Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abstrak :
Latar belakang: Sudut tertutup primer akut (STPA) merupakan salah satu penyebab kebutaan akut dan bersifat permanen di Departemen Mata RSUPN Cipto Mangunkusumo. Tata laksana penyakit tersebut masih dalam perdebatan. Tindakan laser iridektomi perifer sulit dilakukan segera karena tekanan intra okular (TIO) yang tinggi menimbulkan edema kornea, sehingga gambaran iris tidak dapat terlihat jelas. Parasentesis dapat menurunkan TIO secara cepat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai TIO hasil tindakan parasentesis sebagai tindakan pertama dalam menurunkan TIO pada primer sudut tertutup akut di ras Indonesia Melayu. Metode: Penelitian intervensi ini dilakukan di Klinik Mata RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Jakarta Eye Center dari Januari 2005 sampai Desember 2007. Subjek penelitian adalah penyandang STPA, sesuai konsensus Asia Pasifik pada ras Indonesia Melayu. Seluruh subjek dilakukan parasentesis. TIO awal dan sesudah parasentesis serta luas sinekia anterior perifer (SAP) dicatat. Keluaran parasentesis dikatakan baik bila TIO ≤ 21 mmHg dan buruk bila TIO > 21 mmHg. Hasil: Dalam penelitian ini, terdapat 45 subjek yang mempunyai STPA. Di antara seluruh subjek, tiga puluh delapan orang adalah perempuan dengan rerata umur 54,6 ± 1,56 tahun. Rerata lama serangan 13,15 ± 7,4 hari dengan rerata luas SAP 7,7 ± 3,1 jam. Terdapat korelasi kuat antara lama serangan dengan luas SAP (r = 0,672; p < 0,001). Rerata TIO awal adalah 55 ± 13,37 mmHg dan TIO setelah parasentesis adalah 27 ± 12,78 mmHg. Terjadi penurunan TIO yang bermakna sebesar 49% ( p < 0.001) dengan keluaran baik pada 19 mata, dan keluaran buruk pada 26 mata. Kesimpulan: Parasentesis sebagai tata laksana awal pada mata dengan STPA menurunkan TIO segera, tetapi hanya bersifat sementara.
Abstract
Background: Acute primary angle closure (APAC) is one of the causes of blindness in Department of Ophthalmology Cipto Mangunkusumo General Hospital. Management of APAC is still controversial. Laser peripheral iridotomy is difficult to be done due to corneal edema as a result of persistent high intraocular pressure (IOP). It is believe that paracentesis will lower IOP immediately. The objective of the study was to assess outcome of paracentesis as the initial management in Malay Indonesian eyes with APAC. Methods: This intervention study was conducted at the Eye Clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital and Jakarta Eye Center commencing in January 2005 until December 2007. Malay Indonesian eyes with APAC were included in this study in accordance with the new Asia Pacific consensus. All APAC eyes underwent paracentesis to lower IOP. The presenting and post-paracentesis IOP and peripheral anterior synechiae were noted. The outcome was termed as good when IOP was ≤ 21 mmHg and poor when IOP was > 21 mmHg. Results: A total of 45 APAC eyes were recruited. Thirty-eight of these belonged to women; mean age was 54.6 ± 1.56 years. Meanwhile, average duration of symptoms was 13.15 ± 7.4 days and mean of extent of peripheral anterior synechiae (PAS) was 7.7 ± 3.1 hours. There was a strong correlation regarding duration of symptoms to the formation of PAS (r = 0.672; p < 0.001). The mean presenting IOP was 55 ± 13.37 mmHg and mean post-paracentesis IOP was 27 ± 12.78 mmHg. A decrease of 49% in IOP ( p < 0.001) was observed after paracentesis with good outcome in 19 eyes and poor outcome in 26 eyes. Conclusion: Paracentesis as an initial intervention in APAC eyes reduces the IOP immediately, but only as a temporary response.
