Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dedi Supriyadi
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kehidupan Monyet Buton (Iiacaca biunnesceris) di Suaka Margasatwa Buton Utra, Sulawesi Tenggara. maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari tingkah laku ekologi dan soslal kelompok Monyet Buton dalam memanfaatkan habitatnya.

Dalam menjalankan aktivitas hariannya, Monyet Buton bergerak rata-rata sejauh 1.074,83 m setiap harinya. Radius maksimum daerah jelajah hariannya rata-rata sejauh 560 m. Jarak perjalanan harian yang ditempuh Monyet Buton tidak berkorelasi positif dengan jarak perpindahan lokasi tempat tidurnya, tetapi berkorelasi positif dengan radius maksimum daerah jelajah hariannya.

Aktivitas makan kelompok Monyet Buton mencapai puncaknya dua kali dalam satu hari, pada pagi hari dan sore harinya. Mornyet Buton tidak memakan buah yang banyak mengandung getah dan terlalu keras. Tajuk-tajuk pohon di lapisan tengah paling sering dimanfaatkan monyet Buton. Tajuk-tajuk pohon pada lapisan tengah ini relatif lebih rapat, satu sama lain hampir saling bersentuhan, dan percabanganya yang banyak dan cenderung horizontal. Sumber makan Monyet Buton juga tersedia melimpah pada lapisan tajuk tengah ini. Pergerakan quadrupedal paling sering terlihat ketika Monyet Buton tengah melakukan aktivitas makan dan jelajah.

Monyet Buton tidur pada pohon-pohon yang tumbuh di tempat-tempat yang sedikit terbuka. Pohon-pohon yang dimanfaatkan Monyet Buton biasanya berdaun tidak terlalu lebat, tinggi dan besar, bercabang banyak, tidak berduri, dan tidak dililit liana.

Kepadatan populasi monyet Buton di Suaka Margasatwa Buton Utara adalah 36,9 indlvidu per km , dengn ukuran kelompok 13 sampai 21 individu pada setiap kelompoknya. Perbandingan jumlah individu jantan-dewasa terhadap betina dewasa dalam kelompoknya rata-rata adalah 1,4 : 1. kelompok Monyet Buton di Suaka Margasatwa Buton Utara mempunyai daerah jelajah kira-kira seluas 40 ha. Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix) merupakan kompetitor utama Monyet Buton, sedangkan interaksinya dengan sejenis Burung Sriguntirig (Dicrurus celebensis dan B. hottntotus) belum jelas. ABSTRACT
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
The research was aimed to understand the habitat characteristics and fish assemblages at four fishery reserve areas of the Barito river basin Kalimantan in the south of during June-Desember 2004....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I.D.P. Darma
Abstrak :
Dicksonia blumei (Paku Kidang) is one of the Indonesian priority species of conservation. A natural habitat study was carried out by purposive sampling method in Tapak hill, Bedugul, Bali. Three plots of 20 x 20 m were laid for trees and 2 x 2 m for understorey plants. Results showed that Dicksonia blumei (Paku Kidang) in Tapak Hill grows on environments with physical condition as follow: altitude 1,754±1,794 m asl, land slope 7±10%, soil pH 6.4±7, soil moisture 50±75%, air temperature 20.5±22.3 °C, relative humidity 83.2±87.5% and light intensity 618±10,003 Lux. Characters of Biotic environment is explained based on Important Value Index (IVI). Five trees with highest IVI were Cyathea latebrosa (IVI 98.7), Saurauia bracteosa (IVI 51.9), Astronia spectabilis (IVI 42.7), Dicksonia blumei (IVI 39.6), and Homalanthus giganteus (IVI 35.3). The same figure for understorey were Pilea sp. (IVI 61.9), Selaginella sp. (IVI 40,6), Athyrium asperum (IVI 27.5), Pteris tripartita (IVI 18.3) and Rubus sp. IVI (15.0). In Tapak hill, the occurrence of D. blumei along with Cyathea latebrosa seems to be associated with cyathea[ê öåµvl ê a substrate for the spores of D. blumei to germinate as well as the next growth stages. At the phase gametophyte and young sporophyte, D. blumei ö ê v â]âZ«ö }v«öZ[ê öåµvl ö Z]PZö }( ÏUÒ± ÌUÒ u (å}u öZ På}µvX]lê}v][ê å}}ö åaches the soil, it will grow terrestrially (hemi±epiphyte). �����������
Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, 2015
580 BKR 18:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Rosalina
Abstrak :
Kawasan konservasi suatu Taman Nasional merupakan zona konservasi yang harus dikelola berdasarkan sistem zoning menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan ketentuan Internasional yang telah dideklarasikan pada The IVth World Congress on National Park and Protected Area di Caracas, Venezuela 1992. Taman Nasional Ujung Kulon telah ditetapkan sebagai Warisan Alam Dunia oleh Badan Intemasional UNESCO (1992) dan terdaftar pada Buku Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources 1 IUCN (1994) karena merupakan kawasan konservasi bagi habitat terakhir Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di dunia yang dikategorikan langka. Analisis Kesenjangan merupakan suatu pendekatan spasial yang digunakan untuk mengetahui secara dimensi keruangan tingkat keakuratan dari keberadaan suatu spesies dengan komunitas alamnya dalam suatu kawasan yang dikonservasi dengan menggunakan metode penggabungan antara teknik remote sensing, teknik sistem informasi geografis dan metode skala pengharkatan. Penelitian dengan judul " Analisis Kesenjangan Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon Berdasarkan Sebaran Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) " ini bertujuan untuk mengkaji kesenjangan yang terjadi terhadap zonasi pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan pendekatan biogeografi dan pertimbangan biogeofisik. Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan analisis kesenjangan ini adalah mengetahui distribusi spasial zona sensitifitas, distribusi wilayah kesesuaian habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), dan mengetahui besaran kesenjangan yang terjadi antara wilayah kesesuaian habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan zona sangat sensitif terhadap zona pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon PHPA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperoleh zona sensilifitas untuk kelas sangat sensitif seluas 8.608 ha, wilayah kesesuaian habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) seluas 3.734 ha. Kesenjangan terjadi sebesar 33,22% atas zona konservasi sangat sensitif dan wilayah kesesuaian Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) terhadap zona pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Ujungkulon I PHPA. ...... National Parks as nature conservations are defined as areas having natural ecosystems which are managed through zoning systems. These systems are based on the 1990 Act 5 and international regulation and was declared by the IVth World Congress on National Parks and Protected Areas which was held in Caracas, Venezuela, 1992. Ujung Kulon National Park was declared a World Heritage Site by UNESCO (1992) and registered by The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources 1 IUCN Red List Categories (1994) as the last habitat for the "Endangered" Javan Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus). Gap Analysis is a spatial approach of identifying the accuracy of spatial dimension of community species in natural conservation areas. As a spatial approach, Gap Analysis presents a combined methodology provided by Remote Sensing, Geographic Information Systems and Leopold Interaction Matrix Methodology. The purpose for the study of " Gap Analysis in The Zoning Management System of Ujung Kulon National Park Indicated by Java Rhinoceros(Rhinoceros sondaicus) " was to seek the gap occurring between the zoning management system of Ujung Kulon National Park and a system based on the biogeographically approach and biophysical geography consideration. The aim of the Gap Analysis approach was to find the ecosystem spatial distribution of Taman Nasional Ujung Kulon by (1) providing the spatial distribution of the sensitive zoning conservation area in Taman Nasional Ujung Kulon, (2) providing the habitat suitability for the Java Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) and (3) to seek the gap width between the sensitive extremely area plus the area of habitat suitability for the Java Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) and the areas defined by the zoning management system of PHPA. The results of the study indicated the sensitive extremely zoning conservation area is 8.608 ha, the habitat suitability for the Java Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) is 3.734 ha thus a 33,22 % gap occurred between the sensitive extremely area plus the areas of habitat suitability for Java Rhinoceros (Rhinoceros sondaicus) and the area to those defined by the zoning management system of PHPA
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
T5212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Prasetyo
Abstrak :
Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu terletak 45 km sebelah utara Kota Jakarta. Jumlah keseluruhan pulau sebanyak 76 pulau yang terbagi dalam empat zona yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan (intensif dan tradisional) dan zona penyangga. Zonasi diberlakukan dengan pertimbangan perairan disekitar pulau memiliki kekayaan sumberdaya alam seperti terumbu karang dan biota laut lainnya. Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan wisata dan permukinian dengan mempertimbangkan konservasi lingkungan. Dalam realitanya, terjadi penyimpangan pemanfaatan pulau, bangunan-bangunan yang berada di zona pemanfaatan dan aktivitas wisata yang dijalankan di Pulau Putri dan Pulau Matahari tidak sesuai dengan strategi konservasi sesuai amanat UU No 5 Tahun 1990 dan PP No 18 Tahun 1994. Hal ini terjadi karena pemanfaatan pulau jauh lebih berkembang dibandingkan peraturan yang muncul belakangan. Tumpang tindihnya kewenangan dalam hal pengembangan pulau antara Pemda DKI dan Departemen Kehutanan, membuat rendahnya penegakan peraturan (law enforment). Pihak swasta selama ini hanya mengacu kepada peraturan yang dikeluarkan oleh DKI Jakarta yaitu SK Gubenur 1814 Tahun 1989 dan Perda No 11 Tahun 1992. Dengan kondisi tersebut, pengembangan pulau wisata