Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lilis Heri Mis Cicih
"ABSTRAK
Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan masalah pembangunan yang penting. Pembinaan SDM seharusnya berawal sejak dalam kandungan dan berkesinambungan sampai usia lanjut. Indikator status kesehatan yang konvensional terdiri dari tingkat kesakitan, status gizi dan tingkat kematian. Upaya meningkatkan kesehatan dapat diidentikan dengan upaya penurunan resiko sakit dan peningkatan status gizi. Penduduk yang sehat memberikan sumbangan positif terhadap laju pembangunan. Profil kesehatan diperlukan untuk estimasi prevalensi penyakit kronik dan tingkat ketidak mampuan (disability} sejalan dengan lanjutnya usia penduduk. Penyajian informasi status kesehatan (disabilitas, tingkat kesakitan dan status gizi) penduduk Indonesia, serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri) merupakan tujuan studi ini.
Pengukuran status disabilitas, kesakitan dan status gizi penduduk sebagai tolak ukur status kesehatan penduduk secara umum belum banyak ditelaah di Indonesia. Status disabilitas sebagai salah satu ukuran langsung dari kualitas hidup dan tingkat kemandirian juga penduduk masih belum banyak dianalisis.
Studi ini merupakan suatu studi pendahuluan yang lebih banyak ditujukan untuk mengeksplorasi data untuk kepentingan analisis lebih lanjut. Hal ini terutama berkaitan dengan data hasil suatu survei yang relatif baru sehingga belum banyak yang menganalisisnya. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil survei rumah tangga SAKERTI/IFLS 1993. Survei tersebut memuat informasi yang sangat luas, karena mencakup banyak aspek kehidupan rumah tangga, seperti kesehatan, kelangsungan hidup bayi dan anak, pendidikan, migrasi, ketenagakerjaan, kelahiran, keluarga berencana, sosial dan ekonomi. Banyaknya cakupan data tersebut mungkin dianggap sebagai keunggulan dari survei tersebut, namun sekaligus merupakan kekurangan dari survei tersebut. Misalnya dalam proses pengolahan data masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan baik menyangkut manajemen data maupun kualitas datanya.
Aspek utama dalam survei SAKERTI 1993 adalah kesehatan, sehingga dalam proses eksplorasi data tersebut ditekankan pada aspek kesehatan. Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk. Tujuan studi secara khsusus adalah menyajikan (1) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk, (2) upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan demografi.
Hasil studi ini diharapkan: (1) dapat menambah dan melengkapi pustaka di bidang kependudukan dan kesehatan, (2) menambah dan melengkapi pustaka mengenai cara pengolahan data SAKERTIIIFLS yang dapat direplikasi oleh peneliti lain di masa yang akan datang, dan (3) menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi (pra krisis ekonomi tahun 1997) yang berguna sebagai pembanding dalam perencanaan selama atau masa pasca krisis yang akan datang.
Responden dalam studi ini adalah individu semua kelompok umur yang dibagi menjadi kelompok usia kurang dari 15 tahun dan usia 15 tahun ke atas sesuai data yang tersedia. Informasi diperoleh dari 7 (tujuh) buku kuesioner yang terdiri dari buku 1 (daftar ART), buku II (ekonomi RI), buku III (informasi orang dewasa), buku IV (informasi wanita pemah kawin), buku V (informasi anak), buku K (kontrol), dan buku CA (antropometri)
Berbagai informasi karakteristik sosial, ekonomi dan demografi yang dapat digali dari data tersebut meliputi umur (yang dibagi menjadi kelompok umur 5 tahunan kecuali bayi), tempat tinggal (kota dan desa), pendidikan yang ditamatkan (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SLTP+), pendapatan per kapita (25 % pertama, 25 % kedua, 25 % ketiga dan 25 % tertinggi), serta jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Khusus pembagian pendapatan per kapita, kategori yang digunakan dalam studi ini agak berbeda dengan kategori yang umum digunakan oleh ekonom yaitu dibagi lima kategori (20 % pertama sampai 20 % tertinggi). Kriteria yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada sebaran nilai pengeluaran per kapita per bulan dari yang terkecil sampai terbesar.
lnformasi kesehatan dicerminkan oleh status disabilitas, status kesakitan, status gizi dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri). Status disabilitas dicerminkan oleh ADL (Activities of Daily Living) yang terdiri dari variabel keterbatasan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dengan kategori tidak sehat (tidak dapat atau susah payah) dan sehat (mudah) melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu juga gejala psikis dengan kategori tidak sehat (sering atau kadang-kadang) dan sehat (tidak pernah) mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara.
Gejala akut beberapa penyakit umum yang pernah dialami penduduk dalam periode empat minggu sebelum wawancara, terdiri dari gejala sakit mata, sakit gigi, sakit mencret, dan sakit kulit. Keempat gejala ini dipilih karena sesuai dengan nama organ, sehingga lebih mudah untuk mendeteksi jenis penyakit.
Status gizi diukur dengan cara antropometri berdasarkan data yang tersedia yaitu umur, berat badan dan tinggi badan. Penentuan status gizi untuk usia kurang dari 15 tahun didasarkan pada rujukan WHO-NCHS dengan z-score yang dibagi menjadi 2 (dua) kategori buruk/kurang (<-2 sd) dan baik (>= -2 sd). Sedangkan untuk usia 15 tahun ke atas penentuan status gin berdasarkan pada Indeks Masa Tubuh (BMI=Body Mass Index) dengan kategori kurus (IMT < 18.5), normal (18.5 < IMT< 25.0) dan gemuk (IMT>25.0).
