Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arifin Arief
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994
634.9 ARI h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Pramita Siwi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian etnobotani tumbuhan obat belum banyak dikaitkan dengan penelitian mengenai vegetasi hutan sebagai sumber tumbuhan obat. Telah dilakukan penelitian oleh Anas (2013), Rahma (2013), dan Sehati (2013) yang mendata 213 jenis Angiospermae berhabitus pohon (tingkat pohon, belta, dan semai) dari 53familidi zona inti Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Data tersebut menjadi bahan studi potensi tumbuhan obat untuk mengetahui manfaat pengobatan spesies tumbuhan dari ketiga penelitian tersebut. Studi dilakukan melalui penelusuran pustaka, wawancara ahli, dan dokumentasi tumbuhan. Delapan puluh tiga jenis merupakan tumbuhan obat yang digunakan berbagai etnis di Indonesia dengan keragaman bagian yang digunakan dan penyakit yang diobati. Daun merupakan bagian tumbuhan obat yang paling banyak digunakan. Jenis penyakit yang paling banyak diobati dengan tumbuhan obat adalah gangguan gastrointestinal. Bioaktivitas dari 14 jenis tumbuhan telah diketahui sesuai dengan penggunaan tumbuhan tersebut. Sebanyak 28 jenis berada dalam database IUCN red list dengan 5 jenis berada dalam daftar high risk. Aquilaria malaccensis merupakan satu-satunya jenis yang berada dalam apendiks II CITES.
ABSTRACT
Analysis about forest vegetation are rarely related to medicinal potency of the plants. There are 213 species of Angiospermae in tree form (tree, belt, and seedling level) from 53 family recorded from Anas’ (2013), Rahma’s (2013), and Sehati’s (2013) researches in the core zone of Bukit Duabelas National Park. This data become the material of analysis about medicinal ethnobotanyto understand about medicinal properties of plant species’ from those three researches. The analysis is done by literature study, interview with ethnobotany researcher, and plant documentation. There are eighty three species used as medicinal plants in several Indonesian tribes and ethnics with high variation in use and disease.Leaves are the most frequently used part of medicinal plants and gastrointestinal disfunctions treatment are the one that use the most medicinal plants. Comparation between ethnobotanical study and bioactivity assay only shows correlation for fourteen species. Known that 28 species are in the IUCN redlist database with 5 species in highrisklist. Aquilaria malaccensis is the only plant included in the appendix II of CITES.
Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrianus
Abstrak :
Penelitian ini menganalisis pengaruh kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan terhadap luas IPPKH tambang mineral dan batubara di Indonesia pada periode 2008-2017. Kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan yaitu kebijakan moratorium izin dan kebijakan kenaikan tarif PNBP PKH yang dianalisis melalui pendekatan model ARIMA dengan melakukan proyeksi data sebelum kebijakan yang diidentifikasi sebagai Business As Ussual BAU dari IPPKH tanpa kebijakan dan selanjutnya BAU dibandingkan dengan data aktual setelah kebijakan untuk melihat pengaruh kebijakan tersebut. Kebijakan pengendalian penggunaan kawasan hutan lainnya yaitu kebijakan kuota IPPKH dianalisis dengan pendekatan deskriptif dan analisis spasial terhadap pola sebaran dan model ekspansi IPPKH tambang. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang kompeten untuk memperdalam analisis. Hasil analisis mengindikasikan kebijakan moratorium izin tidak efektif mengurangi luas IPPKH tambang mineral dan batubara sedangkan kebijakan kenaikan tarif dan perubahan skema pungutan PNBP PKH terindikasi mampu mengendalikan luas IPPKH tambang mineral dan batubara. Untuk kebijakan kuota luas IPPKH tambang, kebijakan ini cenderung mendorong terjadinya usaha penguasaan kawasan hutan oleh perusahaan tambang dan persaingan untuk mendapatkan IPPKH tambang khususnya pada wilayah yang kaya sumber daya alam. ...... This research analyzes the influence of policy of controlling the use of forest area against IPPKH area of mineral and coal mine in Indonesia in the period of 2008 2017. The policy of controlling the use of forest areas is the policy of permit moratorium and the policy of tariff increase of PNBP PKH is analyzed through ARIMA model approach by doing data projection before policy identified as Bussines As Ussual BAU of IPPKH without policy and BAU then compared with actual data after policy to see influence of the policy. The other policy of controlling the use of forest areas is the IPPKH quota policy is analyzed by descriptive approach and spatial analysis on the distribution pattern and expansion model of IPPKH mine. In addition, in depth interviews were conducted to competent sources to deepen the analysis. The results of the analysis indicate that the policy of permits moratorium is ineffective reduces the extent of IPPKH of mineral and coal mines while the policy of tariff increase and the change of PNBP PKH levy scheme is indicated to be able to control the extent of IPPKH of mineral and coal mines. For IPPKH 39 s broad quota policy, this policy tends to encourage forestry companies 39 control of forest areas and competition to obtain IPPKH mines, especially in rich natural resources areas.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tribuana Tunggadewi P.
