Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akmal Hasan
Abstrak :
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu bentuk upaya terhadap konservasi yang mempunyai fungsi dan peran penting sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sisters zoning yang telah dideklarasikan pada The IV th World Congres on National Park and Protected Area di Caracas, Venezuela 1992. Penelitian dengan judul "Sebaran Wilayah Berpotensi Rawan Perambahan Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Dan Sekitarnya" bertujuan ingin mengkaji perubahan spatial terhadap kondisi wilayah yang telah ditentukan menurut hukum yang secara formal (legal) maupun yang terjadi saat ini berkembang. Adanya penetapan suatu daerah Taman Nasional sering menimbulkan konflik antara masyarakat sekitar dengan pihak pengelola, untuk mengurangi gangguan tersebut perlu adanya pengaturan yang memadai untuk kehidupan masyarakat serta pengetahuan tentang pentingnya kawasan hutan/ Taman Nasional sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitar. Sasaran yang ingin dicapai secara umum memberikan kerangka pendekatan yang dapat mengakomodasikan kepentingan sosial masyarakat disekitar bufferzone Taman nasional Gunung Gede Pangrango. Secara singkat perrmasalahan yang muncul dalam study ini adalah "bagaimana sebaran wilayah rawan rambah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, baik menurut kebijakan Pemerintah maupun keberadaan (existing) penggesarannya?" selanjutnya, pertanyaan lainnya adalah "dimana wilayah yang berpotensl rawan rambah ?". Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh perubahan spatial penggunaan lahan yang secara fisik rawan rambah terdapat diwilayah bagian utara TNGGP pada Kabupaten Bogor khususnya di kecamatan Caringin, Megamendung dan Ciawi. Sedangkan Kabupaten Sukabumi adanya penambahan areal kawasan hutan khususnya di Kecamatan Cisaat. Kata Kunci : Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kebijaksanaan Pemerintah, Konservasi, Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Masyarakat, Rawan Perambahan, Penggunaan Lahan.
a Distribution Which is Potential to be Encroached in Gunung Gede Pangrango National Park and Its Surrounding.Gunung Gede-Pangrango National Park has been determined as a National Park by the Ministry of Agriculture in 1980. As a conservation area, the National Park has its function as a protection of livelihood buffer system and sustainability biodiversity including its ecosystem. According to law no. 5/1990 concerning Conservation of Natural Resources and Biodiversity with its ecosystem, it has been defined that as a nature reserve area which has natural and original ecosystem, the area should be managed by zoning system such as being declared by the IV th World Congress on National Park and Protected area in Caracas, Venezuela 1992. The Research on :"Area Distribution which is potential to be encroached in Gunung Gede Pangrango National Park and its surrounding:, has objective to analyze the spatial change of area condition which has been defined based on legal and formal law or based on situational condition. By declaring the area as a National Park, it has caused conflict between community surrounding the area and the management site. To minimize the conflict, it is needed a standard regulation for a community livelihood and a knowledge on how important is the forest area/National park as a buffer for livelihood of the community. The general objective is to give a framework of approach which could accommodate social communities' needs in the buffer zone of Gunung Gede-Pangrango National Park. In Brief, the problem rise on this study is about "How is the distribution pattern of the area potential to be encroached in Gunung Gede-Pangrango, either based on the Government policy or by the existing movement?" and the next question is : "Where is the area potentially being encroached?" Result of the study showed that there has a spatial change in using area that physically potential being encroached. The areas are located within the North Part of Gunung Gede-Pangrango National Park that is in Bogor District especially in Caringin Regency, Megamendung and Ciawi. The other location is in Sukahumi district, which is located in Cisaat Regency. Keywords: Gunung Gede-Pangrango National Park, Government Policy, Conservation, Biodiversity Natural Resources and Ecosystem, Community, Encroachment, Land Use.
2001
T2819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Warlina
Abstrak :
Management of Conservation Region in Bandung Basin using Bioregional Planning ApproachThe title of the research thesis is "Management of Conservation Region in Bandung Basin using Bioregional Planning Approach". The research objective is to understand the change of bio-geophysical aspects according to time and spatial dimensions. In general, regional planning is attempted by partial approach, i.e. sectors. Therefore, the benefit is not for longer term of development. Having such a limitation, one could consider more comprehensive approach. Bioregional planning concerns with bio-geophysical and social aspects in managing the region. This might be more appropriate for longer term regional development plan. In this research, the element of land use taken account was the forest region. So that, in managing conservation area in Bandung Basin, bioregional planning approach was applied. In this research, the conservation considered was the forest region. The method of research was using geographical information system application and regression analysis. Variables measured were land-uses in 1986, 1993 and 1997; and changes for the periods. Other variables were slope and altitude. Variables of social aspects used were population density and population proportion for agriculture. To measure land use change, overlaying technique was applied. The result showed that forest area in 1986 - 1993 reduced rapidly and changed for settlement, encroaching about 1 331.49 hectares covered 25 kecamatan. The largest part of this area was in Kecamatan Cimenyan. The change in period of 1993 to 1997 was 13.79 hectares; this occurred only in Kecamatan Cimenyan. Overlaying method of slope and land use, gave result in that there were settlements in region with slope of more than 50% and covering about 135.64 hectares in 1993 and 58.87 hectares in 1997. The result of regression analysis was the forest area in 1986 related closely to population density. This was concluded from R-square of more than 0.5 in the first and second segment of the selected study areas. The co-relation of forest area variables and population percentage in agricultural sector gave a good result in the third segment in 1997. This concluded that the major driving force of reduction in forest area was due mainly to the population percentage in agricultural sector, not to the population density upon forested area. In conclusion, the information can be used as an input for regional planning because it concerns with biological components caring for sustainable managing conservation in Bandung Basin. Further research might be expanded to involve some aspects, especially on the community participation for agricultural sector and vegetation analysis for biodiversity study.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2000
