Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hepatitis C adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Virus Hepatitis tipe C disertai nekrosis
dan inflamasi pada sel hati (Brunner & Suddart, 2002). Penyakit ini ditularkan melalui darah dan
komponen darah karena penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Penyakit hepatitis C ini
sangat berbahaya karena dapat menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, dan kanker hati primer.
Diketahui penyakit ini banyak terjadi pada pengguna narkoba, karena 70% pengguna NAPZA
dan obat-obat terlarang dilakukan melalui suntikan (Ashadi, T (2001). Sebagian besar pengguna
NAPZA tersebut adalah kelompok remaja dan dewasa muda. Penelitian ini ingin mendapatkan
gambaran tentang tingkat pengetahuan remaja pengguna NAPZA tentang Hepatitis C. Desain
penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana dengan populasi semua remaja yang
dirawat di mang rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor dengan teknik total
sampel, yaitu sebanyak 45 orang. Data dikumpulkan pada hari jumat 17 Desernber 2004 dengan
menggunakan kuisioner. Data diolah dengan menggunakan metode statistik sederhana dan
ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan remaja pengguna NAPZA di ruang rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit
Marzuki Mahdi adalah cukup, yaitu 24 orang (54%), Sedangkan tingkat pengetahuan baik ada
11 orang (24%) dan kurang 10 orang (22%)"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5376
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sudirga
"Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati kronik yang penting di seluruh dunia termasuk lndonesia. Diperkirakan terdapat 300 juta pembawa virus hepatitis C di seluruh dunia. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan prevalensi anti Hepatitis C Virus (anti HCV) berkisar antara 2,1-2,5%.s Penelitian di Jakarta pada tahun 1990 memperlihatkan prevalensi anti HCV pada hepatitis kronik non B sebesar 80,4%. Hepatitis C merupakan jenis hepatitis dengan gejala k1inis yang ringan tapi dengan tingkat kronisitas dan progresifitas yang tinggi ke arah sirosis. Sekitar 70-80% hepatitis C akut akan menjadi kronik dan 20% akan berkembang menjadi sirosis bati.

Hepatitis C is an important cause of chronic liver disease around the world, including Indonesia. It is estimated that there are 300 million carriers of the hepatitis C virus worldwide. In a study conducted in Indonesia, the prevalence of anti-Hepatitis C Virus (anti-HCV) ranged from 2.1-2.5%.s A study in Jakarta in 1990 showed an anti-HCV prevalence in chronic non-B hepatitis of 80.4%. Hepatitis C is a type of hepatitis with mild k1inis symptoms but with a high degree of chronicity and progression to arabic cirrhosis. About 70-80%. Acute hepatitis C will become chronic and 20% will develop into batic cirrhosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Evie Rosa Widyawanti
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Penyakit hepatitis C kronik merupakan masalah kesehatan global yang dapat menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang tinggi pada kondisi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Adanya terapi sofosbuvir-daclatasvir yang bersifat pangenotipik diharapkan dapat mengatasi penyakit ini. Namun, didapatkan hasil pencapaian SVR 12 yang bervariasi dan lebih rendah pada genotipe 3 dibandingkan genotipe 1. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai pencapaian SVR 12 pada kedua genotipe ini yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Tujuan:
Mengetahui pencapaian SVR 12 pasien hepatitis C Kronik genotipe 3 dibandingkan genotipe 1 yang mendapatkan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 209 pasien hepatitis C kronik genotipe 3 dan 1. Dilakukan analisis dengan membagi pasien menjadi dua kelompok yaitu genotipe 3 dan 1 serta dibandingkan dengan pencapaian keberhasilan SVR 12 menggunakan uji chi-square. Faktor sirosis hepatis dan usia yang dianggap dapat memengaruhi keberhasilan SVR 12 dianalisis dengan menggunakan uji chi-square kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik.
