Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atiek Widyasari Oswari
"ABSTRAK
Deteksi mutasi sangat penting dilakukan terutama untuk diagnosis pranatal maupun staining neonatal. Dengan pemeriksaan DNA, kasus-kasus HAK dapat dideteksi sebelum gejala salt wasting, muntah, dan dehidrasi muncul sehingga dapat mengurangi morbiditas bahkan mortalitas yang mungkin terjadi. Pada kasus kehamilan yang dicurigai HAK, diagnosis HAK pranatal memungkinkan terapi sedini mungkin untuk mencegah virilisasi pranatal sehingga genitalia ambigus tidak terjadi dan operasi serta beban psikologis akibat kebingungan gender dapat dihindari. Sebaliknya bila HAK dapat disingkirkan maka terapi yang tidak perlu seperti pemberian deksametason pranatal juga dapat dihindari. Pengetahuan mengenai mutasi-mutasi tersering dalam populasi akan mempermudah deteksi mutasi pada kasus-kasus HAK Baru, mempercepat penegakan diagnosis dan menyingkirkan keraguan diagnosis.
Rumusan Masalah
1. Berapa proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non klasik (NK) pada HAK karena karena defisiensi enzim 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM?
2. Berapa frekuensi delesi/large gene conversion, mutasi I172N, I2 splice, dan R356W pada kasus-kasus HAK-21 hidroksilase dan apakah mutasi-mutasi tersebut seragam dengan yang dilaporkan di Asia?
3. Apakah terdapat konsistensi kesesuaian antara fenotip dan genotip pada kasuskasus HAK tersebut?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non Wasik, pola mutasi dan konsistensi hubungan antara fenotip dan genotip pada kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim defisiensi 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM.
Tujuan Khusus
a. Memperoleh data karakteristik HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase antara lain perbandingan jenis kelamin, penentuan gender, suku, konsanguinitas, usia gestasi, berat lahir, kematian saudara kandung, kejadian HAK pada saudara kandung, dan riwayat infertilitas pada keluarga.
b. Memperoleh data fenotip kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase (proporsi tipe klasik dan non kiasik kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan derajat virilisasi genital).
c. Memperoleh data mengenai pola mutasi kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dengan acuan mutasi-mutasi yang sering ditemukan di wilayah Asia (delesi/large gene conversion, mutasi I172N, 12 splice, dan R356W).
d. Memperoleh data/bukti kesesuaian fenotip dan geno tip (mutasi) pasien HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian lain.
"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Prasetya
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian furosemide per oral dosis tunggal pada penderita pembesaran prostat jinak yang akan dilakukan pemeriksaan uroflowmetri dapat mempengaruhi lama tunggu penderita di klinik dan basil pemeriksaan uroflowmetri.
Bahan dan Cara: Penelitian merupakan penelitian prospektif, open label, cross over study terhadap 40 (rerata umur 62.42 ± 7.40 tahun) penderita pembesaran prostat jinak yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, 20 penderita menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 1 dan tanpa furosemide pada kunjungan 2 (kelompok 1); 20 penderita lainnya tidak diberikan furosemide pada kunjungan 1 dan menerima furosemide 20 mg pada kunjungan 2 (kelompok 2). Lama menunggu penderita di klinik (sejak penderita berkemih sampai memenuhi syarat untuk pemeriksaan) dan basil uroflowmetri yang terdiri dari volume buli, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih dicatat dan dianalisa dengan Student Mast atau Mann-Whitney U-test.
Hasil: Karakteristik subyek penelitian pada kedua kelompok yang terdiri dari umur, kadar hemoglobin, serum kreatinine dan nilai PSA tidak berbeda bermakna secara statistik (p>0.05). Terdapat perbedaan yang sangat bermakna (p<0.01) pada lama tunggu penderita di Klinik Urologi; pada kelompok 1 dari 72.55 bertambah menjadi 120.00 menit sedangkan pada kelompok 2 dari 178.05 berkurang menjadi 89.75 menit. Pada pemberian obat, secara keseluruhan terjadi pengurangan lama menunggu yang sangat bermakna (p<0.01), dari 149.02 menit tanpa furosemide menjadi 81.15 menit dengan pemberian furosemide peroral. Pada analisa basil uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time, residu urin pasca berkemih pada kedua kelompok maupun secara keseluruhan dengan dan tanpa pemberian obat, tidak didapatkan perbedaan yang berrnakna secara statistik (p.0.05).