Upaya pencarian pengobatan sendiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengobati keluhan kesehatan dengan cara mengobati sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (seperti dokter, mantri dan bidan). Jenis pengobatan sendiri dilakukan yaitu dengan cara minum obat modern, minum jamu atau obat tradisional, dan memakai obat luar. Sedangkan jenis upaya pencarianpengobatan yang dilakukan dengan cara memeriksakan langsung ke petugas kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Berbagai fasilitas kesehatan rawat jalan yang ditanyakan meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Poliklinik(klinik swasta/BP/KIA), Dokter Praktek, Paramedis (perawat/bidan praktek), dan Praktek Tradisional. Selanjutnya fasilitas rawat inap terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta.
Analisis data dilakukan dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabel silang berdimensi dua atau tiga. Tabel-tabel tersebut menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut karakteristik sosial ekonomi dan demografi (umur, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan). Selain itu analisis dilakukan dengan menyajikan grafik berdimensi dua melalui metode biplot. Berdasarkan metode ini dapat disajikan gambaran keragaman masing-masing variabel dan korelasi antar variabel, posisi masing-masing objek yang diamati dalam plot yang terpisah, serta mampu memberikan gambaran posisi dari objek-objek yang diamati relatif terhadap variabel-variabel keseluruhan dalam satu plot (biplot). Selain itu, menyajikan secara simultan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan demografi dengan status disabilitas, kesakitan, status gizi serta upaya pencarian pengobatan (sendiri, rawat jalan dan rawat inap).
Hasil studi ini menggambarkan kondisi disabilitas, kesakitan, status gizi, dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) penduduk pra krisis ekonomi 1997. Secara umum status disabilitas, dan status gizi penduduk tergolong baik, namun dari studi ini diperoleh kelompok penduduk yang tergolong rawan yang perlu mendapat perhatian. Menurut kelompok umur, yang tergolong rawan meliputi usia bayi atau balita dan usia lanjut usia (60 tahun ke atas). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk dewasa yang paling tinggi tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dan mengalami gejala psikis, paling banyak penduduk dewasa yang kurus, paling tinggi mengalami gejala penyakit dan paling tinggi melakukan pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri).
Sedangkan menurut karakteristik sosial, ekonomi dan demografi: penduduk dewasa yang paling banyak tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) sehari-hari, penduduk yang paling banyak mengalami gejala penyakit, anak-anak paling banyak berstatus gizi buruk/kurang, penduduk dewasa paling banyak yang kurus, serta penduduk yang paling sedikit melakukan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) adalah yang tinggal di pedesaan, orang tua dan penduduk dewasa yang berpendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD, serta pendapatan pada tingkat pendapatan 25 persen pertama sampai 25 % kedua (sampai Rp 51.615).
Studi ini juga menunjukkan kecenderungan minum jamu atau obat tradisional (terutama untuk usia kurang dari 15 tahun) meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendapatan. Meskipun secara umum persentase minum jamu atau obat tradisional masih rendah dibanding minum obat modern, namun biaya yang dikeluarkan untuk minum jamu atau obat tradisional paling tinggi. Pada masa krisis ekonomi, penggunaan obat tradisional sedang diupayakan ditingkatkan pemakaiannya, mengingat biaya obat modern sangat melambung tinggi.
Dalam rangka peningkatan penggunaan obat tradisional, disarankan untuk melakukan penelitian-penelitian (uji klinis) terhadap jenis obat-obat tradisional yang sering dipergunakan masyarakat, serta perlu memantapkan "khasiat" dari obat tradisional tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan pada masyarakat sebagai pemakai sehingga dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam menggunakannya.
Hasil studi ini kemungkinan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penentuan sasaran program perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat. Sasaran program harus ditentukan dengan sebaik-baiknya terutama pada masa krisis ekonomi, karena dapat menentukan berhasil tidaknya suatu program. Penentuan sasaran program sangat sulit, sehingga diperlukan data-data yang menunjang yang menggambarkan kondisi masyarakat setempat. Seiring dengan rencana desentralisasi, maka penggunaan informasi seperti informasi yang diperoleh dari data SAKERTI/IFLS 1993 diharapkan dapat membantu perubahan perencanaan kebijakan program kesehatan. Informasi yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan status disabilitas, status kesakitan, status gizi, upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) sebagai cerminan untuk perencanaan selanjutnya.
Berkaitan sasaran program, maka penduduk yang tergolong rawan perlu mendapat perhatian, dan mendapat prioritas dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan terutama pada masa krisis ekonomi. Dikhawatirkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dampak kekeringan/kemarau panjang serta kekurangan pangan di beberapa tempat akan menimbulkan dampak lebih buruk terhadap status kesehatan dan gizi kelompok rawan tersebut pada masa krisis.
