Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Riawan
Abstrak :
Upaya pelestarian bangunan cagar budaya di wilayah DKI Jakarta banyak mengalami tantangan serta rumit ditangani. Hal ini dikarenakan banyaknya pihak yang berkepentingan dengan bangunan cagar budaya itu sendiri. Penetapan bangunan cagar budaya di wilayah DKI Jakarta yang pemah dilakukan masih banyak mengundang permasalahan. Dalam penetapan bangunan cagar budaya dirasakan adanya kendala pada lemahnya sistem penilaian yang diterapkan. Penetapan yang dilakukan tidak didasarkan penelitian, masih bersifat sektoral sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu tertentu. Kriteria penilaian dibuat oleh pembuat kebijakan tanpa melibatkan masyarakat pemilik bangunan cagar budaya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibuat suatu sistem penilaian bangunan cagar budaya yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan penilaian dari berbagai kepentingan. Sistem Penilaian yang diusutkan terdiri dari penilaian secara akademis, yaitu penilaian secara ilmiah didasarkan kepada keseimbangan penilaian diantara disiplin ilmu Arkeologi, Sejarah dan Arsitektur serta mempertimbangkan aspek hukum. Penilaian akademis terdiri dari delapan kriteria, yakni kriteria sejarah didasarkan pada empat tolok ukur, kriteria keaslian didasarkan pada empat tolok ukur, kriteria umur didasarkan pada dua tolok ukur, kriteria manfaat didasarkan pada enam tolok ukur, kriteria estetika didasarkan pada dua tolok ukur, kriteria gaya didasarkan pada lima tolok ukur, kriteria kelangkaan didasarkan dua tolok ukur, kriteria kondisi bangunan didasarkan tiga tolok ukur. Pada pelaksanaan penilaian, dilakukan pembobotan pada masing-masing kriteria untuk mengetahui seberapa penting kriteria tersebut relatif satu dengan lainnya. Pembobotan mempertimbangkan kepentingan pemilik bangunan cagar budaya. Untuk mengetahui kepentingan pemilik bangunan diajukan sistem penilaian dengan menggunakan kuisioner. Hasil kuisioner diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kebutuhan pelestarian bangunan cagar budaya dari sisi pemilik bangunan. Sehingga kebijakan penilaian mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak (win-win solution). Selain itu dilakukan pula penilaian secara non akademis, yaitu permasalahan yang terjadi di lapangan akibat dari diterapkannya kriteria penilaian yang pernah dibuat. Permasalahan yang ada terdiri dari enam permasalahan, yakni birokrasi pelestarian, ketatakotaan, fisik bangunan, kurangnya partisipasi pemilik bangunan, anti kolonialisme dan etnis tertentu, ekonomi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T13370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryaning Dewanti
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Semarang merupakan Ibukota Jawa Tengah yang terletak di pesisir pantai pulau Jawa, dengan posisi 110° 23? 5779? BT dan 1100 55? 6? LS dan 6°58? 18" LS. Jatuhnya kota Semarang pada pemerintah konial Belanda adalah dikarenakan Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau yang sering disebut dengan VOC, mengalami kebangkrutan pada tahun 1799. Pada awalnya Kota Semarang diduduki oleh VOC tanggal 15 Januari 1678, namun sejak kebangkrutan itu Semarang langsung diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan sejak saat itu diterapkan pemerintahan kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan Belanda pada awal abad 18, Semarang telah memenuhi persyaratan sebagai kota. Hal tersebut