Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rima Mutiara Phoenna Arifin
Abstrak :
ABSTRAK
Pada perkembangan bidang finansial, perusahaan dengan inovasi teknologi finansial sedang berkembang di Indonesia dan menjadi salah satu pilihan layanan untuk pengajuan kredit. Setiap kegiatan kredit apapun tipenya akan selalu memiliki risiko yang dapat terjadi dan perlu di atur dengan baik oleh perusahaan agar tidak menimbulkan kerugian. Karya akhir ini menjelaskan mengenai analisis estimasi peluang kejadian gagal bayar pada perusahaan teknologi finansial fintech yang memberikan kredit mikro kepada pemilik usaha UMKM. Analisis yang dilakukan menggunakan metode Kaplan-Meier dan Nelson-Aalen untuk mengetahui estimasi peluang survival kredit di PT Amartha Mikro Fintek. Serta dilakukan analisis beberapa kategori kelompok data observasi, berdasarkan tenor, sektor bisnis, jumlah anggota peminjam, dan plafond pinjaman. Secara umum hasil yang diperoleh menunjukkan peluang untuk bertahan pada performa pinjaman yang baik akan lebih besar pada awal masa pinjaman dan mulai mengalami penurunan performa kredit mulai dari minggu ke-30 waktu pinjaman. Pada pemilihan model terbaik menggunakan standar error SE dan mean absolute deviation MAD mendapatkan hasil yang tidak berbeda metode Kaplan-Meier dan Nelson-Aalen.
ABSTRACT
In its development in financial industry, company with financial technology innovation is developing in Indonesia, and become an option for credit submission service. Any credit activity will always have risks that can occur and need to be manage by the company management. This analytical study provide estimation of default probability at fintech which give micro credit for small business owner. This study use Kaplan Meier and Nelson Aalen as method to find survival credit probability estimation in PT Amartha Mikro Fintek. This study will also provide analitycal for categories of observational data groups, such as loan term period, borrower rsquo s business sector, numbers of member borrower, and loan ceiling. In general the results obtained is survival probability will be greater in the early time periods of loan, and began to experience a decline in credit performance starting from the 30th week of the loan. For selection best model, this study used standard error SE and mean absolute deviation MAD for best model criteria, the result show that Kaplan Meier and Nelson Aalen method just slightly difference.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzikri Fakhrudin
Abstrak :
Bali Fintech Agenda adalah seperangkat 12 elemen kebijakan dari International Monetary Funds atau IMF dan Bank Dunia untuk membantu negara anggotanya memanfaatkan keuntungan dan peluang dari pesatnya perkembangan teknologi finansial atau tekfin. Indonesia di sini sangat berperan cukup aktif terhadap agenda ini di saat negaranya masih memiliki kendala dalam tekfin, masih tertinggal di dalam sistem dan memiliki rekam sejarah yang kurang baik dengan IMF. Dalam menganalisis fenomena ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduksi atas teori tipe kepentingan nasional dalam kebijakan luar negeri oleh Donald Nuechterlein didukung dengan data dari studi pustaka dan beberapa sumber primer serta sekunder. Kebijakan luar negeri Indonesia terlihat sangat mendukung tata kelola tekfin global Bali Fintech Agenda dengan menjadi tuan rumah dan mendukung adanya tata kelola tekfin internasional sebelum dan bahkan sesudah agenda ini keluar. Penulis melihat peran aktif ini didasari bahwa Indonesia memiliki kepentingan ekonomi yaitu untuk mendorong pasar keuangan yang kompetitif, menjaga data konsumen, meningkatkan inklusi keuangan pada individu dan pelaku UMKM, membuka lapangan kerja baru bagi generasi milenial dan mendorong infrastruktur. Kepentingan tatanan dunia Indonesia untuk mengatasi ketimpangan tekfin dan menunjukkan peran bridge builder dengan kerja sama dalam sistem keuangan internasional. Kepentingan ideologi Indonesia adalah mendukung nilai light touch dan safe harbour serta agenda inklusi keuangan yang sebenarnya bagian dari ideologi neoliberalisme. Hanya kepentingan keamanan yang kurang terlihat dalam isu ini dan yang ada hanya ekspektasi. ......The Bali Fintech Agenda is a set of 12 policy element considerations from the International Monetary Funds or IMF and the World Bank to help member countries utilize the advantages and opportunities of the rapid development of financial technology or fintech. Indonesia here has played an active role in this agenda at a time when the country still has problems in fintech industries, not the advanced one in the system and has an unfavorable history with the IMF. In analyzing this phenomenon, the author will use qualitative research methods with a deductive approach to the theory of the type of national interest in foreign policy by Donald Nuechterlein supported by data from literature studies and several primary and secondary sources. Indonesia's foreign policy seems to strongly support global fintech governance of Bali Fintech Agenda