Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriadi
"Politik identitas etnis adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari didalam masyarakat, apalagi dalam negara yang multi etnis seperti Indonesia. Politik etnis sendiri sengaja dilancarkan bagi orang-orang tertentu guna mendapatkan dukungan politik terhadap sesame etnisnya. Berkenaan dengan itu, Pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga dari hasil amandemen mengenai syarat terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, memunculkan konsekwensi politik yang berdamapak member peluang besar bagi etnis tertentu dan menutup kesempatan terpilihnya bagi etnis yang lain menjadi Presiden. Dalam hal ini apabila terjadi pergulatan politik etnis sangat menguntungkan bagietnis mayoritas dan sebaliknya sangat merugikan etnis minoritas. Adapun ketentuan terpilihnya seseorang menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia sesuai ketentuan pasal 6A ayat 3 UUD 1945 adalah memperoleh suara lebih dari 50% dengan sebaran sedikitnya 20% (duapuluh persen) suara disetiap provinsi yang tersebar di lebihdari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan system pemungutan suaraone man one vote serta syarat terpilih sebagaimana dalam pasal tersebut, maka sudah sangat terang menguntungkan etnis Jawa sebagai etnis mayoritas, pada Pemilu 2009 khusus di pulau Jawa dan Madura saja persentase pemilih etnis Jawa sebesar 59.87% belum termasuk di pulau-pulau lain di Indonesia. Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa untuk menjaga harmoni dalam keragaman etnis bangsa Indonesia, maka seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh etnis dalam mencapai puncak kekuasaan politik, yaitu menjadi Presiden Republik Indonesia, dengan cara amandemen UUD 1945 khususnya pasal 6A ayat 3 mengenai sebaran suara 20% diganti menjadi 50%+1setiap provinsi lebih dari ½ (setengah) provinsi di Indonesia.

Ethnic identity politics is a difficult thing to avoid in society, especially in a multi-ethnic country like Indonesia. Ethnic politics itself deliberately waged for certain people to gain political support for one another ethnicity. With regard to that paragraph 3 of Article 6A of the Act of 1945 the results of the third amendment of the amended terms on the election of President and Vice President of Indonesia, raising the political consequences berdamapak provide great opportunities for certain ethnic and closing opportunities for other ethnic election as President. In this case the ethnic political struggle is very beneficial for the ethnic majority and ethnic minorities are otherwise very detrimental. The provisions of the election of a person to be the President and Vice President of Indonesia in accordance with paragraph 3 of Article 6A of the 1945 Constitution was to obtain more than 50% with a spread of at least 20% (twenty percent) vote in every province in more than ½ (half) number of provinces Indonesia. Using a voting system one man one vote and elected terms as in the article, it is very bright as ethnic Javanese favorable majority in the 2009 elections in the island of Java and Madura a percentage turnout of 59.87% Javanese island does not include-other islands in Indonesia. From the description above authors argue that in order to maintain harmony in the ethnic diversity of Indonesia, then it should provide equal opportunities for all ethnic groups to reach the summit of political power, which is to become President of the Republic of Indonesia, by way of amendments to the 1945 Constitution, particularly Article 6A paragraph 3 regarding the distribution of sound 20 % changed to 50% +1 every province more than ½ (half) of the provinces in Indonesia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariel Nathaniel
"Setiap kelompok etnik mempertahankan identitas mereka melalui ekspresi budaya yang kontinu untuk menciptakan boundaries etnik, arsitektur kemudian menjadi salah satu aspek dimana boundaries tersebut tercipta. Didasari teori yang melandasi identitas etnik serta boundaries pada arsitektur urban, dilakukan pengamatan terhadap Jalan Pancoran, yang merupakan salah satu kawasan Pecinan yang paling aktif. Menggunakan pendekatan experiential, pengamatan menunjukan hadirnya boundaries yang terwujud dalam atmosfer ruang terbangun, sehingga dapat diidentifikasi indikasi akan keberadaan identitas etnik Tionghoa pada arsitektur kawasan Jalan Pancoran.

