosit. Sebanyak 80 % (16 sampel) menunjukkan mRNA HIF-1α yang tinggi, yang berarti terdapat hipoksia pada sel glioma. Dari 16 sampel tersebut, 11 sampel menunjukkan ekspresi mRNA MnSOD yang rendah dan 4 sampel menunjukkan ekspresi mRNA MnSOD yang tinggi. Kesimpulan: Ekspresi gen MnSOD pada sebagian besar sampel ditemukan rendah. Ekspresi HIF-1a@ yang tinggi menunjukkan terdapat hipoksia pada sebagian besar sampel scl glioma. Terdapat perbedaan ekspresi MnSOD pada kondisi hipoksia sel glioma.
Background: Glioma is one of the most frequently found primary brains tumors in Indonesia. Until now, treatment of the glioma is far from succesfull due to resistancy and recurrance. Therefore, additional therapy is required, such as gene therapy. MnSOD is antioxidant enzymes which is suggested as tumor suppressor, despite its controversies. Solid tumor such as glioma have low oxygen level in the tissue compare to normal tissues. MnSOD as antioxidant enzyme have potential effects on increased ROS (reactive oxygen species) concentration in hypoxia condition. Therefore, further analysis is needed to explain MnSOD gene expression in hypoxic human gliomal cells. Hypoxia in gliomal cells are suggested to influence tumor cells responses toward radiotherapy. Hypoxia state can be detected using tissues hypoxic marker, hypoxia inducible factor-la (HIF1α). Desaign: Cross sectional Aim: To analyzed MnSOD gene expression, hypoxia condition in human glioma cells by analyzing the gene expression of HIF-αa and to analyzed MnSOD gene expression in hypoxic human gliomal cells. Methode: MnSOD gene expression was analyzed by comparing MnSOD mRNA level and enzyme specific activity in glioma cells with leucocytes (control). HIF-1α gene expression was analyzed by comparing HIF-la mRNA level in glioma cells with leucocytes. Twenty glioma patients were included in this study. Quantitative Real Time RT-PCR was used to analyzed MnSOD and HIF-1α mRNA level. Biochemistry test was used to analyzed MnSOD enzyme spesific activity. Statistical analysis was performed using SPSS 16.0. Results: MnSOD gene expression at mRNA level and enzyme spesific activty in most human glioma samples were significantly lower (p< .01) than leucocytes. While HIF-lao mRNA level in most human glioma samples were significantly higher (p< .05) than leucocytes, Eighty percents (16) of the samples showed high HIF-1α mRNA level, this mean that glioma samples were in hypoxic state. Among the 16 samples, 11 samples showed low MnSOD mRNA level and 4 samples showed high mRNA MnSOD level. This mean that there were differences in MnSOD gene expression in hypoxic human glioma cells. Conclusion: MnSOD gene expression in most human glioma samples were low. High HIF-1α mRNA level were found in mosi of plioma samples, meaning that glioma sample were in hypoxic state. There were differences in MnSOD expression in hypoxic human glioma cells.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32904
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ayu Anatriera
Abstrak :
Penelitian ini membahas aktivitas spesifik katalase dalam mencegah stres oksidatif pada jaringan yang disebabkan oleh kondisi hipoksia hipobarik. Hipoksia hipobarik akut berulang sering dialami oleh para penerbang, terutama ketika harus menjalani prosedur Hypobaric Chamber training yang rutin diadakan dua tahun sekali. Salah satu jaringan yang rentan terhadap stres oksidatif akibat hipoksia adalah jaringan ginjal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan aktivitas spesifik katalase jaringan ginjal tikus percobaan yang diinduksi hipoksia hipobarik akut yang berulang. Desain penelitian yang digunakan adalah desain eksperimental. Sampel jaringan ginjal diambil dari total 25 ekor tikus jantan galur Wistar yang dikelompokkan menjadi empat kelompok perlakuan dengan perbedaan frekuensi terhadap perlakuan prosedur Hypobaric chamber dan satu kelompok kontrol. Metode untuk mengukur aktivitas spesifik katalase menggunakan metode Mates et al. (1999) yang telah dimodifikasi oleh Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan bermakna aktivitas spesifik katalase semua kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0.05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perubahan berupa peningkatan yang signifikan aktivitas spesifik katalase di jaringan ginjal tikus percobaan yang diinduksi hipoksia hipobarik