Kesimpulan: Pemberian furosemide peroral dosis tunggal sangat mengurangi lama menunggu untuk pemeriksaan uroflowmetri penderita pembesaran prostat jinak di klinik tanpa mempengaruhi hasil pemeriksaan uroflowmetri yang terdiri dari volume bull, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time dan residu urin pasca berkemih.

Objective: To identify whether a single dose of oral furosemide given to benign prostate hyperplasia patients scheduled for uroflowmetry had an impact on clinic waiting time and flow rate parameters.
Materials and Methods: This was a prospective, open label, cross over study conducted among 40 benign prostate hyperplasia patients (mean age 62.42 ± 7.40 years) who fulfilled the inclusion criteria.. They were separate on two groups, where the 1 s1 group receive 20 mg furosemide at the 15` visit but no furosemide at rd visit and the 2"d group without furosemide at the 1S1 visit and receive 20 mg furosemide at god visit. Clinic waiting time and flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine-measuring by ultrasound) were captured in a database. Student t-test or Mann-Whitney U-test analysis were carried out to evaluate the characteristic different between the two groups.
Results: Patients characteristics (age, hemoglobin content, creatinine and PSA serum) between the two groups were not statistically different (p>0.05). There was significant different on clinic waiting time in both groups; 72.55 versus 120.00 minutes, p<0.01 at 15` group and 178.05 versus 89.75 minutes, p<0.0I at 2nd group. An oral 20 mg of furosemide was significant reduction on clinic waiting time in all patients (81.15 versus 149.02 minutes, p<0.01). From evaluation of flow rate parameters (bladder volume, voided volume, maximum flow rate, average flow rate, voiding time and post void residual urine), there were not statistically different in each group and in all patiens whether with or without receive 20 mg furosemide (p>0.05).
Conclusions: The impact of a single dose 20 mg of oral furosemide was significant reduced clinic waiting time without significant changes in flow rate parameters at benign prostate hyperplasia patients who scheduled for uroflowmetry."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bina Akura
"Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) adalah gangguan yang ditandai dengan defek pada enzim jalur steroidogenesis adrenal. Lebih dari 90% disebabkan mutasi pada CYP21A2 yang mengkode enzim 21-hidroksilase (21-OH). Monitoring tata laksana pasien HAK cukup sulit dicapai dengan menjaga keseimbangan antara overtreatment dan undertreatment.
Penelitian bersifat cross sectional dilakukan di RSCM berlangsung selama 7 bulan (Juni-Desember 2020). Pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive sampling dengan total 142 sampel. Sampel pasien HAK sebanyak 71 pasien, serta pemilihan sampel kontrol dilakukan dengan matching jenis kelamin dan usia. Kelompok HAK dilakukan pemeriksaan kadar 17-hidroksiprogesteron (17-OHP) serta androsteron, etiokolanolon urin dan rasio androsteron/etiokolanolon urin (A/E). Uji korelasi dilakukan antara androsteron, etiokolanolon, rasio A/E dengan 17-OHP. Kelompok kontrol dilakukan pemeriksaan androsteron, etiokolanolon urin dan rasio A/E. Hasil kedua kelompok dilakukan komparasi.
Dari 71 kelompok HAK dan 71 kelompok kontrol mempunyai karakteristik dasar yang sebanding. Kadar androsteron kelompok HAK dibandingkan dengan kelompok kontrol berbeda bermakna (683,89(29,42-61061,43) vs 123,97(30,16- 16463,05) ng/mL;p<0,001). Kadar etiokolanolon kelompok HAK berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (235,88(12,77-78446,65) vs 70,96(12,61-17332,62)ng/mL;p<0,001). Rasio A/E kelompok HAK berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (2,31(0,37-40,12) vs 1,99(0,52- 5,45); p0,003). Kadar androsteron, etiokolanolon, rasio A/E mempunyai korelasi positif dengan kadar 17-OHP (r=0,505; r=0,367; r=0,313).
Kesimpulan: Androsteron, etiokolanolon dan rasio A/E mempunyai kadar yang lebih tinggi pada pasien HAK. Androsteron mempunyai korelasi sedang, etiokolanolon dan rasio A/E mempunyai korelasi lemah terhadap 17-OHP.

Congenital adrenal hyperplasia (CAH) is a disorder characterized by defects in one of the enzymes of the adrenal steroidogenesis pathway. More than 90% of cases are due to mutations in CYP21A2, the gene coding for 21-hydroxylase (21-OH) enzyme. Treatment monitoring in CAH patients is quite difficult to achieve due to fine balance of overtreatment and undertreatment.
