Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Robertus Verico
Abstrak :
Sektor kehutanan adalah salah satu sumber bagi penerimaan pendapatan daerah. Oleh sebab itu pengelolaan hutan haruslah dilakukan secara lestari agar kesinambungan dari hasil hutan dapat tetap terjaga. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan yaitu memanfaatkan, merehabilitasi dan melindungi hutan. Dari kegiatan pemanfaatan hutan tersebut akan diperoleh pendapatan sektor kehutanan bagi daerah sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 yaitu yang berasal dari bagi hasil antara pusat dengan daerah berupa PSDH dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh peningkatan pendapatan daerah yang berasal dari sektor kehutanan dapat dilihat melalui pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan. Penelitian ini bersifat deskriptif dimana menggambarkan menurut apa adanya keadaan nyata pada saat penelitian mengenai pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan tehnik pengumpulan data dilakukan dengan Cara pengumpulan data primer melalui wawancara tak terstruktur dengan menanyakan langsung kepada aparatur pemerintah baik di provinsi maupun kabupaten dan para nara sumber yang ada sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan langsung di instansi-instansi pemerintah, studi berbagai dokumen dan literatur yang ada. Teknik analisa data yang dilakukan yaitu analisa data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan dokumen yang diolah secara tabulasi dan kemudian dilakukan analisa data meliputi aspek sosial, ekonomi dan budaya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hutan dalam meningkatkan pendapatan daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur belum berjalan dengan baik. lni disebabkan:
  1. Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam memanfaatkan hutan menemui hambatan berupa ketidaksiapan masyarakat setempat, Rehabilitasi lahan hanya 30% yang dilakukan justru kerusakan hutan yang meningkat sebesar 10% setiap tahunnya, kegiatan perlindungan hutan belum dapat mencegah kayu-kayu ilegal yang berasal dari kegiatan ilegal logging selain itu perlindungan hutan masih belum dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.
  2. Penerimaan PSDH sektor kehutanan tahun 1999-2002 mengalami penurunan 20% setiap tahunnya.
  3. Penerimaan PAD sektor kehutanan melalui Perda Nomor 14 Tahun 2000 memiliki banvak kelemahan yang justru menimbulkan terjadinya penurunan pendapatan bagi daerah serta peluang bagi ilegal logging dan praktek KKN.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan kembali rehabilitasi terhadap hutan-hutan yang telah rusak disamping meningkatkan perlindungan hutan dengan memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap para pelanggar agar penerimaan daerah dari hasil hutan dapat meningkat.
  2. Mencabut Perda Nomor 14 Tahun 2000 Kabupaten Kotawaringin Timur.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Asnawati Safitri
Abstrak :
Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dianggap bertanggungjawab pada munculnya dampak ekologis, ekonomis dan sosial pada kehidupan masyarakat lokal. Kajian-kajian yang membahas kebijakan umumnya hanya menganalisis substansi kebijakan, tetapi tidak mempertanyakan mengapa substansi semacam itu muncul. Kajian semacam ini dikatakan sebagai kajian isi kebijakan, sedangkan kajian yang membahas mengenai bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan diterapkan disebut sebagai kajian proses kebijakan. Dalam kajian proses kebijakan ada dua pendekatan yang biasa digunakan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Dalam konteks Indonesia kedua pendekatan itu lebih banyak digunakan untuk membahas kebijakan nasional daripada kebijakan daerah. Kajian ini menjelaskan hubungan antara substansi kebijakan yang ada di daerah dengan kebudayaan birokrasi dan lingkungan dimana birokrasi itu berada. Substansi kebijakan dipengaruhi oleh hasil interaksi antara kebudayaan birokrasi dan lingkungannya. Kebudayaan birokrasi adalah cara