by hosting and supporting international fintech governance before and even after this agenda comes out. The author sees this active role because Indonesia has an economic interest such as to encourage competitive financial markets, safeguard consumer data, increase financial inclusion for individuals and MSME, open new job opportunities for the millennial generation and improving infrastructure. mendorong infrastruktur. Indonesian world order interests are to overcome fintech inequality and to demonstrate the role bridge builder in existing international financial system. Indonesian ideological interests are to support the value of light touch and safe harbour as well as the financial inclusion agenda which all of it was part of neoliberalism. Only security interest is less visible in this issue with only one expectation that is visible.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ammar Fakhri Ramadhan
Abstrak :
Teknologi finansial peer to peer lending menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang ingin mencari modal namun tidak memiliki akses untuk mendapat pinjaman dari bank konvensional. Demand yang tinggi serta Imbal hasil yang besar membuat layanan ini diminati banyak investor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek kepastian hukum pada regulasinya serta menganalisa mengenai Pengaruh Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi yang terjadi didalam mekanisme peer to peer lending terhadap tingkat penyalurannya.. Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Post-Positivist dan teknik analisis data kualitatif. Analisis dilakukan dengan menyajikan data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membandingkan serta menganalisis nilai transaksi peer to peer lending sejak sebelum dan setelah diberlakukannya regulasi pajak dan menganalisa aspek certainty pada regulasi yang berlaku melalui wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan menunjukkan bahwa pengenaan pajak tidak menurunkan nilai transaksi peer to peer lending di Indonesia. Kemudian dalam menganalisa asas certainty pada PMK 69 Tahun 2022 diketahui bahwa regulasi pajak peer to peer lending di Indonesia telah memenuhi asas kepastian hukum. Namun regulasi pajak yang mengatur hanya terbatas kepada platform resmi sehingga masih terdapat dispute pada mekanisme pajak pada platform ilegal dengan borrower yang berstatus orang pribadi sehingga tidak dapat melakukan pemotongan pajak. ......Peer to peer lending financial technology is one alternative funding for the community, especially Small and Medium Enterprises (SMEs) who looking for fund but don’t have access to loans from conventional banks. High demand and large returns make this service look attractive for many investors. This study aims to analyze aspects of legal certainty in the regulation and the analyze the impact of Income Tax (PPh) on transactions that occur in the peer to peer lending mechanism. The research methods was conducted with a PostPositivism approach and qualitative data analysis technique. The analysis was carried out by presenting statistical data from the Financial Services Authority (OJK) to compare and analyze transaction values before and after the enactment of tax regulations and analyze certainty aspects of applicable regulations through in-depth interviews. The results of this study indicate that after being carried out, it shows that the imposition of taxes does not reduce the value of peer to peer lending transaction in Indonesia. Then, in analyzing the principle of certainty in PMK 69 of 2022, supported by in-depth interviews, it is known that peer to peer lending tax regulations in Indonesia have met the principle of legal certainty. However, the tax regulations that regulate are only limited to official platforms, so there are still disputes on the tax mechanism on illegal platforms with borrowers who are private person status so they cannot withhold taxes.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichwan
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi generasi milenial di DKI Jakarta untuk berinvestasi melalui peer to peer (P2P) lending. Penelitian ini menggunakan pendekatan technology acceptance model (TAM) dan dianalisis menggunakan metode structural equation modeling (SEM) dan regresi logistik untuk melihat pengaruh variabel sosio demografis (gender, agama, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) terhadap minat berinvestasi melalui peer to peer (P2P) lending. Responden dalam penelitian ini adalah 400 generasi milenial yang berdomisili di DKI Jakarta dan belum pernah berinvestasi melalui teknologi finansial tersebut. Hasil penelitian ini menunjukan minat berinvestasi di peer to peer (P2P) lending berkorelasi positif dan sangat dipengaruhi oleh variabel sikap, variabel sikap dipengaruhi oleh variabel persepsi kemudahan, pengetahuan, dan kepercayaan. Berdasarkan faktor sosio demografis kelompok yang paling berminat untuk berinvestasi melalui peer to peer (P2P) lending adalah gender laki-laki, belum menikah, bekerja