Every ethnic group preserve and maintain their identity by continual expression of their culture, in which ethnic boundaries are created. Architecture then becomes one aspect in which these boundaries manifest. Based on the theory that underlines the concept of ethnic identity and boundaries within urban architecture, an observation towards Jalan Pancoran area was done, as it is one of the most active areas in Jakarta’s Pecinan. Using experiential approach, the result of the observation shows presences of boundaries that manifests within the atmosphere of built architecture, which identifies the presence of indications over Chinese ethnic identity within the architecture around Jalan Pancoran area."
Lengkap +
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Maraya Syahdenal
"Skripsi ini mengkaji tentang konstruksi identitas pada sebagian remaja keturunan etnis Bugis yang tinggal di Karangantu. Kehidupan mereka yang terpisah dari komunitasnya yang membentuk satuan kehidupan berlandaskan etnis – Kampung Bugis – membuat pemahaman identitas untuk mengenali siapa diri mereka secara berbeda. Etnisitas yang bersifat askripstif dalam membentuk identitas seseorang kemudian disangkal dengan mengatakan bahwa “kami bukan Bugis.” Penyangkalan bukan Bugis yang dilontarkan oleh sebagian remaja keturunan etnis Bugis adalah upaya mereka dalam mendefinisikan diri, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu, sosialisasi yang terjadi dalam keluarga maupun lingkungan memberi andil dalam pendefinisian internal maupun eksternal untuk menghasilkan meaning dalam merepresentasikan diri sebagai siapa. Keterlibatan audience yang memberi ciri melalui stereotipe tentang masyarakat Bugis juga ikut mempengaruhi ekspresi identitas sebagian remaja Bugis dengan membentuk identitas yang berbeda dengan remaja Bugis yang berada di kampung Bugis.

This undergraduate thesis examines the construction of identity among a number of Bugis descent teenagers living in Karangantu. The notion ethnic identity construction as an ascriptive process is refuted by the teenagers claim that they are “not Bugis”. The denial against their own Bugis ethnicity is an attempt to define themselves, constrained by both internal and external definitions. In addition, the socialization that occurs within the family and the neighborhood contribute to the internal and external definition to generate meaning in representing themselves. Audience involvement that characterizes through stereotypes about Bugis society also influences the identity expression of these Bugis teenagers by establishing a distinct identity among their peers within the Bugis village."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S45166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darsya Khohamzah
"Deskripsi etnografi ini menjelaskan interaksi sosial para pedagang di Pasar Mester Jatinegara. Saya mengamati interaksi sosial di antara para pedagang Cina di Pasar Mester dan hubungan sosial dengan para aktor pasar lainnya. Hasilnya mengantarkan kepada sebuah kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi di Pasar Mester ini terdapat strategi, kerjasama ekonomi, dan persaingan di antara para pedagang. Latar belakang etnik para pedagang yang beragam memunculkan stereotip etnik di dalam aktivitas-aktivitas ekonomi di pasar. Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan partisipasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S61287
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Cahaya Hati
"Indonesia merupakan bangsa polietnik yang terdiri dari keberagaman suku bangsa. Salah satu kelompok minoritas yaitu suku bangsa Tionghoa masih menjadi perdebatan mengenai penerimaannya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Beberapa pihak menyatakan tidak setuju jika kelompok Tionghoa dianggap bagian masyarakat asli Indonesia. Orang Tionghoa kini mencari identitas diri dan mengartikan Tionghoa dalam kehidupan mereka. Keluarga merupakan agen yang penting mengenalkan identitas sebagai Tionghoa. Penguatan identitas terjadi ketika berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya khususnya di sekolah. Mengamati orang muda di Belitung dalam pemaknaan identitas dari cara mereka menjalankan tradisi Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan zaman membawa pengaruh terhadap pandangan pemuda Tionghoa mengenai identitas kesukubangsaan dan identitas nasional. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik setempat turut mempengaruhi pemaknaan identitas suatu kelompok. Pemuda Tionghoa di Belitung menyadari posisi mereka sebagai warga negara Indonesia namun tidak melupakan asul usul nenek moyang serta tradisi yang diwariskan. Menjadi Tionghoa bukan sebuah pilihan melainkan didapatkan dari keluarga. Proses sosialisasi yang terus menerus dilakukan menghasilkan pemaknaan identitas diri oleh orang muda Tionghoa Belitung.