birokrasi mempersepsikan hutan, bentuk pengelolaan dan kepada siapa pengelolaan itu diberikan sedangkan lingkungan mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial dan politik. Lampung dan Kalimantan Timur dipilih untuk menunjukkan bahwa di dua daerah yang berbeda lingkungannya menghasilkan kebudayaan birokrasi yang sama dengan beberapa perbedaan nuansa dalam substansi kebijakan. Dalam konteks eksploitasi, birokrasi mempersepsikan hutan sebagai harta kekayaan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam waktu secepatnya. Dalam hal perlindungan dan pelestarian hutan birokrasi menganggap bahwa hutan harus segera dilindungi dari segala bentuk kegiatan eksploitasi dan untuk itu birokrasilah yang menjadi aktor tunggal yang berperan dalam perlindungan dan pelestarian hutan karena masyarakat tidak dapat dipercaya mampu menjalankan peran itu. Persepsi yang muncul dalam konteks perlindungan dan pelestarian hutan adalah reaksi dari kegagalan kebijakan eksploitasi. Persepsi itu mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, namun dalam beberapa kasus terjadi perubahan tekanan dan jenis kebijakan dari kebijakan eksploitasi menjadi kebijakan perlindungan dan pelestarian tetapi kebudayaan birokrasi masih menganggap bahwa hutan masih perlu dieksploitasi secepatnya. Kesamaan kebudayaan birokrasi ini disebabkan kuatnya pengaruh pemerintah pusat dalam menentukan gagasan dan tindakan birokrasi di daerah. Perbedaan nuansa kebijakan disebabkan berbedanya lingkungan fisik, ekonomi dan sosial. Karena perbedaan itulah maka Lampung lebih mengutamakan eksploitasi dan perlindungan pada lahan sedangkan Kalimantan Timur memilih kayu, gaharu dan sarang burung.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Nur Cahya Murni
Abstrak :
ABSTRAK Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rawan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena spesies biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar (Alikodra, 1995). Luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut dan hingga saat ini tinggal + 3,24 juta ha. Penyebarannya yang terluas kurang lebih 3 juta ha di Irian Jaya dan sisanya tersebar secara sporadis di Daerah Istimewa Aceh dan propinsi-propinsi : Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Maluku (Yayasan Mangrove, 1993). Peran serta masyarakat yang hanya terkait dengan kegiatan pemanfaatan tanpa memperhatikan kelestarian hutan mangrove, dapat merusak ekosistem hutan mangrove. Peran serta seperti ini perlu diubah, yaitu dengan cara meningkatkan kesadaran mereka untuk turut mencegah kerusakan hutan mangrove, yang meliputi kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari, agar manfaat hutan mangrove tersebut dapat berlangsung terus menerus. Hutan mangrove di Segara Anakan perlu mendapat perhatian yang serius untuk dilindungi dan dilestarikan, mengingat semakin meningkatnya permasalahan yang mengancam keberadaannya. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Segara Anakan adalah (ASEAN/US, 1992): 1. Penyusutan hutan mangrove karena diambil kayunya oleh masyarakat sekitar untuk bahan bangunan dan kayu bakar, serta adanya konversi hutan mangrove untuk lahan pertanian dan empang (tambak). Di antara tahun 1974-1978 telah terjadi kerusakan hutan mangrove kurang lebih 1.454 ha. 2. Belum mantapnya koordinasi dan masih lemahnya sistem informasi serta adanya tumpang tindih fungsi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove, sehingga menyebabkan ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab serta yurisdiksinya. 3. Banyaknya tanah timbul yang belum jelas status dan peruntukannya, mengakibatkan pemanfaatan yang kurang benar dan atau tidak terkendali. Hal ini juga mempengaruhi status kepemilikan lahan di beberapa kawasan di Segara Anakan, seperti kawasan Perum Perhutani, tanah milik penduduk dan Kawasan Nusakambangan. 4. Kondisi jalan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan air bersih sangat terbatas. 5. Pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kurangnya persepsi masyarakat tentang arti penting hutan mangrove dan terbatasnya kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan mangrove, menyebabkan kurangnya peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove Segara Anakan saat ini mendapat ancaman yang sangat serius, karena di samping adanya pemanfaatan oleh masyarakat, seperti dilakukannya penebangan kayu mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan tanpa dilakukan usaha rehabilitasi, juga adanya usaha membuka hutan mangrove untuk tambak dan kegiatan pertanian lainnya. Guna menjamin berlangsungnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian potensi perairan laut akan produksi ikan, diperlukan pengaturan dan pengelolaan yang menjamin kelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu saya melakukan penelitian dengan judul Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dengan tujuan untuk menghasilkan konsep pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove. Atas dasar hasil penelitian tersebut, ditetapkan pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat dan melindungi serta melestarikan hutan mangrove, melalui strategi yang meliputi, peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan dan pentaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang ketiganya sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia. Untuk melaksanakan strategi tersebut, masing-masing dilakukan dengan : 1. Pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang mencakup perlindungan, pelestarian, penelitian dan pemanfaatan dalam pengelolaan hutan mangrove. 2. Pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui sistem empang parit (silvofishery). 3. Pengembangan kelembagaan dengan meningkatkan tugas dan fungsi lembaga-lembaga yang ada di daerah penelitian dan secara langsung melibatkan peran serta masyarakat dengan membentuk Kelompok Tani Hutan Mangrove (KTH Mangrove). 4. Pengembangan pentaatan pelaksanaan peraturan perundangundangan melalui pemasyarakatan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove serta mempertegas pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar atau perusak hutan mangrove. Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan : 1. Kondisi hutan mangrove yang ada di daerah penelitian telah mengalami kerusakan dan luasnya mengalami penyusutan, baik diakibatkan oleh adanya penebangan secara ilegal, maupun usaha konversi lahan mangrove untuk kegiatan lain seperti pertambakan dan pertanian. 2. Kerusakan dan penyusutan hutan mangrove di daerah penelitian erat kaitannya dengan peran serta masyarakat, di mana mereka hanya memanfaatkan hutan mangrove tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya. 3. Pada umumnya kondisi masyarakat Segara Anakan berpendidikan rendah, kondisi sosial ekonomi rendah dan persepsi terhadap konservasi rendah. 4. Kondisi kelembagaan di daerah penelitian belum berjalan secara optimal, demikian juga pentaatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan 5. Berdasarkan hal tersebut di atas (angka 1,2,3 dan 4) perlu dikembangkan konsep peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang meliputi : a. Pengembangan sumber daya manusia melalui, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, menggunakan Cara Training of Trainers. b. Pengembangan sosial-ekonomi masyarakat melalui kegiatan empang parit (silvofishery). c. Pengembangan kelembagaan dengan menambah struktur organisasi di tingkat kecamatan sebagai upaya untuk lebih mendekatkan jangkauan pembinaan kepada masyarakat dan peningkatan tugas serta fungsi lembaga yang telah ada baik formal maupun informal. d. Pengembangan pentaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan melalui upaya pemasyarakatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove serta pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar. Upaya penaatan ini dilakukan secara menyeluruh dan terkoordinasi baik kepada masyarakat maupun aparat pemerintah. 6. Perlu ditingkatkannya kemampuan aparatur Pemerintah Daerah dan koordinasi antar instansi terkait di Segara Anakan.
