Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Idah Rifdah
Abstrak :
Kecacingan merupakan salah satu penyakit infeksi berbasis lingkungan, meskipen tidak menjadi masalah kesehatan masymkat ditinjau dari tingkat penyebab kematian di halonesio, namun ditinjau dati tingginya prevalensi merupakan masalah besar.Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain iklim tropis, sarana air bemih dlU1 jamhan keluarga yang belum memadai, perllaku masyarakat yang bebun menempkan norma perilaku hidup bersih dan sehat serta kondisi sosial ekonomi yang belum mapan(Depkes, 2006). Penelitian menggunakan disain Cross sectional yang betinjuan untuk memperoleh infonnasi tentang kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor dengan jumlah responden 297 murid kelas satu sampai dengan kelas lima di enam sekolah dasar negeri. Variabel independen dikumpulkan melalui wawancara dan pengamatan kepada responden dengan menggunakan kuisioner dan pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis ada tidaknya satu atau lebih telur cacing. Selanjutnya hasil yang didapat dianalisa dengan uji Chi Square dan regresi logistik ganda. Dari 15 variabel independen ada 9 variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri yaitu: Jenis SPAL (P=0,024; OR=1,738; 95%CI=1,04-2,90), Kebiasaan BAB (P=0,024; OR=6,88; 95%CI=0,892-5,318), Kebiasaan mencuci tangan (P=0,003l OR=3,378; 95%CI=1,375-8,300); Kebiasaan Bermain kontak tanah (P=0,022; OR=2,857; 95%CI=1,141-7,152), Kebiasaan menggunakan sandal (p=001; OR=2,857; 95%CI=1,700-4,945, Kebiasaan menghisap/menggigit jari (P=0,042; OR l,768; (P=0,03l; OR I,647; 95%Cl$l,006-2,694), Pengetahuan orangtua (P=O,Ol8; OR &I4; 95%CI=l,l74-3,413). Faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian kecacingan pada murid sekolah dasar negeri di Kecamatan Cibinong Kahupaten Bogor adalah kebiasaan mencuci tangan (P=O,OOO; OR=3,3; 95%CI=I,858-S,817). Tidak ditemukan adanya interaksi antara variabel. Program Pengendalian kecacingan harus dilaksanakan secara berkesinambungan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran serta swasta sehingga masyarakst mampu dan mandiri dalam meleksanukan pcnanggulangan kecacingan, berperilaku bidup bersih dan serta meningkalkan kesehatan perorangan, dan lingkungan.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T32439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tezy Mellowin
Abstrak :
Anak anak manusia yang berkualitas. Anak anak infeksi, salah satunya ialah penyakit cacingan. Penyakir cacingan erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran infeksl kecacingan dan hubungannya dengan higiene perorangan dan sanitasi tingkungan pada murid SD Negeri di Kecarnatan Sawangan Kota Depok. Higiene perorangan :anak terdiri dari kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, setelah BAB, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan menggunting kuku, kebiasaan bermain. kehiasaan menghisap jari serta kondisi sanitasi lingkungan yang terdiri dari jenis lantai rumah. kepemilikan sarana air bersih (SAB) dan kepemiHkan jamban keluarga saniter (JAGA). selain itu juga diteliti karakteristik ibu wawancara dan pemeriksaan sampel tinja. Uji hipotesis dengan menggunkana uji chisquare. Penelitian ini menunjukkan proporsi kecacingan sebesar 16.2%. Murid kelas 3 yang paling banyak menderita cadngan yaitu sebanyak 8 orang (44.4°/o) dan yang paling sedikit ialah murid kelas satu sebanyak 3 orang (!3.7%). Adanya program pemberian obat cacing berkala (tiap 6 bulan) kepada seluruh murid sekolah dasar kelas satu yang dilaksanakan oleh instansi kesehatan. Lima dari enam variabel pada higiene perorangan sudah cukup baik, kecuali kehiasaan bermain yang kontak tanah (73.9%). Untuk kondisi sanitasi lingkungan, hanya kepemilikan SAB bukan ledeng/PAM yang masih buruk (92.8%) sedangkan untuk karakteristik ibu, variabel pendidikan (62.2%) dan higiene perorangan (54.1%) memiliki proporsi lebih besar pada kategori buruk. Tidak