Abstrak :
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang besar, antara lain hutan-hutan tropisnya yang luas. Oleh karena itu untuk melestarikannya perlu adanya suatu pengaturan yang khusus dalam hal pengusahaan hutan agar hutan-hutan di lndonesia tidak diusahakan secara liar (sernbarangan) dan mencegah terjadinya masalah-masalah lingkungan hidup. Untuk itu bagi para pengusaha yang berminat untuk mengusahakan hutan, Departemen. Kehutanan mensyaratkan agar terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang dilakukan antara Pemerintah dengan Pengusaha Swasta yang disebut dengan Forestry Agreement (Perjanjian Tentang Pengusahaan Rutan). Setelah diadakan perjanjian tersebut, Pemerintah memberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui Surat Keputusan RPR. Hak ini meliputi hak untuk menebanq, menqolah dan memasarkan kayu yanq ada dalam areal kerjanya berdasarkan syarat yanq ditetapkan peraturan perundangan Indonesia dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dengan adanya perjanjian yang demikian ternyata banyak menimbulkan permasalahan, antara lain permasalahan yang timbul sehubungan dengan dikaitkannya perjanjian tersebut diatas dengan teori perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yaitu bahwa kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut adalah tidak seimbang. Kemudian dalam perkembangannya ternyata Forestry Agrement dicabut, namun bukan berarti bahwa Forestry Agreement tidak berlaku lagi sebab jangka waktu Forestry Agreement 20 tahun. Tindakan ini malah menimbulkan masalah baru yaitu adanya dualisme dalam menyelesaikan masalah mengenai Hak Pengusahaan Hutan. Setelah dianalisa dalam skripsi ini ternyata Forestry Agreement. tetap merupakan perjanjian yang sah, sebab memenuhi persyaratan yang tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai kedudukan yang tidak seimbang antara Pemerintah dan Pengusaha Swasta dalam hal adanya kewenangan Pemerintah untuk membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa melalui Pengadilan, ternyata dalam hal ini Forestry Agreement tidak sesuai dengan jiwa pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sebab menurut pasal tersebut apabila syarat batal suatu perjanjian dipenuhi, pembatalan perjanjian tersebut tetap harus dilakukan dimuka hakim. Berarti dalam hal ini Forestry Agreement mengeyampingkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Maka penulis condong untuk menilai Forestry Agreement sebagai perjanjian semu atau quasi contract, dan karenanya bentuk akta perjanjiannya adalah standard konrak khusus. Namun kesepakan dalam Forestry Agreement tidak bersifat rnelawan hukum, sebab Hukum Perjanjian menganut sistem terhuka. Kemudian mengenai adanya dualisme diselesaikan dengan mengeluarkan suatu produk hukum yang mengatur satu cara penyelesaian masalah HPH.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Indradjad
Abstrak :
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana alam yang terjadi berulang hampir setiap tahun di Indonesia, dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar maupun bagi lingkungan. Penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam menurunkan informasi fire hotspot dapat digunakan untuk melakukan pemantauan kebakaran lahan gambut (peat) dan tanah mineral (non-peat) di Indonesia. Sistem pemantauan harian sangat diperlukan untuk membantu pemangku kepentingan di lapangan dalam mengambil tindakan mitigasi bencana. Tujuan penelitian ini adalah membangun sebuah model filtering dan clustering untuk deteksi dini kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dengan data sensor Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) dari satelit Suomi NPP dan NOAA-20 menggunakan metode Euclidean distance. Model filtering dan clustering digunakan untuk menyederhanakan jumlah fire hotspot yang sangat bermanfaat bagi kepentingan di lapangan ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Model filtering dilakukan dengan cara membangun peta hotspot per tahun dengan kejadian pengulangan melebihi suatu ambang batas, dan peta tersebut akan digunakan sebagai filter dari data fire hotspot yang dihasilkan. Model clustering dilakukan dengan menggunakan menghitung jarak Euclidean antar titik fire hotspot yang dihasilkan, jika jaraknya memenuhi 1,5 kali ukuran piksel maka titik fire hotspot tersebut akan dikelompokkan menjadi satu cluster. Nilai akurasi dievaluasi berdasarkan estimasi luas kebakaran, peta burned area, dan peta lahan gambut dari setiap kejadian kebakaran yang dilaporkan petugas lapangan. Hasil pengolahan dan