Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yudie Reza Haryansyah
Abstrak :
Menjelang era globalisasi, membuka kemungkinan terjadi suatu perkawinan campuran. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang warga negara Indonesia dengan seorang warga Negara Asing. Dalam setiap perkawinan, ada saja kemungkinan timbul suatu kesalahpahaman sehingga mengakibatkan putusnya suatu perkawinan. Untuk pasangan yang berbeda warga negara terjadi suatu masalah mengenai hukum rnana yang akan diberlakukan dalam menyelesaikannya. Sehingga pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah pelaksanaan perceraian pada perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 serta penyelesaian akibat hukum yang timbul karena perceraian pada perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan, harta bersama, nafkah istri, perwalian atau kekuasaan orang tua serta biaya pemeliharaan anak. Untuk memecah permasalahan ini digunakan metode penelitian normative atau library research, yaitu penelitian untuk memperoleh data-data sekunder. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk menyajikan pemahaman dan untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, perceraian pada perkawinan campuran dibedakan antara formil dan hukum materilnya. Hukum formil yang harus ditetapkan adalah mengikuti asas lex fori, dirnana dalam hukum acara perdata hakim harus tunduk pada hukum negaranya sendiri. Sedangkan mengenai hukum materil yang harus diterapkan untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut, jika tidak ada pilihan hukum, maka hakim harus menentukan sendiri hukum yang akan diterapkan berdasarkan faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem hukum tertentu. Akibat perceraian pada perkawinan campuran mengenai kewarganegaraan, dapat menyebabkan perubahan status personil seseorang. Hal ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesianya. Dalam perceraian pada perkawinan campuran dimana istri/suami tersebut tetap mempertahankan kewarganegaraan asli mereka. Akibat perceraian pada perkawinan campuran terhadap nafkah istri, perwalian dan biaya pemeliharaan atas anak diselesaikan dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. mengenai harta bersama diatur terpisah dari perkara perceraian.
The ongoing process of globalization has brought about more opportunities to a couple from different nationalities to get married. According to the Law No. 1 Year 1974, a mixed marriage defined as a marriage happens between an Indonesian citizens with a foreign citizen. As we know, in a marriage, there are always possibilities of any problem occurs, particularly due to the misunderstanding between the couple, which eventually could lead to a divorce. In case of a mixed marriage, the problem occurs when it has to be decided which law should be applied to then. Thus, in the case of this research, the primary problem is to figure out how is the execution of a divorce on a mixed marriage according to the Law No. 1 Year 1974 should be performed, as well as how to handle and proceed the occurring legal implication caused by the divorce happening in such a marriage, regarding to the nationality, the assets the couple earned during their marriage life period, the money for the wife, guardian right, as well as the sum of money needed to finance the child/children's life expense. In order to answer this problem, the writer applies the normative research method, or library research, defined as a research to collect the secondary data. The collected data then is to be analyzed qualitatively, that is, the collected data is arranged systematically to provide an understanding and to make the problem discussed clear. Thus, it can be drawn to a conclusion that a divorce happens in a mixed marriage can be taken care of in to means, that is, either in accordance with the formal law or the material law. The formal law means that the law that should be applied is the one which is in accordance with the lex fori principles, in which the judge should conform to the civil law of his own country. Meanwhile, as for the material law, in a situation where there is no other chaise, then the judge should decide by himself the law to be applied by considering all the factors and situation that have significance to determine the applicability of a certain law. One of the effects raised as a consequence of a divorce in a mixed marriage is the shifting of the person's status, which is made possible by the applicable law in Indonesia, in case each party of the couple (both the husband an wife) decides to retain their respective nationality. The consequences of a divorce happens in mixed marriage regarding the money that should be given to the wife (as consequence of a divorce), guardian right and the amount needed to finance the child/children's life expense will be proceeded with respect to the Article 41 Law No. 1 Year 1974, while as for the assets earned during the marriage period will be arranged separately from the divorce process.
2007
T19101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Niswati
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini mengungkap: faktor yang mendorong dan mempertahankan mappasitaro (perjodohan) di kalangan bangsawan Bugis, peran orang tua, kerabat, dan bagaimana anak perempuan dilibatkan; dampak dan gambaran strategi yang digunakan anak perempuan dalam menghadapi masalah yang ditimbulkan budaya mappasitaro.

Teori yang digunakan adalah: budaya patriarki dan bias jender yang tersistematisasi pada sosialisasi anak dalam keluarga, pengaruh budaya patriarki dan bias jender juga dilihat pada sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial masyarakat Bugis; dan konsep pemilihan jodoh dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berperspektif perempuan. Studi kasus digunakan untuk mengungkap beberapa kasus rumah tangga bermasalah, perceraian, kawin lari, dan bunuh diri. Sejarah mappasitaro ditelusuri melalui lontara, sure?, dan wawancara dengan tokoh budaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya patriarki dalam masyarakat Bugis melahirkan sosialisasi yang bias jender dalam mewujudkan harapan tentang peran dalam hal pekerjaan dan perkawinan. Mappasitaro identik dengan pemaksaan sehingga anak perempuan yang menjalaninya mengalami kekerasan fisik, psikis, dan subordinasi ganda. Hal itu kurang terungkap dan tetap membelenggu kehidupan anak perempuan terutama di kalangan bangsawan karena adanya budaya siri? ?malu? dan harga diri? dalam masyarakat Bugis. Selain itu, ditemukan ketiadaan perlindungan hukum terhadap kekerasan yang terjadi. Bahkan, norma agama pun sering disalahtafsirkan untuk melegitimasi budaya patriarki.
ABSTRACT
This study reveals factors contributing to and defending mappasitaro (matrimony) among Bugis Aristocrats; roles of parents, friends, and how an daughter is involved; impacts and strategic description the daughter uses to face problems arising from mappasitaro culture.

The theory applied is Patriarchal culture and gender-bias systematized on children socialization in the family; effects of patriarchal culture and gender-bias also appear in the kinship system and social stratification of Bugis Community; and concept of selecting mate related to the Marriage Laws.

This study employs woman-centered Qualitative Research Method. Case Study is applied to consider such cases as problematic household, divorce, kcrwin larE (elopement), and self-suicide. History of mappasitaro is reviewed through ¡onlara sure? and interview with culture figures.

Results of this research indicate that patriarchal culture in Bugis community derives a gender-bias based socialization to realize role expectation in work and marriage. Mappasitaro is identical to coercion, that the daughter involved experiences physical, psychic violence, and doubl&subordination. It appears subordinately and constantly shackles a daughter?s life eminently among aristocrats subject to sin? malu and harga din? culture (self-shame and self-esteem) in the Bugis community. Additionally, legal protection lacks over coercion or violence. Even, religious norms are generally misinterpreted to legitimate patriarchal culture.
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Nadianti Kasih
Abstrak :
Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan. ......Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library