di sektor swasta, memiliki pendidikan tinggi, berpendapatan besar dan mayoritas yang beragama islam. ...... This study aims to analyze the factors that influence millennials in DKI Jakarta to be lender in peer to peer (P2P) lending. This study used the technology acceptance model (TAM) approach. The study use structural equation modeling (SEM) and logistic regression methods to see the influence of socio-demographic variables (gender, religion, marital status, education, employment, religion and income) on investment intention through peer to peer (P2P) lending. The respondents in this study is 400 millenials who live in DKI Jakarta and have never invested through this financial technology. The results of this study indicate that intention to invest in peer to peer (P2P) lending is positively correlated and influenced by attitude variables. Attitude variables depend on variables of perceived ease of use, knowledge and trust. Based on the socio-demographic factors of the groups most interested in investing through peer to peer (P2P) lending are male, unmarried, work in the private sector, obtain higher education, obtain large income and Muslim.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T53429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Alexander Tosin
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pelaku usaha fintech yang menawarkan pinjaman dana berbasis teknologi informasi kepada masyarakat. Belum adanya peraturan yang secara rinci mengatur mengenai fintech mengakibatkan kekosongan hukum yang dapat menimbulkan potensi masalah ke depannya. Permasalahan tersebut berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab hukum pelaku usaha fintech bersangkutan serta kedudukannya ditinjau dari perspektif hukum pembiayaan. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk menemukan pengaturan yang ideal bagi pelaku usaha fintech yang menawarkan pinjaman dana berbasis teknologi informasi. Oleh karenanya penelitian ini akan menjawab permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana keseluruhan data yang diperoleh kemudian diolah dengan metode kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa dalam kegiatan usahanya menawarkan pinjaman dana kepada masyarakat, pelaku usaha fintech memiliki tanggung jawab hukum berdasarkan pasal 15 UU ITE untuk dianggap selalu bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem elektroniknya presumption of liability principle . Selanjutnya ditinjau dari perspektif kaidah hukum pembiayaan yang berlaku, pengaturan kedudukan yang ideal bagi pelaku usaha fintech tersebut adalah Perusahaan Pembiayaan. Penelitian ini menyarankan perbaikan atas aspek-aspek yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi POJK No. 77/POJK.01/2016 yakni: i perumusan definisi dan ruang lingkup fintech, ii kedudukan para pihak dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 dimana menurut penulis, posisi pelaku usaha fintech harus dipertegas dalam kedudukannya selaku penyelenggara sistem elektronik yang menawarkan pinjaman dana kepada masyarakat, iii bentuk tanggung jawab hukum yang harus diemban, dan iv kepemilikan asing pada industri fintech dihapuskan karena dikhawatirkan akan bersaing dengan Bank Perkreditan Rakyat.
ABSTRACT
This research discusses the fintech businesses that offer technology based loan to society. The absence of detailed regulations concerning fintech result in a legal vacuum that could lead to potential problems in the future. The problems related to the obligation and legal responsibility of fintech entrepreneurs concerned and their status to be reviewed from perspective of financing law. The purpose of this research was to find the ideal setting rule for Fintech Financial Technology Business Offering Technology Based Loan To Society. Therefore, this study will answer these problems by using normative juridical research method in which the overall data obtained are then processed with qualitative methods. This research found that in the normal course of business to offer loans to society, fintech businesses have a legal responsibility under Article 15 of ITE Law to be considered always responsible for the implementation of the electronic systems presumption of liability principle . Furthermore, from the perspective of applicable financing law principles point of view, the proper position for fintech businesses are finance companies. This research suggests improvements on the aspects set out in the Regulation of Financial Services Authority No. 77 POJK.01 2016 on Information Technology Based Loan Services POJK No. 77 POJK.01 2016 , namely i formulation of definitions and fintech scope, ii the position of the parties in POJK No. 77 POJK.01 2016 which according to the author, position of fintech entrepreneurs should be emphasized, in his capacity as the operator of electronic systems that offer technology based loans to society, iii forms of liability that must be carried, and iv foreign ownership on fintech industry to be eliminated fearing they would compete with BPR.