Berdasarkan status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi kelompok usia 60 tahun ke atas merupakan paling tinggi persentase yang tergolong tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan fisik lebih lanjut} sehari-hari dan Bering mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara. Keluhan gejala penyakit yang cendenmg paling banyak dialami kelompok ini adalah sakit mata dan sakit kulit. Berdasarkan IMT, mereka merupakan persentase tertinggi kategori kurus. Kelompok usia ini hanya sekitar 10.4 persen dari seluruh sampel dalam studi ini. Namun jika dilihat dan hasil proyeksi penduduk Indonesia, dari tahun 1995-2025 proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat menjadi 13,2 persen (Lembaga Demografi FEUI, 1994). Negara yang mempunyai penduduk lanjut usia di atas 10 persen akan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan psikologis kelompok lanjut usia (Wirosuhardjo, 1994). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan kelompok ini perlu mendapat perhatian supaya mereka masih tetap produktif, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan kelompok lanjut usia ini, beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pemerinaah khususnya Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan masyarakat kelompok tersebut. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk kelompok ini antara lain dengan memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh secara gratis, pemberian makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya, dan pemberian konseling di tempat pelayanan kesehatan atau di puskesmas secara gratis. Hal lain yang panting adalah pemberitahuan kepada kelompok tersebut bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan gratis, karena adanya fasilitas tanpa diiringi dengan pengetahuan dari sasaran kemungkinan akan tidak tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan salah sasaran.
Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian adalah anak usia bawah lima tahun (balita), karena paling tinggi mengalami gejala penyakit terutama sakit mencret, status gizi buruk/kurang sekitar 23 persen (menurut BBIU), dan paling tinggi persentase yang memerlukan rawat jalan dan rawat inap. Gejala sakit mencret pada kelompok tersebut cenderung paling banyak dialami oleh anak yang ibunya tidak sekolah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang sering dibicarakan pada masa krisis, dengan seringnya pemberitaan mengenai kasus terjadinya gizi buruk di beberapa wilayah. Sebenarnya mungkin prevalensi gizi buruk/kurang yang kronis sudah terjadi sejak sebelum krisis, namun tidak secara transparan terlihat. Dan hasil studi ini tampak bahwa status gizi buruk/kurang terutama anak laid-iaki usia kurang dari 15 tahun menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sekitar 58.7 persen, 53.2 persen (TBIU), dan 57,4 persen menurut BBIU. Apabila kelompok ini tidak ditangani dengan serius, maka kemungkinan akan terjadi lost generation, karena kelompok ini adalah generasi penerus yang akan meneruskan dan mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian kualitas sumberdaya manusianya harus ditingkatkan sedini mungkin.
Kelompok bayi atau balita pada studi ini dapat dikatakan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program perbaikan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat pada masa krisis. Sedangkan kelompok sasaran lain adalah: (1).untuk pelayanan kesehatan dasar meliputi seluruh keluarga miskin, yaitu keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera dan Sejahtera-I (karena alasan ekonomi) serta keluarga miskin lain yang ditetapkan oleh Tim Desa, (2) untuk pelayanan kebidanan dan rujukannya: seluruh ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin seperti butir 1, (3) untuk pemberian makanan tambahan: ibu hamil dan ibu nifas yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), seluruh bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin seperti pada butir 1.
Kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok sasaran yang ingin dicapai dalam program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Program ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak negatif akibat krisis. Selain JPSBK, program yang dilakukan melalui JPS meliputi JPS padat karya, JPS pengembangan usaha pertanian, JPS pengembangan ekonomi keluarga miskin, JPS pendidikan, JPS pengembangan usaha kecil dan menengah, dan JPS pangan.
Program JPSBK ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin di seluruh Indonesia agar tetap terpelihara kesehatannya. Pada dasarnya tujuan umum dari program tersebut adalah meningkatkan/ mempertahankan dan derajat kesehatan dan status gizi keluarga miskin. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi keluarga miskin, (2) memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan rujukan kebidanan bebas biaya bagi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin, (3) memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin, (4) memantapkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Dati II dan Kecamatan, (5) menyelenggarakan JKPM dengan menyediakan premi bagi keluarga miskin di seluruh Dati II, dan melakukan pengamatan khusus penyelenggaraan JKPM di sepuluh Dati II.
Dalam Program JPSBK juga dilakukan pengembangan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di seluruh Dati II. Idealnya semua keluarga miskin di seluruh Dati II memperoleh penanganan yang sama meskipun dana program ini berbeda, yaitu dari ADB dan APBN. Dana dari ADB ditujukan untuk 8 (delapan) propinsi yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan dari dana APBN untuk 19 propinsi lainnya. Dana APBN juga diberikan kepada propinsi lokasi bantuan ADB untuk kabupaten dan kegiatan yang belum dicakup oleh bantuan ADB.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan status gizi masyarakat terutama bayi atau balita adalah: mengaktipkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan memanfaatkan dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan. Berkaitan dengan pelaksanaan SKPG, maka pejabat Departemen Kesehatan sebaiknya turun ke daerah memberitahukan Gubernur, Bupati, serta instansi terkait agar melakukan SKPG. Hal ini dikarenakan status gizi buruk/kurang merupakan rantai terakhir akibat kurang pangan yang sejak awal tidak ditangani. Indikator yang perlu dilihat dalam pelaksanaan SKPG antara lain: (1) adanya penimbangan di posyandu sebagai suatu isyarat dini di tingkat terendah, kalau berat bayi tidak naik tiap bulan, dan (2) perubahan pola konsumsi penduduk dari kemampuan mereka membeli atau kebiasaan makan bahan makanan pokok sehari-hari yang pada saat krisis menurun jumlah maupun intensitasnya.
