Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chanif Nurcholis
Abstrak :
Pada 1969 pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan nasional secara bertahap yang dikenal dengan program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pemerintah menyadari bahwa hampir 70 persen penduduk Indonesia tinggal di Desa. Oleh karena itu, pemerintah sejak Pelita I menaruh perhatian yang besar terhadap Desa. Mulai Pelita I pemerintah memberi subsidi lewat Inpres Pembangunan Desa dan bantuan program lintas sektoral yang dilaksanakan oleh instansi vertikal. Kemudian pada awal Pelita III pemerintah menata susunan organisasi pemerintahan desa dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui subsidi dan bantuan program pemerintah pusat berharap Desa mampu menggerakkan roda pembangunan dan langsung menangani permasalahan sektoral yang dihadapi warga desa. Selanjutnya melalui pengaturan susunan organisasi pemerintahan pemerintah pusat berharap Desa mampu menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan serta memberi pelayanan secara efektif. Semua langkah tersebut bertujuan agar warga Desa sebagai bagian terbesar dari penduduk Indonesia dapat meningkat kesejahteraannya. Setelah berjalan kurang lebih 20 tahun kebijakan pemerintah pusat terhadap Desa khususnya penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 dikritik banyak pihak karena ternyata berdampak pada birokratisasi pemerintahan desa dan pudarnya "otonomi desa" sehingga melahirkan pemerintahan desa yang birokratis. Akibatnya adalah tak dapat berkembangnya potensi dan kreativitas masyarakat desa. Hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah pusat tersebut justru merusak lembaga desa asli atau rumah tangga desa yang berhak diselenggarkan oleh desa yang bersangkutan. Berdasarkan asumsi tersebut, perlu diteliti lebih serius sejauh mana dampak kebijakan pemerintah pusat terhadap rumah tangga desa tersebut. Dengan mengetahui dampak kebijakan pemerintah pusat tersebut maka kebijakan yang kurang sempurna bisa diperbaiki dan disempurnakan. Penelitian ini memfokuskan pada dampak kebijakan pemerintah pusat khususnya dampak penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa terhadap rumah tangga desa. Hakekat rumah tangga desa adalah semua urusan yang menjadi tanggung jawab masyarakat desa sendiri untuk mengatur dan mengurusnya yang inheren sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat). Dengan demikian, aktualisasi dari rumah tangga desa ditentukan oleh masyarakat sendiri. Namun karena desa juga berkedudukan sebagai satuan pemerintahan terendah dalam struktur pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka regulasi dari supra struktur yang berupa kebijakan publik tak bisa dihindari. Adanya kebijakan pemerintah pusat terhadap desa berupa regulasi pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 jelas akan berdampak pada perikehidupan masyarakat desa baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Penelitian ini mengambil Kabupaten Demak sebagai daerah penelitian. Kabupaten Demak dipilih dengan pertimbangan (1) daerah ini sebagai salah satu daerah tertinggal di Jawa Tengah, (2) daerah ini masih mempunyai komponen-komponen kerumah tanggaan desa relatif lengkap, dan (3) daerah ini diapit oleh dua kota besar yaitu Semarang dan Kudus yang mengimbaskan budaya rasionalnya sehingga pertemuan antara pemenuhan lembaga (institution) yang bersifat tradisional dan pemenuhan organisasi (organization) yang bersifat modern bisa diamati dengan jelas. Kabupaten Demak terdiri atas 241 Desa. Karena itu, populasi dari penelitian ini adalah 241 Desa. Dilihat dari karakteristiknya ke-241 Desa tersebut bisa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: Desa persawahan, Desa nelayan, dan Desa campuran. Berdasarkan karakteristik tersebut populasi dikelompokkan menjadi (1) Desa persawahan, (2) Desa nelayan, dan (3) Desa campuran. Dari setiap kelompok diambil satu desa sebagai sampel dengan teknik purposive. Sampel dianggap representatif karena kondisi populasi untuk setiap kelompok hampir sempurna homogenitasnya dilihat dari penyelenggaraan rumah tangga desa yang bersangkutan. Data awal dikumpulkan melalui telaah pustaka khususnya pustaka dan dokumen yang berkaitan dengan kebijakan publik (mengenai desa) dan sejarah perkembangan pemerintahan dan masyarakat desa sejak zaman Belanda sampai sekarang. Selanjutnya dilakukan pengambilan data primer dan sekunder. Data primer dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap key informan dan informan biasa. Data sekunder dikumpulkan melalui dokumentasi Desa dan kepustakaan. Setelah