ABSTRACT Mangrove forest is a special forest ecosystem due to, mainly, its position as a transition between terrestrial ecosystem and marine ecosystem. Its physical environmental condition which is very special has caused the mangrove ecosystem to possess limited biodiversity and this ecosystem is very fragile towards the presence of external influences, especially since the biota species in mangrove forest have limited tolerance towards the presence of changes from outside (Alikodra, 1995). Mangrove forests in Indonesia is ever decreasing in size and at present only 3.24 million ha remain. The most extensive distribution is about 3 million ha in Irian Jaya and the remainder are scattered sporadically in areas of special territory of Aceh and provinces, including : North Sumatera, Jambi, Riau, West Sumatera, South Sumatera, Bengkulu, Lampung, West Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan, South Kalimantan, DKI Jakarta, West Java, Central Jawa, East Jawa, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, South Sulawesi, Central Sulawesi, South-east Sulawesi, North Sulawesi and Maluku (Yayasan Mangrove, 1993). Community participation that is only related to exploitation activities without observing the preservation of the mangrove forest may destroy the mangrove forest ecosystem. This participation should be changed, namely by raising the awareness to participate in preventing mangrove forest destruction covering activities like protection, preservation and utilization in a proper can manner so that the benefit arising from the mangrove forest can be harvested continuously. The mangrove forest in Segara Anakan needs serious attention to protect and preserve its existence, since increasing problems threatened its very existence. Several problems related to its management include (ASEAN/US, 1992) : 1. The mangrove forest is reduced in size, due to the need of wood as building material and energy source of the surrounding community, as well as its conversion into agricultural land and fish ponds. Between 1974-1987 some 1.454 ha of mangrove forest was destroyed. 2. The lack of coordination and weak information system As well as overlapping functions between related institutions in mangrove forest management resulted in obscure authority, responsibility and respective jurisdiction. 3. The unclear status of land and its respective allocations, resulted in improper utilization and or uncontrollable situation. These, also influenced the ownership of land in several areas of Segara Anakan, like Perum Perhutani complex, inhabitants ownership and the Nusakambangan complex. 4. The condition of roads, health facilities, educational facilities and clean water is very much limited. 5. The community educational level that is still low as well as the lack of community perception as to important meanings of the mangrove forest. resulted in limited community participation in endeavors of protection and preservation of mangrove forest. Segara Anakan mangrove forest is at present being seriously threatened because besides. Its utilization by the community without rehabilitation efforts, there is also the activity of clearing and opening up the mangrove forest for fish ponds or other agricultural activities. To guarantee the continuation of community socio-economic life and coastal marine potential preservation of fish production proper management and regulations are needed that will guarantee the preservation of mangrove forest. Hence, this study : Community participation in mangrove forests management" is carried out. The purpose of this study is to formulate a thesis as a requirement to obtain a Master of Science degree (MSi) in Environmental Sciences at the Postgraduate Program University of Indonesia. The objective is to produce a community participation development concept in mangrove forest management. Based on the results of the study, community participation development in mangrove management is determined. The objective is to promote community socio-economic status and protect as well as preserve the mangrove forest through a strategy that covers the promotion of community socio-economic condition, institution and observance of laws and regulation implementation, all of which are very much dependent on the capacity of human resources. To implement the strategy, each is carried out by : 1. Development of human resource quality by way of education and training activities as well as communication, information and education which cover protection, preservation, research and utilization in mangrove forest management. 2. Community socio-economic development by way of silvo-fishery system. 3. Institutional development by improving the task and functions of available institutions in the study area and directly involve community participation by establishing mangrove forest farmers group. 4. Laws and regulations implementation observance development by way of popularization of laws and regulations relating to mangrove forest management as well as stressing the implementation of sanctions towards trespassers or mangrove forest destroyers. Based on the findings of the study, the following conclusions were made : 1. The mangrove forest condition in the study area has suffered damage and its size is reduced, both due to illegal felling and efforts towards conversing the mangrove grounds for agricultural and fish ponds purposes. 2. Mangrove forest damage and reduction in the study area is closely related to community participation, such as mangrove utilization without considering the aspects of preservation. 3. The condition of socio-economic, education and perception the local community in the study area are limited. 4. The capability of institution and law enforcement in the study area are weakness. 5. Based on the finding of the study, the following conclusions for development of human participation for the mangrove forest management : a. Human resource development by way of education, training and communication, information and education to the community using the "Training Of the Trainers" method. b. Community socio-economic development by way of silvofishery. c. Institutional development as well as for the kecamatan level by raising the duty and .functions of available institutions both formal as well as informal. d. Laws and regulations implementation observance development by way of popularization endeavours of laws and regulations related to mangrove forest management as well as strict sanctions implementation toward trespassers. This observance endeavours is carried out in a comprehensive and coordinated manner, both to the community as well as government apparatus. 6. To develop the capability of government apparatus and coordination between related institutions for management of Segara Anakan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Asoka
Abstrak :
ABSTRAK
Proses penurunan kualitas dan kuantitas hutan di Minangkabau Sumatera Barat, sesungguhnya sudah dimulai sejak awa1 abad ke 20, khususnya sejak adanya campur tangan negera (Pemerintah Kolonial Belanda) dalam pengelolaan hutan.