Berkaitan dengan posyandu, perannya sangat panting untuk memantau kesehatan balita, namun pelaksanannya perlu didukung dengan dana yang memadai. Jumlah dan program yang jelas belum tentu bisa dilakukan jika tidak didukung oleh dana yang memadai.
Upaya lain yang perlu disarankan dalam rangka memperbaiki status gizi masyarakat adalah melaksanakan program pemberian makanan tambahan dengan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak, untuk mencegah proses deteriorasi status gizi, pencegahan penyakit infeksi, dan menyelenggrakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada orang tua sasaran. Meskipun demikian juga perlu diperhatikan kekurangan-kekurangan dan program tersebut, yang antara lain menyangkut kandungan zat gizi dan jenis pangan, frekuensi pemberian, kelompok umur sasaran, prosedur pentargetan, dan hubungan dengan penyedia makanan.
Secara mendasar terdapat dua pendekatan dalam hal jenis pangan dalam program pemberian makanan tambahan, yaitu (1) pendekatan didasarkan pada ketersediaan pangan lokal, (2) pendekatan didasarkan pada bantuan pangan atau pangan campuran (blended food). Meskipun hal ini masih merupakan perdebatan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk usia 6-11 bulan dianjurkan untuk menggunakan pangan campuran, karena produk ini menyediakan keperluan zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu disarankan jenis makanan tersebut diperkaya dengan zat gizi mikro esensial untuk meningkatkan status gizi mikro anak. Selanjutnya untuk anak usia lebih dari 12 bulan disarankan untuk menggunakan pangan olahan.
Lama program pemberian makanan tambahan sebaiknya berlangsung sampai usia kritis atau sekurang-kurangnya 10-12 bulan. Hal ini didasarkan pada pengalaman di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Bogor, yaitu untuk memperbaiki anak yang berstatus gizi kurang sampai berstatus gizi sedang diperlukan pemberian makanan tambahan enam bulan. Sedangkan untuk program yang berskala besar disarankan untuk menggunakan tenaga lokal dengan memperluas periode pemberian makanan tambahan sampai 10-12 bulan.
Berkaitan dengan 7PSBK, seharusnya keluarga-keluarga yang menjadi kelompok sasaran program pemberian makanan tambahan tercakup dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan status sosial, ekonomi dari masyarakat miskin. Namun demikian program 7PSBK ini bukan hanya untuk membagi-bagikan uang saja tetapi perlu dimonitor pelaksanaanya, sehingga kemungkinan salah sasaran dapat dikurangi. Sebenarnya melesetnya sasaran tidak akan terjadi, jika semua pihak mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terjadi penyerobotan terhadap hak-hak orang lain (termasuk hak orang miskin). Salah satu hal panting dalam hal ini adalah memperbaiki sikap mental/moral dan menumbuhkan kesadaran semua pihak akan hak dan kewajiban, tidak hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dalam rangka memperbaiki status gizi dan meningkatkan kesehatan balita disarankan supaya Departemen Kesehatan membuat perencanaan logistik obat-obatan untuk pengobatan gejala penyakit terutama untuk penyakit yang banyak dialami oleh anak balita. Misalnya penyediaan obat-obatan untuk mencegah atau mengobati penyakit mencret (oralit atau larutan gula garam). Selain itu, sebaiknya Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan program bantuan pada penduduk yang ada di daerah pedesaan baik dalam pendistribusian obat maupuan penyediaan fasilitas kesehatan. Misalnya dengan lebih mengoptimalkan kerja Puskesmas sebagai fasilitas yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan.
Usaha mengatasi masalah gizi dihubungkan dengan program kesehatan yang intensif, karena program gizi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tetapi juga berhubungan dengan masalah penyakit infeksi dan kesehatan lain. Oleh karena itu disarankan untuk menyediakan pengarahan ulang, pelatihan ulang terhadap tenaga gizi yang berhubungan dengan tenaga-tenaga dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Koperasi, Dalam Negeri, Sosial, dan sebagainya.
Pengorganisasian JPSBK atau program lain yang sejenis sudah lintas sektor, namiin yang memegang dana adalah puskesmas. Kondisi seperti ini sebenarnya mempunyai kelemahan, karena puskesmas sebagai pelaksana juga sekaligus sebagai pemegang dana. Jadi sebaiknya dana yang disalurkan oleh Bappenas melalui Kantor Pos dikelola oleh pihak lain selain puskesmas, sehingga fungsi pelaksana, pengelola dan pengawas diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, disarankan agar terus diadakan sosialisasi program JPSBK kepada masyarakat, kontinuitas program, upaya mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap program, pelatihan petugas dan peran aktif puskesmas turun ke sasaran, serta pemberdayaan tokoh masyarakat sebagai sosialisasi program.