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siholita, Magda
Abstrak :
Tujuan: membandingkan penurunan TIO setelah pemberian obat tetes mata travoprost 0,004% dengan penurunan TIO setelah pemberian timomol 0,5% pada glaukoma primer sudut tertutup kronis (GPSTp kronis). Metode: penelitian ini merupakan penelitian prospektif, randomisasi, dengan cross over design pada 32 mata dari 16 subjek GPSTp kronis. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok travoprost dan kelompok timolol. Masing-masing kelompok terdiri dari 8 subyek. Dua minggu setelah pemberian obat, dilakukan penyilangan kelompok. Tekanan intraocular diukur sebelum terapi, dan pada hari ke-1, hari ke-7, hari ke-14 setelah terapi. Periode wash out dilakukan pada saat sebelum diberikan perlakukan dan setelah cross over. Setiap wash out berlangsung selama 3 minggu. Hasil: Kelompok travoprost mempunyai TIO awal rerata 25,38±2,55 mmHg, penurunan TIO mencapai 11,44±2,55 mmHg, penurunan TIO mencapai 6,63±2,25 mmHg. Dengan uji statistic, travoprost menurunkan TIO lebih besar dibandingkan timolol secara bermakna (p<0,05) Kesimpulan: Obat tetes mata travoprost 0,004% menunrunkan TIO lebih besar dibandingkan obat tetes mata timolol 0,5%.
Objective: To compare the reduction of intraocular after taking travoprost VS timolol in chronic primary angle-closure glaucoma. Method: We performed a prospective, randomized, crossover study of 32 eyes of 16 patients with chronic primary angle-closure glaucoma. Patients were randomized to 2 group: those taking travoprost once daily or those taking timolol twice daily. Each group comprise of 8 patients. Two weeks after treatment with the first drug, the second drug was substituted. Intraocular pressure (IOP) was recorded before the start of therapy, at day 1, at day 7, and at day 14. Wash out period conducted prior to initial treatment and after the cross over. The duration of wash out period was three weeks. Results: The mean baseline IOP was 25.38±3.01 mmHg, which decreased by 11.44±1.90 mmHg with travoprost. The mean baseline IP was 25.88±2.55 mmHg, which decreased by 6.63±2.25 mmHg with timolol. By statistic test, travoprost reduced the IOP greater than timolol significantly (p<0.05). Conclusion: 0.004% travoprost eyedrops reduce the IOP greater than 0.5timolol eyedrops.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T20892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilia Rifani Ufairah
Abstrak :
Latar belakang: Glaukoma merupakan penyakit kronik pada mata yang menjadi penyebab kebutaan kedua setelah katarak di Indonesia. Saat ini, terdapat sejumlah 427.091 penduduk Indonesia yang menjalani rawat jalan terkait glaukoma. Pada tingkat global, glaukoma sudut terbuka merupakan penyebab kebutaan pertama. Pengobatan farmakologis jangka panjang merupakan terapi utama untuk mencegah progresivitas glaukoma yang memerlukan kepatuhan penggunaan obat oleh pasien. Tujuan: Memberikan gambaran mengenai tingkat kepatuhan penggunaan obat pasien glaukoma sudut terbuka di RSCM Kirana sebagai pusat rujukan nasional, disertai pengaruh dukungan pengasuh atau keluarga terhadap derajat kepatuhan tersebut. Metode: Studi dilaksanakan secara potong lintang dengan teknik pengambilan sampel consecutive. Sampel terpilih sejumlah 96 orang merupakan pasien tergolong kriteria inklusi dari RSCM Kirana. Sampel diwawancarai secara daring dengan pertanyaan bersumber dari kuesioner adaptasi Morisky Medication Adherence Scale dan Duke UNC-Functional Social Support Questionnaire. Hasil: Distribusi derajat dukungan pengasuh atau keluarga dari 96 responden adalah 29.2% beroleh dukungan rendah, 51.04% dukungan sedang, dan 19.8% dukungan tinggi. Sementara distribusi derajat kepatuhan penggunaan obat adalah 50% beroleh kepatuhan rendah, 32.3% kepatuhan sedang, dan 17.7% kepatuhan tinggi. Nilai p (p=0.822) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan antara derajat dukungan pengasuh atau keluarga terhadap derajat kepatuhan penggunaan obat pasien glaukoma sudut terbuka di RSCM Kirana. Simpulan: Derajat dukungan pengasuh atau keluarga tidak memiliki pengaruh