Indonesia is a polytethnic nation that is very rich in ethnic diversities. One of the minority groups is ethnic Tionghoa that is still in a debate regarding the approval as a ethnic group of Indonesian. Some groups in Indonesia refuse to accept the ethnic Tionghoa group as a part of the Indonesian people circle. The Tionghoa people in Indonesia have been searching for their identities and meanings of being a 'Tionghoa' in their daily lives. Family is an important agent to introduce and nurture someone's identity as a 'Tionghoa'. Confirmation of 'Tionghoa' as an identity occurs whenever they interact with someone with different ethnic background. This social phenomenon especially happens in school. This paper highlights how 'Tionghoa' as a social identity is always in the process of lsquo meaning making'regarding their lived tradition among the daily lives of Tionghoa youth in the context of modernity that clearly influences their perspectives about ethnic identity and national identity. Besides that, the social, economic and political conditions in a local context also influence the lsquo meaning making'of a group's idenity. The Tionghoa youth in Belitung realizes their position as Indonesian citizens, yet they also do not forget their ancestors and tradition. Due to the continuous socialization process from the family that influences them to interpret their social identity, being a 'Tionghoa' is not a choice, but it is inherited.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurarni Widiastuti
"Identitas menjadi suatu hal yang penting bagi muslim keturunan Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Kebanyakan masyarakat muslim keturunan Cina adalah muallaf atau memeluk Islam tidak sejak lahir melainkan karena proses pindah ke agama Islam. Mereka lebih diterima oleh orang pribumi meskipun dari keturunan Cina, mengingat banyak stereotip dan penolakan yang terjadi terhadap etnis Cina oleh warga pribumi selama ini.
Penerimaan tersebut terkait dengan tumbuhnya perasaan sense of belonging yang muncul di tengah-tengah masyarakat pribumi dan muslim keturunan Cina. Inilah yang menyebabkan leburnya sekat sosial di antara pribumi dan muslim Cina bahkan membentuk suatu ikatan positif di antaranya. Meskipun muslim keturunan Cina menjadi lebur dengan masyarakat pribumi, bukan berarti tidak ada rintangan dalam menjalani kehidupan barunya sebagai seorang muslim. Mereka juga menjadi dijauhi oleh keluarga atau temantemannya yang nonmuslim keturunan Cina. Oleh karena itu, penggunaan simbolsimbol atau atribut Islam menjadi penting bagi muslim keturunan Cina ini dalam strategi berinteraksi.
Terbentuknya komunitas muslim keturunan Cina menjadi suatu hal yang tidak dapat ditepis lagi. Interaksi dengan sesama muallaf Cina lainnya, bertukar pikiran atau sharing satu sama lain pada akhirnya menimbulkan rasa nyaman dan menjadi ?rumah kedua? bagi mereka.

Identity became an important thing for Chinese Moslem in order to interact with the other society. Mostly, The Chinese Moslem was Muallaf, a person who became Moslem not because they were born as moslem but with changing their religion into Moslem. They?ve been accepted by the local society, despite the fact that there are a lot of stereotype and rejection towards the Chinese by the local society.
