Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tazkya Nadira
Abstrak :
ABSTRAK
Makalah ini berfokus untuk melihat fenomena pengelolaan perkebunan yang dilakukan oleh semua rumah tangga di Kampung Laut menggunakan perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis. Tujuan dari perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis adalah untuk melihat bagaimana ketidakseimbangan dalam kekuasaan dan akses antara pria dan wanita untuk pengelolaan sumber daya. Dalam pengelolaan perkebunan Albasia, pria dan wanita memainkan peran dan posisi yang berbeda, peran dan posisi yang berbeda terkait dengan interaksi antara pria dan wanita yang berbeda dari tanaman tertentu di perkebunan Albasia. Penggunaan perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis dapat membantu menggambarkan bagaimana hubungan antara manusia berdasarkan berbagai dimensi sosial yang mereka miliki (gender, status, kelas) dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan aspek-aspek non-manusia. Perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis ini menekankan dua komponen, komponen pertama adalah melihat bagaimana hubungan gender-spesies terjadi antara pria, wanita dan tanaman di perkebunan albasia, dan komponen kedua adalah melihat bagaimana praktik sosio-spasial menunjukkan ketidakseimbangan antara wanita dan pria pada akses dan sumber daya ke perkebunan Albasia. Hubungan laki-laki, perempuan, dan tanaman tertentu melalui praktik sosio-spasial yang terjadi kemudian menciptakan tatanan hierarkis dalam pengelolaan perkebunan yang bertujuan untuk menjaga integritas dan keberlanjutan ekologi hutan sebagai tempat perlindungan bagi ketidakpastian sumber ekonomi karena perubahan di bentang alam terus terjadi di Kampung Laut.
ABSTRACT
This paper focuses on looking at the phenomenon of plantation management carried out by all households in Kampung Laut using the perspective of feminist-posthumanist intersectionality. The purpose of a feminist-posthumanist intersectionality perspective is to see how imbalances in power and access between men and women are for managing resources. In the management of Albasia plantations, men and women play different roles and positions, different roles and positions are related to interactions between men and women that are different from certain plants in Albasia plantations. The use of a feminist-posthumanist intersectionality perspective can help illustrate how relations between humans based on the various social dimensions they have (gender, status, class) can influence their relationship with non-human aspects. This feminist-posthumanist intersectional perspective emphasizes two components, the first component is looking at how gender-species relationships occur between men, women and plants on albasia plantations, and the second component is seeing how socio-spatial practices show an imbalance between women and men in access and resources southwest to the Albasia plantation. Relationships of men, women, and certain plants through socio-spatial practices that occur then create a hierarchical order in the management of plantations that aims to maintain the integrity and sustainability of forest ecology as a place of protection for uncertain economic resources because changes in the landscape continue to occur in Kampung Laut .
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gianfranco Wahyu Setyo
Abstrak :
Konsep konservasi dalam penelitian sebelumnya tentang antropologi ekologi cenderung fokus pada upaya manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan, dengan tujuan untuk alam kelestarian. Konservasi adalah solusi untuk degradasi lingkungan menurut perspektif antroposentris. Namun, program konservasi itu meminggirkan lokal masyarakat bukanlah solusi yang tepat. Konservasi semacam itu hanya bertahan dalam jangka pendek karena mereka dapat memicu konflik terjadi di komunitas lokal. Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam skripsi ini saya akan merekomendasikan penerapan perspektif multispesies untuk meninjau konsep konservasi yang mengisi kesenjangan dalam program konservasi sementara tidak membunuh masyarakat setempat. Multispecies etnografi adalah suatu pendekatan yang melihat alam tidak hanya sebagai alat hidup, tetapi juga sebagai a Pasangan yang harus diakui dan dipahami untuk membangun kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan alam. Penelitian ini mengamati masyarakat Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, yang juga anggota Krida Wana Lestari, kelompok tani bakau lokal. Data dikumpulkan melalui peserta observasi dan wawancara mendalam. Temuan penelitian menunjukkan bahwa anggota PT Krida Wana Lestari berinteraksi dengan lingkungan setiap saat untuk berkolaborasi alam dan pohon bakau. Berbagai jenis mangove yang ditanam di Segara Anakan adalah tumbuh dengan baik karena hubungan emosional antara petani dan petani bakau. Hubungan emosional tidak akan tumbuh tanpa interaksi. Ini sebabnya program konservasi yang melibatkan pemangku kepentingan lokal seperti Krida Wana Lestari terus melanjutkan dalam jangka panjang. Berdasarkan temuan, saya berpendapat bahwa konsep konservasi seharusnya tidak hanya dipahami melalui perspektif antroposentris. Faktanya, ada pemahaman emosional dan timbal balik antara lingkungan dan lokal pemangku kepentingan. Ini membuat program konservasi terus berkembang.
