Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aan Anjarwati
Abstrak :
ABSTRAK
Prevalensi penyakit Gagal Ginjal Kronik cenderung makin tinggi sejak 3 tahun terakhir ini (sejak tahun 2015). Sehingga mereka harus menjalani hemodialisis (cuci darah). Adapun komplikasi saat hemodialisis yaitu demam, menggigil, hipotensi, dan keram. Faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi saat hemodialisis pada pelayanan mulai dari faktor pasien terdiri dari durasi HD, akses HD, lama menjalani HD, komorbiditas pasien). Selain itu juga ada peran dari sisi manajemen yaitu Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pencucian dialiser ulang dan kebijakan direktur. Faktor pasien dan manajemen penting dalam kualitas pelayanan hemodialisis rawat jalan. Metode penelitian yang digunakan adalah mix method. Tahapan yang dilakukan pertama adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional dan melanjutkan dengan wawancara mendalam dari hasil penelitian. Hasil analisis bivariat, didapatkan bahwa durasi hemodialisis berhubungan signifikan secara statistik dengan komplikasi hemodialisis (p 0.005). Hasil analisis multivariat, diperoleh durasi hemodialisis 4 jam 30 menit berisiko menyebabkan komplikasi sebesar 2.76 (IK 95% 0.9-8.47) kali dan akses AVF-Shunt berpengaruh paling tingi menyebabkan komplikasi sebesar 3.32 (IK 95% 0.76-14.57) kali. Dari hasil wawancara mendalam dengan informan, bahwa kurangnya implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP) pencucian dialiser ulang meningkatkan risiko komplikasi. Triangulasi sumber data didapatkan bahwa RS. Anna belum menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan baik dibandingkan RS. Anna Medika dalam pengukuran volume primming atau Total Cell Volume (TCV) dan tidak dilakukan penandaan dialiser setelah dicuci ulang. Adanya data pencantuman volume priming pada dialiser ulang merupakan bentuk penjaminan mutu layanan unit hemodialisis RS. Dan hal ini bisa menjadi kebijakan direktur terkait penggunaan dialiser ulang. Kejadian komplikasi saat hemodialisis di Rumah Sakit dapat diatasi dengan memperhatikan aspek keselamatan pasien yaitu melakukan Standar Operasional Prosedur dengan baik dan menjamin mutu layanan hemodialisis dengan cara membuat kebijakan penggunaan dialiser ulang.
ABSTRACT
Prevalence of Chronic Kidney Failure tends to be higher since the last 3 years (since 2015). So they have to undergo hemodialysis (dialysis). The complications of hemodialysis are fever, chills, hypotension, and cramps. Factors that influence complications during hemodialysis in services are from patient factors consist of duration, access, length of time hemodialysis, patient comorbidity. In addition, there is also a role from the management side, namely the Standard Operating Procedure (SOP) reuse dialyzer and director policies. Patient and management factors are important in the quality of outpatient hemodialysis services. The research method used is the mix method. The first step is quantitative research with a cross-sectional approach and continues with in-depth interviews from the results of the study. The results of the bivariate analysis showed that the duration of hemodialysis was statistically significant with complications of hemodialysis (p 0.005). The results of multivariate analysis, obtained the duration of 4 hours 30 minutes hemodialysis at risk of causing complications of 2.76 (95% CI 0.9-8.47) times and the highest effect of AVF-Shunt access caused complications of 3.32 (95% CI 0.76-14.57) times. From the results of in-depth interviews with informants, that the lack of implementation of the Standard Operational Procedure (SOP) for repeated dialysis washing increases the risk of complications. Triangulation of data sources was found that Anna hospital has not run the Standard Operating Procedure (SOP) well compared to Anna Medika hospital in measuring primming volume or Total Cell Volume (TCV) and dialysis marking is not done after repeated washing. The data of inclusion priming volume on repeated dialiser is a form of hemodialysis unit service quality assurance. And this could be the director's policy regarding the use of repeated dialiser. The occurrence of complications during hemodialysis at the hospital can be overcome by paying attention to the aspects of patient safety, namely performing the Standard Operating Procedure properly and ensuring the quality of hemodialysis services by making a policy of using dialiser again.
2019
T53875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marethania Maheranny
