Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Faradila Zatsa Mutmainna
"Latar belakang: Anemia pada malaria merupakan hasil dari invasi Plasmodium ke dalam eritrosit. Derajat anemia bergantung pada aspek parasit dan inang. Aspek parasit: spesies, stadium dan densitas. Aspek inang berupa meningkatnya TNF-α dan IL-6 yang berpengaruh dengan kejadian anemia. Beberapa penelitian yang menghubungkan pengaruh aspek parasit terhadap anemia masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh parasit malaria (spesies, stadium dan densitas) terhadap anemia.
Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain Cross Sectional. Data bersumber dari penelitian utama yang telah dilakukan di daerah endemik malaria. Sebanyak 99 subjek positif malaria menjadi sampel penelitian ini. Status malaria, spesies, densitas, dan stadium ditetapkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis pada sediaan darah tebal atau tipis yang diwarnai dengan giemsa. Kadar hemoglobin diukur menggunakan mesin symex.
Hasil: Pada P. vivax yang berjumlah 50,5% subjek, ditemukan kadar Hemoglobin lebih rendah (10,86 g/dl) dibandingkan kelompok yang terinfeksi P. falciparum sejumlah 49,5% (11,11 g/dl), tetapi perbedaan kadar ini tidak signifikan (p = 0,296). Perbandingan rerata kadar hemoglobin pada status gametosit menunjukkan hasil yang signifikan lebih rendah (p=0,003) pada kelompok dengan gametosit positif (10,24 g/dl) dibandingan kelompok gametosit negatif (11,39 g/dl). Hasil uji Spearman antara densitas dengan nilai hemoglobin menunjukkan korelasi negatif yang signifikan (p = 0,031; r= -0,188). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar Hb pada subjek yang terinfeksi P. falciparum dan P. vivax. Kadar Hb yang signifikan lebih rendah ditemukan pada subjek yang sediaannya ditemukan stadium gametosit dan densitas parasit yang tinggi.

Introduction: Anemia in malaria is the result of Plasmodium invasion into erythrocytes. The degree of anemia depends on the parasitic and host aspect. The parasitic aspect: species, stadium, and density. The host aspect, indicated by increasing TNF-α and IL-6 affects the incidence of anemia. Several studies linking the influence of parasitic aspects on anemia still show different results. Purpose: To determine the effect of malaria parasites (species, stage, and density) on anemia.
Method: Analytical observational study with a cross-sectional design. Data sourced from the main research that has been carried out in malaria-endemic areas. A total of 99 subjects who were malaria positive were sampled in this study. Malaria status, species, stadium, and density were determined based on microscopic examination of thick or thin blood colored with giemsa. Hemoglobin levels were measured using the symex machine. Result: In P. vivax infection which amounted to 50.5% of subjects, hemoglobin levels were found to be lower (10.86 g/dl) than the 49.5% P. falciparum-infected group (11.11 g/dl), but this difference in levels not significant (p = 0.296). Comparison of the mean hemoglobin level on gametocyte status showed a significantly lower result (p=0.003) in the group with positive gametocytes (10.24 g/dl) than in the negative gametocyte group (11.39 g/dl). The results of the Spearman test between density and hemoglobin value showed a significant negative correlation (p = 0.031; r = -0.188)..
Conclusion: There is no difference in Hemoglobin levels in subjects infected with P. falciparum and P. vivax. Significantly lower Hb levels were found in subjects with gametocyte stage and high parasite density.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baihaqi Hamiz
"Hemoglobin adalah komponen darah yang penting untuk mengikat oksigen di paru paru dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Metode invasif tidak memungkinkan pengukuran real-time dalam situasi darurat. Pengembangan metode noninvasif untuk pemeriksaan hemoglobin menghadapi tantangan dalam hal akurasi, ketepatan, dan keringkasan alat. Pada penelitian menggunakan sensor MAX30102 sebagai pembaca gelombang merah dan inframerah, OLED sebagai alat yang menampilkan hasil prediksi, dan Nvidia Jetson Nano sebagai processor. Alat juga dilengkapi dengan pembacaan detak jantung, SpO2, dan dua tombol untuk mengulang pembacaan dan mematikan alat. Pelatihan model dilakukan menggunakan dataset yang diperoleh dari riset sebelumnya, "Pengembangan Instrumentasi Pengukur Konsentrasi Hemoglobin Non-Invasif Berbasis Photoplethysmography dan Machine Learning" oleh Ester Vinia (2023). Setelah melakukan pelatihan pada lima jenis model (Dense Neural Network, Decision Tree, Support Vector, Gradient Boosting, dan Random Forest), didapatkan model dengan metode Dense Neural Network memiliki akurasi R2 sebesar 96%, loss MAE sebesar 0,2 dan MSE sebesar 0,11, metode Decision Tree memiliki akurasi R2 sebesar 90%, loss MAE sebesar 0,27 dan MSE sebesar 0,3, metode Support Vector memiliki akurasi R2 sebesar 17%, loss MAE sebesar 1,2 dan MSE sebesar 2,61, metode Gradient Boosting memiliki akurasi R2 sebesar 89%, loss MAE sebesar 0,43 dan MSE sebesar 0,3, dan metode Random Forest memiliki akurasi R2 sebesar 99%, loss MAE sebesar 0,05 dan MSE sebesar 0,02. Prototipe alat kemudian dibuat menggunakan pembelajaran mesin bermodel Random Forest Regressor. Model kemudian ditanam di Nvidia Jetson Nano sehingga alat dapat dioperasikan dengan efisien dan cepat. Pada pengujian alat, didapatkan nilai akurasi sebesar 93,27%.