dapat terlihat dari fasilitas sosial, sistem administrasi dan kondisi fisiologisnya.l Selama pemerintahan Belanda di Semarang, Belanda banyak melakukan pembangunan fisik baik berupa gedung-gedung maupun infrastruktur, contohnya adalah jalan dan transportasi. Namun dengan berjalannya waktu maka untuk kondisi suatu gedung maupun infrastruktur akan mengalami banyak hal, baik rusak dimakan oleh usia, bencana alam ataupun karena vandalisme2. Terutama pada bangunan-bangunan kuno, tentu lebih banyak mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh pelapukan karena dimakan usia dan tidak terawat. Tidak sedikit bangunan kuno yang pada akhirnya dihancurkan untuk diganti dengan bangunan yang baru, atau dirombak secara keseluruhan. Contoh di Semarang adalah Gedung GRIS, yaitu kepanjangan dari Gedung Rakyat Indonesia Semarang, yang sebelumnya bernama Sociteit Harmonie yang terletak di Jalan Mpu Tantular Semarang, pada tahun 2001 gedung ini sudah karena tanahnya dibeli oleh investor dan Gedung tersebut dihancurkan, namun sampai sekarang masih berupa tanah kosong belum ditindak lanjuti dengan pembangunan. Salah satu bangunan kolonial yang masih berdiri di Semarang adalah Lawang Sewu. Mengutip peryantaan Kusumaningrat, Sartono, dengan topik Arsitektur ETnik Gedung Lawang Sewu Semarang, pada http: / /www.tembi.org/situs/11000.htrn, mengatakan bahwa, "Bangunan Gedung Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan kuno dari 102 bangunan kuno yang terdapat di Kota Semarang. Demikian seperti yang tercantum dalam SR Walikota Semarang no. 650/50/1992. Bangunan ini telah menjadi salah satu identitas kota Semarang." Lawang Sewu yang merupakan identitas kota berarti merupakan Landmark3 Kota Semarang yang menjadi kebanggaan warga yang juga sebagai warisan arsitektur. Lokasi Lawang Sewu terletak di pertemuan Jalan Pemuda dan Jalan Pandanaran, daerah ini meupakan daerah pusat pemerintahan, perdagangan, dan perkantoran. Selain itu di depan gedung Lawang Sewu terdapat sebuah Tugu Muda yang didirikan pada tahun 1951 atas prakarsa Walikota Semarang, Hadisoebeno Sasrowedojo, yang merupakan simbol Pertempuran Lima Hari di Semarang. Kondisi Lawang Sewu saat ini merupakan bangunan yang tidak berfungsi setelah pada tahun 1994 Kodam VII Diponegoro (sekarang Kodam IV), mengembalikan kepada Departemen Perhubungan dibawah unit PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), Jawa Tengah. Alasan Kodam VII mengembalikan Lawang Sewu pada Jawatan Kereta Api dikarenakan Kodam VII Diponegoro, yang sebelumnya menempati Lawang Sewu sudah memiliki tempat dan bangunan sendiri di daerah Watu Gong Semarang. Apabila dilihat secara sekilas, bangunan tersebut masih terlihat sangat bagus, kuat dan megah. Namun apabila kita perhatikan dari jarak dekat, kondisi bangunan tersebut terlihat berlumut pada dinding-dinding bangunannya, dinding-dinding bangunan sudah mengalami keretakan dimana-mana, pegangan pintu pada bangunan Lawang Sewu sebagian besar sudah hilang sehingga pintu pada bangunan tersebut tidak bisa dikunci, termasuk pada pintu utama bangunan, langit-langit dan dinding bangunan terlihat banyak ditumbuhi jamur dan lumut yang dikarenakan kelembaban ruangan yang tidak terkondisi dengan baik, belum lagi ruang bawah tanah yang dipenuhi dengan lumpur. Melihat kondisi bangunan yang seperti ini, perlu tindakan khusus untuk dapat memfungsikan kembali bangunan Lawang Sewu tersebut. Apabila didiamkan saja, maka cepat atau lambat bangunan ini akan hancur dengan sendirinya, ditutup oleh debu, ditumbuhi oleh tanaman-tanaman lumut. Apabila sudah terjadi hal seperti itu maka akan jauh lebih sulit merevitalisasi Lawang Sewu karena selain biayanya juga jauh lebih besar, diperlukan.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Widodo