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakangModalitas akses vaskular yang sering digunakan untuk melakukan tindakan hemodialisis HD regular pada anak dengan gagal ginjal adalah tunneled double lumen catheter TDLC , yang telah meningkat penggunaannya dari 60 pada tahun 2011 menjadi 78 pada tahun 2014 di Indonesia. Angka kejadian sumbatan yang disebabkan trombosis adalah sekitar 50 . Kondisi tersebut dapat terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah pemasangan TDLC, dan biasanya berkembang dalam waktu 2 minggu, kemudian menyebabkan early catheter dysfunction. Alteplase rT-pa merupakan salah satu pilihan trombolitik untuk disfungsi TDLC, di samping heparin, streptokinase, dan urokinase. pemasangan kateter vena sentral, dan biasanya berkembang dalam waktu 2 minggu.Subjek dan Metode : Studi kasus kontrol dengan subyek penelitian anak berusia 0-18 tahun dan mengalami penyakit ginjal kronik PGK stadium 4-5 yang menjalani HD regular di RSCM. Analisis statistik dengan uji statistik Mann-Whitney, Chi-square, Fisher rsquo;s exact, regresi linear, dan Receiver Operating Characteristic ROC . Pengujian dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS version 20 for Windows.Hasil : Selama periode Januari 2016 sampai November 2017 terdapat 111 subyek yang memenuhi kriteria; 65 subyek 58,6 laki laki dan 46 subyek 41,1 perempuan. Analisis bivariat menunjukkan masing-masing kadar albumin
ABSTRACT
BackgroundThe frequent vascular access modality used to perform regular hemodialysis HD actions in children with renal failure is a tunneled double lumen catheter TDLC , which has increased its use from 60 in 2011 to 78 by 2014 in Indonesia. Problems common to the TDLC are blockage and infection. The incidence of blockage caused by thrombosis is about 50 . The condition can occur within the first 24 hours after the installation of TDLC, and usually develops within 2 weeks, then causes early catheter dysfunction. Alteplase rT pa is one of the thrombolytic options for TDLC dysfunction, in addition to heparin, streptokinase, and urokinase. central venous catheter insertion, and usually develops within 2 weeks.MethodA case control study with children aged 0 18 years old and chronic kidney disease PGK stage 4 5 who underwent regular HD at RSCM. Statistical analysis with Mann Whitney statistical test, Chi square, Fisher 39 s exact, linear regression, and Receiver Operating Characteristic ROC . The test was performed using SPSS version 20 for Windows softwareResultDuring the period January 2016 to November 2017 there were 111 subjects meeting the criteria 65 subjects 58.6 male and 46 female subjects 41.1 . Bivariate analysis showed that each albumin
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berthauli Ester Nurmaida
Abstrak :
ABSTRAK
Penyakit ginjal kronis merupakan suatu keadaan kerusakan ginjal yang bersifat menetap, dan dapat mengakibatkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus atau ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan homeostasis. Perawatan untuk penyakit ginjal kronis stadium akhir dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Gambaran klinis rongga mulut anak penyakit ginjal kronis tahap akhir dapat berupa gingivitis dan periodontitis. Adanya peningkatan produksi leptin merupakan suatu tanda adanya kondisi inflamasi persisten pada penderita penyakit ginjal kronis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar leptin saliva antara anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat yang menderita gingivitis. Subjek penelitian sebanyak 20 orang berusia 11-16 tahun, 10 anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan 10 anak sehat. Sampel saliva yang diambil dilakukan pengukuran kadar leptin saliva dengan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna antara kadar leptin saliva anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat dengan rerata pada anak penyakit ginjal kronis hemodialisis 61,300 4,151 pg/ml dan anak sehat 57,200 3,173 pg/ml. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar leptin saliva anak penyakit ginjal kronis hemodialisis dan anak sehat.
ABSTRACT Chronic kidney disease is known as insufficiency of renal function and an irreversible reduction of glomerular filtration rate that happens over years. Gingivitis is a common oral findings, especially in children with chronic renal failure. The production of leptin is a sign of active humoral immune response in the oral cavity. The purpose of this research is to analyze the difference of salivary leptin between hemodialysis children and health children, both having gingivitis. Twenty children aged 11 16 years old with gingivitis were taken as subjects, consisting of 10 hemodialysis children and 10 health children. The level of salivary leptin was measured with ELISA methods. The result showed a significant difference of salivary leptin levels between hemodialysis children 61,300 4,151 pg ml and health children 57,200 3,173 pg ml. In conclusion there is a significant difference of salivary leptin levels in hemodialysis children with gingivitis and health children with gingivitis.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Edi Wahono
Abstrak :