Hemoglobin is a vital blood component responsible for binding oxygen in the lungs and distributing it throughout the body. Invasive methods do not allow real-time measurement in emergency situations. Developing noninvasive methods for hemoglobin examination faces challenges in accuracy, precision, and device compactness. In this research, a MAX30102 sensor was used for reading red and infrared waves, an OLED for displaying prediction results, and an Nvidia Jetson Nano as the processor. The device also includes heart rate and SpO2 readings, and two buttons for repeating readings and turning off the device. The model was trained using a dataset obtained from previous research, "Development of Non Invasive Hemoglobin Concentration Measurement Instrumentation Based on Photoplethysmography and Machine Learning" by Ester Vinia (2023). After training on five types of models (Dense Neural Network, Decision Tree, Support Vector, Gradient Boosting, and Random Forest), the Dense Neural Network model achieved an R2 accuracy of 96%, MAE loss of 0.2, and MSE loss of 0.11; the Decision Tree method achieved an R2 accuracy of 90%, MAE loss of 0.27, and MSE loss of 0.3; the Support Vector method achieved an R2 accuracy of 17%, MAE loss of 1.2, and MSE loss of 2.61; the Gradient Boosting method achieved an R2 accuracy of 89%, MAE loss of 0.43, and MSE loss of 0.3; and the Random Forest method achieved an R2 accuracy of 99%, MAE loss of 0.05, and MSE loss of 0.02. The device prototype was then developed using the Random Forest Regressor model. The model was embedded in the Nvidia Jetson Nano, allowing the device to operate efficiently and quickly. During testing, the device achieved an accuracy of 93.27%."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Chuzaemah
"Anemia merupakan salah satu masalah gizi, yang perlu mendapat perhatian khusus. Remaja putri termasuk golongan yang rawan menderita anemia karena mengalami mensturasi setiap bulan dan sedang dalam masa petumbuhan. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan efektifitas suplementasi TTD program lama dan baru Kemenkes terhadap perubahan kadar hemoglobin siswi anemia di Kabupaten Bengkulu Utara.
Rancangan penelitian randomized control group pretest dan postest. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok A (19 siswi) diberi suplementasi program lama (satu tablet per minggu dan satu tablet selama haid) dan kelompok B (19 siswi) diberi suplementasi program baru (satu tablet per minggu). Pemberian suplementasi TTD diminum di depan peneliti diberikan selama 8 minggu. Data asupan zat gizi diperoleh dengan kuesioner food recall, lama haid, lama menarche, kebiasaan minum teh atau kopi, pengetahuan tentang anemia dan TTD diperoleh melalui kuesioner berstruktur, kadar Hb awal dan akhir dengan cyanmethemoglobin.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan efektifitas perubahan kadar Hb pada kedua kelompok intervensi (p=0.402) dan tidak ada hubungan bermakna antara variabel internal dan eksternal terhadap perubahan kadar hemoglobin siswi kecuali Hb awal (p=0.001) dengan rata-rata perubahan Hb siswi kelompok A sebesar 1.77 g/dl sedangkan kelompok B sebesar 1.44 g/dl.

Anemia is one of the nutritional problems, which needs to be highly concerned. Adolescent girls are included to a group which is susceptible to anaemia because of their monthly menstruation and gowth periods. This study aims to investigate difference effectiveness between old and new programs of the ministry iron supplementation in changes hemoglobin level among anemic students in Kabupaten Bengkulu Utara.