Abstrak :
ABSTRAK
Dampak dari pembangunan fisik untuk mendukung perekonomian mulai mengancam kelestarian situs-situs arkeologi dan lingkungannya baik ancaman secara langsung seperti penghancuran, penggusuran, perusakan, maupun ancaman secara tidak langsung seperti polusi, perubahan iklim mikro, pelapukan, penelantaran situs, dan kurangnya perlindungan. Alasan tersebut yang menjadi latar belakang penelitian terhadap gedung-gedung bersejarah di kota Serang-Banten. Gedung-gedung yang dijadikan objek penelitian adalah Kantor Gubernur Banten, Gedung Joang 45, Kantor Bupati, Stasiun Kereta Api, Mapolres, dan Makorem 064 Maulana Yusuf Banten Serang. Alasan dijadikannya gedung-gedung tersebut sebagai objek penelitian karena gedung-gedung tersebut mempunyai beberapa nilai signifikansi yaitu nilai sejarah politik dan perkembangan kota Serang, nilai keaslian, nilai estetika, mewakili masa gaya tertentu dan nilai kelangkaan. Permasalahan yang dihadapi dalam kajian ini adalah bagaimana meng-optimalisasi pemanfaatan gedung-gedung bersejarah di kota Serang-Banten Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan strategis dengan metode analisis SWOT (Strengh, Weakness, Opportunity, dan Threat) pada kondisi-kondisi internal dan ekstemal aorta menyesuaikan dengan tahapan-tahapan Manajemen Sumber Gaya Budaya yang diperlukan dalam menyelenggarakan manajemen pelestarian dan pemanfaatan gedung-gedung bcsejarah di kota Serang. Kendala yang dihadapi oleh pengguna gedung maupun pihak yang berwenang dalam melestarikan gedung-gedung tersebut berupa lemahnya inventarisasi dan dokumentasi, kurangnya partisipasi pengguna gedung, tidak adanya papn pctunjuk bangunan, lemahnya prosedur pelaporan dan sosialisasi pemeliharaan gedung bersejarah, lemahnya sangsi terhadap pelanggaran, lemahnya koordinasi pengawasan, kondisi bangunan yang mulai rusak dan periu perawatan, dan belum adanya Perda yang mengawr tcntang BCB di Serang. Untuk mengatasi bcrhagai kendala yang ada dalam pelestarian dan pemanfaatan maka ditawarkanlah Strategi pengelolaan berupa memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Strategi memaksimalkan kekuatan dan peluang yang akan dipakai adalah berupa kernungkinan alih fungsi pada kantor Gubemur Banten menjadi Museum Negeri tingkat Provinsi dan Gedung Joang 45 menjadi Gedung Balai Budaya serta penataan ulang situs yang ada namun tetap pada fungsi sekarang dilakukan dengan selalu melakukan pemeliharaan, perbaikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian dan perencanaan yang baik dalam penambahan gedung-gedung baru. Strategi meminimalkan kelemahan dan ancaman yang ditawarkan adalah dengan cara perbaikan sistem inventarisasi dan dokumentasi, penetapan Perda tentang Benda Cagar Budaya, perbaikan prosedur pelaporan dan sosialisasi pemeliharaan gedung bersejarah, koordinasi antar instansi pemerintah, penataan situs dan tata kota, kerja sama dengan LSM, selalu melakukan dan menyimpan dokumentasi pada setiap perubahan gedung untuk kepentingan penelitian, pengadaan kurikulum muatan lokal untuk pengajaran sejarah politik dan perkembangan kota scrang, dan adanya akses yang mudah untuk masyarakat luas dalam hal kunjungan wisata sejarah.