Upaya yang dapat dilakukan terhadap masyarakat untuk mengatasi ketergantungan terhadap program yaitu dengan pemberdayaan keluarga miskin melalui penyaluran dana, supaya taraf hidupnya meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk lembaga keuangan pedesaan yang merupakan pemberi kredit usaha kecil. Upaya inovatif yang dilakukan dalam menyalurkan kredit yakni dengan menekankan cara pemberian secara kelompok. Dengan cara ini diharapkan dapat menimbulkan sikap saling bertanggung jawab dan saling mendukung dalam menyukseskan usaha masing-masing anggota. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mewajibkan setiap calon peminjam untuk membentuk kelompok yang berjumlah lima orang, yang masing-masing kelompok mempunyai usaha kecil. Berkaitan dengan ini sebenamya telah banyak jenis-jenis bantuan yang dapat diberikan kepada keliarga-keluarga miskin, seperti koperasi-koperasi, kredit usaha tani, program IDT (Inpres Desa Tertinggal), takesra dan kukesra. Namun pada kenyataanya program tersebut tidak sampai kesasaran, bahkan mungkin masyarakat tidak tahu bagaimana cara memperolehnya. Meskipun sudah tahu prosedur, namun kredit kadang tidak kunjung cair.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi kelompok sasaran adalah dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan dengan memberi pengetahuan mengenai cara pencegahan penyakit dan cara-cara hidup sehat. Selain itu, untuk mengatasi masalah kurangnya kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau kelompok pendapatan rendah.
Di pihak lain pars peserta program .FPS seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dituntut kesadarannya untuk tidak mengatas namakan rakyat kecil demi kepentingan sendiri, atau tidak menggunakan dana yang bukan haknya dengan cara menipu (misal mengajukan lahan fiktif untuk memperoleh KUT). Oleh karena itu, seharusnya birokrasi yang diterapkan tidak menyulitkan masyarakat kecil, dan petugas yang berwenang mempunyai kesadaran untuk memberdayakan masyarakat miskin. Selama sikap mental ini belum bisa diberantas, maka program sebaik apapun tidak mungkin akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kontrol dari semua pihak terhadap pelaksanaannya, yang apabila program tersebut tidak mengenai sasaran dikenakan sanksi.
Mubyarto (1999) mengatakan bahwa pemihakan pemerintah lebih diperlukan daripada PS. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma pembangunan nasional adalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang makin memperkuat dan makin memberdayakan. Dulu kata rakyat tidak hanya berbobot filosofis humanis, tetapi juga menggambarkan bahwa orang-orang di lembaga-lembaga pemerintah diharapkan memiliki Kati nurani, rasa kemanusiaan, dan pengorbanan besar yang sesuai untuk jamannya. Berbicara mengenai kerakyatan dan ekonomi rakyat berarti menunjukkan ada suatu rasa tanggung jawab moral dari orang-orang yang sudah lebih baik posisinya daripada mereka yang perlu diangkat dan dipihaki.
Pembicaran yang berkaitan dengan masalah krisis ini cukup menarik untuk dikaji, terutama berkaitan dengan informasi dampak krisis yang berbeda-beda. Sebagai contoh Bank Dunia mengemukakan bahwa status gizi buruk di Indonesia tidak mengalami peningkatan dari pra krisis sampai masa krisis. Namun pada kenyataan hampir setiap hari pemberitaan di media masa menyebutkan ada kasus balita kurang gizi bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dari analisis-Basuni dkk (1999) berdasarkan data Susenas tahun 1989 sampai tahun 1998, memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan status gizi buruk dari sekitar 35,7 persen (tahun 1989) menjadi 30.5 persen (tahun 1995), dan 27.8 persen (tahun 1998). Namur jika umur dipecah menjadi kelompok 6-17 bulan, tampak peningkatan status gizi di daerah perkotaan dari 23.3 persen (tahun 1995) menjadi 24.6 persen (tahun 1998), dan di pedesaan meningkat dari 29,9 persen (tahun 1995) menjadi 31,9 persen tahun 1998. Indeks ini didasarkan pada indeks BBIU (underweight) sebagai ukuran yang baik untuk pengaruh krisis jangka pendek. Dalam hal ini tampak bahwa status gizi burukllrnrang sudah lama terjadi sebelum krisis, hanya mungkin kejadiannya tidak sesering setelah krisis. Sebenarnya mungkin saja status gizi buruk/kurang sudah banyak terjadi lama sebelum krisis, namuan tidak secara transparan dikemukakan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem pemerintahan yang bersifat kurang terbuka pada waktu pra krisis, sehingga kasus-kasus seperli itu berusaha untuk ditutupi. Pada waktu pra krisis, upaya mendapatkan penghargaan dari pihak yang lebih tinggi (atasan) dianggap merupakan satu hal yang paling penting dibandingkan dengan mengatasi status gizi buruk/kurang.
Terlepas dari: berbagai perbedaan pendapat tersebut, disarankan untuk melihat lebih jauh dampak krisis dengan menganalisis data SAKERTI tahun 1997 dan 1998. Khusus berkaitan dengan status gizi disarankan untuk menganalisis usia balita dengan kelompok umur yang dipecah menurut kelompok umur (dalam bulan), misal enam bulanan. Pemecahan kelompok umur ini panting mengingat terdapatnya perbedaan hasil status gizi yang diperoleh dengan adanya perbedaan kelompok umur tersebut.
Disarankan juga untuk melakukan studi semacam ini lebih lanjut secara lebih mendalam, antara Iain dengan menganalisis: (1) hubungan antara status disabilitas dengan status kesakitan atau status gizi, (2) hubungan antara status disabilitas, status kesakitan dan status gizi dengan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri), (3) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi menurut jenis kelamin. Pembagian menurut jenis kelamin ini untuk melihat status disabilitas, status kesakitan dan status gizi wanita terutama wanita hamil dan wanita pada masa nifas sebagai salah satu sasaran program .IPSBK. (4) menurut propinsi, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan per propinsi."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pollack, Robert L.