T10053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siombo, Marhaeni Ria
Abstrak :
ABSTRAK Pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan hidup merupakan pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab. Sumber daya alam merupakan wujud dari keserasian ekosistem dan keserasian unsur-unsur pembentuknya yang diperlukan sebagai modal dasar pembangunan nasional yang wajib dikelola secara bijaksana, sehingga penggunaan dan pemanfaatannya dapat berlangsung secara lestari, seimbang, selaras dan serasi. Oleh karena itu diperlukan upaya konservasi, sehingga sumber daya alam yang menjadi tempat bergantung keberlangsungan hidup manusia tidak akan habis dan punah. Salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap masalah konservasi adalah dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1990. Salah satu konservasi daratan adalah konservasi hutan yang meliputi suaka alam, hutan wisata, hutan lindung dan Taman Nasional (Atmawidjaya, 1991:3). Taman Nasional Lore Lindu merupakan salah satu taman nasional yang terletak di Sulawesi Tengah, yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 429/kpts/org/7/1978 sebagai kawasan pelestarian alam eselon IV yang kemudian pada Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 di Bali, 14 Oktober 1982 ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas areal 229.000 ha, berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982. Kelestarian kawasan Taman Nasional Lore Lindu makin terancam oleh perambahan yang terus meningkat dan menurunnya sumber daya alam yang dikandung serta minimnya pengembangan sarana-sarana konservasi. Pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi adalah pencurian rotan, penebangan kayu, perkebunan rakyat dalam kawasan terlarang, serta perburuan satwa langka. Dalam taman nasional ini terdapat empat desa yang telah ditetapkan sebagai enclave atau daerah kantong. Mereka hidup di wilayah ini sejak berabad-abad yang lalu, sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Penduduk diperkenankan untuk memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya dalam batas-batas tertentu yang disebut Zona Pemanfaatan Tradisional. Keberadaan penduduk yang saat ini berjumlah lebih kurang 2756 jiwa atau terdapat sejumlah 648 KK dengan luas zona pemanfaatan tradisional yang disediakan lebih kurang 10.000 ha. Luas keempat desa tersebut 279 km2 (27.900 ha), adanya pertambahan penduduk akan mengakibatkan kawasan ini peka terhadap pelanggaran sebab jumlah penduduk akan terus bertambah. Tetapi pada sisi lain dalam kebiasaan-kebiasaan hidup mereka sehari-hari terdapat nilai-nilai yang sangat mendukung program konservasi, yang merupakan cerminan kearifan orang-orang Lindu dalam berinteraksi dengan alam. Dengan kondisi alam dan sarana transportasi yang sangat minim membuat mereka terisolasi dari wilayah lainnya. Satu-satunya sarana transportasi untuk sampai ke wilayah ini adalah dengan berkuda. Adat istiadat mereka yang masih kuat berlaku, belum banyak terpengaruh dengan budaya lain. Kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan terutama yang berkaitan dengan alam hingga kini masih ditaati. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah undang-undang yang khusus mengatur masalah konservasi sumber daya alam. Pelaksanaan peraturan di bidang konservasi belum efektif berlaku dalam Taman Nasional Lore Lindu; prinsip dan nilai tradisional yang hidup di kalangan masyarakat Lore Lindu berpengaruh pada strategi pengelolaan taman nasional; keterbatasan sarana dan prasarana merupakan salah satu sebab potensial timbulnya berbagai pelanggaran terhadap kawasan taman nasional. Ketiga hal diatas merupakan hipotesis kerja yang mempedomani penulis dalam melakukan penelitian. Lokasi penelitian meliputi keempat desa yang berada dalam enclave Dataran Lindu, Kec. Kulawi, Kab. Donggala. Tipe penelitian ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan tentang pelaksanaan peraturan di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem pada Taman Nasional Lore Lindu dan kebiasaan masyarakat yang masih berlaku yang erat kaitannya dengan konsep konservasi. Untuk mendapatkan data primer digunakan pengamatan, wawancara dan partisipasi terbatas. Pengamatan diarahkan pada apakah prinsip-prinsip yang hidup dalam masyarakat pedesaan Dataran Lindu masa lalu masih ada pada saat ini dan apakah prinsip-prinsip tersebut dapat menunjang pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem yang ada dalam taman nasional, sebagaimana dapat dilihat dalam tingkah laku serta keputusan mereka sehari-hari. Dalam wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat pada pedoman wawancara. Responden terdiri atas dua golongan yaitu masyarakat yang tinggal dalam enclave dan staf pengelola taman nasional. Dari kalangan masyarakat diambil 10% dari jumlah Kepala keluarga masing-masing desa dan anggota Lembaga Adat Dataran Lindu yang berjumlah 7 (tujuh) orang. Staf pengelola taman nasional yang diwawancarai disesuaikan dengan tugas atau jabatannya, yang terdiri atas; Kepala Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang merangkap Pemimpin Proyek Taman Nasional, staf administrasi dan Jagawana/Polisi Hutan yang berada di lokasi taman nasional. Partisipasi terbatas dilakukan dengan tinggal beberapa lamanya di desa yang menjadi fokus penelitian. Tujuan penelitian ini adalah: Mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam upaya pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu; Menginventarisasi nilai-nilai tradisional yang berkaitan dengan program konservasi; Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1990 dalam upaya optimalisasi pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu. Analisis normatif dilakukan dengan mengklasifikasi peraturan-peraturan yang terkait atas dasar kronologi kemudian dianalisis dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang mencakup subyek hukum, hubungan hukum, hak dan kewajiban. Dengan demikian dapat dilihat apakah peraturanperaturan tentang konservasi sudah efektif berlaku pada Taman Nasional Lore Lindu. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah masyarakat Lindu telah mempraktekkan sebagian dari prinsip-prinsip konservasi yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini terbukti dengan adanya nilai-nilai dalam kepercayaan masyarakat Lindu yang sudah lama dikenal dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang secara tidak langsung mendukung program konservasi. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan kearifan orang Lindu dalam berhubungan dengan alam.