Latar Belakang: Pasien yang menjalani hemodialisis berisiko terinfeksi virus hepatitis C (VHC). Infeksi VHC kronis meningkatkan mortalitas terkait penyakit hati dan kardiovaskular. Direct Acting Anti-viral(DAA) adalah pilihan terapi untuk infeksi VHC pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis (PGK) termasuk pasien hemodialisis. Namun sampai sekarang pengobatan infeksi VHC pada pasien hemodialisis masih belum optimal karena sebagian besar metabolit DAA diekskesikan melalui ginjal. Grazoprevir dan elbasvir adalah obat pilihan untuk infeksi VHC kronis pada pasien hemodialisis serta memiliki efek anti-virus yang kuat dan efek samping yang minimal. Namun, respons terapeutik dari grazoprevir dan elbasvir pada pasien hemodialisis rutin di Indonesia dan faktor-faktor yang berhubungan masih belum diketahui.

Tujuan:Menilai respon terapeutik grazoprevir dan elbasvir untuk infeksi VHC kronis pada pasien hemodialisis rutin dan faktor-faktor yang berhubungan dengan sustained virological responsepada 12 minggu setelah akhir pengobatan (SVR12).

Metode:Studi kohort prospektif observasional pada semua pasien hemodialisis rutin dengan infeksi VHC kronis yang mendapatkan terapi grazoprevir dan elbasvir selama 12 minggu. Data klinis dan laboratorium, termasuk usia, jenis kelamin, baselineRNA VHC, derajat fibrosis hati, lamanya menjalani Hemodialisis dan pencapaian rapid virological response(RVR) dianalisis menggunakan metode analisis statistik bivariat untuk menentukan faktor yang terkait dengan SVR12.

Hasil:Tujuh puluh lima subyek memenuhi kriteria inklusi. Rata-rata usia adalah 50,2 ± 13,2 tahun, subjek dengan prevalensi perempuan lebih dari laki-laki. Durasi rata-rata hemodialisis adalah 6,9 ± 4,7 tahun. Keberhasilan SVR12 adalah 97,2%. Risiko relatif SVR12 berdasarkan muatan virus <800.000 versus ≥800.000 adalah 1,01 (95% CI 0,93-1,10, p = 1,00), skor Metavir F4 dibandingkan dengan F0-F3 adalah 0,95 (95% CI 0,81-1,10 p = 0,35 ), pencapaian SVR12 pada lama hemodialisis <3 tahun versus ≥3 tahun adalah 1,04 (95% CI 0,99-1,09 p = 1,00). Dengan efek samping dari obat minimal. 

Kesimpulan:Terapi Grazoprevir dan elbasvir didapatkan efektif pada pasien hemodialisis dengan infeksi VHC kronis dengan efek samping yang minimal. SVR12 tidak dipengaruhi oleh muatan virus, derajat fibrosis atau lama hemodialisis


Background:Patients on hemodialysis are at risk of hepatitis C virus (HCV) infection. Chronic HCV infection increases mortality related to chronic liver and cardiovascular disease. Direct Acting Anti-viral (DAA) is a therapeutic choice for HCV infection in patients with Chronic Kidney Disease (CKD) including patients who are hemodialysis-dependent. But until now the treatment of HCV infections in hemodialysis patients are suboptimum because most of the DAA metabolite eliminated by the kidney. Grazoprevir plus elbasvir is the drug of choice for chronic HCV infection in hemodialysis patients which has strong anti-viral effects and minimal adverse events. However, the therapeutic response of grazoprevir plus elbasvir in routine hemodialysis patients in Indonesia and the factors associated still unknown

Objective: Assessing therapeutic response of grazoprevir plus elbasvir for chronic HCV infection in routine hemodialysis patients and factors associated with sustained virological response at 12 weeks after the end of treatment (SVR12). 

Methods: Observational prospective cohort study on all routine hemodialysis patients with chronic HCV infection that received grazoprevir plus elbasvir for 12 weeks. Clinical and laboratory data, including age, gender, baseline HCV RNA, degree of liver fibrosis, duration of hemodialysis treatment and achievement of rapid virological response (RVR) were analyzed using bivariate method of statistical analysis for determining factors related to SVR12. 

Results: Seventy-five subjects met inclusion criteria. The average age is 50.2±13.2 years, subjects with female were more than male. The average duration of hemodialysis is 6.9±4.7 years. SVR12 achievement is 97,2%. Relative risk of SVR12 based on viral load <800,000 versus ≥  800,000 were 1.01 (95%CI 0.93-1.10, p=1.00), score Metavir F4 versus to F0-F3 were 0,95 (95%CI 0.81-1.10 p=0.35), achieved RVR duration of hemodialysis <3 years versus ≥3 years were 1,04 (95%CI 0.99-1.09 p=1.00). The adverse effect of this drug is minimal. 

 

Conclusions: Grazoprevir plus elbasvir therapy in hemodialysis patients with chronic HCV is an effective, and minimal adverse event. SVR12 is not influenced by either viral load, degree of fibrosis or duration of hemodialysis.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55518
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library