Philadelphia: Lea & Febiger , 1985
617.601 POL n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hardiani Andaningrum
"Pendidikan gizi penting untuk diajarkan pada anak sejak dini. Pengetahuan gizi yang rendah akan mempengaruhi pola makan dan meningkatkan risiko terkena penyakit degeneratif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perubahan pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar. Intervensi pengetahuan gizi dilakukan menggunakan komik Gizi Seimbang dan buklet Gizi Seimbang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian praeksperimental dengan desain one-group pre-test post-test. Penelitian dilakukan terhadap 76 siswa kelas 5 SDN Beji 5 Depok pada Desember 2013 dengan jumlah siswa pada kelompok perlakuan komik adalah 39 siswa dan pada kelompok perlakuan buklet adalah 37 siswa. Penelitian menggunakan kuesioner sebelum dan sesudah perlakuan. Analisis data menggunakan uji t berpasangan dan uji t independen.
Hasil uji t berpasangan menunjukkan adanya rata-rata skor pengetahuan yang lebih tinggi pada kelompok komik saat post-test dibandingkan dengan pre-test. Selain itu terdapat rata-rata skor pengetahuan yang lebih tinggi pada kelompok komik bila dibandingkan dengan kelompok buklet. Hasil uji t independen menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara perubahan skor pengetahuan gizi total pada kelompok komik yang lebih tinggi dengan perubahan skor pada kelompok buklet. Oleh karena itu, komik dianggap sebagai media yang efektif dalam menyampaikan pesan mengenai Pedoman Gizi Seimbang bagi anak usia sekolah.

Nutrition education is important to be taught as early as possible to children. Low nutrition knowledge will affect eating habit and increase risk to be exposed of degenerative diseases. The purpose of this study is to determine the change in nutritional knowledge of elementary school students. Nutrition education intervention is done using comic book of Balanced Nutrition and booklet of Balanced Nutrition. The study uses pra-experimental design and one-group pre-test post-test method. The study was conducted on December 2013 to 76 5th grade students of SDN Beji 5 Depok, with comic intervention group consisted of 39 students and booklet intervention group consisted of 37 students. The study was conducted using before and after questionnaire. Data analyzed using paired t-test and independent t-test.
Result of paired t-test shows that the average score increased significantly between before and after intervention using comic book. Average score of comic group is higher than that of booklet group. Independent t-test result shows that there's significant difference between comic book group's average score and booklet group's, where comic book's higher than booklet group's. Therefore, comic book is recommended as effective media to deliver Balanced Nutritional Guide knowledge to school-age students.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S53780
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Teni Safira
"Edukasi dan konseling gizi telah terbukti banyak menyelesaikan masalah seputar gizi. Metode telehealth yang mulai dikembangkan untuk pelayanan kesehatan juga menyasar bidang gizi (teledietetics). Di Indonesia sendiri saat ini belum banyak penelitian mengenai telehealth di bidang kesehatan, termasuk di bidang gizi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian pendampingan gizi mencakup pemberian edukasi dan konseling gizi terhadap pengetahuan gizi dan perilaku makan subjek. Penelitian ini menggunakan desain studi kuasi-eksperimental pre-test – post-test. Sejumlah 39 pekerja kantor yang terbagi menjadi 21 subjek kelompok perlakuan dan 18 subjek kelompok kontrol menjadi subjek pada penelitian ini dan diberikan metode pendampingan gizi yang berbeda: metode telehealth (perlakuan) dan metode face-to-face (kontrol). Subjek diminta untuk mengisi kuesioner yang berisikan 11 pertanyaan seputar materi intervensi serta melakukan recall asupan 1x24 jam setiap satu kali dalam seminggu. Perbedaan rata-rata antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji independent t-test. Metode telehealth dianggap menjadi metode yang lebih baik untuk meningkakan pengetahuan gizi dibandingkan metode fae-to-face (p<0,05). Selain itu, rata-rata selisih jawaban benar lebih juga lebih tinggi pada metode telehealth (3,00 ± 1,61) dibandingkan dengan metode face-fo-face (1,55 ± 1,34).

Nutrition education and counselling have proven to overcome nutritional problems. Telehealth which starting to thrive in Indonesia’s health service also targeting nutrition field (teledietetics). There is still lack of research about telehealth in Indonesia. Hence, this present study aimed to evaluate the effect of nutrition assistance including nutritional education and counselling on nutrition knowledge and dietary intake. This research is using a pre-test – post-test quas-experiment design. There are 39 academic staffs who participate and becoming the subjects of this study. The subjects then divided into two groups, telehealth group and face-to-face group. The subjects will asked to answer 11 questions about nutrition knowledge and do the 1x24 hour food recall once a week on weekday. The results shows that on increasing nutrition knowledge, telehealth group has better result (P<0,05). On comprehension assessment, telehealth group (3,00 ± 1,61) also showed higher deviation between before and after intervention rather than faceto- face group (1,55 ± 1,34)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mazo, Ellen
Amerika: Rodale, 2002
616.079 MAZ i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syafiq
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
PGB-0640
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Priyo Nugroho
"In this study we estimated empirically the impact of U.S.D.A funded school feeding program on household food expenditures and food behavior in the case of Indonesia. The focus was on children associated food expenditures an aspect of food behavior which is particularly relevant for households' day-to-day decisions affecting their food expenses and consumption. The basic data indicated a positive correlation (p=.65) between household whose children receiving milk at school and household food expenditure: participating households have higher child-related food expenditures, more milk consumption at home, and more percentage of food expenditures to income.