Cross sectional study was conducted in RSCM for 7 months (June-December 2020). Consecutive sampling was used with total 142 samples. There were 71 patients CAH were included in this study. Control samples were selected by matching age and sex. In CAH group, 17-hydroxyprogesterone (17-OHP), urine androsterone, etiocholanolone, and ratio androsterone/etiocholanolone (A/E) were measured. Correlations were measured between androsterone, etiocholanolone, ration A/E with 17-OHP. In control sample urine androsterone, etiocholanolone, and ratio androsterone/etiocholanolone (A/E) were also measured. These results were compared between two groups.
In 71 CAH group and 71 control group had almost same characteristics. Androsterone level in CAH group had a significant different compared to the control group (683.89(29.42-61061.43) vs 123.97(30.16-16463.05) ng/mL;p<0.001). Etiocholanolone level in CAH group had a significant different compared to the control group (235.88(12.77-78446.65) vs 70.96(12.61- 17332.62)ng/mL; p<0.001). Ratio A/E n CAH group had a significant different compared to the control group (2.31(0.37-40.12) vs 1.99(0.52-5.45); p=0.003). Androsterone, etiocholanolone and ratio A/E had positive correlation with 17-OHP level (r=0.5050; r=0.367; r=0.313).
Conclusions: Androsterone, etiocholanolone, and ratio A/E had higher level in CAH subjects. Androsterone had intermediate correlation with 17-OHP, meanwhile etiocholanolone and ratio A/E had weaker correlation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lingga, Abraham T.P.
"ABSTRAK
Terapi panas merupakan salah satu metode pengobatan benign prostatic hyperplasia (BPH) yang tergolong ke dalam teknik invasif minimal. Terapi ini dilakukan dengan memberikan panas ke prostat sampaikepada temperatur tertentu dimana jaringan prostat yang menghalangi jalur urin akan mati. Metode panas yang menjadi inspirasi dari penelitian ini adalah transutheral microwave thermotherapy (TUMT) dan water-induced thermotherapy (WIT). Tujuan dari penelitian ini adalah merancang suatu sistem perpindahan kalor pada kateter sehingga dapat menghasilkan temperatur yang sesuai untuk terapi, melihat kinerja pipa tembaga berpori sebagai alat penukar kalor pada kateter serta melihat effisiensi alat terapi yang dirancang. Alat terapi yang dirancang merupakan sebuah pengembangan kateter yang berbahan lateks silicon dengan mengikut sertakan wick sintered copper pipesebagai penukar kalornya. Pengujian alat terapi ini dilakukan dengan mengkondisikan fluida kerja yakni air dengan menggunakan circulating thermostatic bath (CTB) pada variasi temperatur 35, 40, 45 dan 50 dengan menggunakan daging ayam sebagai media pengujian pengganti prostat manusia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa temperatur yang dicapai pipa tembaga dan persebaran panasnya pada katetermenjadikannya dapat digunakan sebagai penukar kalor pada alat terapi ini.

ABSTRACT
Heat therapy is one of benign prostatic hyperplasia (BPH) treatment methods that belongs to the minimally invasive technique. In this therapy, heat is transmitted to the prostate so that at a given temperature, the prostate tissue that blocks urine path will die. Heat methods that become the inspiration of this research is transutheral microwave thermotherapy (TUMT) and water-induced thermotherapy (WIT). The purposes of this study are to design a system of heat transfer on the catheter so that can produce a temperature which is suitable for the therapy, to see the performance of the porous copper pipeas the heat exchanger on the catheter and to find the efficiency of the system. The therapeutic tool is a development from a siliconized latex catheter by including wick sintered copper pipe as the heat exchanger. The examination of this therapeutic tool is done by conditioning the working fluid by using a circulating thermostatic bath (CTB). The temperature variations are 35, 40, 45 and 50 by using chicken meat as the substitute for human prostate as the testing media. The results of this research indicate that the themperature that achived by copper pipe and heat distribution on catheter makes it can be used as the heat exchanger in this therapeutic tool."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S53992
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Jonhardivivera
"Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat perkotaan. BPH adalah pembesaran kelenjar prostat yang menyumbat aliran urin. Prosedur TURP merupakan tindakan pembedahan yang umum dilakukan untuk mengatasi BPH. Masalah yang umum terjadi setelah prosedur TURP adalah perdarahan. Karya ilmiah ini bertujuan untuk melakukan analisis evidence based mengenai monitoring pemasangan traksi kateter urin dalam mencegah perdarahan post TURP.