2007
T19612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hasmi Yanuardi
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang penilaian signifikansi bangunan Candra Naya terkait potensi untuk pemanfaatannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali nilai penting apa saja yang dimiliki bangunan Candra Naya. Kepastian pendirian bangunan Candra Naya memiliki dua kemungkinan yakni apakah tahun 1807 ataukah 1867. Kedua tahun itu terkait dengan dua orang keluarga Khouw yakni Khouw Tian Sek dan Khouw Tjeng Tjoan. Pandangan yang mendasarkan pada tahun 1807 adalah bahwa bangunan Candra Naya tersebut didirikan oleh Khouw Tian Sek dalam rangka menyambut kelahiran putranya yakni Khouw Tjeng Tjoan yang lahir di tahun 1808. Namun pendapat yang menyatakan bahwa bangunan Candra Naya didirikan pada tahun 1867, maka pendirinya adalah Khouw Tjeng Tjoan yang lahir pada ta hun 1808 dan meninggal di akhir abad ke -19. Putra Khouw Tjeng Tjoan lahir di tahun 1879 bernama Khouw Kim An. Pribadi Khouw Kim An inilah yang kemudian menjadikan bangunan Candra Naya kemudian dianggap memiliki signifikansi. Pada saat dewasa Khouw Kim An selain menjadi seorang bankir, dia juga merupakan seorang tokoh masyarakat Cina di Batavia. Dia merupakan salah seorang pendiri Tiong Hoa Hwee Kwan pada tahun 1900, Presiden Kong Kwan (Dewan Cina), anggota Volksraad, pengurus organisasai Chung Hwa Hui, dan juga menjadi pejabat di dalam Chineesch Bestuur dengan pangkat mayor. Khouw Kim An merupakan mayor Cina yang terakhir pada masa Hindia Belanda. Bangunan Candra Naya pada mulanya adalah tempat tinggal keluarga Khouw. Namun pada saat pascakemerdekaan Indonesia, rumah keluarga Khouw itu disewa oleh perkumpulan Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) yang bertujuan memberikan bantuan dan penerangan bagi masyarakat yang membutuhkan akibat perang serta memiliki misi sosial dalam mendampingi masyarakat Cina di Jakarta. Pada era 1960-an, perkumpulan Sin Ming Hui berganti nama menjadi Perhimpunan Sosial Tjandra Naja. Seiring pengesahan ejaan yang disempurnakan di era 1970 -an, maka perhimpunan tersebut namanya menjadi Perhimpunan Sosial Candra Naya. Di tahun 1994, sebuah perusahaan swasta membeli bangunan Candra Naya dari ahli waris keluarga Khouw, sehingga Perhimpunan Candra Naya memindahkan lokasi aktivitas organisasnya. Rumah keluarga Khouw yang tetap dikenal sebagai bangunan Candra Naya terletak tepat di depan di Jalan Gajah Mada nomor 188, Jakarta. Bangunan Candra Naya sekarang hanya tersisa bangunan utama atau intinya saja. Beberapa bangunan yang berada di dalam komplek halaman rumah keluarga Khouw telah dibongkar. Pembongkaran tersebut sempat mendapatkan p enolakan dari berbagai kalangan, namun faktanya pembongkaran beberapa bangunan Candra Naya tetap dilakukan. Berdasarkan Surat Keputusan Pjs. Gubernur DKI tahun 1972 yang pada saat itu masih mengacu ke peraturan masa Hindia Belanda yakni Monumenten Ordonnantie 1931, kemudian Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1988, Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya tahun 1992 termasuk Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tahun 1993 yang isinya menetapkan tentang bangunan bersejarah yang banguna n Candra Naya termasuk di dalam daftarnya, maka bangunan Candra Naya dianggap memiliki signifikansi yang tinggi. Bangunan Candra Naya merupakan peninggalan kebudayaan material yang bersifat tangible dan juga intangible dari sudut nilai filosofis masyarakat Cina di Batavia. Signifikansi bangunan Candra Naya dapat dilihat dari beberapa penilaian yakni nilai estetika, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Sedangkan pemenfaatannya dapat diarahkan untuk kepentingan ideologik, ekonomik, dan akademik. Pelestarian terhadap sisa bangunan Candra Naya dapat memberikan pemahaman akan perkembangan sejarah , jatidiri, dan budaya masyarakat Cina di Jakarta tempo dulu. Selain juga merupakan sebuah upaya pelestarian sumber daya budaya di kawasan Jakarta. ......This thesis is discussing on significance assessment of Candra Naya building which related to its potential utilization and preservation. So, the research's objective is to explore all the valuable features which Candra Naya building has. There are two perspectives of Candra Naya building establishment, in 1807 and 1867. Both of them are interrelated with two people of Khouw Families, Khouw Tian Sek and Khouw Tjeng Tjoan. First perspective thought that in 1807, Khouw Tian Sek built Candra Naya building to make the acquaintance of his son?s labor, Khouw Tjeng Tjoan, who was born in 1808. Another perspective thought that Candra Naya