analisis menunjukkan bahwa akurasi efektif pada data VIIRS yaitu pada jarak 1,5 km atau empat kali ukuran pikselnya dari pusat kebakaran. Akurasi deteksi secara umum untuk cluster hotspot (cluster-HS) dan titik hotspot (titik-HS) masing-masing sebesar 52% dan 53%. Untuk wilayah yang luasnya lebih dari 14 ha, akurasinya menjadi sangat baik yaitu sampai dengan sebesar 83%. Analisis dengan pemilahan lahan gambut dan tanah mineral menunjukkan cluster-HS berkinerja lebih baik di lahan gambut dengan akurasi sebesar 62% dibandingkan di lahan tanah mineral sebesar 57%. Tanpa mengurangi ketepatan pengamatan titik api, penelitian ini menunjukkan bahwa model dapat diandalkan untuk membantu pemangku kepentingan di lapangan dalam mengambil tindakan. Oleh karena itu, model ini dapat diimplementasikan ke dalam pemantauan hotspot harian di Indonesia. ......In Indonesia, forest and land fires are frequent natural catastrophes that do significant damage to the environment and economy. The use of remote sensing satellite data to derive fire hotspot information can be used to monitor peat and non-peat land fires in Indonesia. A daily monitoring system is very necessary to assist stakeholders in the field in taking disaster mitigation actions. The aim of this research is to build a filtering and clustering model for early detection of forest and land fires in Indonesia using Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) sensor data from the Suomi NPP and NOAA-20 satellites using the Euclidean distance method. The filtering and clustering model is used to simplify the number of fire hotspots which is very useful for interests in the field when forest and land fires occur. The filtering model is carried out by building a persistent hotspot map per year with repeated events exceeding a threshold, and this map will be used as a filter for the resulting fire hotspot data. The clustering model is carried out by calculating the Euclidean distance between the resulting fire hotspot points. If the distance is 1.5 times the pixel size, the fire hotspot points will be grouped into one cluster. Accuracy values ​​are evaluated based on estimates of fire area, burned area maps, and peatland maps for each fire incident reported by field officers. The results of processing and analysis show that the effective accuracy of VIIRS data is at a distance of 1.5 km or four times the pixel size from the center of the fire. The general detection accuracy for hotspot clusters (cluster-HS) and hotspot points (point-HS) is 52% and 53%, respectively. For areas larger than 14 ha, the accuracy is very good, namely up to 83%. Analysis by separating peat and non-peat land shows that the HS-cluster performs better on peat land with an accuracy of 62% compared to 57% on non-peat land. Without reducing the accuracy of hotspot observations, this research shows that the model can be relied on to assist stakeholders in the field in taking action. Therefore, this model can be implemented into daily hotspot monitoring in Indonesia.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2005
S26053
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chesti Ismayanti
Abstrak :
Skripsi ini menjelaskan tentang kasus penyerobotan lahan suku Badui di Banten, Jawa Barat. Masyarakat Badui merupakan salah satu masyarakat lokal atau masyarakat hutan di Indonesia. Wilayah Badui terbadi dalam 4 wilayah yaitu hutan larangan, wilayah Badui DaIam, wilayah Badui Luar dan wilayah pembatas antara wilayah suku Badui dengan wilayah luar Badui yang disebut Tanah Dangka. Masyarakat Badui sangat menggantungkan hidup pada hutan baik sebagai sumber ekonomi maupun sebagai sumber ritual. Kasus penyerobotan lahan Badui dimulai pada tahun 1953. Tahun 1957 penyerobotan lahan dilakukan oleh penduduk desa Sobang, Ialu pada tahun 1958, 1978 dan 1980-an dilakukan oleh penduduk desa Karangcombong. Kasus lain yaitu dengan penduduk desa Karangnunggal pada tahun 1968 dan 1969. Secara geografis, penyerobotan lahan Badui terjadi di bagian Timur dan Barat - Selatan. Reaksi masyarakat Badui terhadap masalah penyerobotan lahan hutan itu sangat cepat yaitu dengan langsung mengadukan kepada pemerintah pusat dan presiden sebagai penguasa tertinggi di Indonesia. Usaha masyarakat Badui kepada pemerintah berhasil, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat pada tahun 1968 yaitu menetapkan wilayah Badui.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S12207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 41 (2013) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library