Hasil:
Sampel berjumlah 209 pasien yang terdiri dari 45 pasien genotipe 3 dan 164 pasien genotipe 1. Pencapaian keberhasilan SVR 12 pada genotipe 3 dan 1 yaitu 84,4% dan 98,8%. Kelompok pasien genotipe 3 memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan kelompok pasien genotipe 1 dengan adjusted OR=0,065 (IK95% 0,013-0,330) dan ARR 14,4%. Sirosis hepatis dan usia tidak memengaruhi keberhasilan SVR 12 (p=1,00 dan p=0,72). Sejumlah 5 dari 9 pasien yang mengalami kegagalan memiki koinfeksi dengan HIV.
Simpulan:
Pasien hepatitis C kronik genotipe 3 yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan genotipe 1.

ABSTRACT
Background. Chronic hepatitis C is a global health problem with high morbidity and mortality in the condition of cirrhosis and hepatocellular carcinoma. sofosbuvir-daclatasvir is pangenotypic therapy that expected to overcome this disease. However, the achievement of SVR 12 was varied and lower in genotype 3 compared to genotype 1. In Indonesia, there is no data about achievement SVR 12 in both genotypes using sofosbuvir-daclatasvir.
Objectives. To know SVR 12 achievement between genotype 3 and 1 chronic hepatitis C patients that using sofosbuvir-daclatasvir therapy.
Methods. This study is a retrospective cohort using secondary data of 209 hepatitis C chronic genotype 3 and 1. Samples were divided into two groups according to its genotype and compared with achievement of SVR 12 then analyzed using chi-square test. Hepatic cirrhosis and age factors that are considered to affect the achievement SVR 12 were analyzed using chi-square test and logistic regression test.
Results. 209 patients participated in this study consisting of 45 genotype 3 and 164 genotype 1. Achievement of SVR 12 succeed in genotypes 3 and 1 were 84,4% and 98,8%. Genotype 3 patients had lower SVR 12 achievement compared to genotype 1 patients with adjusted OR=0,065 (95% CI 0,013-0,330) and ARR 14,4. Hepatic cirrhosis and ages did not affect SVR 12 (p= 1.00 and 0,72, respectively). Five from nine patients who failed have co-infection with HIV.
Conclusions. Chronic hepatitis C patients using sofosbuvir-daclatasvir theraphy had lower SVR 12 achievement in genotype 3 than genotype 1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan menganalisis pelacak oligonukleotida apakah dapat diterapkan dalam hibridisasi dot blot menggunakan radioisotop 32P untuk mendeteksi virus hepatitis C.
Metode: Sampel yang digunakan adalah 46 plasma darah. Plasma diekstraksi untuk mendapatkan RNA genom virus sebagai cetakan reaksi RT-PCR dan amplikon digunakan untuk nested PCR. Genom HCV berjumlah 24 diunduh dari GeneBank dan penderetan sekuen DNA dilakukan dengan Software Bio Edit versi 7.0.9.0. Pelacak oligonuklueotida dirancang berdasarkan daerah lestari genom HCV yang terletak pada sekuen internal di antara 2 primer yang digunakan pada nested PCR. Homologi oligonukleotida HCV dianalisis menggunakan teknik Blast di GeneBank. Radioisotop 32P digunakan untuk melabel oligonukleotida. Oligonukleotida berlabel diaplikasikan untuk produk nested PCR menggunakan metode hibridisasi dot blot. Konfirmasi hasil amplifikasi dan hibridisasi dot blot dilakukan menggunakan metode sekuensing DNA.
Hasil: Hasil analisis Blast menunjukkan homologi yang tinggi untuk HCV (100%). Hasil nested PCR menunjukkan tiga pola fragmen DNA. Tiga pola tersebut masing-masing adalah genotip HCV 1, 2, dan 3. Primer yang digunakan dalam nested PCR tidak spesifik dinyatakan dengan adanya tiga fragmen DNA sehingga sulit diinterpretasikan. Hasil hibridisasi dot blot menggunakan oligonukleotida yang didesain dalam penelitian ini menunjukkan intensitas dot yang tebal. Semua pola fragmen hasil nested PCR menunjukkan hasil positif dot blot. Hasil hibridisasi dot blot sesuai dengan hasil sekuensing DNA.
Kesimpulan: Pelacak oligonukleotida menunjukkan kriteria yang sangat memuaskan secara bioinformatika. Hasil hibridisasi dot blot menggunakan 32P menunjukkan intensitas dot yang tebal dan lebih mudah diinterpretasi dibandingkan dengan hasil nested PCR.