ABSTRACT The national sustainable development is a development, which utilizes the natural resources in a responsible manner. Natural resources are the continuation of their constituents required as a fundamental capital for the national development, which should be operated on discretionally such that its utilization and its benefits could be continuously carried on and balanced. Therefore conservation is needed, so that the natural resources, which constitute the location on which human existence depends on, should not be used up. One of the concerns of the Government on the issue of conservation is the law provision No.5, 1990. One of the land conservation is the forest conservation, which has conveyed of natural preservation, landscape forestry, reservatory forest and the national parks (Atmawidjaya 1991:3). The National Park Of Lore Lindu is situated in Central Sulawesi, which was established through the Decree of the Minister of Agriculture No. 427/kpts/org/7/1978 as the zone of natural conservation classification IV which then in the third World Congress of National Parks in Bali on October 14th, 1982 was set up as a national park covering an area of 229,000 ha based on the Decree of the Minister of Agriculture No 736/Mentan/X/1982. The Lore Lindu National Park has been increasingly threatened by the increasing deforestation and the decline of natural resources while the facilities used for conservation are absolutely limited. In this national park there were found four villages were established as the enclaves or pocket zones. They have been living in the zones since centuries ago, prior to the establishment of these zones as a conservation area. The people have been allowed to take the advantages of the existing area surrounding properly the area called is the intensive use zone (traditional zone). The recent is population is 2758 people and/or 648 of heads of households with the traditional beneficiaries zone covering an area of 10.000 hectare of the Lindu enclave area (145.000 ha). It is potential to make this zone prone to violations due to the increasing number of the population. But on the other hand, in their customary daily living, there were found a set of values, which support the conservation program, and reflect the wisdom of local people in their interaction with the nature. The condition of nature and the minimum availability of transportation facilities, make them isolated from the other areas. The Main transportation facility used in the intensive zone is horses. Their customary wisdom, which is strongly prevailing, is not influenced by other cultures. Indigenous knowledge that related to nature still exists. The Act No. 5/1990 is the provision, which is, aimed at solving the problems of conservation of natural resources. The implementation of this provision has not yet been effective; there are principles and traditional values existing among the community. The limitations of facilities and planned facilities are the potential causes of the various problems relating with the zone of Lore Lindu National Park. The three things in my hypothesis become the guideline in conducting this research. The research location covers four villages from the enclave of Lindu, the district of Kulawi, Donggala. The type of this research is descriptive which tries to describe the implementation of provision concerning conservation of the living resources and use of the ecosystem in Lore Lindu National Park in relation with prevailing traditional customs of local community related to the concept of conservation. To get the primary data, participant observation and limited interviews and are conducted. The observation was conducted towards the existing values of the local community of Lindu Plateau of the past and the principles supporting the continuation of living resources and its ecosystem, as seen in their daily living. In the interviews, the questions did not have specific structure but were always focused on the interviews guidance. The respondents had consisted of two groups, i.e., the community members living in the enclave and the operational staff members of national park. They are 10% of the population from each village and 7 members of the institute of traditional customs of Lindu Plateau. The operational staff members consist of The head of Sub Chamber of Natural Resources Conservation; administration Staff members and the Security Staff of Lore Lindu national park. Limited participation is occasionally carried out in the villages during this research. The objectives of the research are to find out: a. The retarding and supporting factors in the effort of supporting the of Lore Lindu National Park management. b. To what extent the implementation of Act No 5, 1990, is effectively implemented in the effort of optimally the management of the Lore Lindu National Park. The data analysis is carried out qualitatively concerning the support of several theories Explaining the correlation between the law and the principles of traditional beliefs (indigenous knowledge). The conclusion of this research is that the Lindu community has practiced part of the conservation principles found in the jurisprudence. This matter has been attested by the existence of values in the belief of Lindu community, which have long been known and practised, in daily living and indirectly supporting the conservation program. These values have been the reflection of the wisdom of Lindu people in their inter-course with the nature. The provision of the jurisprudence in the field of conservation has not yet been implemented optimally; several important things found in the provisions have not yet been carried out in the operation of Lore Lindu National Park. Facilities and planned facilities are very inadequate and becoming a retarding factor in operating and developing this national park. The supporting factor in operating and developing this national park is the existence of values of traditional customs of the local community, which supports the conservation program, and reflects their wisdom in their intercourse with the nature.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Gde Pujaastawa