di zona pemanfaatan intensif, berdasarkan SWOT analisis harus dilakukan reorentasi pengembangan. Pola pengembangan yang dijalankan selama ini cenderung memberikan ancaman terutama dalam kerusakan alam. Namun, pulau-pulau wisata memiliki kekuatan (strength) untuk bisa dikembangkan, terutama dalam hal potensi yang dimiliki. Langkah yang bisa dilakukana adalah melakukan diversifikasi jenis pariwisata yang telah dijalankan selama ini. Jika diversifikasi dijalankan, maka arah pemanfaatan pulau akan lebih memberikan manfaat bagi pulau itu sendiri maupun stakeholder lain yaitu masyarakat dan pemerintah baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang. Diversifikasi yang bisa dilakukan terhadap pemanfaatan pulau adalah reorientasi jenis pariwisata yaitu, diantaranya adalah ekowisata, suatu perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi Iingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Konsep ekowisata sepenuhnya bisa dijalankan sepenuhnya, bagi pulau-pulau yang belum (operasional) berjalan. Sementara untuk pulau-pulau yang sudah dimanfaatkan, secara bertahap di alihkan konsepnya sebagai ekowisata. Dengan konsep ekowisata, maka ancaman berupa kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas pengembangan dan wisata dapat diminimalisir. Karena pada hakekatnya ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Ekowisata lebih mempergunakan pendekatan pelestarian dibandingkan pemanfaatan.
Thousand Islands National Park region is situated 45 km Northern Jakarta. The number of Islands consist of 76 islands which are divided into 4 zones. They are core zone, protection zone utilization zone (intensive and traditional) and support zone. Zonation is implemented considering the oceans along the islands contain natural resources; such as coral and other creature of sea. The utilization zone can be called upon the tourism interests and dwelling with consideration of environment conservation. In reality, there are deviations of the Island utilization; buildings placed in the utilization zone and tourism activities carried out in Putri Island and Matahari Island are compatible with the conservation strategy that is act no 5 ! 1990 and government law no 8 ! 1994. These happen because the making use of the islands develop faster than the regulations that come later. The over laping authority in developing the islands between Pemda DKI and Forestry Department causes the weakness of law enforcement. So far, private sectors have just referred to the regulations issued by Jakarta Local District, Governor's decree 1814 1989 and Perda no 11/1992. Under such circumstances and based on SWOT analysis, the development of tourism islands in the intensive utilisation zone extremely needs a development reorientation. The pattern of the development which has been carried on so far prone to give threats specifically in the nature destruction . But tourism islands own strength to be exploited especially in their potentials. Diversifying types of tourism which have been performed so far can be a good step to be implemented. if it works, the make use of the islands will give more benefit to either the islands themselves or other stakeholders, they are the community and the government for either today or future. Diversification that is possible to be applied is reorienting types of tourism among others; ecotourism; a tourism trip to natural areas intended to the environment conservation, life preservation and local community welfare. Ecotourism consept is fully accessible to be implemented to the operationally not in progress island. In the meantime, by steps, the concept of the in progress islands can be shit 0d to be ecotourism one. Throught this concept all kinds of threats such as environment destruction caused by the activities of developing and tours can be minimized. Basically, otourism is a form of tourism which is managed through the conservation approach. Ecotourism put to use more preservation than utilization.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugenga Harmono
Abstrak :
ABSTRAK
Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah primata endemik Pulau Jawa yang saat ini semakin terancam keberadaannya. Owa Jawa tercatat dalam status sangat genting (critically endagered) IUCN dan juga masuk dalam Appendix 1 Convention on International Trade in Endagered Spesies of Wild Fauna and Flora (CITES). Kerusakan habitat, perburuan dan perdagangan illegal adalah ancaman utama kelestarian Owa Jawa. Saat ini diperkirakan Owa Jawa berjumlah sekitar 400-2000 individu yang terisolasi di beberapa kawasan konservasi. Salah satu habitat terbesar Owa Jawa berada di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara degradasi habitat dengan populasi Owa Jawa dengan menggunakan system dynamics serta menyusun strategi pengelolaan Owa Jawa di Koridor TNGHS. Manfaat penelitian antara lain adalah memberikan saran dan masukan mengenai strategi dan aksi untuk pelestarian Owa Jawa di Koridor Halimun Salak kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) - Departemen Kehutanan melalui Balai Taman Nasional. Dari sisi ilmu lingkungan sumbangan yang diberikan dalam penelitian ini adalah meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya upaya pelestarian satwa langka serta pencegahan kerusakan hutan di taman nasional. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dan metode System Dynamics. Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan yaitu: (1) desk study untuk mengkaji berbagai hasil peneltian yang telah dilakukan, (2) analisa deskriptif melalui survei lapangan, dan (3) Pembuatan model dengan metode system dynamics. Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan system dynamics diperoleh kesimpulan bahwa dengan laju deforestasi sebesar 1,5% per tahun, maka habitat Owa Jawa di koridor Halimun Saiak akan berkurang sebesar 575 ha selama kurun waktu 20 tahun (2006-2025). Hal ini akan menyebabkan penurunan populasi Owa Jawa sebanyak 30%. Namun, apabila TNGHS berhasil menekan laju deforestasi menjadi 0,5% per tahun, kerusakan hutan TNGHS hanya sebesar 10% (190 ha) dan penurunan Owa Jawa akan sekitar 15%. Kesimpulan lain yang diperoleh adalah bahwa penyebab utama kerusakan habitat di koridor Halimun Salak adalah tingginya laju deforestasi. Oleh karena itu, strategi konservasi Owa Jawa yang harus dilakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah dengan mengendalikan laju deforestasi dan melakukan rehabilitasi koridor Halimun Salak. Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, maka beberapa saran yang disampaikan oleh peneliti adalah perlu dilakukan penggalakan Program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di koridor yang saat ini cukup tinggi yaitu sebesar 2,77%. Hal ini mengingat tekanan penduduk yang cukup besar terhadap taman nasional. Selain itu perlu juga dilakukan penggalakan dan peningkatan efektifitas Program Model Kampung Konservasi (MKK) yang meliputi peningkatan pengamanan kawasan, peningkatan pendapatan masyarakat dan restorasi habitat. Peningkatan pengamanan kawasan dapat dilakukan dengan penambahan jumlah tenaga jagawana atau menggalakkan Pam Swakarsa oleh masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilakukan dengan lebih banyak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional, misalnya melalui program Community-Based Forest Management (CBFM). Sedangkan restorasi habitat dilakukan terutama di kawasan yang terbuka untuk meningkatkan kontinuitas tajuk yang diperlukan sebagai saluran pergerakan satwa liar, terutama untuk jenis-jenis satwa liar arboreal yang membutuhkan tajuk untuk pergerakannya, misalnya Owa Jawa.
ABSTRACT
The Javan Gibbon or Owa Jawa (Hylobates moloch) is found only on the island of Java, Indonesia and specifically only in West Java and the western parts of Central Java. The Javan gibbonis one of the rarest and most endangered of the hylobatids and now categorized on the IUCN Red List of Threatened Species as Critically Endangered and Appendix I CITES. The Javan Gibbon has lost 98% of its natural habitat due to human encroachment and only small populations of gibbons exist in isolated forest remnants. Many of the scattered populations are considered non-viable. Some studied carried out estimated that population of Javan Gibbbon is around 400-2.000 wild gibbons. One of the biggest habitat remnants for Javan Gibbon is Gunung Halimun National Park. The objective of this research is to built a dynamic model on impact of habitat degradation to Javan Gibbon population. This model could describe holistivally interiankage between population growth, habitat degradation and Java Gibbon population. The other objective is to develop some scenario in management of Javan Gibbon population in Coridor Halimun Salak National Park. The research using the combination of qualitative and quantitative approaches and System Dynamics method. The research is divided into 3 phases: (1) desk study to review and study the previous research (2) descriptive analyses, and (3) build a dynamics model. Based on the simulation of the dynamics model on the impact of habitat degradation to population of Javan Gibbon, it is concluded that there is an impact to the habitat degradation to population of Javan Gibbon. It is predicted that with rate of habitat degradation around 1,5% per year, the habitat of Javan Gibbon in corridor Halimun Salak will degraded about 575 ha in the next 20 years (2006-2025). The habitat degradation is predicted will lead to decrease in Javan Gibbon population around 30% for the next 20 years. However, if National Park Management can control the rate of deforestation up to 0,5% per year, habitat degradation can be reduced to 10% (190 ha) and loss of Java Gibbon will be only 15%. Based on the result of this research that habitat degradation caused by encroachment by local people, it is suggested that national park should empowering of local people by generating alternative income. Other activities that should be done by national park is increase forest patrol as well as habitat rehabilitation.