We used a reduced-form model of household pattern of expenditure, which controls for relevant household and location characteristics, to estimate the impact of program components to household food expenditure and food behavior. The underlying structural equations treat school feeding program's outputs (milk ration and advocacy) as an input, together with relevant household characteristics, in the household's decision-making process of food consumption. The effects of milk consumption by the children operate through (at least) three mechanisms: sharing of information in peer group, influencing household meals provider with their preference, and broadened household food preference. The magnitude of the children food preference effect was found to be similar to that of program directed to the parents.
Differences between two groups of sample are found for most household expenditures, but to be quite the same for most nominal characteristics such as education, location of living, and magnitude of information. With few exceptions, there is no difference in non-food expenditure between these groups.
The increasing demand for milk, both in experimental group and control group, suggest the potential of a large Indonesian market for dairy products in the future. But it may leave behind domestic supplier (dairy farmers) in the competition because of free market policy, intensive and integrated marketing efforts by foreign supplier whose efforts are integrated in the program. Consistent and integrated policies on agricultural products are the conditions needed.
The differences in consumption patterns between these two groups, and among areas groups imply that development in aggregate consumption patterns in Indonesia will be affected not only by aggregate income growth but also by changes in the distribution and channeling system of information. Using children as channel of promoting behavior change in food pattern is promising."
2002
T5217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanuar
"Kuantitas dan kualitas konsumsi pangan merupakan masalah penting yang harus diperhatikan, terhadap timbulnya masalah gizi. Kelebihan atau kekurangan terhadap satu atau beberapa jenis pangan akan mengakibatkan kekurangan terhadap zat zat gizi tertentu terutama zat gizi mikro, sedangkan konsumsi pangan yang seimbang, baik secara kuantitas dan kualitas dapat mencegah keadaan salah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi serta penyakit yang menyertainya kemudian.
Secara umum, kuantitas konsumsi pangan penduduk pada 6 Kotamadya di Propinsi Sumatera Barat telah cukup baik (diatas 90% dari Tingkat Konsumsi Energi), baik pada daerah perkotaan maupun pedesaan. Kualitas konsumsi pangan yang dilihat menurut tingkat keragamannya, terutama yang berasal dari beras belum menunjukkan penurunan, bahkan meningkat sedikit dari tahun sebelumnya (63.4%), yaitu 64% dan 66.2% pada daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Konsumsi protein yang berasal dari hewani relatif sangat tinggi, sedangkan konsumsi protein nabati, terutama yang berasal dari kacang kacangan cukup rendah. Skor PPH secara umum telah melampaui target skor PPH nasional tahun 1997 (72.26), yaitu 82.74 dan 78.66 untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
Jenis penelitian ini adalah survey potong lintang, dengan jumlah sampel 1021 keluarga yang bertujuan untuk mengetahui gambaran dan perbedaan konsumsi pangan keluarga yang dilihat dari kuantitas, yaitu rata rata konsumsi energi dan kualitas yang dilihat dari keragaman konsumsi pangan dan skor PPH pada daerah perkotaan dan pedesaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara konsumsi energi keluarga diperkotaan dan keluarga pedesaan. Besar keluarga merupakan varibel yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan keluarga. Sedangkan secara kualitas dapat dikatakan terdapat perbedaan skor PPH keluarga diperkotaan dan skor PPH keluarga dipedesaan (p< 0.05), dimana skor PPH daerah perkotaan lebih tinggi dari pada skor PPH daerah pedesaan. Selain variabel daerah tempat tinggal, variabel jumlah keluarga merupakan variabel yang berperan dominan berhubungan dengan konsumsi energi dan skor PPH nasional diantara variabel independen lainnya.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun dengan skor mutu konsumsi pangan yang telah baik, belum dapat dikatakan keragaman konsumsi pangan juga baik. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam peningkatan program gizi, khususnya program penganekaragaman pangan, sesuai dengan anjuran PUGS.

The Analysis of Quantity and Quality of Family Food Consumption using Desirable Dietary Pattern or Pola Pangan Harapan (PPH) approach in Urban and Rural Area in every district of West Sumatera Province in 1997The quantity- and quality food consumption are important matter to pay attention, in relation with nutrition problem. Over and less in one or more kinds of food will cause lack of certain nutrition substances, especially micro nutrition, while balance food consumption, either in quantity or in quality can prevent the condition of malnutrition, either under nutrition or over nutrition and their following disease.
Generally, the quantity of population food consumption in 6 districts in west Sumatra province is quite good (above 90% of energy consumption level), both in rural and urban areas. The quality of food consumption seen according to its diversity level, especially that is made of rice has not decreased, but it even has increased composed to the previous year (63.4%), that is 64% and 66.2% in rural and urban areas. Protein consumption originating from animals is relatively very high, while protein consumption originating from vegetables, especially from peas is relatively low, The PPH score , generally, exceeds the 1.997 national PPH score target (72.26), that is 82.74 and 78.66 for urban and rural areas.
The kind of this research is cross sectional survey, using 1021 samples of family aimed to find out the description and difference of family food consumption seen from the quantity point of view, that is energy consumption diversity and PPH score in rural and urban areas.