diklasifikikasikan sesuai dengan kelompok variabel-variabelnya, data kemudian dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Data kuantitif digunakan untuk memperjelas analisis kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan pemerintah pusat terhadap desa membawa perubahan yang mendasar pada lembaga rumah tangga desa yang pada gilirannya merubah sistem sosial masyarakat desa. Sistem pemerintahan Desa berubah dari sistem pemerintahan yang fungsional terhadap pelayanan masyarakat menjadi sistem pemerintahan yang birokratis. Sistem peradilan desa menjadi hilang. Gotong royong sebagai jiwa dan instrumen kohesivitas masyarakat hilang. Lembaga pologoro yang sebenarnya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman malah dipertahankan oleh Pemerintah Desa dengan motif kepentingan ekonomi pengurus desa. Upacara adat hilang dan yang masih berjalan makin tidak signifikan dengan fungsi pemerintahan desa. Terakhir sistem sosial masyarakat Desa berubah dari sistem sosial yang bersifat guyub (gemeinschaft) menjadi sistem sosial yang mengarah pada perilaku individualistis. Atas dasar temuan penelitian tersebut disampaikan rekomendasi sebagai berikut: (1) lembaga desa perlu ditata kembali sesuai dengan kehendak, kebutuhan, kepentingan, pola pikir, dan budaya masyarakat desa, (2) lembaga desa perlu disusun atas dasar pandangan bahwa masyarakat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai lembaga sosial yang masih berjalan dan dipertahankan, (3) bentuk kelembagaan Desa tidak perlu diseragamkan tapi diserahkan pada masyarakat desa sendiri untuk menentukan sesuai dengan adat yang berlaku di masing-masing daerah, (4) Pemerintahan Desa didesain sebagai pendorong dinamika dan pemberdaya masyarakat serta memberi ruang partisipasi yang seimbang antara masyarakat dan pemerintah desa, dan (5) dalam pembuatan struktur Pemerintahan Desa baru bisa dipertimbangkan dengan merevitalisasi struktur lama (adat) dengan isi dan jiwa baru yang rasional, demokratis, dan modern.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T5020
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Adriatni Kappiantari
Abstrak :
Studi mengenai upah minimum di Indonesia sejauh penulis amati, dilakukan dalam perspektif ekonomi. Padahal buruh sebagai individu merupakan bagian dari masyarakat dengan berbagai dimensi sosialnya, temiasuk sebagai warga negara yang memiliki hak untuk hidup layak. Upaya untuk membebaskan buruh dari kemiskinan absolut merupakan bagian penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan penduduk di Indonesia. Upah minimum diduga berpengaruh terhadap upah rata-rata serta kemiskinan penduduk, yang diteliti melalui indikator konsumsi kalori dan tingkat kemiskinan penduduk. Tujuan pertama dari studi ini bertujuan untuk meneliti pengaruh upah minimum terhadap upah rata-rata dan tingkat kemiskinan penduduk. Sedangkan tujuan kedua adalah melakukan kajian terhadap faktor-faktor di luar faktor upah minimum yang berpotensi mempengaruhi tingkat kesejahteraan buruh. Dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPS pada tahun 1996 dan 1999, bagian pertama dari studi ini menggunakan analisa statistik dengan metode regresi untuk meneliti pengaruh antara upah minimum dengan upah rata-rata dan tingkat kemiskinan. Hipotesa penelitian pertama yang diuji adalah semakin tinggi upah minimum, semakin tinggi upah rata-rata. Sedangkan hipotesis kedua adalah semakin tinggi upah minimum, semakin rendah peningkatan tingkat kemiskinan. Daiam hipotesis kedua, variabel upah minimum sebagai variabel terikat dikonversikan menjadi upah minimum riil dengan memasukkan faktor Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk menghilangkan pengaruh faktor inflasi. Dengan menggunakan pendekatan kemiskinan absolut, variabel tingkat kemiskinan sebagai variabel bebas dijabarkan melalui indikator penurunan konsumsi kalori dan peningkatan tingkat kemiskinan. Hasil pengolahan data menunjukkan adanya pengaruh upah minimum yang signifikan terhadap upah rata-rata dan tingkat kemiskinan. Semakin tinggi upah minimum, semakin tinggi pula upah rata-rata suatu daerah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan upah minimum di suatu daerah akan berdampak terhadap peningkatan upah rata-rata buruh di daerah tersebut. Semliki tinggi peningkatan upah minimum rill, semakin rendah peningkatan tingkat kemiskinan di suatu daerah. Dalam periode krisis tahun 1996 sampai dengan 1999, upah minimum telah menjalankan fungsinya untuk melindungi buruh pada khususnya, dan penduduk pada umumnya, agar tidak jatuh pada tingkat kemiskinan yang lebih