signifikan dengan derajat kepatuhan penggunaan obat pasien glaukoma sudut terbuka (p>0.05) dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi keterbatasan studi ......Background: Glaucoma is a chronic eye disease which causes blindness second to cataracts in Indonesia. Currently, there are 427,091 Indonesians who undergo outpatient care related to glaucoma. Open-angle glaucoma is the leading cause of blindness globally. Long-term pharmacological treatment is suggested as the main therapy to prevent disease progression therefore requires adherence. Objective: To provide an overview of the level of medication adherence in open-angle glaucoma outpatients at RSCM Kirana along with the effect of family or caregiver support upon it. Methods: The study design was cross-sectional with a consecutive sampling technique. The selected sample of 96 people were RSCM Kirana open-angle glaucoma outpatients who fulfilled the inclusion criteria requirements. The sample was interviewed online with questions adapted from the Morisky Medication Adherence Scale and Duke UNC-Functional Social Support Questionnaire. Results: The distribution regarding the degree of caregiver or family support out of 96 respondents were 29.2% experienced low support, 51.04% had moderate support, and 19.8% had high support. On the other hand, the distribution of medication adherence degree were 50% had low adherence, 32.3% had moderate adherence, and 17.7% had high adherence. The p-value (p = 0.822) indicates the degree of family or caregiver support has no significant effect on the degree of adherence to medication outcome in open-angle glaucoma patients at RSCM Kirana. Conclusions: The degree of family or caregiver support does not significantly affect the degree of adherence to medication use in open-angle glaucoma patients (p> 0.05). Further research is needed to overcome the recent study limitations
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Kukuh Adishabri
Abstrak :
Latar belakang: Glaukoma merupakan penyakit yang ditandai oleh gangguan lapang pandang visual dan perubahan tertentu pada cawan optik saraf. Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia mencapai 4,6 per 1000 penduduk. Glaukoma sudut terbuka merupakan tipe glaukoma tersering dimana terdapat sudut yang terbuka pada ruang anterior mata, perubahan ujung nervus optikus, dan hilangnya penglihatan perifer progresif. Glaukoma dapat berujung pada kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik. Terapi utama pada glaukoma adalah pengobatan farmakologis jangka panjang yang memerlukan kepatuhan pasien seumur hidup dan hanya bertujuan untuk mencegah disabilitas lebih lanjut. Tujuan: Memberikan gambaran mengenai kepatuhan penggunaan obat pada pasien glaukoma sudut terbuka di RSCM Kirana, serta hubungannya dengan status pendidikan formal pasien dan tingkat pengetahuan glaukoma pasien. Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 96 subjek dengan teknik consecutive sampling. Subjek merupakan pasien glaukoma sudut terbuka di RSCM Kirana yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi yang telah ditetapkan. Kepatuhan penggunaan obat dan tingkat pengetahuan glaukoma diukur menggunakan kuesioner adaptasi Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) dan Glaucoma Treatment Compliance Assessment Tool (GTCAT). Hasil: Mayoritas subjek memiliki status pendidikan formal tinggi (56.3%), pengetahuan berkaitan glaukoma sedang (51.0%), dan kepatuhan rendah (50.0%). Uji komparatif yang dilakukan pada status pendidikan formal dan tingkat pengetahuan glaukoma terhadap kepatuhan penggunaan obat memberikan nilai p sebesar 1.000 dan 0.501. Simpulan: Status pendidikan formal dan tingkat pengetahuan glaukoma tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0.05) dengan kepatuhan penggunaan obat glaukoma sudut terbuka di RSCM Kirana. ......Introduction: Glaucoma is a disease characterized by visual field problems and certain changes in optic nerve plate. Based on Riskesdas 2007, the prevalence of glaucoma in Indonesia has reached 4.6 cases per 1000 populations. Open-angle glaucoma is the most common