akut secara berulang dibandingkan dengan kelompok kontrol. ......This research determines about specific activity of catalase in preventing hypoxiainduced oxidative stress. Besides, one of the most common hypoxia condition which occurs in aviators is hypobaric hypoxia. Hypobaric chamber training which has been a fundamental component of aviation training could induce acute intermittent hypobaric hypoxia. Kidney was known as highly-demand organ of oxygen which makes its susceptible to oxidative injury. This research aims to determine changes in specific activity of catalase in rat?s kidney exposed to acute intermittent hypobaric hypoxia. The research design used was experimental design. Twenty five male Wistar rats were divided into five groups of five animals each. One control group of rats were kept under normobaric oxygen atmosphere. Four experimental group were exposed to acute hypobaric hypoxia in a hypobaric chamber for some intermittent period of time. Specific activity of catalase was determined using Modified Mates method. The result shows that all experimental groups are significantly different in comparison with control group. This research concludes that there are significant increases in specific activity of catalase in all experimental groups compared to control group.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prinsa Raudha Anca
Abstrak :
Pendahuluan : Oksigen adalah zat penting yang dibutuhkan oleh sel tubuh untuk dapat bertahan hidup. Saat terjadi hipoksia, otak merupakan organ yang paling rentan terjadinya cidera sel. Kondisi ini membuat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan yang akan memicu stress oksidatif dan berujung pada kematian sel jika sel tidak mampu beradaptasi. Elektroakupunktur memiliki efektifitas terhadap perbaikan sel dan membantu mitokondria dalam rantai pernafasan. Penelitian ini menilai pengaruh elektroakupunktur terhadap perbaikan sel secara histologi dan kadar antioksidan (SOD) pada otak tikus dengan kondisi hipoksia sistemik. Metode : Penelitian ini adalah uji eksperimental dengan post test design dan kelompok kontrol yang menggunakan hewan coba berjumlah 24 ekor wistar yang dibagi secara acak kedalam kelompok kontrol (n=6), kelompok hipoksia (n=6), kelompok sham (n=6) dan kelompok elektroakupunktur (n=6). Kelompok hipoksia, sham, dan elektroakupunktur mendapat induksi hipoksia dalam hypoxia chamber selama 7 hari berturut-turut. Perlakuan sham dan elektroakupunktur dilakukan pada hari ke 8 selama 7 hari berturut-turut pada titik ST36 dan sehari setelahnya dilakukan penilaian. Hasil : Pada pengukuran histologi tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok elektroakupunktur (p=1.000) dan pada penilaian SOD didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok elektroakupunktur dengan kelompok hipoksia (p=0.015). Kesimpulan : elektroakupunktur dapat berperan dalam perbaikan sel secara histologi dan meningkatkan nilai SOD pada sel otak yang mengalami hipoksia. ......ntroduction : Oxygen is an important substance needed by body cell to survive. When hypoxia occurs, brain is the most susceptible to cell injury. This condition creates an imbalance between free radicals and antioxidants that will trigger oxidative stress and lead to cell death if cells are unable to adapt. Electroacupuncture is effective for cell repair and helps mitochondria in the respiratory chain. This study assessed the effect of electroacupuncture on histological cell repair and antioxidant leves (SOD) in systemic hypoxia rat brain. Methods : This study is an experimental test with a post test design and a control group using 24 wistars which were divided randomly into the control group (n=6), hypoxia group (n=6), sham group (n=6) and electroacupuncture group (n=6). The hypoxia, sham, and electroacupuncture groups received hypoxia induction in the hypoxia chamber for 7 consecutive days. Sham and electroacupuncture group were given on the 8th day for 7 consecutive days at the ST36 point and the day after that the assessment was carried out. Results: On histological measurement, there was no significant difference between the control group and the electroacupuncture group (p=1.000) and on the SOD assessment, there was a significant difference between the electroacupuncture group and the hypoxic group (p=0.015). Conclusion: electroacupuncture can play a role in histological cell repair and increase SOD values ​​in hypoxic brain cells.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rineke Twistixa Arandita