parah. Terdapat tiga implikasi teoritik dari hasil penelitian tersebut. Pertama, pengaruh negatif peningkatan upah minimum terhadap peningkatan tingkat kemiskinan tersebut mendukung konsep Webster mengenai pentingnya indikator pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan absolut. Kedua, Konsep KHM (Kondisi Hidup Minimum) yang mendasari perhitungan upah minimum merupakan kebijakan yang sejalan dengan strategi pembangunan berdasarkan kebutuhan dasar dari Webster, meski dalam implementasinya justru menunjukkan pola redistribusi vertikal sumber-sumber yang terbalik, yakni dari buruh terhadap pengusaha. Ketiga, kebijakan penentuan upah minimum didasarkan pada konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang menekankan pada relasi yang harmoni dan tidak mengakui adanya realitas konflik seperti dikemukakan Vedi B. Hadiz. Dalam kebijakan penentuan upah minimum, harus ditentukan kriteria yang jelas. Kriteria utama yang harus dipenuhi adalah perkembangan IHK (Indeks Harga Konsumen) dan KHM buruh berdasarkan statusnya, yakni buruh laki-laki lajang, buruh perempuan lajang, buruh laki-laki berkeluarga, utau buruh perempuan berkeluarga. KHM harus dapat memenuhi kebutuhan kalori buruh dan keluarganya ditambah komponen-komponen lain di luar makanan. Besarnya koefisien determinasi yang kurang dari 0,20 pada analisis di bagian pertama studi ini menunjukkan bahwa kurang dari 20 persen variabel kesejahteraan yang dapat dijelaskan oleh variabel upah minimum rill. Oleh karena itu, bagian kedua dari studi ini melakukan kajian terhadap faktor-faktor di luar faktor upah minimum. Bahasan ini melihat buruh tidak hanya dalam suatu hubungan industrial dengan pengusaha, melainkan juga kedudukannya sebagai warga negara yang berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Dalam kerangka penanggulangan kemiskinan absolut, negara harus ikut menjamin dan memenuhi kebutuhan minimum buruh serta berupaya membebaskan buruh dari kemiskinan, dan tidak membebankan sepenuhnya kepada pengusaha molalui penentuan upah minimum. Kebijakan upah minimum harus diintegrasikan dengan kebijakan lain agar upaya peningkatan kesejahteraan buruh dapat lebih efektif. Kewajiban negara ini dapat dilakukan diantaranya melalui penyediaan akses terhadap pelayanan publik (seperti perumahan, pelayanan kesehatan, tranportasi, pendidikan untuk anak), subsidi dan pengelolaan jaminan sosial bagi buruh, penegakan hukum dalam masalah jaminan sosial, insentif pajak bagi perusahaan yang memberikan opsi kepemilikan saham, serta upaya peningkatan kesejahteraan buruh secara lokal dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T3526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hananto Andriantoro
Abstrak :
RSJPDHK adalah RS pemerintah di bawah Kementerian Kesehatan yang ditetapkan sebagai rumah sakit BLU (Badan Layanan Umum) Kementerian Kesehatan yang telah melaksanakan remunerasi sejak tahun 2008. Implementasi kebijakan remunerasi di RSJPDHK ditetapkan melalui keluarnya KMK 165 tahun 2008. Pada tahun 2011 yang mengatur sistem tunjangan kinerja. Tujuannya adalah melaksanakan reformasi birokrasi maka perlu diberikan tunjangan kinerja. Tujuan penelitian ini yaitu melakukan kajian terhadap sistem remunerasi berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 165 Tahun 2008 yang telah diterapkan di RSJPDHK dan sistem remunerasi berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 63 Tahun 2011 yang akan diterapkan di Instansi Pemerintah. Penelitian ini melakukan analisis kesenjangan antara sistem remunerasi RSJPDHK berdasarkan KMK nomor 165 tahun 2008 dengan Permen PAN nomor 63 tahun 2011. Dari hasil FGD dengan para dokter spesiaslis jantung RSJPDHK dan wawancara mendalam para informan bahwa KMK nomor 165 tahun 2008 dasarnya adalah PP 23 tahun 2005 tentang BLU sedangkan Permen PAN nomor 63 tahun 2011 tidak berdasarkan PP 23 tahun 2005 tentang BLU. Sehingga Permen PAN nomor 63 tahun 2011 dapat dipergunakan pada tatanan birokrasi dan tidak bisa dipergunakan untuk RS BLU. Keadaan tersebut akan berdampak terjadinya kesenjangan pada segala aplikasi pelaksanaan sistem remunerasi pada RS BLU. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu penerapan KMK nomor 165 tahun 2008 di RSJPDHK sudah tepat. Permen PAN nomor 63 tahun 2011tepat apabila diterapkan di institusi dengan tatanan birokrat. Saran yang diberikan yaitu melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan sistem remunerasi yang berjalan di RSJPDHK berdasarkan KMK No. 165 Tahun 2008 sebagai upaya penyempurnaan. Permen Pan No. 63 tahun 2011 harus dilengkapi dengan peraturan yang sesuai jika akan dilaksanakan pada institusi BLU. ...... National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) is a public hospital which structurally located under Ministry of Health and defined as a Public Service Board. The Ministry of Health has been implemented the remuneration system since 2008. The implementation of these policies in NCCHK are set through a decree of the Minister of Finance No.165 in 2008. In 2011, the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform published a decree No.63 to regulate the performance allowance. The aim is, to implement a bureaucratic reform, it is necessary to give the performance allowance. To review the remuneration system based on a decree of the Minister of Finance No.165, 2008 which has been applied in NCCHK and the remuneration system based on a decree of the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No.63, 2011 which will be applied in governmental bodies. Perform a gap analysis between the remuneration system based on a decree of the Minister of Finance No.165, 2008 and a decree of the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No.63, 2011. From the results of the focused group discussions with NCCHK cardiologists and in-depth interview with informants, it was conclude that a decree of the Minister of Finance No.165, 2008 is essentially based on a Government Ordinance No.23, 2005 about Public Service Board. However, a decree of the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No.63, 201 was not based on this Government Ordinance so that it cannot be used in a hospital that become a Public Service Board. This situation will end with the occurrence of gaps in the implementation of any applied system in the public-service-board hospital remuneration. Conclusion. The application of the decree of the Minister of Finance No.165,2008 is appropriate for public-service-board hospitals. The decree of the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No.63, 2011 is applicable when it is applied in institutions with bureaucratic order. Suggestion. To monitor and evaluate the implementation of the remuneration system that running on NCCHK based on a decree of the Minister of Finance No.165, 2008 as efforts to improve. The decree of the Minister of Administrative and Bureaucratic Reform No.63, 2011 should be equipped with appropriate regulations if it would be implemented on public-service-board institutions.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35371
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leni Karyati
Abstrak :
Indonesia, sebagai salah satu Negara berkembang, telah menerapkan peraturan upah minimum sejak 1980an. Upah minimum merupakan basis penting dalam kebijakan pasar ketenagakerjaan; dan fakta ini telah didukung oleh beberapa ahli ekonomi. Beberapa penelitian tentang hubungan antara upah minimum dan sektor informal cukup langka dan hampir semuanya adalah penelitian pada level nasional dan provinsi, sementara penelitian ini adalah penelitian pada tingkat kabupaten/kota yang berada di lingkup provinsi Jawa Barat, yang bertujuan untuk meneliti pengaruh kenaikan upah minimum tenaga kerja pada sektor formal dan sektor informal, serta pengaruhnya diantara sektor ekonomi pada periode 2001-2012, yaitu periode dimana desentralisasi telah diterapkan di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi sektor ekonomi mana yang lebih diuntungkan atau lebih dirugikan karena adanya kenaikan upah minimum, yang mana hal ini akan memudahkan kita untuk melihat pengaruh yang bervariasi antara kabupaten/kota. Dengan demikian, kita dapat mengetahui pengaruh positif dan negative dari kenaikan upah minimum pada area tertentu. Sehingga, hal tersebut bisa mempermudah untuk mengevaluasi suatu kebijakan yang mungkin akan lebih tepat untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Penelitian ini menggunakan metode efek tetap (fixed effect) untuk menganalisa pengaruh kenaikan upah minimum pada ketenagakerjaan. Adapun data panel yang Sakernas (Survey Angkatan Kerja Nasional), Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional), dan Suseda (Survey Ekonomi Daerah) dari Badan Pusat Statistik untuk lingkup Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini juga berdasarkan pada data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan data upah minimum dari Buku Profil Jawa Barat yang juga dipublikasikan oleh BPS. Data-data tersebut tersusun atas data dari 22 kabupaten dan kota di Jawa Barat pada periode 2001-2012. ...... Indonesia, as a developing country, has enacted minimum wage regulation since 1980s. The minimum wage has been