Abstract
Background: This study aimed to design and analyze the applicability of an oligonucleotide probe in radioisotope 32P-based dot blot hybridization for detection of hepatitis C virus.
Methods: Forty-six of plasma samples were used. The plasma was extracted to obtain viral RNA genome as template for RT-PCR and the amplicon was used for nested PCR. Twenty-four HCV genomes were retrieved from GeneBank DNA sequence and alignment was performed by Bio Edit Software version 7.0.9.0. An oligonucleotide probe was designed based on a highly conserved region that is located on internal sequence between two primers used for nested PCR. Blast analysis on GeneBank was performed to obtain homology of the oligonucleotide for HCV. The oligonucleotide was then labeled with 32P and dot blot hybridization was applied for nested PCR products. DNA Sequencing was performed to confirm the amplicon and dot blot hybridization results.
Results: Blast analysis showed high homology (100%) for HCV. Nested PCR resulted in three patterns of DNA fragments representing HCV genotypes 1, 2, and 3, respectively. The primers used in nested PCR were not specific and resulted in DNA fragments difficult to be interpreted. Dot blot hybridization using the designed oligonucleotide showed high intensity dots. All nested PCR fragments showed the dot blot positive. The dot blot results were in accordance with DNA sequencing that confirmed three patterns of DNA fragments as different HCV genotypes.
Conclusion: The oligonucleotide showed excellent bioinformatically criteria. 32P-based dot blot hybridization yielded high intensity dots and was easier to be interpreted than nested PCR assay."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, National Nuclear Energy Agency, Jakarta. Center for Application of Isotopes and Radiation Technology], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"HIV/AIDS dan Hepatitis C adalah dua jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus yang memiliki kesamaan dalam proses penularan dan penyebarannya yang semakin meluas. Meskipun demikian persepsi masyarakat terhadap kcdua penyakit ini mungkin saja berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan persepsi ibu rumah tangga tentang HIV/AIDS dan Hepatitis C. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif perbandingan dengan sampel sebanyak 70 orang ibu rumah tangga di wilayah RW 07 Kelurahan Rangkapan Jaya Kota Depok. Instrumen penelitian adalah kuisioner berisi 50 pertanyaan. Metode pengumpulan data dengan pembagian dan pengisian kuisioner setelah dilakukan penjelasan tujuan dan manfaat penelitian pada responden.
Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dengan menghitung distribusi fiekuensi, mean, dan median, dan bivariat dengan uji beda dua proporsi. Hasil penelitian 64,3% (45 orang) menganggap HIV/AIDS lebih berbahaya daripada Hepatitis C. Untuk persepsi responden tentang HIV/AIDS adalah seimbang, yaitu 50% (35 orang) memiliki persepsi positif dan 50% (35 orang) merniliki persepsi negatifi Sedangkan persepsi responden tentang Hepatitis C adalah 34 orang (5l,4%) memiliki persepsi positifl dan sebanyak 36 orang (48,6%) memiliki persepsi negatifi Setelah dilakukan uji beda dua proporsi terhadap persentase persepsi negatif responden tentang HIVIAIDS dan Hepatitis C diketahui bahwa p vaIue=0,2?. Berarti pada tingkat kepercayaan 5% tidak ada perbedaan antara persepsi ibu rumah tangga tentang HIV/AIDS dan Hepatitis C. Saran peneliti untuk penelitian selanjutnya instrumen penelitian lebih spesifik dan jumlah sampel diperbesar, penyuluhan kesehatan tentang kedua penyakit tersebut juga harus semakin gencar dilakukan dengan strategi-stlategi yang tepat sehingga persepsi masyarakat dapat semakin positif."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2007
TA5278
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Ramadhan Apriyanto
"Latar Belakang: Hepatitic C merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis C (HCV) dan dapat mengakibatkan peradangan hati, biasanya bersifat asimtomatik, bahkan kronik yang ditandai dengan sirosis, kanker hati, kelainan fungsi hati yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan standar dengan PEGinterferon-a dan ribavirin memiliki efek samping yang berat, sehingga diperlukan pengobatan alternatif sebagai anti-HCV. Dimocarpus longan merupakan tanaman yang memiliki khasiat sebagai antijamur, antivirus, antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan antikanker. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek dan mekanisme kerja ekstrak metanol daun D. longan terhadap virus Hepatitis C.
