Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Elsa Putri Pratiwi Indra
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum pemalsuan Akta Jual Beli Nomor 103/2013 oleh pegawai kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pembeli terkait Putusan Pengadilan Negeri Rangkasbitung Nomor 70/Pid.B/2018/PN.Rkb. PPAT dalam jabatannya berwenang membuat akta autentik, dengan harus membacakan akta jual beli yang dibuat tersebut kepada para pihak yang terkait/berkepentingan dan menjelaskan isi akta tersebut. Longgarnya pengawasan terhadap pembuatan akta jual beli dalam lingkup pekerjaan PPAT mengakibatkan kerugian oleh beberapa pihak. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian adalah mengenai pembatalan Akta Jual Beli Nomor 103/2013 yang diajukan oleh penjual di pengadilan negeri setempat terhadap pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai PPAT dan pembeli kepada PPAT yang bersangkutan dan pengadilan negeri setempat karena tidak memenuhi syarat formil dan materil dalam pembuatan aktanya; dan pertanggungjawaban PPAT terhadap akibat yang ditimbulkan karena pemalsuan Akta Jual Beli Nomor 103/2013 karena tidak dibuat oleh dan di hadapannya sebagaimana diatur dalam peraturan jabatannya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan deskriptif analitis. Hasil analisis adalah pembatalan akta jual beli yang dilakukan melalui pengadilan negeri karena pemalsuan akta jual beli yang dilakukan oleh pembeli dan pegawai kantor PPAT, tanggung jawab PPAT terhadap pemalsuan akta jual beli yang dilakukan adalah sepanjang melaksanakan jabatannya. PPAT sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan, sebaiknya berhati-hati dalam menjalankan jabatannya, memeriksa dokumen, akta yang dibuat dan terhadap karyawan.
ABSTRACT
This study discusses the legal consequences of forgery the Deed of Purchase Number 103/2013 by office employee of Land Deed Official and buyer related to Rangkasbitung District Court Decision Number 70/Pid.B/2018/PN.Rkb. Land Deed Official in his position is authorized to make authentic deeds, by having to read the deeds of sale and purchase made to the parties concerned / interested parties and explain the contents of the deeds. Loosening of supervision over the making of sale and purchase deeds within the scope of Land Deed Official's work resulted in losses by several parties. The problem raised in the research is the cancellation of the Purchase Deed Number 103/2013 submitted by the seller in the local district court for counterfeiting carried out by office employee of Land Deed Official and buyer to the relevant Land Deed Official and local district court because it did not meet the formal and material requirements in the making deed; and the accountability of Land Deed Official for the consequences caused by falsification of the Sale and Purchase Act Number 103/2013 because it was not made by and before him as stipulated in his position regulations. To answer the problem used normative juridical research methods with analytical descriptive. The result of the analysis is that the sale and purchase deed is not authentic because it does not fulfill the formal and material requirements for making the deed. Land Deed Officials as a public official who has the authority, should be careful in carrying out his position, checking documents, deeds made and against employees.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Stefani Christanti Hamdani
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai kekuatan pembuktian Akta Jual Beli yang berisikan pemalsuan data dan pemalsuan tanda tangan yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan PPAT dan Kode Etik PPAT. PPAT bertugas untuk membuat suatu akta autentik, salah satu contohnya adalah akta jual beli. Akta autentik merupakan akta yang memiliki kekuatan pembuktian paling sempurna. Apabila dalam pembuatan akta mengalami pelanggaran dalam pembuatan akta, hal tersebut dapat mengakibatkan tidak sahnya syarat suatu akta dan tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna atau akta menjadi cacat. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kekuatan pembuktian akta jual beli yang berisikan pemalsuan data dan pemalsuan tanda tangan serta akibat hukum terhadap PPAT yang membuat akta jual beli tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku/Kode Etik PPAT. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan penelitian kepustakaan yang merupakan bahan data primer, bahan data sekunder dan data tersier berupa peraturan-peraturan, literatur dan buku kepustakaan. Hasil penelitian kekuatan pembuktian dari akta jual beli yang dibuat tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku adalah akta batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Akibat hukum dari PPAT yang melanggar seharusnya diberhentikan secara tidak terhormati karena telah beberapa kali membuat akta Autentik tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku serta terdapat pelanggaran terhadap kaedah moral dan etika dengan adanya pelanggaran kode etik.
......This study discusses the strength of the proof of the Sale and Purchase Deed which contains falsification of data and forgery of signatures that are not in accordance with the provisions of the PPAT Legislation and the PPAT Code of Ethics. PPAT is tasked with making an authentic deed, one example of which is a deed of sale and purchase. An authentic deed is a deed that has the most perfect proof of power. If in the making of the deed there is a violation in the making of the deed, this can result in the invalidity of the terms of a deed and it does not have perfect proof power or the deed becomes defective. The problems raised in this study are regarding the strength of proof of the sale and purchase deed which contains falsification of data and forgery of signatures as well as the legal consequences of PPAT which make the deed of sale and purchase not based on applicable laws and regulations/PPAT Code of Ethics. To answer these problems, a juridical-normative research method is used with library research which is primary data material, secondary data material and tertiary data in the form of regulations, literature and library books. The results of the research on the strength of evidence from the deed of sale and purchase made that are not in accordance with applicable regulations are the deed null and void and are considered to have never existed. The legal consequences of violating PPATs should be dishonorably dismissed because they have several times made authentic deeds that are not in accordance with applicable regulations and there are violations of moral and ethical rules with violations of the code of ethics.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rizky Muhammad Ikhsan
Abstrak :
Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.
Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi
......DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library