Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriyanti Nur Aisyah
Abstrak :
Prematuritas merupakan salah satu factor dari kematian bayi. Resiko yang mungkin terjadi akibat prematuritas adalah bradikardia dan takikardia, dimana terjadi kelainan pada frekuensi denyut jantung, oleh karena itu diperlukan pemantauan denyut jantung secara real time. Pada skripsi ini akan dibahas penelitian dalam membangun perangkat pemantau denyut jantung secara real time dan kontinu dengan memanfaatkan stetoskop. Perangkat ini tersusun atas stetoskop, mikrofon kondenser elektret, rangkaian pengkondisi sinyal, dan mikrokontroler Arduino UNO. Pengujian perangkat dilakukan dengan memasang stetoskop baik pada dada maupun punggung subjek untuk menangkap sinyal denyut jantung. Setelah itu, sinyal denyut jantung dikirim ke mikrofon elektret yang dilengkapi rangkaian pre-amplifier dengan penguatan sebesar 100 kali. Sinyal detak jantung yang masih terdapat noise selanjutnya diproses oleh pengkondisi sinyal yang terdiri dari buffer, filter frekuensi cut-off sebesar 0,48Hz dan 1,59Hz dan amplifier. Sinyal denyut jantung yang keluar dari rangkaian pengkondisi sinyal diproses dengan mikrokontroler Arduino UNO R3 dan ditampilkan pada LCD dalam beat per minute BPM.
Prematurity is one of the factors of infant mortality. Risks that may occur due to prematurity are bradycardia and tachycardia, where there are abnormalities in the frequency of heart rate. Therefore it is necessary to monitor the heartbeat in real time. In this research is discussed about building a heart rate monitoring device in real time and continuous by utilizing stethoscope. This device is composed of stethoscope, electro condenser microphone, signal conditioning circuit, and Arduino UNO microcontroller. The experiment is done by installing a stethoscope both on the subject 39 s chest and back to capture the heartbeat signal. After that, the heartbeat signal is sent to an electro microphone equipped with a pre amplifier circuit with a gain of 100 times. The remaining heartbeat signal is then processed by signal conditioners consisting of buffers, filters cut off frequencies of 0.48Hz and 1.59Hz and amplifiers. The heartbeat signal coming out of the signal conditioning circuit is processed by Arduino UNO R3 microcontroller and displayed on the LCD in beat per minute BPM.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubyna Hamaswari
Abstrak :
Pemantauan keadaan dan kesehatan janin selama kehamilan sangat penting untuk mendeteksi komplikasi dan mengurangi angka bayi lahir mati. Fetal elektrokardiogram (FEKG) dapat digunakan untuk memonitor aktivitas jantung janin. Namun, pengembangan aplikasi FEKG yang memvisualisasikan dan menginterpretasikan data masih terbatas. Penelitian ini mengembangkan aplikasi FEKG berbasis Bluetooth menggunakan MIT App Inventor. Aplikasi FECG_App berhasil dikembangkan untuk telepon genggam Android versi 11 ke atas. Simulator FEKG menggunakan mikrokontroler ESP32 untuk mengirim data melalui Bluetooth. Aplikasi ini memiliki jarak operasional maksimal 10 meter dengan error pemetaan sinyal FEKG rata-rata sebesar 1,85%. Pengembangan aplikasi ini dapat membantu tenaga medis dan ibu hamil dalam memonitor pertumbuhan janin secara mudah ......Monitoring the condition and health of the fetus during pregnancy is crucial for detecting complications and reducing stillbirth rates. Fetal electrocardiogram (FECG) can be used to monitor the fetal heart activity. However, the development of FECG applications that visualize and interpret data is still limited. This study focuses on developing a Bluetooth-based FECG application using MIT App Inventor. The FECG_App was successfully developed for Android mobile phones version 11 and newer. The FECG simulator uses an ESP32 microcontroller to transmit data via Bluetooth. The application has a maximum operational range of 10 meters with an average FEKG signal mapping error of 1.85%. This application's development can assist healthcare professionals and expectant mothers in easily monitoring fetal growth.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isman Firdaus
Abstrak :