2007
T20470
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriarto Panji Danan Setiawan
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara mega biodiversity, namun Indonesia juga dikenal memiliki tingkat penurunan kuatitas dan kuantitas hutan alami dan habitat satwa liar tertinggi. Demikian juga terjadi pada Macan Tutul Jawa (Panthera pardus) yang merupakan satwa endemik dan spesies utama di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak hingga termasuk ke dalam kategori Endangered species menurut 1UCN Red List of Threatened Animals (Hilton, 2000), dan tergolong appendix I CITES. Terdapat ancaman-ancaman TNGHS sebagai habitat dari Panthera pardus diantaranya aktivitas penduduk, yang berupa penebangan hutan (baik untuk kayu bakar, pembukaan lahan untuk pertanian, maupun untuk dijual kayunya) dan penambangan emas liar. Aktivitas-aktivitas ini menyebabkan terjadinya penyempitan dan fragmentasi di kawasan TNGHS. Atas dasar tersebut penelitian ini bertujuan untuk menyusun dan membangun model dinamika populasi Panthera pardus serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga diperoleh gambaran holistik tentang dinamika populasi Panthers pardus di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hasil simulasi model subsistem habitat menunjukkan kondisi habitat terus terdegradasi dengan perilaku grafik yang dihasilkan oleh hasil simulasi menunjukkan perilaku pengurangan eksponensial (exponential collapse/diminishing). Berdasarkan hasil simulasi kondisi populasi babi hutan terus menurun sehingga perilaku grafik yang dihasilkan oleh hasil simulasi menunjukkan perilaku peluruhan (decaying). Degradasi habitat berhubungan positif dengan jumlah populasi babi hutan, dimana semakin berkurangnya luas habitat berkorelasi terhadap penurunan jumlah populasi babi. Pada subsistem Panthers pardus Berdasarkan hasil simulasi penurunan luas habitat alami memberikan efek negatif terhadap jumlah populasi Panthera pardus. Grafik hasil simulasi populasi Panthera pardus menunjukkan perilaku peluruhan (decaying), dengan jumlah populasi yang terus menurun. Faktor yang paling mempengaruhi dinamika populasi Panthera pardus adalah kondisi habitat, dimana semakin berkurangnya habitat berkorelasi terhadap penurunan populasi Panthera pardus dan hewan mangsanya. Sehingga untuk upaya pelestarian perlu dilakukan usaha-usaha: Rehabilitasi kawasan; Peningkatan pemberdayaan masyarakat; Pengembangan ekonomi masyarakat dalam kawasan melalui penciptaan lapangan kerja baik formal maupun non formal atau pembangunan industri ramah lingkungan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja; Memasyarakatkan pengetahuan tentang peranan dan manfaat hutan serta isinya terhadap kehidupan, khususnya yang memiliki nilai ekonomi dan ekologi tinggi; Pemberlakuan regulasi yang ketat dan sanksi yang tegas untuk setiap pelanggaran.
