Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johannes Salim
Abstrak :
Virus influenza A subtipe H1N1 menjadi perhatian kesehatan global karena memiliki patogenisitas yang tinggi disebabkan gen penyusunnya berupa RNA yang mudah mengalami mutasi. Pengobatan dengan antiviral (oseltamivir dan zanamivir) adalah salah satu upaya untuk mencegah pandemik influenza, namun terjadi resistansi terhadap obat antiviral tersebut. Resistansi ini sudah diatasi dengan penemuan laninamivir. Laninamivir terbukti mampu menginhibisi aktivitas neuraminidase virus influenza A dan B, termasuk subtipe N1 sampai N9 dan virus yang resistan terhadap oseltamivir. Penelitian ini akan dilakukan drug design berbasis laninamivir, hal ini disebabkan laninamivir dapat menghambat kerja neuraminidase secara efektif, sehingga hasil modifikasi dari laninamivir dapat menghambat kerja neuraminidase lebih efektif daripada laninamivir itu sendiri. Proses molecular docking dilakukan untuk mendapatkan 3 ligan terbaik dari 336 ligan modifikasi. Hasil molecular docking menunjukkan bahwa AM3G1, CA3G1 dan F1G2 memiliki energi bebas ikatan dan interaksi yang lebih baik daripada standar. Selanjutnya dari hasil analisis toxicological properties secara keseluruhan ligan AM3G1, CA3G1, dan F1G2 tidak bersifat carcinogen dan mutagen. ......Influenza A virus subtype H1N1 becomes a global concern because it has high pathogenicity, due to the constituent genes of the virus is RNA. Treatment with antiviral (oseltamivir and zanamivir) is the way to prevent pandemic influenza, but influenza virus resistance to antiviral drugs. This resistance has been overcome by laninamivir. Laninamivir proved able to inhibit neuraminidase activity of influenza A and B viruses, including subtypes N1 to N9 and viruses resistant to oseltamivir. This research was conducted to modify laninamivir-based drug design, so that results of modified laninamivir can inhibit neuraminidase more effective than laninamivir itself. Molecular docking was conducted to get 3 best ligand modifications from 336 modifications. Results of molecular docking indicated that AM3G1, CA3G1 and F1G2 have interaction and free binding energy better than standards. Furthermore, the analysis of toxicological properties of the ligand AM3G1, CA3G1, and F1G2 shown that the ligands have noncarcinogen and non-mutagen.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S147
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ramdhan
Abstrak :
Salah satu faktor yang berperan dalam infeksi virus influenza A adalah adanya kecocokan antara Hemagglutinin (HA) dari virus dengan reseptor permukaan sel clari host. Permukaan sel host mengandung gugus terminal sialyl-galactosyl [Sia(oi2-3)Gal] atau [Sia(oi2-6)Gal]. Virus Influenza A yang berasal dari unggas cenderung berikatan clengan Sia(oi2-3)Gal sedangkan yang berasal dari isolat manusia cenderung berikatan dengan Sia(oi2-6)Gal. Hasil Alignment subtipe H1 N1 menunjukan banwa diperlukan mutasi asam amino pada posisi 190 clan 225 menjacli Asam Aspartat pacla Hemagglutinin untuk mengenali reseptor Sia(oi2-6)Gal sedangkan pada subtipe H2N2 dan H3N2 memerlukan mutasi asam amino pada posisi 226 dan 228 menjadi Leusin dan Serin. Berdasarkan analisis mutasi terhadap HA subtipe H1 N1, H2N2, clan H3N2 yang telah menjadi pandemik, dapat diperkirakan banwa Hernagg/utinnin subtipe H5N1 memerlukan mutasi pada posisi 190 dan 225 menjadi Asam Aspartat pada HA untuk mengenali reseptor Sia(oi2-6)Gal. Kemungkinan lain adalah memerlukan mutasi asam amino pada posisi 226 dan 228 menjacli Leusin dan Serin. Metode simulasi molecular docking mampu membentuk kompleks antara Hemagglutinin dengan Reseptor Sia(oi2-6)Gal dan Sia(oi2-3)Gal. Berdasarkan nasil kompleks yang terbentuk metode simulasi molecular docking berhasil mengidentifikasi spesifitas Hemagglutinin terhadap Sia(oi2-3)Gal atau Sia(oi2-6)Gal
