Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maryana, auhtor
Abstrak :
Hotspot adalah sesuatu yang tidak biasa, anomali, menyimpang, wabah, intensitas tinggi, atau disebut juga daerah kritis. Pendeteksian hotspot sangat berguna sebagai monitoring, etiologi, manajemen, atau peringatan dini. Scan statistics adalah suatu metode untuk mendeteksi area hotspot, sedangkan space time scan statistics adalah metode scan statistics yang memperhatikan informasi area dan waktu secara simultan dalam mendeteksi hotspot. Metode ini mendeteksi hotspot dengan scanning window yang berbentuk silinder, dimana setiap silinder yang terbentuk merupakan calon hotspot yang mungkin terjadi. Pendeteksian hotspot dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati beberapa data set, dimana data set adalah kelompok data pengamatan yang terdiri dari jumlah kasus, ukuran populasi dan koordinat dari masing-masing area yang diamati. Pendeteksian ini didasarkan pada kombinasi dari beberapa data set tersebut. Studi kasus pada penelitian ini adalah kesehatan bayi dan balita di kota Depok. Dari hasil pendeteksian ini diperoleh beberapa kombinasi yang menghasilkan hotspot yang sama, sehingga area dan waktu yang sering muncul pada kombinasi-kombinasi tersebut ditetapkan sebagai hotspot yaitu puskesmas Pasir Putih yang terjadi pada tahun 2011. Artinya area ini paling parah dibandingkan area yang lain mengenai kesehatan bayi dan balitanya. Hasil ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah setempat atau stakeholder lainnya dalam mengambil kebijakan terutama dibidang kesehatan.
Hotspot means something unusual, anomaly, aberration, outbreak, critical resource area, etc. Hotspot detection is very useful as monitoring, etiology, management, or early warning. Scan statistics is a method for detecting the location of hotspot, while the space-time scan statistics are statistics scan method that takes into account the location and time information simultaneously in detecting hotspot. This method detects hotspot with a cylindrical window, where each cylinder formed a candidate hotspot that may occur. Hotspot detection in this study conducted by observing multiple data sets, where the data set is a group of observational data consist of the number of cases, the size of the population and the coordinates of each location were observed. This detection is based on a combination of some of the data sets. The case study in this research is the health of infants and toddlers in Depok city. From the results of this detection obtained some combinations that produce the same hotspot, so that the location and time that often appear in these combinations are designated as hotspot Pasir Putih health center that occurred in 2011. It means this area is worst among other areas about its the health of infants and toddlers. This result is expected to be a guideline for local governments or other stakeholders in making decisions, especially in the field of health.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Muthia Harahap
Abstrak :
[ABSTRACT
Land and forest fires are complex problems that occurred in the province of Riau every year. The trigger factors comes from natural and human activities. This research uses a variable hotspots as an indication of land and forest fires produced by the satellite sensors NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) due to the temperature rise above 315 °K or 42° C on an area of 1 km2. The density of hotspots are scattered throughout the province of Riau 2005 to 2014 analyzed using Kernel Density calculations. The result patterns of spatial density of hotspots concentrated in Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis and Pelalawan. While the time pattern showed the highest number of hotspots for 10 years occurred in June until August. Then the distribution of the density of hotspots related with the factors that trigger fires such as monthly rainfall, distribution and depth of the peatland and the type of land use. The analysis showed the highest number of hotspots spread out on an area with a low monthly precipitation is 50-150 mm / month and on peatlands with a depth of more than 4 meters (very deep) as well as on the type of plantation land use, wetlands secondary forest and shrubs. Furthermore, the determination of threshold no rain day due to the hotspots appearance obtained through buffering technique as far as 10 km from rain gauge stations every day during the month of June to August. Analysis on each occurrence of hotspots is also associated with the depth of peat and types of land use to determine the characteristics of each buffer area, the result of the threshold of no rainy days in relation to the hotspot appearance in Riau Province is 3 days.
ABSTRAK
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.;Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari., Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan kompleks yang terjadi di Provinsi Riau setiap tahun. Pemicunya berasal dari faktor alami dan akibat aktivitas manusia. Penelitian ini menggunakan variabel hotspots (titik panas) sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan yang dihasilkan oleh sensor satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) akibat kenaikan suhu di atas 315° K atau 42°C pada luasan 1 km2. Hotspots yang tersebar diseluruh Provinsi Riau dianalisis kepadatannya sepanjang tahun 2005 hingga 2014 menggunakan perhitungan Kernel Density. Hasilnya pola spasial kepadatan hotspots terkonsentrasi di Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Sedangkan pola temporal menunjukkan jumlah hotspots terbanyak selama 10 tahun terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Kemudian sebaran kepadatan hotspots dihubungan dengan faktor-faktor pemicu terjadinya kebakaran yakni curah hujan bulanan, sebaran dan kedalaman gambut serta jenis penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan jumlah hotspots terbanyak tersebar pada wilayah dengan curah hujan bulanan rendah yaitu 50 - 150 mm/bulan dan pada lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter (sangat dalam) serta pada jenis penggunaan lahan perkebunan, hutan lahan basah sekunder dan semak belukar. Selanjutnya penentuan ambang batas hari tanpa hujan sehubungan kemunculan hotspots diperoleh melalui teknik buffering sejauh 10 km dari stasiun-stasiun pengamatan hujan setiap hari selama bulan Juni hingga Agustus. Analisis pada setiap kemunculan hotspots juga dikaitkan dengan kedalaman gambut dan jenis penggunaan lahan untuk mengetahui karakteristik setiap area buffer, hasilnya ambang batas hari tanpa hujan dalam kaitan kemunculan hotspots di Provinsi Riau adalah 3 hari.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudhian Firdaus