Abstrak :
Tema kajian ekologi budaya umumnya mencoba menyimak hubungan antara fenomena-fenomena budaya dengan masalah-masalah lingkungan. Tidak sedikit dari kajian tersebut mengungkap tentang peran positif kebudayaan-kebudayaan tradisional bagi kelestarian lingkungan. Dalam berbagai sistem kepercayaan tradisional misalnya, kerap terungkap bentuk-bentuk kearifan ekologi yang berperan sebagai mekanisme kontrol yang efektif terhadap perilaku pemanfaatan lingkungan. Namun demikian, kepercayaan tradisional yang telah lama mengakar ada kalanya tidak sepenuhnya dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan. Munculnya tindakan konversi yang dilakukan oleh penduduk Dusun Taro Kaja terhadap Hutan Taro, merupakan kasus yang diharapkan cukup menarik untuk ditelaah di sini. Kawasan Hutan Taro dan lembu putih sebagai satwa penghuninya merupakan satu kesatuan ekosistem alami yang sangat terjaga kelestariannya. Penduduk setempat telah sejak lama memperlakukannya dengan sangat hormat dan pantang melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestariannya. Menurut kepercayaan mereka, kawasan hutan dan lembu putih tersebut diyakini sebagai suatu sistem lingkungan yang suci dan keramat milik dewa-dewa yang melindungi kehidupan mereka. Meskipun demikian, keberadaan hutan yang sekaligus merupakan habitat lembu putih itu pada akhirnya tak terhindar dari tindakan konversi yang justru dilakukan oleh para pendukung kepercayaan tersebut. Tindakan tersebut mengakibatkan berubahnya ekosistem alami Hutan Taro menjadi lahan pertanian (agroekosistem). Sedangkan lembu putih yang sebelumnya hidup secara liar kemudian dipelihara dalam sebuah kandang kolektif dengan sistem kereman dan keberadaannya tetap diyakini sebagai binatang suci milik dewa. Namun, berbeda dengan pemeliharaan ternak sapi umunya, berbagai macam pantangan yang dilandasi oleh kepercayaan terhadap binatang suci itu mengakibatkan tidak nampak adanya manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung. Masalah tersebut akan dicoba dipahami dengan menjawab sejumlah pertanyaan yang diformulasikan sebagai berikut : (1) Mengapa penduduk Dusun Taro Kaja berani melakukan tindakan konversi terhadap Hutan Taro, padahal sejak lama mereka telah menjaga keberadaannya sebagai suatu ekosistem alami yang dianggap suci dan keramat?; (2) Bagaimana proses dan mekanisme berlangsungnya konversi Hutan Taro?; (3) Mengapa penduduk masih mempertahankan keberadaan lembu putih sebagai binatang suci dan memeliharanya dengan sistem kereman, padahal tidak nampak manfaat-manfaat nyata yang dapat diperoleh secara langsung sebagaimana dalam pemeliharaan ternak sapi pada umumnya?. Masalah tersebut dijelaskan dengan berpijak pada pendekatan materialisme budaya yang cenderung melihat kondisi-kondisi material (infrastruktur) seperti teknologi, ekonomi, demografi, dan ekologi sebagai titik berangkat dalam menjelaskan berbagai fenomena sosial budaya. Strategi teorotis materialisme budaya menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial budaya merupakan respon adaptif terhadap kondisi-kondisi infrastruktur yang menopang keberadaan suatu sistem sosial-budaya. Hal tersebut sesuai dengan konsep desa - kala - patra dan desa mawacara yang menyatakan variasi dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia sangat terkait dengan kondisi zaman dan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan mengenai praktik kepercayaan yang terpelihara dalam masyarakat dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk respon adaptif terhadap kondisi-kondisi ekologi dan ekonomi. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut mengandung logika rasionalitas yang tersembunyi dan tidak disadari oleh sebagian besar pendukungnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana pengumpulan data lebih banyak dilakukan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara langsung dalam kancah penelitian. Kajian ini melahirkan temuan dengan simpulan sebagai berikut: Meskipun keberadaan Hutan Taro dengan satwa lembu putihnya oleh penduduk setempat diyakini sebagai ekosistem yang suci dan keramat, namun keyakinan tersebut tidak sepenuhnya mampu mencegah munculnya perilaku-perilaku yang dapat mengganggu kelestariannya. Meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan dan teknologi bercocok tanam yang masih bersifat tradisional, merupakan faktor-faktor relevan yang melatarbelakangi munculnya tindakan konversi hutan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat telah mengakibatkan terjadinya involusi dalam bidang pertanian dan fragmentasi tanah secara terselubung. Sementara itu, teknologi bercocok tanam yang diwarisi secara turun-temurun tidak mengajarkan mereka tentang bagaimana meningkatkan hasil produksi melalui bercocok tanam secara intensif. Hal tersebut mengakibatkan mereka terbelenggu dalam kondisi-kondisi kemiskinan. Kenyataan-kenyataan tersebut akhirnya mendorong mereka untuk memberanikan diri mengalihfungsikan Hutan Taro menjadi tanah