2017
T47283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evana Dewi
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai aspek pengawasan bagi penyelenggaraan teknologi finansial atau Financial Technology di Indonesia. Momentum perkembangan teknologi informasi berupa internet dan ponsel pintar telah mendorong perkembangan dan pemanfaatan layanan jasa keuangan melalui Financial Technology. Namun risiko yang dapat muncul dari penyelenggaraan Financial Technology harus dimitigasi dengan tepat karena masih minimnya jaring pengaman pada model bisnis tersebut. Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Financial Technology, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi pengawasan atau Supervisory Technology. Hasil penelitian menemukan bahwa pemanfaatan Supervisory Technology dalam pengawasan Financial Technology di Indonesia belum optimal dan belum memiliki pengaturan yang memadai. ......This Thesis discusses the aspects of supervision for the implementation of Financial Technology in Indonesia. The momentum of the development of information technology in the form of the internet and smartphones has stimulated the development and utilization of financial services through Financial Technology. However, due to the lack of safety nets in this business model, the risks arising from the implementation of Financial Technology must be properly mitigated. The Financial Services Authority has the authority to regulate and supervise the implementation of Financial Technology, one of which is by using Supervisory Technology. The results of the study found that the use of Supervisory Technology in the supervision of Financial Technology in Indonesia was not optimal and did not have adequate regulations
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Astarianti Soemarsono
Abstrak :
Dalam rangka mengakselerasi transformasi digital di Indonesia, Regulatory Technology (“Regtech”) dan Supervisory Technology (“Suptech”) hadir sebagai pendekatan pengawasan berbasis teknologi yang dapat meningkatkan kepatuhan para Penyelenggara Teknologi Finansial. Regtech merupakan pemanfaatan teknologi untuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan secara efektif dan efisien yang digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial, sedangkan Suptech merupakan penggunaan teknologi inovatif oleh Lembaga Pengawas dengan tujuan untuk mendorong pelaksanaan fungsi pengawasan. Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan Regtech dan Suptech serta permasalahan dan tantangan yang ditimbulkan dari pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech terhadap Teknologi Finansial di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum tertulis seperti Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech di Indonesia. Kesimpulan dari Skripsi ini adalah pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech telah memiliki dasar hukum yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Kemudian, permasalahan dan tantangan yang muncul menghambat pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech oleh para Penyelenggara Teknologi Finansial, seperti permasalahan regulasi, permasalahan infrastruktur informasi teknologi, permasalahan jaringan internet, dan permasalahan biaya. Penulis menyarankan adanya pedoman mengenai pemanfaatan Regtech dan penerapan Suptech dan melakukan penyelarasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 13 Tahun 2018 dengan Surat Penetapan Hasil Regulatory Sandbox untuk Penyelenggara Aggregator. ......In order to accelerate digital transformation in Indonesia, Regulatory Technology (“Regtech”) and Supervisory Technology (“Suptech”) are present as technology-based supervisory approaches that can improve compliance by Financial Technology Operators. Regtech is the use of technology for compliance with laws and regulations effectively and efficiently used by Financial Technology Operators, while Suptech is the use of innovative technology by the Supervisory Agency to encourage the implementation of the supervisory function. This thesis examines the regulation of Regtech and Suptech as well as the problems and challenges that arise from the use of Regtech and the application of Suptech to Financial Technology in Indonesia. This study uses a normative juridical method based on written legal materials such as the Act, Bank Indonesia Regulations, and Financial Services Authority Regulations relating to the use of Regtech and the application of Suptech in Indonesia. The thesis concludes that the use of Regtech and the application of Suptech have a legal basis issued by the Financial Services Authority and Bank Indonesia. Then, the problems and challenges that arise hinder the use of Regtech and the application of Suptech by Financial Technology Operators and Supervisory Agencies, such as regulatory issues, information technology infrastructure problems, internet network problems, and cost issues. The author suggests guidelines regarding the use of Regtech and the application of Suptech and harmonizing the Financial Services Authority Regulation No. 13 of 2018 with a Letter of Determination of Regulatory Sandbox Results for Aggregator Operators.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syamil
Jakarta: Qiara Media, 2020
332.1 AHM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Inesya Zeahira
Abstrak :
ABSTRAK
Kemajuan teknologi keuangan telah melahirkan konsep peer-peer lending (P2P Online lending yang membuka akses pinjaman tanpa peran lembaga keuangan seperti bank. Namun, perannya sebagai perantara membawa beberapa ancaman bagi pemberi pinjaman, yang mana mereka tidak selalu bisa mengharapkan jaminan keamanan seperti layanan bank konvensional, sehingga kredibilitas platform itu sendiri menjadi faktor penentu dan membuat pelapor memilih platform berdasarkan reputasi dan kepercayaannya. Penelitian ini mencoba untuk memahami persepsi investor terhadap platform P2P lending dan bagaimana reputasi tersebut. mempengaruhi kepercayaan pemberi pinjaman, dan apakah kepercayaan dapat menilai hubungan tersebut.Menggunakan 160 pemberi pinjaman Sebagai responden, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Moderated Regression Analysis (Linear Regression) dengan bantuan SPSS 23 untuk pengujian model yang diusulkan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan dan perlindungan memiliki pengaruh terbesar pada reputasi platform. Reputasi itu sendiri ditemukan memiliki efek positif pada kesediaan untuk memberikan pinjaman. Sedangkan kepercayaan ternyata tidak memiliki efek moderasi, melainkan pengaruh positif terhadap keputusan investasi pemberi pinjaman sebagai variabel independen.