Design of this study is randomized control group pretest dan posttest.Subjects were randomized into two groups, group A (19 subjects) old program supplementation ( once per week and once per day in menstrual period) and group (B) new program supplementation (once per week). Supplementation of iron tablet was given for a consecutive 8 weeks. Nutrient intake obtained with the food recall questionnaire, days menstruation, menarche, drinking tea or kopi, knowledge anemia and iron tablet through structured questionnaire and level of hemoglobin by cymenthemoglobin.
The study shows no difference found in the change of hemoglobin level of the two groups (p=0.402) and internal and external variable were not significantly in the change of hemoglobin level except early hemoglobin with mean hemoglobin change in old program supplementation was 1.77 g/dl while in new program supplementation the change was 1.44 g/dl.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T48747
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Wijaya
"Latar belakang: Hemoglobin A1c HbA1c menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis, mulai dari gejala klinis ,derajat keparahan dan respon terhadap terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kadar HbA1c terhadap lama konversi dan perbaikan gejala klinis pada fase intensif pengobatan pasien TB paru kasus baru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat BBKPM Bandung pada tahun 2015.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kohort prospektif yang dilakukan pada bulan April 2015 hingga September 2015 di BBKPM Bandung. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien TB paru kasus baru berusia ge; 15 tahun dan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah pasien TB paru dengan diabetes mellitus dan kehamilan.
Hasil Penelitian: Jumlah subjek yang didiagnosis sebagai kasus baru TB paru bakteriologis dan klinis, kasus baruadalah 123 pasien, terdiri dari 63 51,2 perempuan dan 60 48,8 laki-laki. Pasien dengan nilai HbA1c. 6.5 sebanyak 111 subjek 90,2 dan HbA1c ge; 6,5 sebanyak 12 subjek 9,8. Subjek dengan BTA positif di 69 56,1 dan BTA negatif sebanyak 54 subyek 43,9. Pada subjek TB paru bakteriologis dengan nilai HbA1c ge; 6,5 dan waktu konversi sputum BTA lebih dari. bulan adalah 54,5 sedangkan subjek dengan HbA1c. 6.5 adalah 45,5.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa prevalens DM pada pasien TB kasus baru adalah 9,8 dan kejadian waktu konversi lebih dari. bulan pada subjek TB paru kasus baru dengan HbA1c ge; 6,5 adalah 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada pasien TB paru kasus baru dengan HbA1c. 6,5. Nilai HbA1c tidak menunjukan hubungan yang bermaknaterhadap perubahan klinis pada pasien TB paru kasus baru setelah pengobatan fase intensif.

Background: Haemoglobin A1c (HbA1c) causes increased susceptibility to tuberculosis, as well as clinical symptoms, severity, and response to therapy. This study aims to determine the influences of HbA1c levels toward sputum conversion time and clinical symptoms in a new case pulmonary tuberculosis new cases with intensive phase of TB treatment at the Community Center for Lung Health (BBKPM) Bandung in 2015.
Method: A prospective cohort study was conducted in April 2015 until September 2015 at BBKPM Bandung. Inclusion criteria for this study is a new case of pulmonary TB patients aged ≥ 15 years and willing to participate in the study by signing a letter of approval. The exclusion criteria of this study are pulmonary TB patients with diabetes mellitus and pulmonary TB patients with pregnancy. This study used Chi-square test to find relative risk of all variables which evaluated.
Results: The number of subjects who diagnosed as new cases of pulmonary TB were 123 patients, consists of 63 female and 60 male. Patients with HbA1c levels <6.5% at 111 subjects and levels of ≥ 6.5% by 12 subjects. Subjects with smear positive in 69 (56.1%) and negative AFB as many as 54 subjects (43.9%). Duration of sputum smear conversion time for more than 2 months were 11 subjects (8.9%) while the conversion time for 2 months were 112 subjects (91.1%). Subjects with HbA1c levels ≥ 6.5% were longer obtained sputum smear conversion of more than 2 months (54,5%) compared to subjects with HbA1c levels < 6.5% (45.5%). Level of HbA1c did not show significant result in clinical changes after intensive phase treatment either patient with HbA1c ≥ 6,5% or HbA1c < 6,5%.