Hasil dari monitoring pemasangan traksi kateter urin pada pasien ini terbukti efektif megurangi perdarahan. Rekomendasi penulisan penulisan ini ialah perawat perlu melakukan monitoring traksi berkelanjutan dan memberikan edukasi keluarga mengenai pentingnya trkasi dalam mengatasi perdarahan.

Benign Prostatic Hyperplasia or BPH is a common health problem in urban life. BPH is an enlarged prostatic gland caused an obstruction in the urinary flows. TURP is a common surgical procedure to solve BPH. One of common complication after TURP is bleeding. This article aims to analyze the evidence based about monitoring of urinary catheter traction to diminish the bleeding.
The result shows that monitoring urinary catheter traction is effective to prevent bleeding after TURP. Because of that, it is recommended for a nurse to monitor the catheter traction continuously and give health education about the importance of maintaining catheter traction to diminish the bleeding.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Fajar Lamhot
"ABSTRAK
Latar belakang: Hiperplasia prostat dan adenokarsinoma prostat keduanya
sangat dipengaruhi oleh hormon androgen terutama dihidrotestosteron
(DHT) berasal dari konversi testosteron (T) dikatalisator oleh enzim 5α-
reduktase (5αR). Terapi hormonal merupakan salah satu modalitas terapi
kedua penyakit ini dengan menghambat enzim 5αR tipe1dan tipe 2. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi 5αR1 antara
adenokarsinoma prostat tipe asinar dan hiperplasia prostat, serta melihat
ekspresi 5αR1 berdasarkan skor Gleason.
Metode: Penelitian menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri
atas 20 kasus adenokarsinoma prostat tipe asinar dan 20 kasus hiperplasia
prostat. Dilakukan pulasan 5αR1 dan penilaian pulasan dengan
menggunakan histoscore.
Hasil: Mean area sel tumor sebanyak 11,63% dan sel epitel di hiperplasia
prostat 26,54%. Terdapat perbedaan kadar PSA antara adenokarsinoma
prostat dengan hiperplasia prostat (p=0,00). Ekspresi 5αR1 di sitoplasma
dan inti didapatkan perbedaan antara adenokarsinoma prostat dengan
hiperplasia prostat (p=0,00). Ekspresi 5αR1 lemah terbanyak didapatkan
pada adenokarsinoma prostat.
Kesimpulan: Ekspresi dan total area pulasan intensitas 5αR1 pada
hiperplasia prostat lebih tinggi. Peningkatan skor Gleason cenderung diikuti
penurunan ekspresi 5αR1.

ABSTRACT
Background: Acinar adenocarcinoma and BPH both are strongly
influenced by androgen hormone especially dihydrotestosterone (DHT)
from convertion of testosterone (T) catalize by 5α-reductase (5αR) enzyme.
Hormonal therapy is one of treatment modality for these condition by
inhibiting 5αR type 1 and type 2 enzyme. The aim of this study is to know
differential expression of 5αR1 between acinar adenocarcinoma and BPH
and also expression 5αR1 based on Gleason score.
Method: This was cross-sectional study on 20 cases acinar adenocarcinoma
and 20 cases BPH stained with 5αR1 antibody. The appraisal was done with
estimating histoscore.
Result: Mean area of tumor cells is 11,63% and epithelial cells in BPH
26,54%. There was statistically significant levels of PSA between acinar
adenocarcinoma and BPH (p=0,00). Cytoplasmic and nuclear expression of
5αR1 were statistically significant different between acinar adenocarcinoma
and BPH (p=0,00). Low intensity expression of 5αR1 in acinar
adenocarcinoma was the most commonly found.