ABSTRACT
The advancement of financial technology has given birth to the concept of peer-peer lending (P2P Online lending that opens access to loans without the role of an institution finance like a bank. However, its role as intermediary carries some threats to lenders, which they cannot always expect security guarantees like conventional bank services. So that credibility the platform itself becomes a determining factor and makes the informer choose a platform based on their reputation and trustworthiness. This research trying to understand investors' perceptions of P2P lending platforms and how that reputation affects lenders' confidence, and whether trust can judge the relationship. Using 160 lenders As respondents, this research was conducted using the Moderated Regression method Analysis (Linear Regression) with the help of SPSS 23 for model testing The proposed. The results show that security and protection have the biggest influence on a platform's reputation. Reputation itself was found to have a positive effect on willingness to provide loans. While trust It was found to have no moderating effect, but rather a positive influence on lenders' investment decisions as an independent variable.
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zefanya Christian
Abstrak :
Dalam perkembangan ekonomi di dunia, teknologi finansial menjadi salah satu bagian yang mengalami kemajuan pesat. Equity crowdfunding sendiri merupakan salah satu bagian teknologi finansial dengan metode pengumpuan dana untuk mengembangkan usaha dengan reward berupa saham bagi para peserta yang ikut menghimpun dana. Indonesia dan Australia adalah negara yang telah menerapkan aturan mengenai equity crowdfunding. Di Indonesia di atur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37 tahun 2018 dan di Australia di atur oleh Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 dan Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for propritary company) Act 2018. Dalam pengaturannya terdapat perbedaan dan persamaan dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia. Skripsi ini pun di tulis untuk menjawab dua pertanyaan.  Yang pertama yaitu apa saja regulasi dan syarat dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan yang kedua yaitu apa saja persamaan dan perbedaan dari regulasi dan syarat serta cara kerja dari equity crowdfunding di Indonesia dan Australia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, skripsi ini menunjukan aturan dan syarat equity crowdfunding di Indonesia dan Australia serta perbedaan dan peramaan dari aturan dan syarat serta cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia. Dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat persamaan dalam cara kerja equity crowdfunding di Indonesia dan Australia dan perbedaan terletak pada syarat untuk menjadi investor, operator, penerbit saham. Australia mempunyai peraturan yang lebih terbuka terhadap investor sehingga membuat angka pertumbuhan equity crowdfunding cukup tinggi. Saran diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat peraturan yang lebih terbuka terhadap investor untuk meningkatkan angka pertumbuhan equity crowdfunding di Indonesa.
In the world economic development, financial technology is one part that is experiencing rapid progress. Equity crowdfunding itself is one of financial technology with methods of raising funds to develop businesses with rewards in the form of shares for participants who participate in raising funds. Indonesia and Australia are among the countries that have implemented rules regarding equity crowdfunding. In Indonesia it is regulated by Financial Services Authority Regulation Number 37 of 2018 and in Australia it is regulated by the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding) Act 2017 and the Corporate Amendment (Crowd-Sourced Funding for proprietary company) Act 2018. In its regulation there are differences and similarities from equity crowdfunding in Indonesia and Australia. This thesis was written to answer two questions. The first question is what are the regulations and requirements of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the second  one is what are the similarities and differences of the regulations and terms and ways of working for equity crowdfunding in Indonesia and Australia. Using normative legal research methods, this thesis shows the equity crowdfunding rules and conditions in Indonesia and Australia as well as the differences and similarities of the rules and conditions and the workings of equity crowdfunding in Indonesia and Australia. From this study it was found that there are similarities in business operation of equity crowdfunding in Indonesia and Australia and the differences lies in the requirements to become an investor, intermediaries, and issuer. Australia has more open regulations on investors, so the equity crowdfunding growth rate is quite high. Suggestions are given to the Financial Services Authority to make regulations more open to investors to increase equity crowdfunding growth rates in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>