tegalan, walaupun tindakan tersebut diyakini penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Di samping itu, mencuatnya isu land reform disertai agitasi-agitasi politik yang bertemakan "tanah untuk petani" merupakan faktor yang sangat mendukung bagi terwujudnya gagasan konversi. Sementara di sisi lain, keberadaan lembu putih tetap diyakini sebagai binatang suci dan keramat, serta dijaga kelestariannya dengan pemeliharaan sistem kereman. Terlepas dari pandangan secara normatif, hal tersebut sesungguhnya mengandung sejumlah manfaat, yaitu : (1) mengatur dan melegitimasi pemanfaatan faktor-faktor produksi, khususnya tanah pertanian; (2) melindungi tanaman budidaya dari kemungkinan serangan mamalia besar khususnya satwa lembu putih; (3) mencegah terjadinya kontak seksual antara lembu putih dengan sapi-sapi lokal peliharaan penduduk, sehingga kemurnian genetik masing-masing jenis tetap terjaga; dan (4) keberadaan lembu putih sebagai satwa endemik disertai dengan berbagai bentuk tradisi yang dilandasi kepercayaan terhadap lembu putih sebagai binatang suci, cukup potensial bagi pengembangan pariwisata setempat.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Corryanti Triwahyuningsih
Abstrak :
ABSTRAK Pembinaan ekosistem hutan dilakukan antara lain melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman di wilayah-wilayah kritis dan lahan kosong. Dengan membangun hutan tanaman pada lahan-lahan kritis diharapkan akan memberi dampak positip, baik terhadap makhluk hidup yang ada di dalam hutan maupun masyarakat di sekitarnya. Pembangunan hutan tanaman dilakukan antara lain dengan cara tanam banjarharian dan cara tanam tumpangsari dengan penanaman jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh. Kegiatan pembangunan hutan tanaman cukup penting dibicarakan karena menyangkut banyak aspek, baik aspek ekologi, maupun aspek sosial ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pembentukan vegetasi hutan tanaman melalui penerapan cara tanam banjarharian dan cara tanam tumpangsari. Penelitian memakai rancangan percobaan faktorial. Perlakuan adalah semua kemungkinan kombinasi taraf dari beberapa faktor, yakni jenis akasia dalam cara tanam banjarharian, jenis akasia dalam cara tanam tumpangsari, jenis albisia dalam cara tanam banjarharian dan jenis albisia dalam cara tanam tumpangsari. Analisis data melalui analisis keragaman, analisis uji jarak berganda Duncan, analisis tabel kontingensi disertai analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan vegetasi hutan dalam cara tanam tumpangsari tumbuh lebih cepat daripada dalam cara tanam banjarharian. Jenis akasia tumbuh lebih cepat dibanding albisia. Penutupan tajuk tanaman dalam cara tanam tumpangsari lebih luas daripada dalam cara tanam banjarharian. Kerapatan tegakan menunjukkan kecenderungan menyusutnya jumlah batang perhektar pertahun sekitar 116 batang baik dalam cara tanam banjarharian maupun dalam cara tanam tumpangsari. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan permudaan menunjukkan dalam cara tanam banjarharian jenis tanaman lebih beraneka dibanding dalam cara tanam tumpangsari. Kerapatan tumbuhan bawah dan permudaan menunjukkan tidak terdapat kerapatan individu yang menyolok antar kedua cara tanam. Jenis-jenis yang tumbuh dalam hal ini menunjukkan jenis-jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat. Jenis albisia terlihat tumbuh tertekan di lingkungan setempat dibanding jenis akasia. Untuk menghindari hutan rnonokultur melalui hanya menanami akasia yang sudah terlihat tumbuh baik, perlu mencari substitusi jenis albisia untuk pencampuran jenis dalam tegakan hutan. Jenis puspa yang gampang tumbuh di lingkungan setempat perlu dipertimbangkan dalam hal ini. Pemupukan yang dilakukan harus diupayakan secara baik terutama saat-saat awal penanaman di lapangan. Tumbuhan bawah dan permudaan yang didominasi oleh jenis-jenis pionir pada dasarnya meriipakan elemen penunjang terhadap fungsi hutan. Oleh karenanya tumbuhan bawah dan permudaan ini tidak perlu dibabat habis karena keberadaannya menyangkut peran fungsi hutan. Tumpangsari sangat berperan terhadap keberhasilan tanaman hutan, di samping itu akan pula memberi manfaat terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Dampak kegiatan tumpangsari terhadap masyarakat sekitar sementara ini belum terlihat nyata, karena pemanfaatan tenaga kerja masih mengambil dari daerah di luar kawasan hutan. Pemanfaatan produk kayu di wilayah ini boleh disebut belum optimal karena masih hanya memperuntukkan hasil kayu sebagai bahan baku pulp saja. Pengembangan pemanfaatan produk kayu perlu dievaluasi, karena hendaknya pembangunan hutan mencakup peran ekologis maupun ekonomis.
ABSTRACT Forest ecosystems development has been done other through the plantation forest establishment in arid area and land bare. It is hope the plantation forest establishment gives positive impacts to the living organisms in the forest and the surroundings community. Plantation forest establishment has been done by the daily wage system (banjarharian system) and the taungya system (tumpangsari system) with fast growing species. This activity is necessary to be considered dealing with many aspects, ecological aspects or social economical aspects. This research aims to see vegetation growing of plantation forest through implementing daily wage system and taungya system. This research used factorial experimental design. The treatment was possibility of level combination from amount factor, acacia in daily wage system; acacia in taungya system; albisia in daily wage system and albisia