2007
T 20488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustrida Maisa
Abstrak :
Telah dilakukan studi habitat konservasi ex-situ berupa penangkaran rusa timor di Universitas Indonesia (UI). Tujuan dari studi ini adalah untuk meneliti habitat rusa timor di UI berupa aspek fisik dan biologi rusa berdasarkan PP. No 7 Tahun 1999 dan PP No. 8 Tahun 1999. Metode yang digunakan adalah metode observasi, kuesioner dan membandingkannya dengan kawasan penangkaran Ranca Upas, Ciwidey. Hasil yang didapatkan adalah kondisi kawasan penangkaran rusa timor di UI belum memenuhi standar kawasan penangkaran. Jumlah populasi seharusnya 1 ha hanya untuk 10 ekor saat ini hidup 36 ekor. Rasio jantan : betina 1:4 di UI terdapat 11:16. Standar kesehatan kawasan belum memadai, tidak aman, tidak nyaman, serta tidak ada tenaga ahli dalam administrasi dan kesehatan. Universitas Indonesia harus memperbaiki fisik habitat dan sistem administrasi pengelolaan dan perlu menunjuk ahli pada bidang konservasi dan kesehatan. Pelaksanaan konservasi ex-situ berupa penangkaran harus memperhatikan ekosistem berupa daya dukung lingkungan, kontrol populasi, asupan makanan, naungan dan tempat kawin. ......Habitat study has been conducted at ex-situ conservation (captive breeding) of timor deer (Cervus timorensis) in Campus Universitas Indonesia (UI). The purpose of this study is to investigate whether timor deer habitat in UI based on physical and biological aspects of standardized deer habitat in captive breeding according to government rules PP. No 7 /1999 and PP No. 8 /1999. The methods used are habitat observation, and questionnaire, then the result is compared to the other timor deer captive breeding area, Ranca Upas, Ciwidey. Based on observations of deer habitat in UI, the physical conditions and maintenance are not qualified as a captive breeding area. The home range area for 1 ha is only for 10 heads, but at UI there are 36 heads; the sex ratio male:female 1:4 but in the UI field 11:16. The UI field is unsafe and uncomfortable, and the animal health standard is low and it has no expert hired for administrative and medical care. Universitas Indonesia should improve the habitat, need experts for administrative work such as labeling, certification, and listing on the book of pedigree (studbook) and tagging, and for genetic diversity preservation. The implementation of the ex-situ conservation must consider the ecosystem, carrying capacity, population control, food supply, shelter, and breeding.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T31333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nestiyanto Hadi
Abstrak :
Penilaian kesehatan Sungai Cibareno telah dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2013. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi Sungai Cibareno dan pengetahuan tradisional masyarakat dalam memanfaatkan ikan. Kategori kondisi Sungai Cibareno diukur menggunakan metrik Index of Biotic Integrity (IBI), sedangkan pengetahuan tradisional masyarakat diukur menggunakan Index of Cultural Significance (ICS). Hasil penelitian diperoleh data mengenai kelimpahan spesies ikan, modifikasi metrik IBI, dan tes silang IBI dengan Sungai Pesanggrahan dan Sungai Aib. Kekayaan spesies ikan yang diperoleh sebanyak 22 spesies dan 11 Famili. Modifikasi metrik IBI yang ditetapkan dengan uji Korelasi Pearson dengan signifikansi α = 0,05 menunjukkan adanya hubungan antar metrik, yaitu metrik herbivor, karnivor, omnivor, penghuni dasaran, kolam air, long-lived species, toleran, intoleran, native, non native, kelimpahan, dan kondisi keabnormalitasan ikan. Total nilai IBI pada tes silang dengan Sungai Pesanggrahan dan Sungai Aib memiliki nilai yang sama, yaitu 46. Kedua total nilai IBI tersebut menununjukkan bahwa Sungai Cibareno masuk ke dalam kategori sungai yang baik. Sedangkan masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Cibareno dapat mengenali 27 spesies ikan. Spesies yang mendapatkan nilai ICS tertinggi adalah Sicyopterus cynocephalus, Sicyopterus macrostatholepis, dan Sicyopterus microcephalus. Nilai ICS masing-masing spesies tersebut sebesar 48. Masyarakat banyak memanfaatkan ikan tersebut sebagai konsumsi sehari-hari, dijual sebagai ikan hias dan larva ikan (impun) sering ditangkap dalam acara “selawenan”. Pada masyarakat pesisir, mereka juga telah memiliki pengetahuan tentang cara memanen ikan yang baik, yaitu dengan adanya pelarangan penggunaan racun dan setrum (electrofishing) untuk menangkap ikan. ......Health assessment of Cibareno River was conducted in August-October 2013. The objective was to obtain information regarding the condition of Cibareno River and traditional knowledge for utilizing fish. Cibareno River’s conditions were measured by Index of Biotic Integrity (IBI), whereas traditional knowledge is measured by Index of Cultural Significance (ICS). The data result were obtained about species richness, IBI metric modification, and IBI cross test with Pesanggrahan River and Aib River. The fish assemblage that was obtained as many as 22 species and 11 family. IBI metric modification that was defined by Pearson correlation test with significance