Conclusion: Total area of expression 5αR1 in BPH are higher. hiperplasia
prostat lebih tinggi. The higher Gleason score tends followed by declining
expression of 5αR1.;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesian Journal of Dentistry 2006; Edisi Khusus KPPIKG XIV: 316-320
The use of Nipedipine as cardiovascular therapy is proven to be the cause of gingival hyperplasia. The objectve of this present case is to report the gingival hyperplasia induced by nifedipine, and the best management suggested. In both cases, the subtitution of Nifedipine by another drug and intensive oral hygiene procedure could eliminate the gingival hyperplasia."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2006
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Novita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Beberapa studi menyebutkan bahwa penilaian kelainan yang terjadi pada prostat adalah dengan mengukur jumlah Androgen Receptor AR pada setiap kasus dan dipakai sebagai evaluasi terhadap keberhasilan terapi hormonal baik pada hiperplasia prostat/benign prostat hyperplasia BPH maupun adenokarsinoma prostat /adenocarcinoma prostate CaP . AR memerankan peran dalam proses pertumbuhan, differensiasi dan memelihara kondisi jaringan prostat tetap normal. Pada penelitian lain menyebutkan bahwa ekspresi AR positif berhubungan erat dengan gambaran derajat dan differensiasi tumor serta nilai skor Gleason. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan ekspresi AR pada hiperplasia prostat dan adenokarsinoma prostat.Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel penelitian terdiri atas 20 kasus hiperplasia prostat dan 25 kasus adenokarsinoma prostat tipe asinar. Dilakukan pulasan imunohistokimia AR dan penilaian intensitas pulasan pada inti stromal dan inti epitel dengan menggunakan histoscore H-score . Hasil: Terdapat perbedaan bermakna kadar PSA antara hiperplasia prostat dan adenokarsinoma prostat p=0,004 . Ekspresi AR pada inti sel stromal pada hiperplasia prostat lebih tinggi dibandingkan pada adenokarsinoma prostat, dan mempunyai hasil statistik yang bermakna p=0,000 . Sedangkan ekspresi AR pada inti sel epitel menunjukkan hasil yang tidak bermakna pada kedua kelompok kasus p=0,152 . Intesitas ekspresi AR pada adenokarsinoma prostat dengan skor Gleason rendah le;7 lebih kuat dibandingkan adenokarsinoma prostat dengan skor Gleason tinggi >7 .Kesimpulan: Ekspresi AR pada inti sel stromal pada hiperplasia prostat lebih tinggi dibandingkan pada adenokarsinoma prostat. Peningkatan skor Gleason cenderung diikuti dengan penurunan intensitas ekspresi AR. Ekspresi AR pada hiperplasia prostat dan adenokarsinoma prostat dapat digunakan dalam prognosis dan prediksi serta evaluasi keberhasilan terapi hormonal.

ABSTRACT
"Background Previous studies suggested that Androgen Receptor AR expression could be used to evaluate the successful rate among patient with Benign prostate hyperplasia BPH or Adenocarcinoma acinar of the prostate CaP treated with hormonal therapy. AR plays role in prostate growth and differentiation, and maintains the normal state of the tissue. While in pathologic state, AR expression correlate with tumor grade and differentiation, and Gleason score GS . This study aimed to compare the expression of AR between BPH with CaP.Method This research use a cross sectional study conducted twenty cases of BPH and twenty five cases of CaP. Each tissue were stained using antibody against AR, and histologically reviewed. The captured photomicrographs were further analyze using histoscore H score .Result There was statistically signifinat levels PSA between BPH and CaP p 0,004 . The nucleus of stromal AR expression in BPH group compare to CaP group was statistically significant difference diagnose vs nucleus of stromal AR expression p 0,000 . Meanwhile, no significant difference is found between nucleus of epithelial AR expression between two group p 0,152 . The intensity expression AR in CaP with low Gleason score GS le 7 is higher than CaP with high Gleason score GS 7 Conclusion BPH expresess more nucleus of stromal AR than CaP. The higher Gleason score tends followed by declining intensity expression of AR. Thus suggest AR rsquo s role can use in prognosis, prediction and evaluation of hormonal theraphy of BPH or prostate malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Randy Fauzan
"ABSTRAK
Urodinamik merupakan standar baku yang digunakan untuk mengevaluasi BOO, namun fasilitas urodinamik tidak selalu tersedia di seluruh pusat pelayanan urologi. Oleh karena itu kontribusi dari komponen anatomis volume prostat dan PSA dan konfigurasinya IPP mulai dipertimbangkan. Batu buli sering ditemukan pada pasien dengan usia diatas 50 tahun yang merupakan rentang usia terjadinya BPH. Usia, Intravesica Prostatic Prostution IPP dan total prostate volume TVP adalah faktor yang mempengaruhi terjadinya batu buli pada pasien BPH. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat medis, indeks masa tubuh IMT , skor IPSS dan PSA dengan resiko batu buli pada pasien BPH