type of glaucoma which characterized by open angle in anterior chamber of eye, changes in optic nerve, and progressive loss of peripheral vision. Glaucoma can lead to blindness if there is no proper therapy given. The main treatment option is long-term pharmacological treatment that requires lifetime adherence and only intended to prevent further disabilities. Objectives: Provide an overview of medication adherence level in open-angle glaucoma patients at RSCM Kirana, as well as its relationship with formal education status and patient’s knowledge regarding glaucoma. Methods: This study is a cross-sectional study conducted on 96 subjects with consecutive sampling technique. Subjects were open-angle glaucoma patients at RSCM Kirana who met the inclusion criteria. Measurement of medication adherence level and patient’s knowledge level were carried out using questions adapted from Morisky Medication Adherence Scale-8 (MMAS-8) and Glaucoma Treatment Compliance Assessment Tool (GTCAT). Results: Majority of subjects in this study had high formal education status (56.3%), moderate glaucoma-related knowledge (51.0%), and low adherence (50.0%). The p-value given from comparative test conducted on formal education status and glaucoma-related knowledge level towards medication adherence are 1.000 and 0.501, respectively. Conclusions: Patient’s formal education status and glaucoma-related knowledge did not significantly affect (p>0.05) medication adherence in open-angle glaucoma patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewinta Retno Kurniawardhani
Abstrak :
Perkembangan terapi adjuvan pada glaukoma untuk memperlambat progresi glaukoma saat ini terus dieksplorasi. Penelitian ini mengevaluasi efek Mirtogenol, pada perubahan perfusi okular (perfusi kapiler dan flux index), ketebalan lapisan serabut saraf retina (LSSR), dan tekanan intraokular (TIO) pada pasien glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) yang menerima terapi timolol maleat 0,5% tetes mata. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Terdapat 36 subjek (37 mata) dengan GPSTa dan TIO < 21 mmHg yang diacak untuk mendapatkan Mirtogenol atau plasebo selama 8 minggu. Kedua grup dibandingkan, pada kelompok Mirtogenol, rata-rata peningkatan perfusi kapiler dan flux index lebih baik, dan pada kuadran superior terdapat hasil yang signifikan secara statistik setelah 4 minggu (p=0.018). Rerata perbedaan ketebalan LSSR di seluruh kuadran terdapat penurunan dengan nilai yang lebih sedikit pada kelompok Mirtogenol (p>0.05). Penurunan TIO yang konsisten pada kelompok Mirtogenol setelah 8 minggu (p>0.05). Ditemukan efek samping pada 1 subjek yaitu gangguan lambung. Suplementasi Mirtogenol, sebagai terapi adjuvan pada pengobatan glaukoma dapat meningkatkan perfusi okular, mempertahankan ketebalan LSSR, dan menurunkan TIO. ......The development of adjuvant therapies in glaucoma to slow its progression is currently being explored. This study evaluates the effects of Mirtogenol on changes in ocular perfusion (capillary perfusion and flux index), retinal nerve fiber layer (RNFL) thickness, and intraocular pressure (IOP) in primary open-angle glaucoma (POAG) patients receiving 0.5% timolol maleate eye drops. This study is a double-blind, randomized controlled clinical trial. There were 36 subjects (37 eyes) with POAG and IOP < 21 mmHg randomized to receive Mirtogenol or placebo for 8 weeks. Compared between the two groups, the Mirtogenol group showed a better average improvement in capillary perfusion and flux index, with statistically significant results in the superior quadrant after 4 weeks (p=0.018). The mean difference in RNFL thickness across all quadrants showed a smaller reduction in the Mirtogenol group (p>0.05). There was a consistent decrease in IOP in the Mirtogenol group after 8 weeks (p>0.05). One subject experienced side effects, specifically stomach disturbances. Mirtogenol supplementation, as an adjuvant therapy in glaucoma treatment, can improve ocular perfusion, maintain RNFL thickness, and reduce IOP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library