an important base of labour market policy in Indonesia; a fact has been supported by some leading economists. Studies finding a relationship between the minimum wage and the informal sector are quite scarce, and as those province level observations have almost entirely been conducted at the national scope, this study, through a local city/regency level approach analysis focusing on the Jawa Barat province, examines the effect of increasing the minimum wage on employment both in the formal and the informal sectors as well as across economic sectors over the 2001-2012 periods, which is after decentralization applied in Indonesia. Moreover, this study also proposes to identify which economic sectors would be more likely to benefit or suffer due to increasing the minimum wage, which enables us to see the various effects among cities/regencies in Jawa Barat province. In doing so, we can know the positive and negative effects of increasing minimum wage in this area. Therefore, it will be easier to evaluate some policy that will be more appropriate for this province. This study utilizes the OLS fixed effect method to analyse employment that are affected by increasing minimum wage. The panel data set that I used is based on secondary data from the National Labour Force Survey, the National Socio-economic Survey (Susenas), and Regional Sosio Economic Survey (Suseda) all conducted by the BPS. Moreover, I sourced GDRP, CPI data, and minimum wage data from the Jawa Barat Profile (Profil Jawa Barat) book and GDRP (Produk Domestik Regional Bruto, PDRB) publications available at BPS. The data are constructed from 22 cities and regencies in Jawa Barat province in 2001 until 2012.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Wasono
Abstrak :
Tesis ini berupaya melihat persepsi masyarakat sebagai penerima manfaat dari kebijakan publik terutama berkaitan dengan program-program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Karangasem, Bali. Program-program penanggulangan kemiskinan yang dinilai adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Subsidi Raskin. Dalam melihat persepsi masyarakat ini, metode yang digunakan yakni survei menggunakan kartu penilaian warga atau sering dikenal dengan citizen report card (CRC). Selain berguna untuk menilai tingkat kepuasan masyarakat, CRC juga berguna sebagai alat evaluasi partisipatif yang memungkinkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam evaluasi program dan/atau kebijakan. Hasil Penelitian ini berguna untuk pengambilan kebijakan terkait dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang dinilai terutama untuk melakukan peningkatan layanan kepada masyarakat sebagaimana hasil survei.
This thesis attempts to see the beneficiaries? perception of public policies, especially related to poverty reduction programs in Karangasem Regency, Bali. Poverty reduction programs assessed were the Conditional Cash Transfer Program (CCT) or better known as the Program Keluarga Harapan (PKH) and rice subsidy for the poor families program (Raskin Program). In looking at the people's perception, the survei method used in this survei was Citizen Report Card (CRC). Besides useful to assess the level of community satisfaction, CRC is also useful as a participatory evaluation tool that allows direct publik involvement in the evaluation of programs and / or policies. The results of this study are useful for policy making related to poverty reduction programs to make improvements to the community services.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Aji Bandoro
Abstrak :
ABSTRAK
Sejak diperkenalkan pada tahun 2010 secara internasional oleh UNDP, Indeks Kemiskinan Multidimensional dipandang sebagai alat ukur kemiskinan yang dapat menjadi pelengkap alat ukur kemiskinan moneter yang berbasis kebutuhan dasar manusia, yang secara umum dipergunakan di berbagai negara. Berbagai penelitian telah menunjukkan pengaruh positif belanja pemerintah dalam menurunkan kemiskinan moneter, penelitian ini dimaksudkan untuk melengkapi penelitian terdahulu dengan memberikan gambaran pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap kemiskinan kapabilitas yang diukur melalui indeks kemiskinan multi dimensional. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi belanja pemerintah daerah untuk urusan layanan dasar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia periode 2010-2015. Hasil penelitian menunjukkan belanja pemerintah pada fungsi kesehatan dan fungsi sosial memberikan pengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat kemiskinan kapabilitas di kabupaten/kota di indonesia.