Conclusion: This study shows that there are significant influences of HbA1c levels towards sputum smear conversion time in patients with new cases of pulmonary TB in BBKPM Bandung, however the level of HbA1c does not show significant difference in clinical changes in patient with tuberculosis after intensive phase treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryati Fitrial
"Bawang putih (A ilium sativum Linn ) daii basil penelitian terdahulu terbukli mentpunyai kemampuan untuk melindungi hail daii keracunan yang ditixnbulkan oleh kathon tetraldoiida secara in vivo. Peneliuian kali mi akan dilakukan secara in vitro terhadap se darah merah domba, untuk rnengetahui apakah sari air bawang putih tersebut benar-benar dapat mempettahankan kadar glutation dan hemoglobin yang ada tanpa dipengaruhi oleh metabolisme di dalam tubuh. Sel darah merah domba di bagi daiam 3 kelompok perlakuan. Kelompok I adalah kelompok kontrol (Sel darah merah tanpa perlakuan). Kelompok II adalah kelompok sel darah merah yang dibeii t-butil hidroperoksida 2 mM. Kelompok III adalah kelompok sel darah merah yang dibeii sari air bawang putih dan t-butil hidroperoksida 2 mM. Kelompok IV adalah kelompok sel darah merah yang diberi sari air bawang pulih saja. Ketiga kelompok pertama digunakan untuk pengukuran methemoglobin dan glutation, sedangkan kelompok IV untuk pengukuran glutation saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa path pengukuran kadar methemoglobin antara kelompok II dan kelompok III tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna serta antara kelompok I dan kelompok III menunjukkan perbedaan yang bennakna. Hasil pengukuran kadar glutation menunjukkan bahwa antara kelompok I, II dan UI menunjukkan perbedaan yang bermakna. Maka dapat disimpulkan bahwa pembeiian sari air bawang putih kurang dapat melindungi hemoglobin terhadap stres oksidasi, tetapi dapat melindungi glutation dan pengaruh oksidasi oleh t-butil hidroperoksida. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Sri Pamuji
"Penelitian terdahulu mengenai sari air bawang putih menunjukkan bahwa sari air bawang putih dapat melindungi hati dari keracunan karbon tetraklorida secara in vivo pada binatang percobaan. Penelitian secara in vivo tersebut tidak dapat memastikan apakah sari air bawang putih secara langsung dapat melindungi membran sei terhadap oksidasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan efek langsung dari sari air bawang putih dalam melindungi membran sel darah merah domba (SDMD) dari stres oksidasi secara in vitro. Pada penelitian ini digunakan SDMD sebagai sampel, dimana tiap sampel diberi tiga perlakuan. Kelompok I merupakan kelompok kontrol, yaitu SDMD yang tidak diberi perlakuan. Kelompok II merupakan kelompok yang diberi oksidator (tert-butil hidroperoksida 2 mM), dan kelompok III merupakan kelompok yang diberi sari air bawang putih dengan dosis 0,1 ml/g Hb dan tert-butil hidroperoksida 2 mM. Kemampuan bawang putih dalam melindungi membran SDMD dilihat dari kadar peroksida lipid yang terbentuk dan aktivitas asetilkolinesterase yang terikat di membran sel. Hasil pengukuran kadar peroksida lipid yang di dapat pada Kel. I adalah 11,409 ± 1,43 nmol/g Hb, Kel. II adalah 21,734 ± 2,726 nmol/g Hb, dan Kel. Ill adalah 18,382 ± 2,504 nmol/g Hb. Sedangkan hasil pengukuran aktivitas asetilkoiinesterase pada Kel I adalah 27,025 ± 5,905 U/g Hb, Kel. II adalah 18,861 ± 3,731 U/g Mb, dan Kel. Ill adalah 22,055 ± 3,428 U/g Hb. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kadar peroksida lipid dan penurunan aktivitas asetilkoiinesterase pada sel darah merah doniba yang diberi stres oksidasi. Dengan pemberian sari air bawang putih, maka kadar peroksida lipid dan aktivitas asetilkoiinesterase dapat dipulihkan kembali mendekati nilai normal.