Abstrak :
Hipoksia merupakan keadaan dimana kadar oksigen berada dibawah kadar 20-21%. Otak merupakan salah satu organ yang rentan mengalami kematian sel akibat hipoksia disebabkan oleh kebutuhan energi yang lebih banyak untuk melakukan fungsinya. Aktivitas Enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) memiliki peran dalam keadaan hipoksia untuk menghasilkan energi melalui reaksi glikolisis anaerob. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dan mempelajari adaptasi jaringan otak dengan melihat aktivitas enzim LDH di jaringan otak tikus normoksia dibandingkan dengan hipoksia. Penelitian ini merupakan studi eksperimental yang dilaksanakan sejak Maret 2011. Dilakukan pengkondisian hipoksia dalam hypoxic chamber (oksigen 10% dan nitrogen 90%) selama 1 hari, 3 hari, 7 hari, dan 14 hari kepada 20 tikus galur Sprague Dawley, sedangkan 5 ekor tikus akan berperan sebagai kontrol. Pasca perlakuan, otak tikus diambil melalui proses bedah dengan melakukan eutanasia dengan eter terlebih dahulu, otak ditimbang hingga batas 100 mg, dan diubah menjadi supernatan yang akan diperiksa absorbansinya dengan menggunakan elektrofotometer untuk menentukan aktivitas enzim LDH. Hasil menunujukkan peningkatan aktivitas pada 1 dan 3 hari hipoksia, dan menurun pada 7 dan 14 hari hipoksia. Analisis dengan uji nonparametrik Kruskal-Wallis didapatkan nilai p > 0.05 sehingga tidak ada perbedaan bermakna antara aktivitas LDH pada kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan hipoksia.
Hypoxia is a term to a condition which oxygen level below 20-21%. The brain is an organ which is susceptible to cell death due to hypoxia caused by the need of more energy to perform its function. Lactate Dehydrogenase (LDH)?s activity has role in hypoxic condition to produce energy through anaerob glycolisis. This research aimed to observe and study about the adaptation of brain through LDH's activity in the tissue of normoxic rat brain compared to the hypoxic rat. This is an experimental study which held from March 2011. 20 rats were placed in the hypoxic chamber (10% Oxygen, 90% Nitrogen) for 1, 3, 7, and 14 days; while 5 normoxic rats will be served as control. The brain were taken by a surgery with a process of eutanaschia before it. The brain weighed up to the limit of 100 mg, then converted to supernatant. Absorbance of the supernatant examined by electrophotometer as the activity of the enzymes. There were increased activity in the 1, and 3-day hipoxia, and decreased in 7, and 14-day hipoxia. analyzed by Kruskal-Wallis nonparametric test obtained p > 0.05 which means there is no significant difference between LDH?s activity in the normoxic and hypoxic tissue.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deby Heratika
Abstrak :
Latar belakang: Seorang pilot yang bertugas di ketinggian dapat terpapar hipoksia, baik ringan maupun berat. Kejadian hipoksia di penerbangan dapat menjadi fatal, terutama jika hipoksia dialami seorang pilot saat bertugas. Salah satu manifestasi hipoksia adalah penurunan fungsi kognitif. Pilot dituntut untuk melakukan operasi multitasking dengan menggunakan fungsi kognitif, terutama saat darurat. Sehingga penurunan fungsi kognitif akibat hipoksia pada seorang pilot saat bertugas dapat menyebabkan kecelakaan dalam penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan fungsi kognitif pada paparan hipoksia di beberapa zona ketinggian. Metode: Penelitian ini menggunakan uji eksperimental one group pretest-post test . Subjek penelitian adalah pilot militer yang mengikuti Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi di Lakespra Saryanto, Jakarta. Subjek mengisi kuesioner 6 CIT pada ground level, physiological efficient zone (10.000 feet) dan physiological defficient zone (25.000feet) dalam hipobarik chamber. Hasil: Terdapat perubahan score 6 CIT di 10.000ft dibandingkan dengan ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P = 0.001). Terdapat juga perubahan score 6 CIT di 25.000ft dibandingkan dengan ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P < 0.001). Kesimpulan: Terdapat perubahan fungsi kognitif di physiological efficient zone dan physiological defficient zone jika dibandingkan dengan di ground level. ......Background: A pilot on duty at altitude can be exposed to hypoxia, both mild and severe hypoxia. The incidence of hypoxia on flight can be fatal, especially if hypoxia is experienced by pilot on duty. One manifestation of hypoxia is decreased cognitive function. Pilot is required to carry out multitasking operations using cognitive functions, especially at emergency. Therefore, decreased cognitive function due to hypoxia on pilot can cause accidents in flight. The aim of this study was to determine changes in cognitive function in hypoxia exposure at several altitude zones. Methods: This study used an experimental one group pretest-post test design. The subjects were 31 military pilots who participated in Indoctrination and Aerophysiology Training. Subjects filled 6 CIT questionnaire at ground level, physiological efficient zone (10,000 feet) and physiological defficient zone (25,000 feet) in a hypobaric chamber. Result: There was change of 6 CIT score at 10.000ft compared to ground level (Friedman post hoc Wilcoxon, P = 0.001). There was also change of 6 CIT score at 25,000 ft compared to ground level (Friedman post hoc Wilcoxon P <0.001). Conclusion: There was change in cognitive function in physiological efficient zone and physiological defficient zone, compared to ground level.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Mardas Saputra
Abstrak :
Latar Belakang: Salah satu aspek dalam fungsi fisiologis manusia yang berperan penting dalam penerbangan adalah fungsi visuospasial. Fungsi visuospasial merupakan kemampuan persepsi visual tingkat tinggi yang dibutuhkan untuk identifikasi, integrasi informasi, menganalisa bentuk visual dan spasial, detail, struktur, dan hubungan spasial antara bentuk dua dengan tiga dimensi. Paparan hipoksia merupakan hazard spesifik yang terdapat dalam dunia penerbangan dan dampaknya terhadap fungsi visuospasial dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan dalam penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan fungsi visuospasial terhadap paparan hipoksia di zona ketinggian yang berbeda. Metode: Penelitian ini menggunakan uji eksprimen one-group pretest-postest. Subjek penelitian adalah awak terbang militer yang mengikuti Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto, Jakarta. Subjek mengerjakan tes Clock Drawing Test (CDT) pada ground level, physiological efficient zone (10.000 ft) dan physiological deficient zone (25.000 ft.) di dalam hypobaric chamber. Hasil: Terdapat peningkatan angka kejadian gangguan fungsi visuospasial di 10.000 kaki dibandingkan dengan ground level (McNmear = 0.031), 10.000 kaki dengan 25.000 kaki (McNemar = 0.0001) dan ground level dengan 25.000 kaki (McNemar = 0.0001). Kesimpulan: terdapat peningkatan angka kejadian gangguan fungsi visuospasial yang signifikan antara ketinggian ground level, 10.000 kaki dan 25.000 kaki. ......Background: One of many aspects of human physiological function that has an important role in aviation is visuospatial function. Visuospatial function is a high-level visual perception that is required for identification, information integration, analyzing visual and spatial form, detail, structure and spatial relation between two-dimensional and three-dimensional form. Hypoxia exposure is considered to be a specific hazard in the aviation environment and its impact against visuospatial function can potentially increase the risk of aviation-related accident. The purpose of this study was to investigate changes in visuospatial function on hypoxia exposure in different altitude zones. Metode: This study used an experimental one-group pretest-posttest design. The subjects were 42 military aircrews who participated in Indoctrination and Aerophysiology Training. Subjects completed The Clock Drawing Test (CDT) at ground level, physiological efficient zone (10.000 ft) and physiological deficient zone (25.000 ft) in a hypobaric chamber. Hasil: There was an increase of the number of impaired visuospatial function at 10.000 ft compared to ground level (McNemar = 0.031), 10.000 to 25.000 ft (McNemar = 0.0001) and ground level to 25.000 ft (McNemar = 0.0001). Kesimpulan: There was a significant change in the number of impaired visuospatial function between ground level, 10.000 ft, and 25.000 ft.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58912
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library