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S30488
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Latar belakang: Adanya kasus-kasus tersangka H5N1 dengan manifestasi klinis berat namun negatif virus H5N1 menyebabkan perlunya investigasi adanya etiologi lain pada pasien-pasien tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui patogen saluran pernafasan lain pada pasien tersangka H5N1 sehingga diperoleh data mikroorganisme penyebab ISPA berat. Metode: Penelitian ini menggunakan bahan biologi tersimpan (BBT) berupa sampel klinis (apus hidung atau tenggorok, tracheal aspirate dan bronchoalveolar lavage) dari pasien tersangka H5N1 yang telah terkonfirmasi negatif virus H5N1. Dilakukan pemeriksaan terhadap 16 virus dan 8 bakteri menggunakan Multiplex PCR serta Real Time PCR pada BBT dari 230 kasus tersangka H5N1 yang dirawat. BBT tersebut diterima Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada Juli 2008 hingga Juni 2009. Hasil: Dari 230 kasus tersangka H5N1, Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang paling dominan ditemukan pada anak-anak dan dewasa. Virus influenza A (non H5N1) merupakan virus penyebab yang umum ditemukan pada anak-anak sedangkan pada orang dewasa gambaran etiologi oleh virus cukup bervariasi dengan ditemukannya virus influenza A (non H5), Enterovirus, HRV A/B, Coronavirus 229E/NL63 dengan presentase yang rendah. Infeksi campuran oleh bakteri Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae and Haemophillus influenzae umumnya ditemukan pada anak-anak sedangkan Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae merupakan infeksi campuran yang dominan pada dewasa. Virus influenza A and Klebsiella pneumoniae merupakan penyebab utama infeksi campuran oleh bakteri dan virus yang ditemukan pada anak-anak. Kesimpulan: Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, bakteri merupakan penyebab ISPA terbanyak pada anak-anak maupun dewasa, walaupun juga ditemukan infeksi yang disebabkan oleh virus-virus yang umum menyerang saluran pernafasan. Infeksi campuran oleh bakteri dan virus juga ditemukan baik pada anak-anak maupun dewasa.
Abstract
Background: Since a lot of suspected H5N1 cases with severe ARI manifestation were hospitalized and negative for H5N1, it raised a concern to investigate the other etiologies among hospitalized-suspected H5N1 cases. The aim of present study is to investigate the other respiratory pathogens of hospitalized-suspected H5N1 cases in which will provide valuable insight in the etiologies and epidemiology data of ARI. Methods: We tested the archived respiratory clinical specimens (nasal or throat swab, tracheal aspirate and bronchoalveolar lavage) that were already confirmed as negative H5N1 for 16 viruses and 8 bacteria existence by Multiplex PCR and Real-Time PCR from 230 hospitalized-suspected H5N1 cases received in July 2008 to June 2009. Results: Of the 230 hospitalized-suspected H5N1 cases, Klebsiella pneumoniae was the most dominant bacterial pathogen in children and adult. Moreover, the common viral pathogens in children was influenza A (non H5), while it was varied in adults as influenza A (non H5), Enterovirus, HRV A/B, Coronavirus 229E/NL63 were found very low. Bacterial mix infection of Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae and Haemophillus influenzae mainly occurred in children while co-infections of Klebsiella pneumoniae and Streptococcus pneumoniae were frequently found in adults. In addition, the major bacterial-viral mix infection found among children was influenza A and Klebsiella pneumoniae. Conclusion: From all of the samples tested, bacterial infections remain the most common etiologies of ARI in adults and children although there were infections caused by viruses. Mix infection of bacterial and viral also found among adults and children.