Previous studies indicated that, in vivo, water extract of garlic could protect rat liver from carbon tetrachloride poisoning,. However, in vivo studies could not reveal, whether the garlic act directly or after metabolised by the tissues. The objective of this research is to investigate if, in vitro, garlic juice could directly protect the sheep red blood cell (SRBC) membrane from oxidative stress. The garlic ability in protecting SRBC membrane was observed by determining of membrane lipid peroxide content and the activity of acetyicholinesterase, an external peripheric enzyme, which bound tighly to the cell membrane. Each SRBC sample suspension was divided into three aliquots. The first aliquot, received no treatment, served as a control. The second aliquot received 2 mM tert-butyl hydroperoxide as an oxidator, whereas the third was protected with the garlic juice in a dose of 0.1 mug Hb, followed by 2 mM tert-butyl hydroperoxide. The result of this studies show that the lipid peroxide content in the first aliquot is 11.409 ± 1.430 mnollg Hb, the second aliquot is 21.734 ± 2.726 nmollg Hb, and the third aliquot is 18.382 ± 2.504 nmol/g Hb. The acetyicholinesterase activity in the first aliquot is 27.025 ± 5.905 U/g Hb, the second aliquot is 18.861 ± 3.731 U/g Hb, and the third aliquot is 22.055 ± 3.428 U/g Hb. Our results indicated that the oxidative stress increased the SRBC lipid peroxide content, expressed as malonyldialdehyde content and decreased the SRBC acetyicholinesterase activity, both significantly. However, the administration of garlic juice could practically restore both values to its normals."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Permata Hati Gea
"Pendahuluan. Kadar HbA1c tinggi berpotensi menimbulkan berbagai implikasi kesehatan, terutama berkaitan dengan penyakit metabolik dan kardiovaskular. Kualitas tidur buruk dinilai dapat meningkatkan risiko terjadinya HbA1c tinggi melalui berbagai mekanisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur terhadap kadar HbA1c tinggi di Indonesia. Metodologi. Desain studi penelitian ini adalah cross-sectional dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 tahun 2014. Besar sampel berjumlah 4223 dengan metode total sampling. Data dianalisis secara deskriptif, serta estimasi menggunakan analisis multiple logistic regression. Analisis data menggunakan sofware STATA 13. Hasil Penelitian. Prevalensi kadar HbA1c tinggi sebesar 6,06%, sementara prevalensi kualitas tidur buruk adalah 15,16%. Sebesar 15,47% yang mengalami kadar HbA1c tinggi memiliki kualitas tidur buruk. Pada analisis model akhir menunjukkan bahwa mereka dengan kualitas tidur buruk terbukti secara statistik berhubungan signifikan (p<0,001) serta meningkatkan risiko terjadinya HbA1c tinggi sebesar empat kali lipat dibandingkan pada kelompok dengan kualitas tidur baik (PR= 3,99; 3,0563-5,2173). Tidak ditemukan adanya confounder yang dapat mengganggu hubungan kadar HbA1c tinggi dengan kualitas tidur buruk pada penelitian ini. Meski demikian, mereka yang berumur ≥45 tahun, perempuan, terdiagnosa hipertensi, dan memiliki IMT ≥23 kg/m2 memiliki risiko lebih besar terjadinya HbA1c tinggi pada kelompok kualitas tidur buruk. Kesimpulan. Kualitas tidur buruk terbukti berhubungan signifikan dengan kejadian kadar HbA1c tinggi. Hal ini mengharuskan adanya intervensi edukasi dan konseling kesehatan pada populasi usia produktif terkait menjaga kualitas tidur berdasarkan komponen-komponen kualitas tidur baik untuk mempertahankan kadar HbA1c normal.

Introduction. High HbA1c can potentially cause various health implications, primarily related to metabolic and cardiovascular diseases. Poor sleep quality increases the risk of elevated HbA1c levels through multiple mechanisms. This study aims to determine the association between sleep quality and high HbA1c levels in Indonesia's productive age population of 20-59 years. Methodology. This study was conducted cross-sectionally using Indonesia Family Life Survey (IFLS) 5 data in 2014. The sample size was 4223 using the total sampling method. Data were analyzed descriptively and estimated using multiple logistic regression analysis. The data were analyzed using STATA 13 software. Results. The prevalence of high HbA1c levels was 6.06%, while the prevalence of poor sleep quality was 15.16%. A total of 15.47% who experienced high HbA1c levels had poor sleep quality. The final model analysis showed that those with poor sleep quality were statistically significantly associated (p<0.001) and increased the risk of high HbA1c by four times compared to those with good sleep quality (PR= 3.99; 3.0563-5.2173). There were no confounders that could interfere with the association of high HbA1c levels with poor sleep quality in this study. However, those who were ≥45 years old, female, hypertension, and BMI ≥23 kg/m2 had a greater risk of high HbA1c in poor sleep quality. Conclusion. Poor sleep quality was shown to be significantly associated with the incidence of high HbA1c levels. Requires educational interventions and health counselling in the productive age population related to maintaining sleep quality based on the components of good sleep quality for maintaining normal HbA1c levels. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library