Turbulensi laju jantung (heart rate turbulence [HRT]) baru-baru ini dianggap sebagai prediktor terbaru paling kuat untuk terjadinya kematian mendadak (sudden cardiac death [SCD]) melebihi prediktor lain yang telah ada sebelumnya. Pasien penyakit jantung koroner yang menjalani reperfusi koroner ternyata memberikan hasil HRT lebih baik dan hal ini mencerminkan pulihnya respon baroreseptor.Penelitian ini akan membandingkan nilai turbulence onset (TO) dan turbulence slope(TS) pada dua jenis reperfusi (PCI dan fibrinolitik) Subjek menjalani monitoring EKG selama 24 jam setelah dilakukan revaskularisasi. TO ditentukan dengan cara mengukur perubahan relatif dua interval RR irama sinus setelah ekstrasistol ventrikel dan dua RR interval terakhir sebelum ekstrasistol ventrikel. TS dihitung dengan dengan mengukur slope maksimum yang dibuat tiap 5 buah RR interval. Terdapat 13 pasien (usia rata-rata 56 + 9 tahun) yang memenuhi syarat untuk ikut dalam penelitian. Sepuluh pasien menjalani fibrinolitik dan tiga pasien menjalani PCI. Terdapat perbedaan bermakna nilai TO antara kelompok PCI dan fibrinolitik (-3,3 + 1,7 % vs -0,2 + 0,9 %; P=0,03). Terdapat kecenderungan kelompok PCI memberikan nilai TS yang lebih baik dibanding kelompok fibrinolitik, walaupun secara statistik tidak signifikan ( 7,7 + 4,4 msec/RR interval vs 3,4 + 2,6 msec/RR interval; P = 0,056). Disimpulkan bahwa subjek dengan STEMI akut yang menjalani PCI mempunyai nilai TO yang lebih baik dibanding subjek yang menjalani terapi fibrinolitik.
Heart rate turbulence (HRT) as novel predictor of sudden cardiac death were superior to all other presently available indicators. HRT significantly was improves after successful reperfusion reflecting rapid restoration of baroreceptor response. We investigated turbulence onset (TO) and turbulence slope (TS) values among patients with acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) underwent revascularization by means of primary PCI or fibrinolytic. We hypothesized that the values of TO and TS were different in two kinds of revascularization treatment. The subjects underwent 24 hours ECG recording after revascularization therapy. TO was quantified by the relative change of the first two sinus RR intervals following a ventricular premature beat (VPB) and the last two sinus RR intervals before the VPB. TS was quantified by the maximum positive slope of a regression line assessed over any sequence of five subsequent sinus rhythm RR intervals within the first two sinus rhythm intervals after a VPB. Thirteen patients (mean of age 56 + 9 years old) who underwent revascularization treatment of acute STEMI were eligible as subject of this study.Ten patients underwent fibrinolytic therapy and three patients underwent primary PCI. TO value was significantly different between PCI group and fibrinolytic group (-3.3 + 1.7 % vs -0.2 + 0.9 % ; P=0.03). The Primary PCI group has better outcome on turbulence slope value (TS) than fibrinolytic group but not significance (7.7 + 4.4 msec/RR interval vs 3.4 + 2.6 msec/RR interval; P = 0.056). In conclusion, TO was better in acute STEMI patient undergone PCI compare to that undergone fibrinolytic therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Perkasa
Abstrak :
Latar belakang : Major Adverse Cardiac Events (MACE) merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas pada pasien ST-Elevasi Miokard Infark (STEMI) yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Identifikasi faktor prediktor yang mempengaruhi terjadinya MACE selama perawatan diharapkan dapat meningkatkan perawatan dan luaran klinis dari pasien STEMI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor prediktor MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP di RSCM. Metode : Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani IKPP di RSCM periode Januari 2015-Maret 2020. Dilakukan analisa bivariat antara faktor prediktor usia, status merokok, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, time-to-treatment, kelas killip, fraksi ejeksi ventrikel kiri (FEVK) dan kadar kolesterol LDL dengan kejadian MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP, menggunakan