in taungya system. Data analyzed by variance analysis, Duncan multiple range tests, contingency table completed by descriptive analysis. The result of the research indicated that the vegetation growing of plantation forest in taungya system was more rapidly than in daily wage system. The acacia grew faster than albisia. Forest canopy grew wider in taungya system than in daily wage system. Stand density decreased about 116 stems per year in both systems. The diversity ground flora (ground cover and regeneration plants) indicated that in daily wage system was more diverse than in taungya system. The density of ground flora indicated that in both system didn't show difference density. The species of ground flora that grown, indicated that they were the species of adaptable to the environment. The albizia growing was less suitable with the site condition compared with the acacia. It's needed more concern by the management to reevaluate this option of species. By supporting the combination species, to avoid monoculture forest it's necessary to consider puspa species that the species with the suitable ones. Fertilizing which done to avoid the loosing of nutrient should keep on undertaking. The ground flora was dominated by pioneer species, basically as the supporting element to forest function. Therefore the ground flora shouldn't clear-cut because their existence has big role in forest function. Taungya system has positive impact to succeed plant growing, beside that the system will give advantages to people surrounding the plantation forest. This condition has not been obviously shown because the manpower for this activity was recruited from other area. The utilization of main products of plantation forest in this area was not considered optimal since they were still for pulp and popper row material only. Therefore the development in utilizing the wood, products is need to be considered as well as efficiency, because the forest. Establishment should including ecological aspects and economical aspects.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nengah Bawa Atmadja
Abstrak :
Hutan Kera Sangeh adalah kawasan hutan asli yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke XVII, dan terus bisa bertahan kelestariannya sampai sekaranq. Bahkan sejalan dengan adanya kenyataan bahwa Bali sebaaai salah satu daerah tujuan wisata, maka hutan tersebut berkembang pula menjadi Objek wisata yang terkenal di Bali. Meskipun demikian, kelestarian hutan tersebut tetap terjaga. Penael c l aan obyek wisata tersebut sepenuhnya ditangan oleh Desa adat Sangeh. Kelestarian Hutan Kera Sangeh disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kepercayaan masyarakat setempat bahwa hutan itu adalah milik dewa, sehingga Desa adat Sangeh berusaha melindunginya agar dewa tidak memarahi mereka, dengan Cara membuat aturan-aturan tertentu yang mengatur hubungan antar manusia dengan hutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, perlindungan tersebut di sebabkan pula oleh kepercayaan mereka bahwa mata air yang terdapat di Yeh Mumbul, yang sangat berguna untuk pengairan pada Subak Sangeh di anggap bersumber di Hutan Sangeh. Karena itu perlindungan terhadap hutan tersebut berarti pula perlindungan terhadap air yang mereka butuhkan. Peranan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia, tidak bisa pula di abaikan dalam memperkuat posisi Hutan Kara Sangeh, yaitu melalui penetapan hutan itu sebagai hutan yang dilindungi, dengan status cagar alam, sejak tahun 1919. Selanjutnya, pemanfaatan hutan itu sebagai obyek wisata justru memperkuat usaha masyarakat setempat untuk menjaga kelestariannya, sebab mereka melihat kelestarian Hutan Kara Sangeh berarti pula mereka menjaga kelestarian sumber finansial yang sengat berguna bagi Desa Adat Sangeh maupun warganya. Perkembangan Hutan kera Sangeh sebagai obyek wisata, dieebabkan oleh daya tarik yang dimilikinya, yaitu bersumber dari lingkungan alam dan pura-pura yang ada di dalamnya, terutama Pura Bukit Sari. Hal ini diperkuat pula oleh keterbukaan masyarakat setempat terhadap kunjungan wisatawan dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan, baik yang di prakarsai oleh Desa adat Sangeh beserta warganya, maupun yang disediakan oleh pemerintah daerah. Obyek wisata tersebut sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak tahun 1900-an. Kunjungan wisatawan ke obyek tersebut terus meningkat, dan sejalan dengan itu maka desa adat pun manatanya secara bertahap sehingga akhirnya mencapai tahap kemapanan. Pengelolaan obyek wisata itu sepenuhnya ditangani oleh Desa adat Sangeh. Agar desa adat bisa berperan seperti apa yang diharapkan, yakni menangani bidang adat dan agama, serta sekaligus sebagai pengelola Qbyek wisata, maka desa adat Sangeh melakukan pembaharuan kelembagaan, yakni menambah organ-organ baru dalam struktur pemerintahan Desa Adat, yang meliputi LKMD Adat, Seksi Pengelola Obyek wisata, Seksi pembangunan Pura Bukit Sari, PT Bank Desa Sangeh, dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Selain itu, desa adat juga membentuk organisasi bisnis sejenis, yakni Perkumpulan Pedagang dan Perkumpulan Tukang Foto Langsung Jadi, lengkap dengan awig-awignya. Selanjutnya, sebagai pengelola obyek wisata, desa adat memainkan beberapa peranan, yakni : (1) menyediakan lokasi fasilitas pariwisata; (2) mendistribusikan lokasi kios dan kesempatan kerja yang ada; (3) mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata; (4) menerima dan menjaga keamanan tamu; (5) mengelola masukan financial; dan (6) menjaga kelestarian dan kebersihan obyek?