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, National Institute of Health Research and Development, Jakarta. Center of Biomedical and Basic Technology of Health], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Harganingtyas
Abstrak :
Pada tahun 2009, flu babi kembali menyerang berbagai negara di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah virus influenza A H1N1 sebagai pandemi global pada 11 Juni 2009. Setidaknya ada sekitar 18.449 orang di seluruh dunia yang meninggal akibat serangan virus ini. Kemudian pada tanggal 10 Agustus 2010 Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengumumkan pandemi flu babi di dunia telah berakhir dan berganti menjadi fase post pandemic Fase post pandemic ini fase paling tepat untuk menemukan antiviral yang dapat mengatasi infeksi virus ini. Salah satu antiviral yang telah ada yaitu amantadine dan rimantadine dilaporkan telah mengalami resistansi. Oleh karena itu perlu ditemukan antiviral baru untuk menggantikan amantadine dan rimantadine sebagai inhibitor protein M2 channel virus influenza A H1N1. Belakangan dilaporkan bahwa senyawa (1R,2R,3R,5S)-(-)-isopinocampheylamine memiliki kemampuan untuk menginhibisi protein M2 channel virus influenza A H1N1. Pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi (1R,2R,3R,5S)-(-)-isopinocampheylamine secara in silico untuk mendapatkan inhibitor yang lebih baik. Terhadap protein M2 channel, dilakukan docking dengan tiga inhibitor standar dan 52 inhibitor modifikasi, serta dilakukan drug scan terhadap modifikasi inhibitor. Hasil docking didapatkan 3 inhibitor modifikasi terbaik yang mempunyai afinitas ikatan dan potensi inhibisi yang lebih baik dibanding ligan standar. Berdasarkan analisa drug scan, inhibitor modifikasi mempunyai sifat farmakologi yang baik, ditunjukkan oleh nilai drug likeness, drug score, bioavailabilitas oral, dan toksisitas. ......In 2009, swine flu attacked various countries in the world. World Organization (WHO) set a pandemic of influenza A H1N1 virus as a global pandemic on June 11, 2009. At least there are approximately 18,449 people worldwide who die from this virus attack. Then on August 10, 2010 World Health Organization (WHO) officially announced the swine flu pandemic in the world has ended and changed into post-pandemic phase. Post-pandemic phase is the most appropriate phase to find antiviral that can overcome the infection with this virus. One of the existing antivirals amantadine and rimantadine are reported to have experienced resistance. Therefore it is necessary to find new antiviral to replace amantadine and rimantadine as the M2 channel protein inhibitor of influenza A H1N1 virus. Later it was reported that compound (1R, 2R, 3R, 5S )-(-)- isopinocampheylamine have the ability to inhibit channel M2 protein of influenza A H1N1 virus. This research will be modified (1R, 2R, 3R, 5S )-(-)-isopinocampheylamine in silico to obtain better inhibitors. Against the M2 protein channel, performed three inhibitor docking with standard and 52 inhibitors modifications, and also done a drug scan for modifications inhibitor. Docking results obtained three best binding affinity of modifications inhibitor and its potency of inhibition is much better than standard ligands. Based on drug analysis scan, the inhibitor of modification has a good pharmacological properties, indicated by the value of drug-likeness, drug score, oral bioavailability, and toxicity.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S49
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Imaniastuti
Abstrak :