metode Chi-square. Analisa multivariat dan analisa model prediksi dilakukan dengan metode regresi logistik terhadap variabel dengan nilai p= <0,25 pada analisa bivariat. Hasil : Didapatkan subyek sebanyak 291 pasien untuk diteliti. Major Adverse Cardiac Events selama perawatan didapatkan sebesar 43,3% dengan usia >60 tahun (29,6%), status merokok (61,2%), hipertensi (50,9%), diabetes mellitus (36.1%), penyakit ginjal kronik (6,2%), kelas Killip II-IV (32,2%), FEVK > 50% (57%) dan kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment didapatkan sebesar 528 (379-730) menit. Usia, kelas killip dan FEVK mempengaruhi kejadian MACE selama perawatan dengan OR (IK 95%) masing-masing 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) dan 2,88 (1,72-4,82). Model prediksi MACE selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP memiliki nilai area under curve (AUC) 0,729 (IK 95% 0,67-0,78). Kesimpulan : Major Adverse Cardiac Events (MACE) selama perawatan pada pasien STEMI yang menjalani IKPP sebesar 43,3%, yang dipengaruhi oleh usia, kelas killip dan FEVK. ......Introduction: Major Adverse Cardiac Events (MACE) is the main causes to increase mortality on ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) patients who undergo Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). In-hospital MACE inducing factor predictors identification is expected to enhance STEMI patients’ care and outcome. This study aims to identify in-hospital MACE factor predictors on STEMI patients with PPCI treatment at RSCM. Method: Restropective cohort study by tracing medical record on patients with PPCI treatment at RSCM during January 2015 - March 2020. Chi-squared bivariate analysis concluded between predictor factors; age, smoking, hypertension, diabetic mellitus, chronic kidney disease, time-to-treatment, killip class, left ventricle ejection fraction (LVEF) and LDL cholesterol level. Logistic regression is used on multivariat and prediction model analysis on variables with p=<0,25 in bivariate analysis. Result: This study involves 291 patient subjects. During this study, the occurance of MACE is 43.3% on patients age > 60 years (29,6%), smoking (61,2%), hypertension (50,9%), diabetes mellitus (36,1%), chronic kidney disease (6,2%), killip class II-IV (32,2%), LVEF > 50% (57%) dan cholesterol LDL level > 100 mg/dl (79,4%). Median time-to-treatment is 528 (379-730) minutes. Age, killip class, and LVEF influences in-hospital MACE during PPCI with OR (95% CI) consecutively are 2,15 (1,22-3,79), 4,34 (2,49-7,56) and 2,88 (1,72-4,82). MACE prediction model in this study produces area under curve (AUC) 0,729 (95% CI 0,67-0,78). Conclusion: In-hospital MACE on STEMI patient after PPCI occurance is 43.3%, influenced by age, killip class, and LVEF.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghefira Nur Fatimah Widyasari
Abstrak :
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian global, termasuk di Indonesia. Evaluasi kesehatan dini, menggunakan heart rate variability (HRV) melalui pengukuran root mean square of successive RR interval differences (RMSSD) dan percentage of successive RR intervals that differ by more than 50 𝑚𝑠 (pNN50), menjadi penting untuk merefleksikan respons relaksasi, stres, kualitas tidur, dan aktivitas fisik. Evaluasi ini sebaiknya dilakukan saat seseorang masih dalam kondisi sehat. Sejalan dengan itu, penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesehatan pasien dengan irama jantung normal melalui metode clustering pada variabel RMSSD, pNN50, dan usia, yang diambil dari rekaman elektrokardiogram milik online database Physionet. Setiap cluster yang terbentuk dapat memberikan informasi unik, memungkinkan penentuan risiko penyakit kardiovaskular serta penanganan yang tepat. Namun, karena pola data yang digunakan tidak jelas, mengandung outlier, dan berdimensi rendah, maka dilakukan perbandingan antara metode Hierarchical clustering dan Gaussian Mixture Models (GMM) clustering yang mampu mengatasi hal tersebut. Mengingat GMM clustering yang sangat sensitif terhadap inisialisasi awal, penelitian ini menggunakan dua pendekatan inisialisasi, yaitu acak dan