diperolehnya hubungan yang bermakna antara variabel independen dan dependen namun pmposi cacingan lebih tinggi pada kategori kebiasaan bennain kontak langsung dengan tanah, kepemilikan SAB bukan ledeng/PAM, tingkat pendidikan ibu rendah dan kondisi ekonomi keluarga yang rendah. Penulis menyarankan untuk tetap mempertahankan kondisi sanitasi Hngkungan dan periiaku hidup bersih dan sehat yang telah ada di masyarakat sehingga mereka tidak tergantung pada program pengobatan masal (blanket mass treatment). Upaya promosi dan pendidikan kesehatan yang berbasis masyarakat dan melibatkan kelompok masyarakat dan organisasi sekolah {UKS) serta pentingnya kerjasama.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T32446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freggy Spicano Joprang
Abstrak :
Beberapa penelitian menyatakan bahwa infeksi cacing usus dapat menekan atopi tetapi hal ini masih menjadi kontroversi. Pada infeksi cacing respon imun mengarah ke Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) serta aktivasi Treg (IL-10 dan TGF-B) yang merupakan mediator anti-inilamasi. Respon imun Th2 juga texjadi terhadap atopi. Adanya infeksi cacing kronis akan meningkatkan kadar IL-10 yang akan menekan aktivasi Th2 sehingga menekan atopi. Penelitian ini merupakan analytical cross-sectional study yang bertujuan mengetahui respon IL-10 terhadap kejadian atopi pada anak-anak dengan kecacingan. Penelitian ini melibatkan 308 anak sekolah dasar yang berasal dari daerah Ende, Nangapanda dan Anaranda, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 207 subyek diperiksa tinja secara mikroskopis untuk rnengetahui status infeksi cacing, 308 subyek dilakukan uji tusuk kulit (SPT) untuk rnengctahui status atopi, 197 subyek diambil darahnya dan dikultur (PHA, Ascaris, kontrol) lalu diperiksa dcngan Luminex untuk mcngetahui kadar IL-IO. Diperoleh hasil bahwa subyek pada daerah rural (Nangapanda, Anaranda) memiliki infeksi cacing usus lebih Linggi (Chi_squa.re test=l7,31; p=0,000) dibanding daerah urban (Ende). Subyek pada daerah urban memiliki prevalcnsi atopi lebih tinggi (OR=2,3 (95% CI=l,]2-4,78),p=0,02) dibanding subyek di rural. Kadar IL-10 terhadap PHA pada subyek dengan atopi kacang lebih tinggi (OR=0,27 (95% CI=0,09-0,82);p=0,02)) dibanding subyck tanpa atopi.
Several studies reported that intestinal helminth infection suppressed the atopy, but there were still many controversial. Immune responses from intestinal helminth infection have been known skewing towards Th2 (IL-4, IL-5 dan IL-13) and Treg activation (IL-10 dan TGF-B). Immune response to atopy is also induced Th2 response imune. The elevation of IL-10 due to chronic intestinal helminth infection will suppress Th2 activation and reduced atopy. This study is an anabutical cross-sectional study. The aim of the study is to determine IL-I0 response in atopy manifestation dom helminth infected children. A total of 310 children from elementary school at Ende (urban area), Nangapanda dan Anaranda (nual areas), Ende district, Nusa Tenggara Timur, participated in this study. Of this, 207 children were eligible for stool examination, 308 children were for skin-prick test (SPT) to determine their atopy status, 197 children were eligible for blood cultur examination (PHA, Ascaris, control) with Luminex to detennine their IL-10 titer status. The results show that children who live in the rural area (Nangapanda, Anaranda) have higher prevalence of intestinal helminth infections (Chi-square test=l7,3l; p=0,000) than children living in the urban area ( Ende). The prevalence of atopy is also higher in children living in urban (OR=2,3 (95% CI=l,l2»4,78; p=0,02) than children in rural area. IL-10 response to PHA from children who are peanut SPT positive is higher (0R=G,27 (95% CI=0,09-0,82; p=0,02) than children without peanut atopy.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T32292
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library