Resistensi oseltamivir sebagai inhibitor neuraminidase virus influenza A subtype H1N1 telah dilaporkan oleh Cheng, et al pada tahun 2009. Sebagai salah satu upaya mengatasi pemasalahan ini, beberapa penelitian yang menggunakan metode simulasi molecular docking telah dilakukan untuk merancang dan menemukan ligan peptide siklis yang dapat berperan sebagai inhibitor potensial neuraminidase H1N1 sehingga dapat menghambat replikasi virus tersebut. Pada penelitian ini dipelajari dan dievaluasi interaksi ligan terhadap enzim dalam keadaan terhidrasi dengan menggunakan metode simulasi dinamika molekul pada temperatur yang berbeda. Simulasi dilakukan terhadap tiga inhibitor peptida siklis disulfida yaitu DNY, LRL, NNY dan oseltamivir, zanamivir sebagai ligan standar. Hasil penelitian menunjukkan pergerakan dinamis yang dimiliki oleh kelima kompleks enzim-ligan dalam keadaan terhidrasi mempengaruhi interaksi ligan terhadap residu asam amino enzim. Pada akhir simulasi temperatur 300 K, ligan DNY memiliki interaksi dengan sisi katalitik enzim Asp 151, Arg 293, ligan LRL dengan Arg 118, Arg 293, ligan NNY dengan Asp 151, Glu 425 dan Arg 293. Pada temperatur 312 K, ligan DNY tidak memiliki interaksi dengan sisi katalitik enzim. Ligan LRL memiliki interaksi dengan sisi katalitik enzim Asp 151, Glu 425, Tyr 402, ligan NNY dengan Asp 151, Glu 278 dan Arg 293. Konformasi yang terlihat berbeda pada enzim memperlihatkan perilaku dinamis enzim dalam pelarut dan adanya pengaruh kehadiran inhibitor. Konformasi yang berubah akibat perilaku dinamis kompleks enzim-ligan juga dapat terlihat dalam plot kurva RMSD. ......Resistence of oseltamivir as an inhibitor of neuraminidase influenza A virus subtype H1N1 has been reported by Cheng, et al in 2009. To solve this problem, several researchs by molecular docking method have been conducted to design and discover disulfide cyclic peptide ligand which become potential inhibitors for neuraminidase H1N1 to inhibit the replication of this virus. This research was studied and evaluated the interaction of ligands toward enzyme in the hydrated state using molecular dynamics simulation at two different temperatures. Simulations performed on three disulfide cyclic peptide inhibitors namely DNY, LRL, NNT along with oseltamivir, zanamivir as a standard ligand. The result provided that dynamic movement of five proposed ligand in the hydrate state affecting ligand interaction of the enzyme amino acid residues. In the end of simulation, two of three disulfide cyclic peptide inhibitors have good interaction with catalytic site of the enzyme. At the end of simulation temperature of 300 K, DNY formed hydrogen bond with catalytic site Asp 151, Arg 293, LRL with Arg 118, Arg 293, NNY with Asp 151, Glu 425 and Arg 293. Then at the end of simulation temperature of 312 K, DNY could not form hydrogen bond with catalytic site of enzyme. LRL formed hydrogen bond with Asp 151, Glu 425, Tyr 402, NNY with Asp 151, Glu 278, and Arg 293. Different conformations of enzymes which occur during simulation showed the dynamic behaviour of the enzyme in the presence of solvent and inhibitor. The changing of enzymes conformation as the result of dynamic behaviour of the enzyme in the presence of solvent and inhibitor also could be seen in RMSD curve.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S105
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Trisna Vidia Putri
Abstrak :
Avian flu dan swine flu merupakan penyakit pernapasan menular yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang hidung, tenggorokan, bronkus, dan terkadang paru-paru. Infeksi yang disebabkan mulai dari penyakit ringan, berat, dan bahkan kematian. Peristiwa genetic reassortment dapat membentuk suatu virus baru yang merupakan gabungan kemampuan dari virus avian flu dan swine flu yang disebut mutant-type flu. Pengobatan dengan obat antiviral digunakan untuk proses penyembuhan ketiga penyakit tersebut. Untuk mengetahui model penyebaran penyakit tersebut, digunakan model epidemi SIR beserta analisa titik keseimbangan, kestabilan, dan basic reproduction number R0 dengan metode pendekatan Next Generation Matrix NGM. Pendekatan pada model menggunakan model deterministik dengan sistem persamaan diferensial berdimensi tujuh. Kajian analitik dan numerik digunakan untuk interpretasi pada hasil yang diberikan oleh model. Dari hasil kajian tersebut, diperoleh 3 nilai basic reproduction number yang menjadi faktor penentu bertahannya penyakit avian flu dan swine flu di lingkungan. ......Avian flu and swine flu are respiratory infectious diseases caused