building was built in 1867 by Khouw Tjeng Tjoan. His son, Khouw Kim An (born in 1879) had made Candra Naya building with significance valuable features . Khouw Kim An was a banker and an important Chinese personage in Batavia as well. During his life, Khouw Kim An had employed many significant roles in Chinese society, for instance, he was a co-founder of Tiong Hoa Hwee Kwan in 1900, a President of Kong Kwan (Chinese Council), a member of Volksraad, an executive board of Chung Hwa Hui organization and a Major in Chineesch Bestuur. He was the only remaining Chinese Major in the Netherlands Indies. In the beginning, Candra Naya building was a residence of Khouw Families. However, it was rent by Sin Ming Hui association after the Indonesian Declaration of Independence. This organization's (Sin Ming Hui association) aim was to grant in aid for people who really need help after the war. It also had a social mission for Chinese society in Jakarta. In 1960s, Sin Ming Hui association changed its name to "Perhimpunan Sosial Tjandra Naja". After that, the name changed again to ?Perhimpunan Sosial Candra Naya? due to Indonesian fine-tuned spelling terminology in 1970s. In 1994, a private company bought Candra Baya buil ding from Khouw?s legal heir family. Hence, Perhimpunan Candra Naya (Candra Naya Asssociation) moved the entirely activities to the new location. Khouw Family residence, known as Candra Naya building is located at Jalan Gajah Mada number 188, Jakarta. Now, it is only remained the main building. Many parts of its building had demolished even though there were many protests occurred from the historical and cultural heritage activist community. Candra Naya building has been proclaimed as a historical building. It b ased on the Governor of Jakarta?s regulation in 1972 which is referred to the Netherlands Indies decree, Monumenten Ordonnantie 1931 as well as Minister of Education and Cultural?s regulation in 1988, Material of Cultural Heritage?s Law in 1992, included the decree of Jakarta Governor in 1993 which decreed that Candra Naya as a historical building. Thus candra Naya building has highly valuable significance. Candra Naya building as a tangible and intangible material culture heritage based on Chinese philosophy values in Batavia. The significance of Candra Naya building can be assess through aesthetic value, historical value, social value and science value while its utilization can be directed as ideologic, economic and academic. The remained building of Candra Naya preservation can contribute in Chinese history, identity, and cultural understanding and development in Jakarta. It also addressed as a cultural preservation in Jakarta.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
T43299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Triantoro
Abstrak :
Bangunan bersejarah selalu dihadapkan pada permasalahan dua kepentingan. Pada satu pihak menginginkan pelestarian untuk menjaga pesan sejarah yang dimilikinya. Di pihak lain menginginkan perubahan agar sesuai dengan perubahan nilai yang berlaku di masyarakat. Karenanya untuk mengatasi pertentangan ini diperlukan suatu adaptasi, yang salah satunya adalah dengan penambahan/perubahan fungsi bangunan. Namun adaptasi ini mengakibatkan suatu konflik identitas, yang kita bisa lihat dari fasade bangunannya. Mengingat pentingnya peranan fasade dalam pembentukan identitas suatu bangunan. Untuk itu dipehukan suatu kaidah dalam pengolahan fasade bangunan. Selain dengan menggunakan kaidah yang dipakai pada pengolahan fasade bangunan secara umum, juga diperlukan penggunaan kaidah lain untuk mempertahankan karakter dari bangunan asli. Salah satunya dengan membentuk hubungan antara bangunan baru dengan bangunan asli. Baik kaidah yang dipakai pada pengolahan fasade bangunan secara umum, maupun kaidah dalam pengolahan fasade bangunan bersejarah keduanya memperhatikan hal-hal yang relatif sama. Yang membedakan diantara keduanya adalah penkanan yang dilakukan. ......Historical building is always facing by two problems of importance. At one side the continuation of the building makes the priority to take care the history message on it. At the other side, need for changes in order to keep the value in society. Hence to overcome these conflicts, adaptation is needed, by adding or changing the building function. But this kind of adaptation has resulted an identity conflict, which we can see it from its building facade. Considering the importantance of the building facades, as the identity or the building image. For that kind of conflict, it needs a method of progress to the building facades. Beside using this method of general building facade, it also need another method used to keep the character from original building. One of them is by building relations between new building with original building. Whether the general method of processing building facade or the processing of historical building facade, basically, both of them consider the same thing. The differences is just about the main point.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48534