K-Means. Penentuan metode terbaik dilakukan dengan mempertimbangkan metrik evaluasi (efektivitas) dan waktu komputasi metode (efisiensi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa GMM clustering dengan inisialisasi K-Means adalah metode terbaik dengan membentuk tiga cluster. Meskipun alat EKG menilai pasien dalam kondisi sehat, namun analisis clustering dapat mengungkapkan informasi penting, terutama bagi pasien yang teridentifikasi memiliki tingkat HRV yang relatif rendah. ......Cardiovascular diseases are a leading cause of global mortality, including in Indonesia. Early health evaluation, utilizing heart rate variability (HRV) through root mean square of successive RR interval differences (RMSSD) and percentage of successive RR intervals that differ by more than 50 𝑚𝑠 (pNN50) measurements, is crucial to reflect responses to relaxation, stress, sleep quality, and physical activity. This evaluation is ideally conducted while an individual is still in a healthy condition. In line with that, this research aims to evaluate the health of patients with a normal sinus rhythm through clustering methods on variables like RMSSD, pNN50, and age, extracted from electrocardiogram recordings from the online Physionet database. Each cluster can provide unique information, enabling the identification of cardiovascular disease risks and appropriate interventions. However, due to unclear data patterns, the presence of outliers, and is low-dimensiona, a comparison is made between Hierarchical clustering and GMM methods, capable of addressing these issues. Given GMM clustering's sensitivity to initializations, this study employs two approaches, random and K-Means. The determination of the best method is based on considerations of evaluation metrics (effectiveness) and computational time (efficiency). Research results indicate that GMM clustering with K-Means initialization is the most effective and efficient method, forming three clusters. Despite ECG assessments indicating healthy conditions, clustering analysis can reveal crucial information, especially for patients identified with relatively low HRV levels.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Wira Dhanar Santika
Abstrak :
Lingkar kepala janin merupakan salah satu biometrik paling penting dalam pemeriksaan perkembangan janin dengan menggunakan alat USG. Akan tetapi, pengukuran terhadap kepala janin bukanlah pekerjaan yang mudah. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sistem pengukuran kepala janin otomatis. Sistem ini diharapkan dapat berjalan pada perangkat mobile sebagai bagian dari sistem telehealth. Pengukuran kepala janin pada penelitian ini dilakukan dengan metode object detection, dilanjutkan dengan Canny edge detection, lalu untuk piksel pada citra edge kemudian diproses pada tahap ellipse fitting. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metrik akurasi, presisi, recall, dan f1-score untuk metode object detection, dan error rate untuk ellipse fitting. Dari setiap metode yang dilakukan uji coba, hasil evaluasi menunjukan bahwa metode Adaptive Boosting dan ElliFit memiliki performa yang paling baik. Metode ini juga memiliki waktu eksekusi yang relatif cepat untuk sebuah perangkat mobile, yaitu 3-5 detik. ......Fetal head circumference (HC) is one of the most important biometrics in assessing fetal growth during prenatal ultrasound examinations. However, measuring the fetal head is not an easy task. This study aims to create an automatic fetal head measurement system. This system is expected to run on mobile devices as part of telehealth system. HC measurement can be done with object detection method, followed by Canny edge detection, then for every edge pixels, fetal head can be approximated using ellipse fitting. Evaluations are carried out using accuracy, precision, recall, and f1-score metrics for object detection methods, and error rates for ellipse fitting. From each method that was tested, the evaluation result showed that the Adaptive Boosting and ElliFit method had the best performance. This method also had a relatively fast execution time for a mobile device, which is 3-5 seconds.