α = 0.05 showed that there was correlation between metrics: herbivor, carnivore, omnivor, benthic species, water column species, long-lived species, tolerant species, intolerant species, native species, non-native species, abundance, and fish condition (disease, fin damage, skeletal anomalies). The IBI total score for cross test with Pesanggrahan River and Aib River has same score, is 46. Both of the total score indicates that Cibareno River is include in the category of a good river. Whereas, people around the Cibareno River recognized 27 species of fish. Species that scored the highest Index of Cultural Significance (ICS) are Sicyopterus cynocephalus, Sicyopterus macrostatholepis, and Sicyopterus microcephalus. The total number of ICS from each species is 48. Many people utilize those fish as daily consumption, ornamental and the larvae (impun) is often captured for the "selawenan" event. For coastal people, they also have the knowledge of how to do a good fish harvesting, which is by banning the use of poison and electrofishing to catch fish.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T38690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulva Soraya
Abstrak :
Sulawesi is the biggest and the most important island in Wallacea. This island has many endemic species including macaques. Seven species of macaques are recognized endemic in Sulawesi. There are Macaca maura, M. tonkeana, M. ochreata, M. brunnescens, M. hecki, M. nigrescens and M. nigra. Compared to the other species of macaques in Sulawesi, M. tonkeana is more secure because its population decline its not as high as the others. But, the increase of human population around macaques habitat and the changing of forest structure and composition are the biggest threat for their lives. Forest destruction and habitat loss also occured in Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Forest clearance for cocoa and coffee plantations are the cases which found more in that area. Besides that, exploitation of timber, especially rattan is the most common human activity. Those cases will jeopardize the population of wildlife including M. tonkeana. Although the extinction risk of M. tonkeana is not readily evident at the moment, the increasing human activities in Lore Lindu National Park may present a serious threat to these endemic species. The main objectives in this study were to estimate the population density of M. tonkeana in two different habitats, and to know the characteristics of the habitat in that study area. The study was conducted in Lindu Land, Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. The two study sites including (1) forest which does not have any land clearance for agriculture but reveices human disturbance such as timber exploitation especially rattan (two transect of 2,5 km and 3 km) and (2) forest which is disturbed by agricultural clearance (two transect of 2,3 km and 3 km). Data collection was carried out from November 2002 to February 2003. To estimate population density of M. tonkeana, replication of forest line transect were walked. These involved slow, quiet walkings, with stop every 100 meter to visually scan the forest and listen for sound. All individuals and groups sigthed were recorded, and measurements of the average visual distance on either side of transect line to provide an estimate of area covered were taken. Vegetation study plots were established to study the composition and structure habitat of M. tonkeana. Twenty seven plots of 20 x 20 m were located in the forest and twenty six in agricultural forest. In each plot, all trees  10 cm diameter-at-breast height (DBH) were identified to species and precisely measured. Sample species were collected and identified at the Herbarium Bogoriense, Bogor. From those data, species and family important value, species diversity and similarity index were calculated. The result indicated that supply of food for M. tonkeana in their habitat had effect on their density. Population density of M. tonkeana in the agricultural forest habitat was higher than in the forest habitat. In forest habitat, the density were 0.97 ± 0.52 groups/km2 and 8.70 ± 7.49 individuals/km2 while agricultural forest had higher estimated population of 1.36 ± 0.31 groups/km2 and 14.09 ± 5.37 individuals/km2. Seven species of figs as keystone source for vertebrates frugivorous were found in agricultural forest with total individuals were twelve. In the forest, five figs were found in total nine individuals. The diversity index for food trees in the agriculture forest habitat (2,4130) was higher than forest habitat (2,0591). Macaques can find more varieties of food in agricultural forest, because there were many agricultural products. The results shows that supply of food and human activities in the habitat of macaques had an influence to the density of macaques. Forest clearance for agricultural made macaques loss their habitat and diversity of foods. Exploitation of timber especially rattan also disturbed the macaques.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2005
T43298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>