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalitia Apsari
Abstrak :
Kosmos merupakan hal yang kompleks, memahaminya berarti mengerti betui akan eksistensi kita dan segala substansi yang 'hadir' di alam semesta sebagai mahluk Al Khalik yang fana sifatnya. Dalam memahami kosmos manusia memiliih untuk berorientasi terhadap sesuatu yang terkadang tidak lepas dari dogma-dogma yang terbentuk akan panutan mengenai sosok-sosok yang disucikan atau diagungkannya. Sosok-sosok tersebutlah yang disebut dengan ikon yang surgawi dan bersifat abadi. Manusia perlu penghayatan tinggi terhadap suatu kepercayaan?yang sifatnya 'hadir' bukan 'nampak'?sehingga dalam kehidupannya di dunia manusia mengejawantahkan kosmos menjadi bentuk-bentuk yang kasat mata?dalam penulisan ini adalah bentuk-bentuk arsitektural. Konversi ini tidak jarang meng'hadir'kan ikon yang selain menjadi orientasi terhadap pemujanya juga menjadi inti yang bertindak sebagai 'jiwa' dari bentuk arsitekturalnya. Lalu bagaimana arsitektur merespon terhadap ikon sebagai inti ruangnya? Bagaimana esensi 'ruang' yang dibentuknya dan apa dampaknya bagi manusia yang mengalami? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya kaji dalam penulisan skripsi ini yakni pemahaman mengenai ikon sebagai inti bentuk arsitektural selaku simbol kosmologis. Untuk memahaminya saya mengkaji berdasarkan pengertian tiap-tiap unsurnya dan melakukan pengalaman ruang dengan metode fenomenologi. ......Cosmos is exceedingly intricate, to comprehend it means to grasp and became conscious of our existence and all substances that is 'presence' in universe as God's mortal creation. In understanding cosmos human being prefer to orient themselves to things and ideas that occasionally related to values that constructed from their adulation of figures they considered to be sacred and divine afar human. These figures are what we entitled as icons?heavenly and perpetual. Human requires high discernment to respect religion?which is classified as something 'presence' yet with a vague way of manifestation. Hence in human life, cosmos is converted to factual and tangible forms and figures, and by that I choose the paradigm of architectural figures. This alteration likely to 'bestow' icons?in addition as a point of reference to their worshippers and also revealed as the staple that acts as the 'spirit' of its architectural form. Thus how architecture responded to the icon as their crux? How does the 'space' assembled and what effect does ft bring to human who experience it? These inquiries are what I expected to answer by conferring an outlook about icon as the crux of architectural form as a cosmologic symbol. The assessment is based on the recognition of every aspect and experiencing the space with phenomenology method.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48537
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elysha Yolandra
Abstrak :
ABSTRAK
Bentuk rumah dari masa ke masa selalu mengalami perubahan. Indonesia khususnya banyak ditemui berbagai macam bentuk rumah tinggal dari zaman kolonial hingga sampai sekarang ini. Skripsi ini membahas tentang pelestarian bangunan bersejarah khususnya rumah tinggal yaitu Rumah Jengki. Tujuan dari skripsi ini agar dapat mengetahui Rumah Jengki sebagai rumah tinggal dan layak sebagai bangunan cagar budaya sehingga dapat dilestarikan dan dimanfaatkan untuk masa yang akan datang. Hasilnya menunjukkan bahwa Rumah Jengki dapat dikatakan rumah tinggal dan merupakan bangunan cagar budaya sehingga dapat dilakukannya upaya-upaya pelestarian terhadap Rumah Jengki tersebut.
ABSTRACT
The shape of a house keeps changing as time goes by. Particularly in Indonesia where many types of houses originated from the colonialism era up to now can be found. This mini thesis is talking about the conservation of historical buildings, especially Jengki House. The purpose of this mini thesis is to reveal the value of Jengki House as a cultural heritage that is worth to preserve for the future utilization. The result shows that Jengki House can be classified as both functional building and cultural heritage, thus Jengki House preservations need to be done.