Metode: Cell line derivate Human hepatocarcinoma (Huh 7it-1) diinfeksikan dengan HCV strain JFH1 dari genotipe 2a yang diinduksikan ekstrak metanol daun D. longan selama dua hari, kemudian diukur virus yang terbentuk ekstraseluler dan intraseluler. Pemeriksaan virus ekstraseluler dengan cara focus forming assay sedangkan intraseluler dengan qRT-PCR, western blot dan relative fluorescence assay. Pengujian sitotoksisitas terhadap Huh 7it-1 dengan metode MTT assay. Ekstrak metanol daun D. longan diuji adanya kandungan saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida.
Hasil: Konsentrasi hambatan 50% (IC50) ekstrak terhadap HCVsebesar 13,2 ± 0,52 μg/ml dan toksik 50% (CC50) terhadap sel Huh 7it-1 sebesar 681,9 ± 13,2 μg/ml dengan nilai indek selektivitas (SI) sebesar 51,2. Efek virusidal ekstrak metanol daun D. longan secara langsung terhadap HCV berupa pengurangan titer virus sebesar 99%. Analisis RNA dan protein NS3 HCV intraseluler memperlihatkan adanya hambatan sebesar 20%. Kandungan fitokimia yang terdapat pada ekstrak metanol daun D. longan di antaranya saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, alkaloid, tanin, dan glikosida.
Kesimpulan: Mekanisme anti-HCV dari ekstrak metanol daun D. longan diduga melalui adanya hambatan pada entry dan post-entry yang bekerja dengan menghambat pada penempelan virus, membunuh virus dengan interaksi langsung, menghambat ekspresi NS3, dan menghambat replikasi. Kandungan fitokimia yang terkandung seperti saponin, flavonoid, triterpenoid dan steroid, tanin, dan glikosida.

Background: Hepatitic C is a disease caused by the hepatitis C virus (HCV). HCV infection can lead to inflammation of liver tend to be asymptomatic, and chronic characterized by cirrhosis, liver cancer, abnormal liver function can cause mortality. Standard HCV treatment with PEG-interferon-a and ribavirin have severe side effects, necessitating alternative treatments as anti-HCV. Dimocarpus longan is a plant that previously reported has antifungal, antiviral, anti-inflammatory, antioxidant, antibacterial, and anticancer activity. The purpose of this study is determine the effects and mechanism of action of the methanol extract of leaves of D. longan against hepatitis C virus.
Methods: A derivate of Human hepatocarcinoma Cell line (Huh 7it-1) was infected with HCV of genotype 2a JFH1 strain which is inducted with methanol extracts of D. longan for two days and then number of virus produced outside of the cell (extracellular) and inside of the cell (intracellular) were measured by focus forming assay, while intracellular virus was measured by qRT-PCR, western blot and relative fluorescence assay. Cytotoxicity against Huh 7it-1 was tested by MTT assay. Examination of phytochemical content D. longan showed the presence of saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, alkaloids, tannins, and glycosides.
Result: D. longan concentration of inhibition 50% (IC50) and Toxic effects of concentration of cytotoxicity 50% (CC50) againts cells Huh 7it-1were obtained 13,2 ± 0.52 ug/ml and 681.9 ± 13.2 ug/ml, respectively and with selectivity index (SI) 51.2. Result of direct virucidal effect was shown inhibition of titer virus 99%. RNA and NS3 protein analysis of HCV were shown inhibition 20%. Phytochemical contains of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides.