Sejak adanya control Pemerintah Kolonial Belanda terhadap hutan di Minangkabau maka dikeluarkanIah berbagai kebijakan yang memungkinkan terjadinya komersialisasi sumber daya hutan dalam skala besar, dan berkonsekwensi pada terjadinya pembukaan hutan dalam skala besar pula.

Adanya dominasi Pemerintah Kolonial Belanda terhadap hutan sekaIigus menunjukkan terjadinya perubahan dalam sistem pengelolaan hutan di Minangkabau. Sejak saat itulah mulai diperkenalkan sistem pengelolaan hutan yang dianggap rasional dan modern yang menentukan adanya hak negara (Pemerintah KoloniaI Belanda) untuk mengatur akses berbagai lapisan masyarakat terhadap hutan, demi terjaganya keselamatan dan kelestarian hutan. Namun demikian, dibalik semua itu, juga terselip kepentingan Kolonial Belanda terhadap hutan. Bagaimanapun juga, sistem tersebut jelas bertentangan dengan konsepsi masyarakat Minangkabau tentang pengelolaan hutan yang selama ini penguasaannya dilimpahkan kepada para penghulu yang tergabung dalam Rapat penghulu atau Dewan Nagari.

Dari aturan-aturan yang dibuat Pemerintah Kolonial BeIanda terlihat kesan adanya usaha untuk membatasi akses masyarakat Minangkabau terhadap hutan. Padahal hutan, baik areal maupun produknya, merupakan bagian yang integral dari kehidupan eknnominya. Oleh sebab itu tidaklah mudah bagi masyarakat Minangkabau untuk menerima berbagai aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Artinya, disini juga banyak timbul berbagai bentuk "penentangan" dari masyarakat Minangkabau. Oleh sebab itu Pemerintah Kolonial mencoba mengambil langkah-langkah yang kompromistis, demi terjaganya berbagai kebutuhan Pemerintah kolonial terhadap sumber daya hutan. Dalam hal ini masyarakat diperkenankan dan dirangsang untuk mengeksploitasi hutan. Untuk hal itu, direspon secara baik oleh masyarkat Minangkabau, mengingat prospektifnya pekerjaaan tersebut.

OIeh sebab ltu dapat dikatakan bahwa perambahan atau pembukaan hutan dalum skala besar di Minangkabau Sumatera Barat pada awa1 abad ke 70 dilakukan oleh berbagai golongan masyarakat dengan status yang berbeda-beda. Akan tetapi, dalam hal ini negara sangat berperan bagi terciptanya suatu kawasan hutan yang gunduI atau tidak.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Arifatul Ulya
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya penurunan devisa dari sektor kehutanan secara terus menerus yang perlu ditindaklanjuti dengan peningkatan produksi dan produktivitas. Sementara itu terdapat kontradiksi antara usaha untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri berbasis kehutanan dengan upaya konservasi. Dengan terbatasnya kawasan hutan produksi maka diperlukan pengelolaan yang efisien agar dalam jangka.panjang kelestarian hasil tercapai tanpa harus mengancam kawasan konservasi. Diharapkan dengan adanya efisiensi dalam pengelolaan HTI maka dengan luas areal konsesi yang terbatas HTI dapat berproduksi secara. lestari. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produksi yang telah dicapai HTI dan mengetahui tingkat efisiensi teknis HTI. Dengan kerangka analisis fungsi produksi Cobb-Douglas yang dilinearkan, ukuran efisiensi teknis diketahui dengan menjumlahkan koefisien regresi yang merupakan elastisitas dari masing-masing faktor produksi. Output yang berupa luas realisasi penanaman diduga dipengaruhi oleh luas target penanaman, bibit, pupuk, herbisida dan tenaga kerja baik yang berupa karyawan maupun buruh. Data yang digunakan merupakan data bulanan dari tahun 1999 sampai 2004 yang bersumber dari manajemen PT. Musi Hitan Persada. Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor produksi yang secara statistik berpengaruh terhadap produksi hutan tanaman industri PT. Musi Hutan Persada yang diwakifi oleh luas realisasi penanaman sebagai cerminan dari kelestarian basil adalah luas areal yang harus ditanami, herbisida yang digunakan dalam kegiatan penanaman dan tenaga kerja yang berupa karyawan. Faktor produksi yang berupa jumlah bibit yang digunakan, tenaga kerja yang berupa buruh dan pupuk yang digunakan dafam kegiatan penanaman tidak signifikan mempengaruhi produksi (luas realisasi penanaman). Tingkat kombinasi penggunaan input (faktor produksi) dalam kegiatan produksi berada pada kondisi belum efisien secara teknis karena berada pada posisi decreasing returns to scale yang berarti persentase pertambahan produksi yang diperoleh lebih kecil dari persentase pertambahan faktor produksi yang digunakan. Sedangkan proses produksi masih berada pada daerah yang rasional untuk berproduksi. Besarnya skala operasional perusahaan yang antara lain dicerminkan oleh luasnya areal konsesi HTI tidak mencerminkan efisiensi perusahaan. Bagi penentu kebijakan di sektor kehutanan hal ini mengimplikasikan perlunya diketahui skafa operasional yang ideal agar dihasilkan output optimal dengan efisiensi teknis sebagai salah satu pertimbangan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Porkas
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , 2002
634.9 POR m (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Porkas
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
634.9 SAG m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fisher, Robert
Bogor: Centre for International Forestry Research (CIFOR), 2007
634.92 Fis a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Silvia Dale
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh warga di Dusun Bogoran, Wonosobo. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan terlibat, wawancara, dan studi kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hutan rakyat merupakan salah satu bentuk guna lahan yang dominan di Bogoran. Dalam hutan tersebut terdiri dari berbagai jenis tanaman. Hutan rakyat sudah sejak lama dikelola oleh warga Bogoran. Ini disebabkan karena wanatani adalah bidang pekerjaan utama warganya sejak dahulu. Hutan rakyat ini menjadi sumber produksi, penghasilan warganya, dan juga sumber pakan ternak. Warga Bogoran menyadari pentingnya arti hutan secara ekonomi dan ekologis bagi kehidupan mereka. Petani hutan di Bogoran memiliki pola pikir yang sederhana terhadap hutan rakyat yaitu mereka hidup dari hutan sehingga hutan harus dikelola dengan baik agar hutan dapat terus menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Warga Bogoran melihat hutan sebagai kehidupannya. ......This study focuses on forest management based on local community in Bogoran Hamlet, Wonosobo. The research was conducted by using qualitative research approach through observation, interview, and literature study method. The result of this study showed that forest management based on local community is one of the dominant land use in Bogoran. This is because agroforestry is community's main occupation since old times. Forest community becomes product resources, community's income, and also the source of livestock feed. Bogoran community not only recognize the importance of forest on ecomony value, but also the importance of forest ecological value for their lives. Farmers in Bogoran have simple mindset, they live in forest so the forest must be managed properly for making money to fulfill their needs. Bogoran community seeing forest as their lifes.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Geger Riyanto
Abstrak :
In his classical work title Political Order in Changing Society, Huntingington (1968) explained that in one side order involved political institutionalization, whereas in the other side the institutionalization needs a strong economic foundation. The economic crises that took place in the mid of 1960s and in 1997 have a bearing on the political order in Indonesia. As non-oil and gas commodities of export, forests with its relatively high market price had also been affected, particularly the institutionalization of its management. This article attempted to find the relation between political order and forest management in Indonesia.
Depok: LabSosio, Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sossial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
301 MAS 13:2 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>