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sumekar
Abstrak :
Hutan Mangrove di kawasan Desa Tengket, Kec. Arosbaya, Kab. Bangkalan-Madura seluas 65 Hektar merupakan salah satu smnber daya alam bagi masyarakat desa tersebut yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Sebagaimana hutan- hutan mangrove diwilayah lain, hutan mangrove di desa Tengket juga mengaiami kerusakan yang cukup memprihatinkan. Hingga akhirnya pada tahun 1986 atas bimbingan Penyuluh Dinas Kehutanan, penghijauan dilakukan dengan melibatkan masyarakat desa setempat terutama para nelayan dan petani tambak. Tindakan yang dilakukan adalah dengan penghijauan atau penanaman kembali yang pendekatannya dilakukan melalui tokoh-tokoh masyarakat, pembentukan kelompok tani tainbak Serta program program lain yang Iangsung melibatkan masyarakat setempat. Langkah ini memyala mendapat sambutan yang sangat baik sehingga seluruh warga masyarakat merasa ikut memiliki hutan mangrove tersebut dan dengan demikian secara aktif memeliharauya dari kerusakan. Dengan pendekatan melalui tokoh masyarakat ternyata dapat mendorong masyarakat desa ikut berperan serta secara aktif. Manfaat yang langsung dirasakan adalah meningkannya pendapatan para nelayan dan perani tambak desa tersebut sebagai dampak positif daripada perkembang biakan biota laut seperti ikan , udang, kerang, kepiting dan biota air Iainya yang hidup di kawasan hutan mangrove.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T16801
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristina Moi Nono
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T4949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihaad Arief Pangestu
Abstrak :
Suaka Marga Satwa Pulau Rambut merupakan kawasan konservasi bagi berbagai jenis burung dan satwa yang hidup disekitar Pulau Rambut dan Teluk Jakarta. Hutan pantai berfungsi sebagai tempat bersarang dan mencari makanan berbagai jenis satwa. Abrasi pantai, tumpukan sampah dan tumpahan minyak merupakan masalah utama di pesisir pantai Pulau Rambut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang mendominansi, struktur vertikal dan horizontal tumbuhan hutan pantai Pulau Rambut tahun 2021 dan mengetahui perubahan jenis tumbuhan yang mendominansi, struktur vertikal dan horizontal tumbuhan hutan pantai Pulau Rambut pada tahun 2021 dengan data tahun 2002. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode jalur garis berpetak ganda dengan jarak antar petak ukur 50 meter di sepanjang pantai daerah selatan Pulau Rambut. Data yang diamati terdiri dari jenis tumbuhan, jumlah individu, tinggi dan diameter tumbuhan, pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tumbuhan yang berada di hutan pantai Pulau Rambut sebanyak 14 jenis. Tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pohon adalah Thespesia populnea dan pada tingkat pancang adalah Ixora grandifolia. Tumbuhan hutan pantai memiliki tinggi antara 4,7—13,7m dengan diameter berkisar antara 11—35cm. Jika dibandingkan dengan penelitian tahun 2002, terjadi perubahan pada jenis tumbuhan yang mendominasi, penurunan jumlah jenis tumbuhan dan penurunan jumlah individu per hektar pada setiap kelas tinggi dan diameter tumbuhan pada inventarisasi hutan pantai Pulau Rambut tahun 2021. ......Pulau Rambut Wildlife Sanctuary is a conservation area for various types of birds and animals that live around Pulau Rambut and Jakarta Bay. The coastal forest serves as a place to nest and find food for various types of animals. Beach abrasion, piles of garbage and oil spills are the main problems on the coast of Pulau Rambut. This study aims to determine the dominant plant species, the vertical and horizontal structure of Pulau Rambut coastal forest plants in 2021 and determine the changes in the dominant plant species, the vertical and horizontal structure of Pulau Rambut coastal forest plants in 2021 with 2002 data. Double-plot line method with a distance between plots of 50 meters along the southern coast of Pulau Rambut. The data observed consisted of plant species, number of individuals, plant height and diameter, growth rate of seedlings, saplings and trees. The results showed that there were 14 species of plants in the coastal forest of Pulau Rambut. The dominant plant at the tree level was Thespesia populnea and at the sapling level Ixora grandifolia. Coastal forest plants have a height between 4,7—13,7m with a diameter ranging from 11—35cm. When compared with the 2002 study, there was a change in the dominant plant species, a decrease in the number of plant species and a decrease in the number of individuals per hectare in each plant height and diameter class in the 2021 Pulau Rambut coastal forest inventory.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pramono Priyo Wibowo
Abstrak :
ABSTRAK
Pembangunan subsektor kehutanan lima tahun mendatang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, serta untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman basil hutan bagi pembangunan industri.

Keinginan pemerintah di atas masih belum terpenuhi, karena dalam kurun 20 tahun pelaksanaan pengusahaan hutan melalui HPH, pembangunan subsektor ini masih ditekankan pada peningkatan produksi. Misi forest for people yang diobsesikan oleh para rimbawan masih sulit diwujudkan karena masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan obyek. Kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan bersifat "paternalistik" dan "sentralistik" diduga oleh banyak pihak sebagai penyebab lemahnya peran lembaga-lembaga lokal karena tidak memberi tempat bagi berkembangnya kelembagaan lokal. Penulis tertarik dan berusaha mempelajari pengembangan kelembagaan yang terjadi, serta kemudian mencoba mengetengahkan model pengembangan kelembagaan lokal yang efektif.

Melalui studi ini penulis ingin melanjutkan tradisi studi pengembangan kelembagaan yang sempat tenggelam, serta mencari alternatif model dan metode pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan permasalahan. Penulis percaya dengan apa yang dikatakan Uphoff dan Esman bahwa diperlukan adanya organisasi lokal untuk bisa mempercepat proses pembangunan di pedesaan. Adanya organisasi yang menjangkau sampai ke tingkat lokal, yang bertanggung jawab pada masyarakat lokal, dan yang melibatkan fungsi-fungsi pembangunan pedesaan, dapat mencapai tujuan-tujuan pembangunan pedesaan lebih sukses. Dengan kata lain, jika pembangunan subsektor kehutanan diintegrasikan dengan pembangunan pedesaan, maka tujuan pembangunan subsektor kehutanan akan semakin efektif dicapai dengan mengembangkan kelembagaan lokal. Apakah pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan sudah seperti itu? Ini merupakan pilihan, dan akan dipelajari efektivitasnya dalam dimensi-dimensi karakteristik hutan dan penggunanya, batasan-batasan hutan dan penggunanya, serta bagaimana distribusi biaya dan manfaatnya.