Conclusion: Anti-HCV mechanisms of methanol extracts of Dimocarpus longan Lour. Leaves are inhibition at entry and post-entry with action at attachment, direct killing, inhibition of expression NS3, and replication. Phytochemical content in the methanol extract of leaves of D. longan were saponins, flavonoids, triterpenoids and steroids, tannins, and glycosides."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Rachmawarni Bachtiar
"Latar Belakang: Fibrosis hati telah menjadi masalah kesehatan global dengan angka mortalitas 800 ribu kematian tahun 2004. Hepatitis kronis yang disebabkan oleh hepatitis C memerlukan perhatian khusus karena secara patogenesis sebelum berkembang menjadi hepatocellular carcinoma (HCC) akan melalui fase fibrosis hati. Baku emas diagnosis fibrosis hati adalah melalui biopsi hati, tetapi terdapat banyak keterbatasan antara lain kesediaan fasilitas dan efek samping. Pemeriksaan non-invasif saat ini menjadi pilihan untuk deteksi fibrosis.
Tujuan: untuk mengetahui akurasi pemeriksaan non-invasif (FibroScan, skor APRI, dan FIB-4) dalam mendeteksi fibrosis hati. Metode: Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien yang dilakukan biopsi hati di RSPUN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2008 hingga Desember 2014.
Hasil: Dari 120 orang yang menjalani biopsi hati, 56 pasien yang memenuhi kriteria seleksi. Akurasi APRI, FIB-4, dan FibroScan adalah sebagai berikut, AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), dan AUC 0,712 (IK 95%, 0,398-1,000). Berdasarkan hasil analisis berjenjang, akurasi diagnostik kombinasi pemeriksaan APRI dan FibroScan, FibroScan dan FIB-4, APRI dan FIB-4, dan kombinasi ketiganya adalah sebagai berikut AUC 0,702 (IK95%, 0,375-1,000), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), dan 0,798 (IK 95%, 0,533-1,000).
Kesimpulan: FibroScan memiliki akurasi terbaik dibandingkan APRI dan FIB4 dalam mendeteksi fibrosis hati. Akurasi dengan kombinasi APRI, FIB-4, dan FibroScan meningkat jika dibandingkan dengan pemeriksaan tunggal untuk mendeteksi fibrosis hati pada pasien hepatitis C.

Background: Liver fibrosis has become a global health problems with the 800 thousand mortality death in 2004. Chronic hepatitis caused by hepatitis c need special attention because before it develops into Hepatocellular Carcinoma (HCC) going through the liver fibrosis. Gold standard of liver fibrosis is liver biopsy, but there are many limitations, such as facilities and side effects. Non-invasive diagnostic tools are the option for the detection fibrosis.
Aim: To know the accuracy of the noninvasive diagnostic tools (FibroScan, the APRI score, FIB-4 score) in detecting liver fibrosis . Methods: This is diagnostic research which used secondary data from medical patient doing liver biopsy conducted in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in January 2008 to December 2014.
Results: There are 120 patients who underwent liver biopsy and 56 patients who fulfill selection criteria. The accuracy of APRI score, FIB-4, and FibroScan are AUC 0,692 (IK95%, 0,381-1,000), AUC 0,567 (IK95%, 0,253-0,882), and AUC 0,712 (IK95%, 0,398-1,000). Based on the multivariate analysis , accuracy of diagnostic combination FibroScan and APRI , FIB-4 and FibroScan , and FIB-4 and APRI, and combination of the three are as follows AUC 0,702 (IK95% , 0,375-1,000 ), AUC 0,798 (IK95%, 0,533-1,000), AUC 0,774 (IK95%, 0,513- 1,000), and 0,798 ( IK95% , 0,533-1,000 ).
Conclusion: FibroScan has the highest diagnostic accuracy compared with APRI and FIB4 in detecting liver fibrosis. Accuracy of combination APRI, FIB-4, and FibroScan increase compared with the single diagnostic tools for liver fibrosis detection in hepatitis C patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titos Ahimsa
"[LatarBelakang: Sekitar 3% populasi di dunia terinfeksi virus hepatitis C. Protein virus hepatitis C memodulasi apoptosis dan steatosis, cedera sel hati, mengaktifkan sel stelata hati dan fibrosis hati. Infeksi virus hepatitis C akan menimbulkan cedera pada hepatosit. Cedera pada hepatosit ini akan mengaktivasi sel stelata hati. Sel stelata berperan besar pada proses perkembangan fibrosis hati..