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Aryudi
Abstrak :
Latar Belakang: World Health Organization melaporkan sebanyak 11 kematian anak dibawah lima tahun terjadi karena komplikasi intapartum termasuk keadaan asfiksia intrapartum. Hipoksia/asidemia fetal intrapartum berpotensi menyebabkan berbagai morbiditas baik jangka pendek seperti hypoxic-ischemic ensephalopathy maupun jangka panjang seperti cerberal palsy. FIGO mengatakan bahwa pH dibawah 7,2 adalah keadaan asidemia. Onset kerusakan otak yang terjadi saat asidemia dapat berjalan dengan cepat sehingga dibutuhkan pemantauan dini. Pola denyut jantung fetus yang abnormal berkaitan dengan 2,86 kali risiko asidemia dibanding pola CTG yang normal. Tujuan: Mencari hubungan antara katagori CTG dan pola CTG dengan kejadian asidemia janin, sehingga dapat memprediksi keluaran janin dan tatalaksana kehamilan selanjutnya. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cohort retrospektif, menggunakan data rekam medis pasien persalinan dengan diagnosis gawat janin di RSCM pada Januari 2016-Desember 2017, yang kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok CTG mencurigakan dan patologis dengan kejadian asidemia janin atau tidak. Kemudian dilakukan analisis statistik untuk menilai hubungan antara gambaran kardiotokografi dengan kejadian asidemia. Hasil: Terdapat 32 (30,8%) subjek dari 104 subjek dengan CTG mencurigakan dan terdapat 40 (40%) subjek dari 100 subjek dengan CTG patologis mengalami asidemia. Tidak didapatkan hubungan bermakna secara statistik kejadian asidemia antara kelompok CTG dengan kejadian asidemia janin (p=0.168; 95% CI 0.529-1.119). Asidemia janin terjadi pada 36,8% pada kelompok dengan pola CTG reduced variability, 38,5% pada absent variability, 20% pada tachycardia, 25% pada late deceleration, 58,3% pada late deceleration and reduced variability, 30,8% pada variable deceleration, 50% pada variable deceleration and reduced variability dengan semua hamil uji statistic menunjukan nilai p>0,05. Tidak terdapat pola CTG yang berhubungan yang bermakna dengan kejadian asidemia janin. Nilai pH pada penelitian ini memiliki median 7.24 dan nilai median pH pada kasus asidemia adalah 7.082. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara katagori CTG dengan kejadian asidemia janin, namun didapatkan trend bahwa CTG patologis lebih sering mengalami asidemia. Tidak terdapat hubungan antara pola CTG dengan kejadian asidemia janin, namun pola CTG late deceleration and reduced variability cenderung lebih sering mengalami asidemia janin.
Introduction: WHO stated that there were 11 of infant mortality rate due to intrapartum complication including asphyxia. Intrapartum fetal hypoxia or acidemia causes short and long-term morbidity such as hypoxic ischemic encephalopathy and cerebral palsy. FIGO concluded that pH level under 7.2 was academic condition. Onset of brain dysfunction occurred rapidly; early monitoring is needed. Abnormal fetal heart rate is related with 2.86 times of academic risk compared with normal CTG pattern. Aims: Determine the relation between CTG category and pattern to intrapartum fetal acidemia so that we can predict fetal outcome and further pregnancy treatment. Methods: This cohort retrospective study design conducted through medical records in RSCM from January 2016-December 2017. All delivery patients with fetal distress diagnosis consisted of two groups including suspicious and pathological CTG group corresponding to fetal academic. Statistical analysis determine the relationship between cardiotocography and acidemia incidence. Results: There were 32 subjects (30.8%) from 104 subjects with suspicious CTG, and 40 subjects (40%) from 100 subjects with pathological CTG having acidemia. There was no significant relationship statistically with acidemia incidence between CTG category and fetal acidemia (p=0.168; 95% CI 0.529-1.119). Fetal acidemia was 36.8%, 38.5%, 20%, 25%, 58.3%, 30.8%, 50% in reduced variability, absent variability, tachycardia, late deceleration, late deceleration and reduced variability, variable deceleration, and variable deceleration and reduced variability CTG group; respectively, with statistical test results all p value >0.05. There was no relationship between CTG pattern and fetal acidemia. The pH value in this study had 7.24 for median with median pH in this acidemia case was 7.082. Conclusion: There is no relationship between CTG category and fetal acidemia; however, pathological CTG was more often in acidemia cases. There was no relationship between CTG pattern and fetal acidemia incidence; however, late deceleration and reduced variability CTG pattern tends to more often in fetal acidemia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhaja Dhennies Firdaus
Abstrak :