ABSTRACT
Since its introduction in 2010 internationally by UNDP, the Multidimensional Poverty Index is seen as a measure of poverty that can complement basic needs based poverty measurement tools, commonly used in many countries. Various studies have shown a positive effect of government spending on reducing monetary poverty, this study is intended to complement previous research by providing an overview of the impact of local government spending on poverty capability as measured by multi dimensional poverty indices. The data used in this study is data on realization of local government expenditures for basic service affairs in all districts cities in Indonesia in period between 2010-2015. The results show that government spending on health functions and social function has a significant effect on reducing poverty levels in districts in Indonesia.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chusna Meimuna
Abstrak :
Pembangunan sistem kesehatan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perlu adanya Standar Pelayanan Minimal sebagai acuan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan antar daerah terutama dalam kasus penemuan tuberkulosis. Tuberkulosis menjadi perhatian penting bagi dunia kesehatan, dimana Tuberkulosis merupakan penyumbang tingginya angka kematian di dunia. Jumlah angka penemuan kasus Tuberkulosis di Indonesia masih cukup tinggi didunia. Salah satu upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis yaitu peningkatan penemuan kasus TBC melalui kerjasama lintas sektor. Kerjasama lintas sektor dapat diwujudkan melalui peningkatan koordinasi, komunikasi, sumberdaya kemampuan dan kekuatan bersama dalam upaya mencapai target program nasional dalam penanggulangan TBC, serta diperlukan komitmen dan membuka peluang untuk saling membantu. Untuk meningkatkan peran lintas sektor dalam penanggulangan TBC di Wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka dirumuskan suatu kebijakan dalam bentuk Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 28 tahun 2018 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Studi ini bertujuan untuk menganalisis peran lintas sektor terhadap implementasi peraturan gubernur no.28 tahun 2018 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Jakarta Barat dengan menggunakan model implementasi kebijakan Van Meter Van Horn. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik WM dan telaah dokumen. Hasil penelitian ini bahwa kerjasama sama pihak Puskesmas dengan pihak lintas sektor masih minim, masih terdapatnya ketidakjelasan pembagian peran yang mengakibatkan tidak konsisten dalam menjalankan program kerja, belum adanya pedoman yang mengatur mekanisme pelaksanaan, masih belum terdapatnya alokasi dana terkait kebijakan, masih mengalami kendala terhadap pada pengambilan data, masih kurang sosialisasi terhadap kebijakan, meski terdapat dukungan ekternal namun dalam pelaksanaanya masih belum optimal.Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran lintas sektor terhadap implementasi peraturan gubernur no.28 tahun 2018 tentang penanggulangan tuberkulosis masih belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan inovasi kebijkan dengan mempertimbangkan seperti telaah terkait peraturan gubernur no.28 tahun 2018 tentang penanggulangan Tuberkulosis, perencanaan jadwal dan pelatihan untuk puskesmas dan lintas sektor, meningkatkan sosialisasi dan advokasi lintas sektor terkait peraturan gubernur no.28 tahun 2018 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Wilayah Jakarta Barat.