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan jumlah sel stelata hati aktif CD38+ pada berbagai derajat fibrosis serta hubungnnya dengan AST, ALT, jumlah HCV RNA kuantitatif pada hepatitis C kronik.
Metoda: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 32 pasien hepatitis C kronik yang sudah dilakukan USG hati dan tidak menderita hepatoma serta telah dilakukan biopsi hati. Paraffin block jaringan hati pasien selanjutnya diwarnai menggunakan teknik Hematoksilin Eosin untuk menilai derajat Metavir yang dikategorikan menjadi derajat ringan-sedang atau berat. Pewarnaan khusus dilakukan untuk menilai sel stelata hati yang dihitung rata-rata pada lima lapangan pandang.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan perbedaan jumlah sel stelata hati CD38+ yang bermakna antara fibrosis derajat berat dan derajat ringan-sedang (p <0.001), tidak didapatkan hubungan antara sel stelata hati CD38+ dengan AST (p=0,2) maupun ALT (p =0,7), dan tidak didapatkan hubungan antara sel stelata hati CD38+ dengan HCV RNA kuantitatif (r = -0,372).
Kesimpulan: Jumlah sel stelata hati CD38+ pada fibrosis berat lebih tinggi daripada jumlah sel stelata hati CD38+ pada fibrosis ringan-sedang. Tidak terdapat hubungan antara nilai AST, ALT dan HCV RNA kuantitatif dengan jumlah sel stelata hati CD38+.;Background: Approximately 3% of the population in the world are infected with hepatitis C. Hepatitis C virus proteins modulate apoptosis and steatosis, liver cell injury, activate liver stellate cells and liver fibrosis. Hepatitis C virus infection will injure to hepatocytes. Hepatocytes injury will activate the liver stellate cells. Stellate cells play a major role in the development of liver fibrosis.
Aim: Knowing the CD38+ active hepatic stellate cells count difference at various fibrosis stage and correlation with AST, ALT, quantitative HCV RNA in chronic hepatitis C patients
Method: Cross-sectional method. 32 paraffin block sample from liver tissue patient with chronic hepatitis C without hepatocellular carcinoma who have performed an abdomen ultrasound and liver biopsy, assess the Metavir score were categorized into mild or severe degree. Samples were stained for liver stellate cells by specific staining and the average of stellate cells were calculated in 10 flat field of view.
Result: In this study, the liver stellate cells count CD38+ were significantly correlate with the degree of fibrosis (p <0.001), there were no relationship between liver stellate cells CD38+ with AST levels (p = 0,2) and ALT levels (p = 0,7), and there was no relationship between liver stellate cells CD38+ with quantitative HCV RNA levels (r = -0.372).
Conclution: Stellate cells count CD38+ are increasing along with the fibrosis degree. There were no relationship between level of AST, ALT and quantitative HCV RNA with the stellate cells count CD38+., Background: Approximately 3% of the population in the world are infected with hepatitis C. Hepatitis C virus proteins modulate apoptosis and steatosis, liver cell injury, activate liver stellate cells and liver fibrosis. Hepatitis C virus infection will injure to hepatocytes. Hepatocytes injury will activate the liver stellate cells. Stellate cells play a major role in the development of liver fibrosis.
Aim: Knowing the CD38+ active hepatic stellate cells count difference at various fibrosis stage and correlation with AST, ALT, quantitative HCV RNA in chronic hepatitis C patients
Method: Cross-sectional method. 32 paraffin block sample from liver tissue patient with chronic hepatitis C without hepatocellular carcinoma who have performed an abdomen ultrasound and liver biopsy, assess the Metavir score were categorized into mild or severe degree. Samples were stained for liver stellate cells by specific staining and the average of stellate cells were calculated in 10 flat field of view.
Result: In this study, the liver stellate cells count CD38+ were significantly correlate with the degree of fibrosis (p <0.001), there were no relationship between liver stellate cells CD38+ with AST levels (p = 0,2) and ALT levels (p = 0,7), and there was no relationship between liver stellate cells CD38+ with quantitative HCV RNA levels (r = -0.372).
Conclution: Stellate cells count CD38+ are increasing along with the fibrosis degree. There were no relationship between level of AST, ALT and quantitative HCV RNA with the stellate cells count CD38+.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>