Sejak tahun 2019 hingga saat ini virus Covid-19 sudah menjadi permasalahan diberbagai penjuru dunia. Penyebaran virus yang dapat terjadi hanya dengan kontak fisik dengan cairan tubuh orang yang terjangkit mengakibatkan angka penyebaran virus Covid-19 sangat tinggi. Pasien yang terpapar virus ini juga dikatakan sangat banyak, sedangkan pemerintah masih belum dapat menyelesaikan permasalahannya. Setiap harinya, setidaknya ada 1000 orang lebih yang terpapar virus ini. Sulitnya penanggulangan dan penanganan terhadap pasien menjadi masalah juga. Terdapat pasien yang harus mendapatkan penangan intensif dan juga ada pasien yang hanya memerlukan isolasi mandiri. Pasien yang melakukan isolasi mandiri, juga harus mendapatkan pengawasan kondisi kesehatannya karena di khawatirkan terjadi penurunan kondisi kesehatan. Alat pengawas pasien covid-19 dengan penggunaan sensor global positioning system yang berbasis internet of things diharapkan dapat mempermudah mengetahui kondisi dan juga lokasi dari pasien tersebut. Penggunaan alat ini dapat mengurangi kontak langsung dengan pasien, sehingga tetap dapat dilakukan social distancing antara satgas covid dan pasien. Dengan menggunakan alat ini, Satuan tugas (satgas) Covid-19 dapat memantau kondisi suhu, detak jantung, dan SPO2 dari pasien yang terjangkit. Fitur pencari lokasi diperlukan untuk meminimalisir pasien yang kabur dari tempat isolasi, karena maraknya kasus pasien kabur dari tempat isolasi...... Since 2019 until now the Covid-19 virus has become a problem throughout the world. The spread of the virus that can occur only by physical contact with the body fluids of an infected person results in a very high rate of spread of the Covid-19 virus. The number of patients exposed to this virus is also said to be very large, while the government is still unable to solve the problem. Every day, there are at least 1000 people who are exposed to this virus. The difficulty of handling and handling patients is also a problem. There are patients who must receive intensive care and there are also patients who only need self-isolation. Patients who are self-isolating must also get their health condition monitored because they are worried that their health condition will decline. The Covid-19 patient monitoring tool with the use of a global positioning system sensor based on the internet of things is expected to make it easier to find out the condition and location of the patient. The use of this tool can reduce direct contact with patients, so social distancing can still be carried out between the COVID-19 task force and patients. Covid-19 task force can also monitor the temperature, heart rate, and SPO2 conditions of infected patients. The location finder feature is needed to minimize patients escaping from the isolation area, because of the many cases of patients escaping from the isolation area.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gauge, Susan M.
St. Louis, Missouri: Churchill Livingstone Elsievier, 2012
618.320 75 GAU c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Hanggoro
Abstrak :
Pada penelitian ini akan dirancang sebuah sistem telehealth berbasis client to server, lebih tepatnya merupakan sistem datalogger yang berfungsi untuk mengumpulkan data berupa denyut jantung manusia yang di dapat dari pulse sensor yang data tersebut akan disimpan di dalam datalogger. Data tersebut dapat dilihat oleh pekerja medis melalui jaringan VPN yang terhubung dengan sistem datalogger. Data tersebut akan ditampilkan melalui web. Hasil didapat setelah melakukan pengujian data yaitu pengujian presentase eror data dan pengujian response time. Hasil dari pengujian presentase eror data antara data BPM pada datalogger dengan BPM pada ECG rumah sakit memiliki rata-rata sebesar 1,94%. Hasil dari pengujian response time sistem datalogger memiliki rata-rata sebesar 12,4ms. Hasil pengujian presentase eror data mengindikasikan bahwa nilai eror yang didapat memiliki eror yang cukup rendah untuk data biomedis, sehingga sistem dapat digunakan untuk keperluan pemonitoran denyut jantung manusia.
In this study will be designed a telehealth system based on client to server, rather a datalogger system that serves to collect data in form of human heart rate obtained from the pulse sensor and it will stored inside the datalogger. Such data can be monitored by healthcare worker through the VPN network that is connected to the datalogger system. The data will be displayed via web. Result that obtained from two different testing which are error rate testing and response time testing. Results of error rate percentage between data from datalogger and data from ECG at hospital has an average of 1.94%. Results of the system response time testing has an average of 12,4ms. The test results indicate that data error rate percentage between datalogger system and ECG at hospital have low enough error to be used as biomedical data. So the system can be used for purposes of monitoring the human heart rate.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
T43796
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>