Abstrak :
Kebakaran hutan dan lahan adalah kejadian yang mengancam kehidupan dan mata pencaharian, mempengaruhi ekonomi nasional, dan memiliki potensi yang berdampak panjang pada manusia. Saat ini, 62 persen wilayah Kalimantan mengalami kerentanan kebakaran hebat, dengan kira-kira 10 persen dari wilayah tersebut memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Untuk mengurangi dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap kerusakan lingkungan dan manusia, analisis spasial dan temporal perlu dilakukan salah satunya menggunakan metode machine learning. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spatio-temporal titik panas, hubungan antara titik panas dan unsur iklim, dan memproyeksikan potensi titik panas secara spatio-temporal di daerah Kalimantan Timur. Titik panas didapat dari database SiPongi selama periode 2013-2022 diklasifikasikan menggunakan emerging hotspot analysis. Data iklim dari model TerraClimate dengan resolusi 1/240 dinilai pada setiap pola titik panas yang ada dengan menghitung nilai korelasi dan determinasi pada setiap unsur, yaitu curah hujan, suhu maksimum, evapotranspirasi, kecepatan angin, dan kelembaban tanah. Forest-based forecast digunakan untuk melihat potensi titik panas menggunakan berdasar unsur iklim dan geografis lainnya di Kalimantan Timur. Pola sebaran titik panas di Kalimantan Timur secara spasial dari penelitian ini dapat diketahui memiliki pola yang terklasifikasikan atau mengelompok dengan karakteristiknya masing-masing. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa unsur iklim memiliki nilai yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi titik panas. Proyeksi titik panas menggunakan machine learning algoritma random forest dalam penelitian ini dapat menunjukkan prakiraan titik panas dengan kesesuaian jumlah daerah potensi titik panas secara spatio-temporal ......Forest fires are events that threaten lives and livelihoods, affect national economies, and have the potential to have long-lasting impacts on people. Currently, 62 percent of Kalimantan is highly vulnerable to fires, with approximately 10 percent of the area experiencing very high vulnerability. To reduce the impact of forest fires on environmental and human damage, spatial and temporal analysis needs to be carried out, one of which is using machine learning methods. This study aims to analyze the spatio-temporal patterns of hotspots, the relationship between hotspots and climatic elements, and project hotspot potential spatio-temporally in the East Kalimantan region. Hot spots obtained from the Sipongi database for the period 2013-2022 are classified using emerging hotspot analysis. Climate data from the TerraClimate model with 1/240 resolution is assessed for each hotspot pattern by calculating the correlation and determination values for each element, namely rainfall, maximum temperature, evapotranspiration, wind speed, and soil moisture. Forest-based forecasts are used to see potential hotspots based on climate and other geographical elements in East Kalimantan. The spatial distribution pattern of hotspots in East Kalimantan from this study can be seen to have a pattern that is classified or grouped with their respective characteristics. The results also show that the climate element has a value that influences the location of hotspots. Hot spot projections using the machine learning random forest algorithm in this study can show hotspot predictions with the spatio-temporal suitability of the number of potential hot spot areas.
Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Luthfita
Abstrak :
Kabupaten Kubu Raya merupakan salah satu dari 14 Kabupaten/Kota rawan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Barat dan mengalami kejadian kebakaran setiap tahun. Berdasarkan data Kesatuan Pengelolaan Hutan pada tahun 2018, terdapat sekitar 4406 titik panas yang tersebar di Kabupaten Kubu Raya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan aspek kondisi fisik wilayah yang meliputi ketebalan gambut, tutupan lahan dan curah hujan serta aspek sosial masyarakat yang meliputi kepadatan penduduk, tingkat pendidikan dan jenis lapangan usaha di Kabupaten Kubu Raya. Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode overlay dengan Sistem Informasi Geografis. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa wilayah di Kabupaten Kubu Raya yang terdeteksi sangat rawan sebesar 12,77 % dengan total luas wilayah 1124,31 km², rawan tinggi yaitu sebesar 26,75 % dengan total luas wilayah 2419,68 km², rawan rendah yaitu sebesar 31,48 % dengan total luas wilayah 3421,38 km², sedangkan tingkat rawan sangat rendah yaitu 29,00 % dengan total luas wilayah 2408,07 km². Hasil pengolahan menunjukkan bahwa Wilayah dengan tingkat kerawanan tertinggi yaitu Kecamatan Rasau Jaya dan wilayah dengan tingkat kerawanan terendah yaitu Kecamatan Kubu.
Kubu Raya Regency is one of 14 regencies / cities prone to forest and land fires in West Kalimantan Province and experiences fires every year. Based on data from the Forest Management Unit in 2018, there are around 4406 hotspots spread across Kubu Raya Regency. The purpose of this study is to analyze areas prone to forest and land fires based on aspects of the physical condition of the area including peat thickness, land cover and rainfall as well as social aspects of society which include population density, education level and type of business field in Kubu Raya Regency. The spatial analysis used in this study uses the overlay method with Geographic Information Systems. The results of the analysis that have been carried out show that the area in Kubu Raya District that was detected was very vulnerable at 12.77% with a total area of ​​1124.31 km², high vulnerable at 26.75% with a total area of ​​2419.68 km², low at risk that is amounting to 31.48% with a total area of ​​3421.38 km², while the level of vulnerability is very low at 29.00% with a total area of ​​2408.07 km². The analysis shows that the area with the highest level of vulnerability is Rasau Jaya District and the area with the lowest level of vulnerability is Kubu District.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library