ABSTRACT
Urodynamic is the gold standard examination to evaluate BOO. However, urologic health facility that offers urodynamic examination is not always available. Hence, the contribution of anatomic components, such as prostate volume and PSA, and its configuration IPP have been considered. Bladder stone is often found in patients age more than 50 years, who are included in the age range of BPH. Age, intravesica prostatic protrusion IPP , and total prostate volume TPV are factors which are affecting the incidence of bladder stones in patients with BPH. There was no significant relationship between medical history, body mass index BMI , IPSS score, and PSA with risk of bladder stones in patients with BPH."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matondang, Faisal Abdi
"Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan dan mengevaluasi manajemen gejala saluran kemih bawah LUTS laki-laki sugestif dari benign prostatic hyperplasia BPH oleh dokter umum di Jakarta. Penelitian cross-sectional observasional ini dilakukan pada periode Januari 2013 hingga Agustus 2013 di Jakarta. Peneliti mengembangkan kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan yang menjelaskan manajemen LUTS laki-laki sugestif BPH oleh dokter dalam praktek sehari-hari pada bulan sebelumnya. Peneliti mengumpulkan kuesioner dari 200 dokter yang berpartisipasi dalam 4 simposium urologi yang diadakan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebagian besar dokter berusia antara 25 dan 35 tahun 71,5 dan telah bekerja selama lebih dari 1 tahun 87,5 . Satu sampai lima kasus LUTS pada pria sugestif BPH diobati oleh 81 dokter setiap bulannya. Saat diagnosis, gejala yang paling umum ditemukan adalah retensi urin 55,5 , frekuensi 48 , dan nokturia 45 . Pemeriksaan diagnostik yang lazim termasuk pemeriksaan colok dubur 65 , sistem skoring 44 , pengukuran tingkat antigen spesifik prostat PSA 23,5 , dan penilaian fungsi ginjal 20 . Kebanyakan dokter merujuk pasien pria dengan LUTS sugestif dari BPH ke dokter spesialis urologi 59,5 dan 46,5 dokter umum meresepkan obat-obatan sebagai terapi awal. Antagonis antagonis alfa-adrenergik 71,5 adalah obat yang paling umum diresepkan. Terapi kombinasi dengan antagonis -adrenergik dan inhibitor 5a-reduktase tidak rutin diresepkan 13 . Tiga puluh delapan persen dari dokter umum merujuk pasien ketika retensi urin berulang dan 33 ketika terjadi komplikasi. Penelitian ini memberikan bukti bahwa manajemen LUTS pada laki-laki sugestif BPH oleh dokter umum di Jakarta menyarankan sisitem rujukan sebagian untuk pedoman yang tersedia dalam hal metode diagnostik dan terapi awal. Namun, beberapa aspek dari pedoman, seperti pengukuran tingkat PSA, penilaian fungsi ginjal, urinalisis, pemeriksaan ultrasound, dan peresepan terapi kombinasi, masih jarang dilakukan.

This study was performed to describe and evaluate the management of male lower urinary tract symptoms LUTS suggestive of benign prostatic hyperplasia BPH by general practitioners GPs in Jakarta. This observational cross sectional study was performed between January 2013 and August 2013 in Jakarta. We developed a questionnaire consisting of 10 questions describing the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in their daily practice in the previous month. We collected questionnaires from 200 GPs participating in 4 urology symposiums held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Most GPs were aged between 25 and 35 years 71.5 and had worked for more than 1 year 87.5 . One to 5 cases of male LUTS suggestive of BPH were treated by 81 of GPs each month. At diagnosis, the most common symptoms found were urinary retention 55.5 , frequency 48 , and nocturia 45 . The usual diagnostic workup included digital rectal examination 65 , scoring system 44 , measurement of prostate specific antigen PSA level 23.5 , and renal function assessment 20 . Most GPs referred their male patients with LUTS suggestive of BPH to a urologist 59.5 and 46.5 of GPs prescribed drugs as an initial therapy. Alpha adrenergic antagonist monotherapy 71.5 was the most common drug prescribed. Combination therapy with adrenergic antagonists and 5 reductase inhibitors was not routinely prescribed 13 . Thirty eight percent of GPs referred their patients when recurrent urinary retention was present and 33 when complications were present. Our study provides evidence that the management of male LUTS suggestive of BPH by GPs in Jakarta suggests referral in part to available guidelines in terms of diagnostic methods and initial therapy. However, several aspects of the guidelines, such as PSA level measurement, renal function assessment, urinalysis, ultrasound examination, and prescription of combination therapies, are still infrequently performed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>