The result of this research shows that there's no difference between urban and rural family food consumption. In quantity point of view it can be said that there is PPH score difference between urban and rural families (p < 0.05), where PPH score in urban area is higher than in rural area. Beside domicile variable, family size variable plays a role dominantly in relation with energy consumption and national PPH score among other variables. In this research it can be conclude that, even though the score of food consumption quality is good, it cannot yet be said that food consumption diversity will be automatically good. It is hoped that this research can be used as a consideration in increasing nutrition program, especially food diversification program, in accordance with guideline nutrition balance proposition."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dzurrotun Nafisah
"Tingkat kebugaran yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Berbagai penelitian di tingkat dunia maupun Indonesia telah membuktikan rendahnya tingkat kebugaran pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kebugaran berdasarkan aktivitas fisik, jenis kelamin, status gizi, dan asupan energi serta zat gizi pada siswa Sekolah Dasar Avicenna Jagakarsa Jakarta Selatan. Desain studi penelitian ini yaitu cross sectional. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status kebugaran, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah aktivitas fisik, jenis kelamin, status gizi, dan asupan zat gizi energi, karbohidrat, protein, lemak, zat besi, vitamin C, dan kalsium . Pengukuran status kebugaran dilakukan dengan metode 20 m shuttle run. Data status gizi diperoleh dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan, sedangkan data asupan zat gizi diperoleh dengan metode food recall 1x24 jam. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kebugaran berdasarkan aktivitas fisik, jenis kelamin, dan status gizi. Hasil analisis multivariat menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kebugaran. Status kebugaran yang baik dapat diperoleh dengan meningkatkan aktivitas fisik, mempertahankan status gizi normal, dan mengkonsumsi zat gizi secara seimbang.

Low level of fitness is one of the risk factors for cardiovascular disease. Various studies at the world and Indonesia have proven the low level of fitness in children. The primary purpose of this study is to determine the difference fitness level based on physical activity, sex, nutritional status, and intake of energy and nutrients in elementary school students Avicenna Jagakarsa South Jakarta. The design of this study is cross sectional. The dependent variable in this study is fitness status, and the independent variable in this study is physical activity, sex, nutritional status, and nutrient intake energy, carbohydrates, protein, fat, iron, vitamin C, and calcium . Measurement of fitness status was done by 20 m shuttle run test. Nutritional status data obtained by the measurement of height and weight, while nutrient intake obtained by food recall 24 hours. The result of this study showed that there were differences of fitness level based on physical activity, sex, and nutritional status. Multivariate analysis result show that physical activity is dominant factor that affecting fitness. Good fitness status can be gained by increasing physical activity, maintaining normal nutritional status, and consuming nutrients in balanced way."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nadhira
"Indonesia is still bound to problems associated with nutritional status. There were 16 and 19 provinces in which prevalence of underweight school-age boys and girls are above the national prevalence. Knowledge about nutrition is one of the factors that can affect nutrition intake. Nutrition intake itself plays a role in determining nutritional status. This study aims to determine nutritional status and its relationship to the level of knowledge about protein-calorie deficiency in school-aged children of Kampung Kids. Data was retrieved on October 18th, 2009 by performing an anthropometric physical examination and giving questionnaires to be answered by 78 school-aged children enrolled in Kampung Kids.
The results showed there were 40 children (51.3%) undernutritioned, 25 children (32.1%) was having short-stature, and 30 children (38.5%) were thin. There are 2 subjects (2.6%) who have a good level of knowledge about protein-calorie deficiency, while 7 people (9%) has moderate knowledge level, and about 69 people (88.5%) has bad level of knowledge. Fisher's Exacts test shows that there is no significancies between nutritional status with the level of knowledge about protein-calorie deficiency (p = 1.000). In conclusion, nutritional status is not significantly related with the level of knowledge about protein-calorie deficiency on school-aged children in Kampung Kids.

Indonesia tidak lepas dari masalah terkait status gizi. Terdapat 16 dan 19 propinsi yang prevalensi anak usia sekolah laki-laki dan perempuan yang bertubuh kurusnya berada di atas prevalensi nasional. Pengetahuan tentang gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan gizi. Asupan gizi sendiri berperan dalam menentukan status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi dan hubungannya dengan tingkat pengetahuan mengenai kekurangan kalori protein anak usia sekolah di Yayasan Kampung Kids. Data diambil pada tanggal 18 Oktober 2009 dengan melakukan pemeriksaan fisik antropometri serta pengisian kuesioner oleh 78 anak usia sekolah yang terdaftar di Yayasan Kampung Kids.
Hasilnya menunjukkan terdapat 40 orang (51,3%) bergizi kurang, 25 orang (32,1%) bertubuh pendek, serta 30 orang (38,5%) bertubuh kurus. Subyek yang memiliki tingkat pengetahuan mengenai kekurangan kalori protein baik sejumlah 2 orang (2,6%), sedang 7 orang (9%) dan tingkat pengetahuan kurang 69 orang (88,5%). Pada uji Fisher Exacts tidak terdapat perbedaan bermakna antara status gizi dengan tingkat pengetahuan mengenai kurangan kalori protein (p= 1,000). Disimpulkan status gizi dengan tingkat pengetahuan mengenai kekurangan kalori protein anak usia sekolah yayasan Kampung Kids tidak berhubungan secara bermakna.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>