The acceptance towards the Chinese Moslem arisen the sense of belonging between the local society and the Chinese Moslem Society itself. This condition had loosened the social barriers between the two societies. In fact, those two societies are now bounded in some kind of positive atmosphere. Eventhough, the Chinese Moslem had already melted with the local society, but there are still some problems that occur in their new life as a Chinese Moslem. Somehow, they got abandoned by their own non-Moslem Chinese family or friends. So that?s why, for the Chinese Moslem, symbols and attributes are really important as a part of interaction strategy.
We can?t set aside the existence of the Chinese Moslem community as a place for them to interact, communicate, or share their thoughts and opinions with the other Chinese Muallaf. This community already became their nice and comfort second home.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"This research intends to prove that globalization is not always related to homogenization process. For such a purpose this research described how Betawi youngsters construct their ethnis identity and how they consume Betawi cultural television program in the constructuin of their ethnis identity. As a constructuinist, the resercher used case study with multi level analysis design. The results suggest that on a one side among cases studied their characteristics as orang Betawi can still be seen, but on the other side, their ethic identity is weekened while a new ethnis identity is formed."
Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, V (3) September-Desember 2006: 49-74, 2006
TJPI-V-3-SeptDes2006-49
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Desain kemasan dengan identitas budaya lokal sangat diminati oleh wisatawan akan tetapi masih perlu dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang belum banyak diperkenalkan. Kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang dijual di pasar oleh-oleh. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi identitas komunikasi visual dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas budaya lokal yang paling dominan ditonjolkan sebagai identitas kemasan oleh-oleh kopi Bali adalah kesenian, arsitektur dan upacara ritual dengan tampilan kemasan yang bervariasi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi sektor IKM dalam merancang daya tarik desain kemasan dengan menampilkan identitas budaya lokal, agar memiliki perbedaan dengan produk lain sejenis. Sehingga identitas budaya lokal Bali yang beraneka ragam dapat dihadirkan dengan konsep berbeda dan produk IKM mampu bersaing dengan produk kompetitor yang telah memiliki nama dibenak konsumen.
"
Lengkap +
SWISID 2:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Subatrio Pardamean
"Tesis ini menganalisa konstruksi identitas etnis Simalungun pada proses pemekaran Kabupaten Simalungun tahun 2002 sampai 2014. Tesis ini mempertanyakan bagaimana etnis Simalungun bereaksi atas upaya pemekaran Kabupaten Simalungun sebagai suatu fenomena yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru, dimana melalui desentralisasi dan otonomi daerah terbuka peluang bagi daerah untuk membentuk daerah otonomi baru. Etnis Simalungun menolak pemekaran yang kemudian mendorong etnis Simalungun untuk melakukan konstruksi identitas dimana hal itu dapat dipandang sebagai salah satu strategi politik identitas etnis Simalungun.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) orang yaitu (1) tokoh Simalungun yang mendukung pemekaran (2) tokoh Simalungun yang menolak pemekaran dan (3) seorang budayawan Simalungun. Tesis ini menggunakan konsep identitas kelompok dan politik identitas yang dipaparkan oleh Manuel Castells (2010).
Hasil analisa dari tesis ini menunjukkan bahwa konstruksi identitas etnis Simalungun muncul karena adanya potensi kerugian kultural dan ekonomi yang akan etnis Simalungun alami apabila Kabupaten Simalungun dimekarkan. Dimana apabila dilihat dari sejarah panjang dinamika pergulatan identitas etnis Simalungun dalam jangka waktu 100 tahun terakhir yang membuat etnis Simalungun selalu dalam rebutan pengaruh yang datang dari luar dirinya (pendatang) dan hal itu menimbulkan ?kegamangan‟ bagi orang Simalungun akan masa depannya di tanah leluhurnya sendiri. Dan ditemukan juga adanya potensi konflik akibat penerapan politik identitas pada proses pemekaran Kabupaten Simalungun.