Upaya untuk mengembangkan kelembagaan lokal, penulis mengetengahkan pembangunan Hutan Tanaman Industri Rakyat (HTI-Rakyat) tanaman Sungkai. Untuk pembahasan mengenai alternatif local institutional development, penulis menggunakan pendekatan Pembinaan Kapasitas Pembangunan Desa (The Rural Development Capacity-Building Approach) yang dikembangkan oleh Development Alternatives Inc. (DAI). Honadle mengidentifikasikan 7 (tujuh) elemen yang hares diperhatikan dalam upaya pengembangan kelembagaan lokal, yaitu: pembagian risiko diantara para klien dan penyedia jasa; keterlibatan para aktor pada berbagai level kegiatan; keberhasilan atau kemanfaatan yang ditunjukkan oleh teknologi atau perilaku yang baru atas yang lama; gaya operasi yang kolaboratif serta tindakan bersama; penekanan pada belajar; perangsang yang sesuai; dan menggunakan basis sumberdaya yang ada.

Hasil studi menunjukkan bahwa kelembagaan yang berkembang dalam pengelolaan hutan memberi peran yang terlalu banyak kepada perusahaan HPH, termasuk diantaranya pecan-peran non-ekonomis yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Sebagai swasta, perusahaan HPH terbukti cukup efektif mengusahakan hutan, mengeksploitasi hutan dan mengubahnya menjadi uang dan devisa pembangunan. Namun aktivitas-aktivitas non-ekonomis yang diperankan pengusaha HPH cenderung tidak berhasil. Gangguan terhadap kelestarian hutan tidak terjamin, kuantitas dan kualitas hutan terus-menerus merosot, dan distribusi manfaat dari pengusahaan tidak sesuai dan seimbang dengan biaya yang ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan berkurang tingkat kesejahteraannya, karena peningkatan penghasilan hanya terjadi secara absolut. Sedangkan biaya hidup secara keseluruhan di sekitar lokasi pengusahaan hutan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan penghasilan mereka. Ini terutama karena semakin sulitnya warga masyarakat mengakses ke hutan, dan ikut memanfaatkan hasil hutan, meskipun hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (sayur-sayuran, buah, getah karat liar, dsb.).

Sejak diundangkannya UU No.5/1967 dan kemudian dienforcement dengan UU No.511979, semakin membuat masyarakat lokal tidak memiliki posisi tawar untuk ikut menentukan bentuk dan mekanisme pengelolaan hutan. Lembaga-lembaga lokal yang dulu cukup menentukan dalam menjaga kelestarian fungsi hutan sudah tidak efektif lagi, dan partisipasi masyarakat semakin pasif. Kondisi ini yang kemudian mendorong penulis untuk mengetengahkan set-up kelembagaan yang lebih memberi kemungkinan bagi lembaga-lembaga lokal untuk berkembang dan (paling tidak) menjadi penentu bagi masa depan kehidupannya sendiri.

Melalui ide HTI-Rakyat, penulis bekerjasama dengan Kantor Kehutanan Rengat dan Tembilahan, berusaha memassalkan penanaman kayu Sungkai (peronema canescens jacks) yang selama ini lebih banyak tumbuh sebagai tanaman liar dan tidak memiliki nilai ekonomis. Ide semacam ini pernah dicoba, yaitu dengan pemassalan penanaman kayu Akasia (acacia mangium), Sengon (aibirium falcata), dll., namun kurang berhasil karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek teknis (kecocokan, dsb.). Ide inilah yang penulis ajukan sehubungan dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pembangunan subsektor kehutanan.

Pemassalan jenis Kayu Sungkai ini memiliki prospek yang cerah di masa mendatang untuk dipilih menjadi tanaman hutan rakyat, karena disamping memiliki fungsi konservasi, tanaman ini juga memiliki keuntungan marginal. Secara teknis, pemilihan jenis kayu Sungkai sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman rakyat di lokasi penelitian mengingat beberapa karakteristik yang ada, seperti : kesesuaian dengan tempat tumbuh; jenis yang khas dengan keunggulan tertentu; riap volume yang cukup tinggi;. daur yang relatif rendah; serta jenis dan kualitas kayu sesuai dengan industri IPKH yang ada.

Secara ekonomis, hasil penghitungan tahun 1992 terhadap percobaan budidaya Kayu Sungkai ini menunjukkan adanya keuntungan yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dengan biaya per hektar sebesar Rp 2.826.000,- dapat diperoleh hasil kayu senilai hampir Rp 16 juta dalam kurun waktu 15 tahun. Ini masih ditambah lagi dengan berbagai hasil tambahan, seperti di antaranya hasil kayu dari penjarangan pada tahun ke 8 serta hasil tumpang sari, dsb. Jelas, bahwa usaha penanaman kayu Sungkai sebagai hutan tanaman akan menguntungkan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti: nilai akhir tanaman tidak dipengaruhi oleh adanya inflasi; produk ini tidak dapat disubtitusi; pertambahan nilai jual pasti; memiliki hasil antara, yaitu hasil dari kegiatan penjarangan; dan dapat dilakukan pula sistem tumpang sari yang akan memberikan hasil tambahan.

Dari segi kelembagaannya, dapat dikembangkan lebih jauh dengan cara di antaranya dengan menyerahkan pengelolaannya kepada kelompok-kelompok lokal yang terkait, seperti misalnya melalui semacam Kelompok Tani Hutan (KTH), dsb. Dalam penelitian, kegiatan belum sampai pada tahapan ini karena memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikan, mendasarkan pada pertimbangan yang diajukan oleh Honadle, usaha ini layak diterima, mengingat perimbangan antara cost dan benefit tidak lagi memberatkan masyarakat lokal. Disamping itu, dengan melibatkan langsung masyarakat lokal, maka estimasi terhadap kebutuhan kelangsungan ekologis cukup bisa dipertanggungjawabkan.
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>