The concept of conservation in previous research on ecological anthropology tends to focus on human efforts to preserve the environment, with a view to nature conservation. Conservation is a solution for environmental degradation according to anthropocentric perspective. However, the conservation program that marginalizes local communities is not the right solution. Such conservation only lasts in the short term because they can trigger conflicts in the local community. For Overcoming this problem, in this thesis I will recommend the application of a multi-species perspective to review conservation concepts that fill gaps in conservation programs while not killing local people. Ethnographic multispecies is an approach that sees nature not only as a tool of life, but also as a partner that must be recognized and understood to build a harmonious life between humans and the natural environment. This research observes the people of Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, who are also members of Krida Wana Lestari, a local mangrove farming group. Data was collected through participant observation and in-depth interviews. The research findings show that members of PT Krida Wana Lestari interact with the environment at any time to collaborate with nature and mangrove trees. The various types of mangove planted in Segara Anakan are growing well due to the emotional connection between farmers and mangrove farmers. Emotional relationships will not grow without interaction. This is why conservation programs involving local stakeholders such as Krida Wana Lestari continue in the long term. Based on the findings, I think that the concept of conservation should not only be understood through an anthropocentric perspective. In fact, there is an emotional and reciprocal understanding between the environment and local stakeholders. This makes the conservation program continue to grow.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winean Rebecca Angelique
Abstrak :
Ketertarikan pada sifat antar tindakan human dengan non-human animal semakin meningkat saat kita memasuki abad ke-21. Jelas bahwa terdapat banyak masalah yang penting terkait kesejahteraan hewan yang menuntut perhatian segera dan cermat. Sudah begitu lama hewan dipandang ada hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia saja. Hal ini terjadi dalam posisi manusia yang dianggap sebagai makhluk simbolik dalam pendeketannya yang begitu antroposentrik. Hadirnya antroposentrisme memberikan konsekuensi bahwa manusia menggunakan posisi sentralnya itu untuk memanfaatkan non manusia untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan bersama semua makhluk hidup. Bahwa kehidupan bukan hanya milik manusia, dan bukan hanya soal pengalaman manusia saja, melainkan bagaimana cara kita menidentifikasi pengalaman hewan yang lain itu dengan pendekatan bahasa. Melalui pendekatan zoosemiotik kita dapat meminimalisir kecenderungan antroposentris yang destruktif dan eksploitatif. Zoosemiotik, atau studi hewan yang diinformasikan secara semiotika dengan lebih luas, berupaya menggambarkan makna dan tanda dalam hubungan pada hewan dan antara hewan dengan budaya manusia. Hal tersebut dimungkinkan karena pandangan spesiesme akan bergeser sedikit demi sedikit, memungkinkan manusia untuk tidak lagi menganggap status yang lebih rendah pada hewan dan menganggap mereka bukan sebagai individu, dan bukan sebagai objek dan sarana untuk memenuhi keinginan manusia. Kemudian, terbuka kemungkinan cukup besar bagi pendekatan zoosemiotik ini sebagai proses kepedulian dan penghayatan bersama yang dilakukan melalui kemungkinan terjalin nya pertukaran tanda bahkan proses komunikasi antara manusia dan hewan dalam relasi nya.
Interest in the nature of human and non-human animal action increases as we enter the 21st century. It is clear that there are many important issues related to animal welfare that demand immediate and careful attention. For a long time, animals were thought to exist only to meet human needs. This happens in the position of humans who are considered as symbolic creatures in their approach that is so anthropocentric. The presence of anthropocentrism provides the consequence that humans use their central position to utilize non-humans for personal gain in the name of the common interests of all living things. That life does not only belong to humans, and is not only a matter of human experience, but how we identify other animal experiences with a language approach. Through a zoosemiotic approach we can minimize the destructive and exploitative anthropocentric tendencies. Zoosemiotics, or animal studies that are informed more broadly by semiotics, attempt to portray the meaning and sign in relationships in animals and between animals and human culture. This is possible because the view of species will shift little by little, allowing humans to no longer consider lower status in animals and consider them not as individuals, and not as objects and means to fulfill human desires. Then, there is a big possibility for this zoosemiotic approach as a process of mutual concern and appreciation carried out through the possibility of intertwining the exchange of signs and even the process of communication between humans and animals in their relationships.

Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kasijanto Sastrodinomo
Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2018
581.959 85 KAS l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library