by influenza viruses that attack the nose, throat, bronchus, and sometimes the lungs. Infections caused from mild, severe, and even death. The genetic reassortment can produce a new virus that is a combination of avian flu and swine flu viruses called mutant type flu. Treatment with antiviral drugs is used for the healing process of these diseases. To find out the model of the spread disease, SIR epidemic model used with the analysis of the equilibrium point, stability, and basic reproduction number R0 with the Next Generatin Matrix NGM approach. The model approach uses a deterministic model with a seven dimensional differential equation system. Analytic and numerical studies are used for the interpretation of the results provided by the model. From the result of the study, we get 3 values of basic reproduction number which becomes the determinant factor for the survival of avian flu and swine flu diseases in the environtment.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Hutami
Abstrak :
ABSTRAK
Antibodi poliklonal matriks 1 Virus Influenza A H1N1 dapat dimanfaatkan untuk pendeteksian antigen matriks 1 dalam pengembangan sistem diagnostik maupun pengembangan vaksin virus influenza A. Antibodi poliklonal antara lain dapat diperoleh dengan imunisasi kelinci menggunakan antigen rekombinan M1. Protein rekombinan M1 yang digunakan sebagai antigen diekspresikan pada EscherichiacoliBL21 dan dipurifikasi menggunakan resin Ni¬NTA, kemudian digunakan dalam imunisasi 1 ekor kelinci betina, Oryctalogouscuniculus,galur NewZealandWhite. Respon antibodi spesifik M1 diuji dengan ELISA dan westernblot. Hasil uji ELISA yang dinilai pada panjang gelombang 450 nm, menunjukkan titer antibodi yang tinggi pada serum paska imunisasi terhadap antigen M1 rekombinan (0,544) dibandingkan dengan serum pra imunisasi (0,102).Hasil uji westernblotmenunjukkan adanya reaktivitas serum kelinci paska imunisasi dengan pita protein berukuran ~27 kDa, yang diartikan sebagai adanya respon antibodi spesifik terhadap antigen M1, sedangkan serum kelinci pra imunisasi tidak memperlihatkan reaksi dengan pita protein berukuran 27 kDa tersebut. Terlihat pula adanya reaksi non spesifik yang relatif lemah terhadap pita protein lainnya, baik pada serum paska imunisasi maupun pra imunisasi yang menunjukkan adanya residu protein EscherichiacoliBL21 pada sediaan antigen M1 hasil purifikasi. Antibodi poliklonal yang diperoleh dapat digunakan untuk mendeteksi antigen M1 baik untuk pengembangan uji diagnostik maupun vaksin influenza A H1N1.
ABSTRACT
Polyclonal antibody against influenza A H1N1 matrix 1 protein can be utilized for detection of matrix 1 antigen in the development of Influenza A diagnostic system and vaccine. Polyclonal antibody can be obtained by rabbit immunization using M1 recombinant antigen. M1 recombinant proteins that will be used as antigen was expressed in EscherichiacoliBL21 and purified using Ni-NTA resin. This recombinant antigen was used for immunization of female rabbit, Oryctalogouscuniculus,NewZealandWhitestrain. M1-specific antibody responses were tested by ELISA and westernblot. ELISA test results at a wavelength of 450 nm, showed a high antibody titer in the post-immunization serum against the recombinant antigen M1 (0,544) compared with the preimmunization serum (0,102). Westernblottest results showed reactivity of post-immunized serum against a band of ~ 27 kDa protein, which indicate the presence of specific antibody response against M1 antigen, whereas preimmunization rabbit serum showed no reaction with the 27 kDa protein band. The existence of non-specific reactions that are relatively weak against other protein bands was also observed , both in the post-immunization and pre-immunization sera, indicating the presence of residual E.coliprotein in the purified M1 antigen preparation. The Polyclonal antibody obtained in this study can be used to detect M1 antigen, for development of H1N1 Influenza A diagnostic test and vaccine.
Universitas Indonesia, 2011
S672
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library