Health development system is an effort to improve the quality of life of people who wants to increase awareness, willingness, and ability of a person to live a healthy-life in order to achieve health status. Nowadays, TBC is an important issue for the world of health, where TBC is a contributor to the high mortality number in the world. The number of Tuberculosis cases in Indonesia is still quite high in the world. The way to tackle tuberculosis is to increase the discovery of TB cases through cross-sector collaboration. Cross-sector collaboration can be realized by doing the proper coordination, communication, resource capabilities and teamwork to achieve the targets of national program of TB, and needed commitment and opportunities to help each other. To increase the cross-sector role in TB control in the DKI Jakarta Province, they formulated the Regulation of the Governor of the Special Capital Region of Jakarta No. 28 of 2018 concerning the Prevention of Tuberculosis. This study aims to analyze the role of cross-sector towards the implementation of Governor Regulation No. 28 of 2018 concerning the Prevention of Tuberculosis in West Jakarta Public Health Centre (Puskesmas) by using the implementation policy model of Van Horn Van Meter. This study is used qualitative methods with WM techniques and document review. The results of this study shows the collaboration among the public health centre with cross-sector parties are still minimal, still ambiguity in roles divsion which carrying inconsistent in the program schedule, no guidelines that regulate the implementation of mechanism programs, no allocation of funds related to the policy, constraints on data retrieval, insufficiency of policy dissemination, although there is external support, the implementation is still not optimal. We concluded that the role of cross-sector towards the implementation of Governor Regulation No. 28 of 2018 concerning Tuberculosis Prevention is still not optimal. Therefore, this research needs to improve with policy innovation which consider the documents review regarding Governor Regulation No. 28 of 2018 concerning the Prevention of Tuberculosis, job planning and skill training for each element of public health centre and cross-sectoral, increasing socialization and advocation of cross-sectoral elements related to Governor Regulation No. 28 of 2018 concerning the Prevention of Tuberculosis in the West Jakarta Region.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T54325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihandoko
Abstrak :
Tesis ini membahas jejaring pendanaan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah. Tujuannya, menjelaskan alasan tetap eksisnya kelompok itu kendati kini hanya terdiri atas beberapa orang. Analisis dalam tesis ini menggunakan teori jaringan Albert-Laszlo Barabasi dan kerangka konsep sosiologi terorisme Stephen Vertigans.Tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan data primer berupa hasil wawancara mantan anggota MIT, beberapa dokumen putusan pengadilan, dan dokumen This thesis discusses the funding network of the East Indonesia Mujahideen/Mujahidin of Eastern Indonesia (MIT), a terrorist group based in Poso, Central Sulawesi. The purpose of this thesis is to explain the reason for the existence of the group even though it now consisted of only a few people. The analysis in this thesis uses Albert-Laszlo Barabasi's network theory and the conceptual framework of the sociology of terrorism by Stephen Vertigans. This thesis is qualitative research with primary data in the form of interviews with former MIT members, several court decision documents, and White Paper documents of the National Counter Terrorism Agency (BNPT). The study in this thesis shows that MIT funding comes from a number of sources. The results of the study concluded that repressive efforts by law enforcement officers were not enough to stop MIT`s terror activities. It needs a comprehensive step from law enforcement officials and a number of relevant agencies to turn off MIT`s funding network. Efforts to turn off funding networks should also be applied to stop the activities of other terrorist groups in Indonesia.
2019
T53916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Ami Prindani
Abstrak :
Penelitian ini berlatar belakang dari kasus penyerangan Menko Polhukam oleh Syahrial Alamsyah alias Abu Rara yang merupakan target operasi intelijen Densus 88. Densus 88 menggunakan surveilans untuk memantau perilaku target dengan tujuan memengaruhi, mengelola atau mengarahkan, dan mencegah suatu perbuatan tindak pidana terorisme. Namun terjadinya kasus tersebut menunjukkan bentuk kegagalan dari surveilans. Tujuan penelitian ini untuk mendapat gambaran tentang latar belakang Syahrial Alamsyah menjadi target surveilans Densus 88, faktor yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut dan optimalisasi manajemen surveilans untuk meningkatkan pencegahan tindak pidana terorisme. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang Syahrial Alamsyah menjadi target operasi Densus 88 dikarenakan keterlibatanya dalam kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan sebagai simpatisan ISIS. Terjadinya kasus tersebut dipengaruhi oleh faktor (1) internal meliputi kurangnya anggota tim surveilans untuk memantau pergerakan target, perubahan pola komunikasi dan pergerakan target yang dirasa belum mampu dideteksi oleh anggota dan sarana prasarana yang tersedia. (2) eksternal meliputi pengamanan VVIP yang dilakukan personel kurang ketat. Optimalisasi dapat dilakukan dengan pelatihan baik dibidang kognitif yakni masalah pengetahuan psikology, dan secara teknis dapat dilakukan dengan pelatihan dibidang teknis intelijen secara umum dan pelatihan surveilans secara khusus. ......This research is based on the case of the attack by the Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs by Syahrial Alamsyah alias Abu Rara, who was the target of the Densus 88 intelligence operation. Detachment 88 uses surveillance to monitor the behavior of targets with the aim of influencing, managing or directing, and preventing an act of terrorism. However, the occurrence of such cases shows a form of failure from surveillance. The purpose of this study is to get an overview of the background of Syahrial Alamsyah to be the target of surveillance Detachment 88, the factors that led to the case and the optimization of surveillance management to improve the prevention of terrorism offenses. This research uses a qualitative approach. In the process of data collection it is done by library research and interviews. The results of this study indicate that Syahrial Alamsyah's background was the target of the Special Detachment 88 operation due to his involvement in the Jamaah Ansharut Daulah (JAD) group and as ISIS sympathizers. The occurrence of the case was influenced by internal factors (1) including the lack of surveillance team members to monitor target movements, changes in communication patterns and target movements that were felt to be unable to be detected by members and available infrastructure. (2) external includes security of VVIP by less strict personnel. Optimization can be done by training both in the cognitive field, namely the problem of knowledge of psychology, and technically it can be done by training in the field of technical intelligence in general and specialized surveillance training.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tan Evi
Abstrak :
Terorisme masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Penanggulangan terorisme di Indonesia dengan metode deradikalisasi yang efekif telah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini dikarenakan masih adanya tindakan teror oleh para pelaku baru dan lama yang terkait dengan jaringan atau kelompok. Teori identitas sosial dipilih untuk mengkaji bagaimana proses seorang teroris meninggalkan jalan terornya dan bahkan menjadi aktor perubahan yang turut terlibat melakukan program deradikalisasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, studi kasus, survei lapangan, wawancara, dokumentasi dan studi literatur. Penulis mengkaji seorang mantan narapidana teroris yang menyadari kesalahannya sebagai seorang teroris. Mantan Narapidana tersebut bernama Khairul Ghazali. Sejak keluar dari penjara, Khairul Ghazali mendirikan Pondok Pesantren Al-HIdayah khusus untuk anak-anak dari napiter dan mantan napiter di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Deli Serdang, Medan. Sumatera Utara. Murid-murid di Pesantren ini selain dihuni oleh santri dan santriwati dari anak-anak mantan narapidana terorisme juga ada murid-murid dari lingkungan setempat. Yang membedakan pesantren ini dengan pesantren lainnya adalah “Kurikulum Deradikalisme”. Tujuannya menerima murid selain anak-anak dari teroris dan mantan teroris adalah agar mereka dapat berbaur dengan lingkungan. Hal ini menjadi salah satu langkah untuk menghilangkan trauma sebagai anak mantan teroris. Penulis berhipotesa bahwa keberhasilan dari deradikalisasi Khairul Ghazali adalah dari kurikulum “deradikalisme”. Mereka dapat menangkal paham-paham radikal sehingga tidak mengikuti jejak orang tuanya. ......Terrorism is still a threat to the world community, including Indonesia. Counter terrorism in Indonesia with an effective method of deradicalization has become a very urgent need. This is because there are still acts of terror by new and old perpetrators related to the network or group. Social identity theory was chosen to examine how the process of a terrorist leaves the path of terror and even becomes an agent of change who is involved in the de-radicalization program. This research uses qualitative research methods, case studies, surveys, interviews, documentation and literature studies. Researcher examine an Ex-terrorist convict who realized his mistake as a terrorist. The Ex-terrorist was named Khairul Ghazali. Since being released from prison, Khairul Ghazali established Al-Hidayah Islamic Boarding School specifically for children from terrorists or ex-terrorists in Sei Mencirim Village, Kutalimbaru District, Deli Serdang, Medan. North Sumatra. Students in the Pesantren are not only inhabited by female and female students of children of ex-convicts of terrorism, there are also students from the local environment. What distinguishes this pesantren from other pesantren is the "Deradicalism Curriculum". The purpose of accepting students other than children from terrorists and ex-terrorists is so that they can blend in with the environment. This is one step to eliminate trauma as a child of a former terrorist. Researchers hypothesize that the success of Khairul Ghazali's deradicalization is from the curriculum of "deradicalism". They can ward off radical notions so they don't follow their parents.
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>