2015
S59141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashri Prawesthi Dhamaraty
Abstrak :
Dalam tesis ini telah saya tunjukkan adanya perubahan makna pada bangunan-bangunan bersejarah bagi masyarakat Cina di kelurahan Roa Malaka Jakarta dengan bukti-bukti pada lima bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal (1 bangunan), hunian dan usaha (2 bangunan) serta tempat usaha/jasa saja (2 bangunan). Perubahan makna tersebut ditunjukkan oleh: hilangnya ruang khusus yang menjadi inti pada bangunan Cina yaitu ruang pemujaan leluhur atau penggabungan ruang pemujaan tersebut dengan ruang yang lain yaitu ruang keluarga atau ruang tidur. Tidak adanya ruang khusus untuk pemujaan leluhur ini karena ruang dalam hunian mereka lebih didominasi dengan ruang untuk usaha. Dalam tesis ini juga saya tunjukkan kurangnya upaya-upaya pelestarian dari masyarakat Cina kelurahan Roa Malaka dalam hal merawat bangunan-bangunan bersejarahnya. Tiga dari bangunan yang diteliti telah berubah menjadi bangunan modern, sementara dua bangunan lainnya masih dalam bentuk asli tetapi dalam kondisi yang tidak terawat. Perubahan-perubahan yang terjadi pada bangunan-bangunan bersejarah tersebut adalah karena pola pikir masyarakat Cina di kelurahan Roa Malaka yang berubah karena pengaruh faktor pendidikan, faktor politik keagamaan, perkembangan kota Jakarta serta motivasi ekonomi dalam mengantisipasi perkembangan kota tersebut. Apa yang akan dijawab dalam tesis ini didasarkan pada pertanyaan apa makna bangunan bersejarah bagi masyarakat Cina di kelurahan Roa Malaka Jakarta dan bagaimana upaya pelestarian masyarakat Cina di kelurahan Roa Malaka terhadap bangunan-bangunan bersejarahnya tersebut.
Chinese Community in Roa Malaka Jakarta and Conservation Effort for Their Historical BuildingsRoa Malaka is one of the Chinese historical districts that play a role in the growth of Jakarta City. As an area that has many traditional Chinese buildings, the local Government through department of conservation tries to conserve the buildings in order to vitalize tourism. In this thesis, I have shown the changes of meaning of historical buildings to Chinese society in Roa Malaka Jakarta through five buildings that built around 1895 until 1945. The change of the meaning in that buildings shown by: loss of special room which become the core of Chinese building that is for ancestor worship or join it with family room or bedroom. The inexistence of special Room for the ancestor worship is because of the most rooms in their dwelling are used predominately for trading. In this thesis, I also show the lack of efforts of Chinese society in Roa Malaka in the case of taking care of their historical buildings. Three of the buildings have turned into modem building, whereas two other buildings still in the genuine form but in a poor condition (not maintained well). The changes that happened in those historical buildings are because of the mindset of Chinese people in Roa Malaka have changed. The change of their mindsets influenced by education factor, religious political factor, and the growth of Jakarta that cause destruction of the original buildings. This thesis attempts to answer two questions: 1) what is the meaning of historical building to Chinese society in Roa Malaka Jakarta and 2) how is their effort conserve their historical buildings.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T 11391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permatasari
Abstrak :
Buitenzorg atau sekarang disebut Bogor merupakan salah satu kota penting pada masa kolonial. Oleh karena itu, banyak peninggalan berupa bangunan yang sampai saat ini masih tetap berdiri. Pada bangunan-bangunan tersebut dapat terlihat adanya percampuran kebudayaan Barat dan lokal. Bangunan dengan ciri itu disebut memiliki gaya Indis. Skripsi ini membahas tentang percampuran kebudayaan yang terdapat pada bangunan Middelbare Landbouwschool (MLS). Percampuran kebudayaan tersebut dapat terlihat dari gaya-gaya yang digunakan pada komponen-komponen bangunan. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat beberapa gaya yang terdapat di MLS, mulai dari klasik, modern, lokal, dan indis. Berdasarkan hal tersebut, bangunan MLS juga dapat dikatakan sebagai bangunan bergaya Indis. ......In a colonial period, Buitenzorg or also known as Bogor is one of important city, because of that there are so many inheritance in form of building which still exist until now. In that buildings can show a culture mixed between local and an occident culture. The building with that appearance have an Indis style. A culture mixed in a building of Middelbare Landbouw School (MLS) revealed in this research. A culture mixed can be shown on the building's interior. Some style in the MLS building, starting from classic, modern, local, and indis style has been found as a result of the research. Inother words, MLS is a building with the Indis style according to the research.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S64696
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feilden, Bernard M. (Bernard Melchior)
Boston: Architectural Press, 1994
720.288 FEI c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>