This thesis analyzes the construction of ethnic Simalungun identities in the process of expansion Simalungun (2002 to 2014). This study questioned how ethnic Simalungun react on expansion efforts Simalungun as a phenomenon which is arise after the collapse of the New Order, which through decentralization and regional autonomy is an opportunity for regions to form a new regional outonomy. Ethnic Simalungun reject the expansion then pushed them to construct its identity where it can be seen as one strategy of political identity of ethnic Simalungun.
This qualitative study using interviews, observation, and documentation. Informants this study consisted of three (3) members, namely (1) Simalungun figure that supports the division (2) Simalungun figures who reject division, and (3) a humanist Simalungun. This thesis uses the concept of group identity and identity politics were presented by Manuel Castells (2010).
Results of analysis of this thesis shows that the construction of ethnic identities Simalungun arise because of the cultural and economic potential losses that will be experienced when Simalungun divided. Wherein when seen from a long history of ethnic identity Simalungun struggle dynamics within the last 100 years that makes ethnic Simalungun always in a struggle influences coming from outside himself (immigrants) and it gives rise to 'uncertainty' for people Simalungun his future in his own ancestral land. And there is also the potential for conflict as a result of the application of identity politics in the process of expansion Simalungun.
"
Lengkap +
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Ibnu Walid
"Isu tentang perubahan identitas etnis Tionghoa pasca Orde Baru sangat penting dikaji untuk melihat bagaimana perubahan batasan etnis serta upaya membangun relasi dengan etnis lain. Dalam tulisan ini, penulis membahas bagaimana upaya warga etnis Tionghoa Cirebon merekonstruksi identitas kulturalnya untuk mempertegas kembali batasan etnisnya. Proses rekonstruksi identitas etnis kultural etnis Tionghoa dibentuk dari praktik ziarah makam Ong Tien. Memori kolektif pengalaman sosial diskriminasi Orde Baru mendorong warga etnis Tionghoa Cirebon untuk mengatur ulang relasinya dengan warga lokal. Pada studi ini, citra Ong Tien dibentuk sebagai simbol kultural dan simbol sejarah untuk membangun relasi yang lebih harmoni dengan etnis lain. Merujuk pada kajian sebelumnya yang membahas implikasi kebijakan Orde Baru, penelitian ini aspek lain bagaimana etnis Tionghoa Cirebon menegaskan kembali posisinya di ruang sosial. Melalui metode kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa praktik ziarah makam Ong Tien mengalami perubahan dari sebelum dan pasca Orde Baru. Agar batasan identitas etnis Tionghoa tetap bertahan, aktor perubahan di kalangan etnis Tionghoa Cirebon melakukan pemeliharaan identitas dengan cara melembagakan praktik ziarah makam Ong Tien sebagai perayaan budaya tahunan. Strategi dimaksudkan agar pesan-pesan makna simbolik Ong Tien tersampaikan kepada masyarakat luas.

The issue of changing Chinese ethnic identity in Post-New Order is one of the most important to see how ethnic boundaries change and how to build relationships with other ethnicities. In this paper, the author discusses how the efforts of the Cirebon Chinese ethnic community to reconstruct its cultural identity to reaffirm their ethnic boundaries. The process of reconstructing ethnic Chinese cultural identity shaped from the practice of Ong Tien's grave pilgrimage. The collective memory of the New Order's social experiences of discrimination encouraged Cirebon Chinese citizens to reorganize their relations with local residents. In this study, Ong Tien's image shaped as a cultural symbol and a historical symbol to build more harmonious relations with other ethnicities. Referring to the previous study that discussed the implications of the New Order policy, this research is another aspect of how Cirebon Chinese people reaffirm their position in the social space. Through qualitative methods, this study found that the pilgrimage practice of Ong Tien's grave had changed from before and after the New Order. In order to maintain the boundaries of Chinese ethnic identity, change actors among the Cirebon Chinese ethnic group have maintained their identity by institutionalizing the practice of the Ong Tien tomb pilgrimage as an annual cultural celebration. The strategy intended to convey Ong Tien's messages of symbolic meaning to the wider community."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>