Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
G.M. Yudi Prasetia Adhiguna
"Skleroderma adalah penyakit autoimun yang melibatkan jaringan ikat. Salah satu gejala klinis skleroderma adalah Fenomena Raynaud dengan perubahan 3 warna pada kulit. Pemeriksaan marker seperti C-reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED) digunakan untuk memeriksa tingkat inflamasi terkait Fenomena Raynaud.
Tujuan penelitian adalah menelusuri hubungan kemaknaan antara CRP maupun LED dengan Fenomena Raynaud pada pasien skleroderma. Desain penelitian adalah desain potong lintang dan non-probability sampling. Jumlah sampel adalah 73 (30 memiliki Fenomena Raynaud, 43 tidak memiliki Fenomena Raynaud). Analisis data menggunakan uji chi square (diganti menjadi uji Fisher) untuk mengetahui apakah data yang diperoleh bermakna secara statistik dan klinis. Data bermakna secara statistik jika nilai p < α. Data bermakna secara klinis jika nilai besar efek penelitian > besar efek minimal.
Hasil penelitian memperoleh, pasien skleroderma terbanyak adalah 26, 38, dan 47 tahun (masing-masing 6,8%), rentang usia 20-73 tahun, mayoritas wanita (87,7%). Hasil yang diperoleh, tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik maupun klinis antara CRP dengan Fenomena Raynaud, maupun antara LED wanita dengan Fenomena Raynaud. Hubungan antara LED pria dengan Fenomena Raynaud diperoleh tidak bermakna secara statistik, namun dianggap bermakna secara klinis.

Scleroderma is an autoimmune disease that involves connective tissue. One of the clinical symptoms is Raynaud's Phenomenon with 3 colors change on the skin. Marker inflammations, such as C-reactive protein (CRP) and erythrocyte sedimentation rate (ESR) can be used for investigating inflammation level in establishing Raynaud's Phenomenon.
The aim was to investigate whether there was a significant relationship between CRP and ESR level with Raynaud's Phenomenon on scleroderma patients. This research use cross sectional design and non-probability samplingTotal sample used was 73 (30 with Raynaud's Phenomenon, 43 did not have). The test used was chi square (then change into Fisher Test) to determine whether the data obtained were statistically and clinically significant. Data is considered statistically significant if the value of p < α. Data is considered clinically significant if value of research effect size > minimal effect size.
The results showed that most of scleroderma patients were 26, 38, and 47 years old (6,8% respectively) with range 20-73 years old, the majority was women (87,7%). The results obtained were no statistically or clinically significant relationship between CRP and Raynaud's Phenomenon, nor between female's ESR and Raynaud's Phenomenon. The relationship between male's ESR and Raynaud's Phenomenon was not statistically significant, but was considered clinically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linny Luciana Kurniawan
"Anemia defisiensi besi merupakan komplikasi terbanyak pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis. Evaluasi status besi menggunakan pemeriksaan hematologi yang canggih diperlukan dalam menilai ketersediaan besi untuk eritropoiesis khususnya pada keadaan inflamasi. Parameter ini sangat penting digunakan untuk monitor dan menilai respon terapi anemia. Sebanyak 127 pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis yang berusia lebih dari 18 tahun di RSUPN Cipto Mangunkusumo diikutsertakan dalam penelitian ini. Automated Hematology Analyzer SYSMEX XN 3000 digunakan untuk menilai kadar hemoglobin, persentase eritrosit mikrositik (MICRO-R), persentase eritrosit hipokrom (HYPO-He), dan reticulocyte haemoglobin content (RET-He). Kadar feritin diperiksa dengan Cobas e411 dan saturasi transferin diperiksa dengan alat Architect. RET-He dengan titik potong 29,2 pg digunakan sebagai baku emas defisiensi besi. Mean haemoglobin pada kelompok anemia adalah 9,5±1,5g/dL. Pada kelompok defisiensi besi berdasarkan klasifikasi RET-He didapatkan median MICRO-R 7,2 (2,5-42,8) % dan HYPO-He 2,0 (0,3-51,9) %, dan menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik dengan kelompok tidak defisiensi besi (p=0,000). Terdapat korelasi negatif yang kuat antara parameter MICRO-R (r = -0,683) dan HYPO-He (r = -0,679) dengan parameter RET-He. Korelasi MICRO-R dan HYPO-He didapatkan negatif lemah dan bermakna terhadap saturasi transferin. Uji diagnostik pada titik potong parameter MICRO-R 4,15% didapatkan sensitivitas 91,2% dan spesifisitas 72%. Parameter HYPO-He dengan nilai titik potong 1.05% didapatkan sensitivitas 82,4% dan spesifisitas 73,1%. MICRO-R and HYPO-He merupakan parameter hematologi baru yang cukup terpercaya dan murah dalam menilai ketersediaan besi untuk eritropoiesis.

Iron deficiency anaemia was one of the most common complications in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis. Iron profile determinations using advanced haematology analyzers were needed to measure iron-deficient erythropoiesis in the background of inflammation. In this diagnostic study, a total of 127 chronic kidney disease patients who underwent hemodialysis over 18 years old at RSUPN Cipto Mangunkusumo were recruited. Haemoglobin concentration, percentage erythrocyte microcytic (MICRO-R), percentage erythrocyte hypochromic (HYPO-He), and reticulocyte haemoglobin (RET-He) were measured with SYSMEX XN 3000. The gold standard to define iron deficiency was RET-He < 29.2 pg. The mean haemoglobin value in the anaemia group was 9,5±1,5g/dL. In iron deficiency group based on RET-He classification, median MICRO-R of 7,2 (2,5-42,8) % and HYPO-He of 2,0 (0,3-51,9) % showed statistical different with no iron deficiency status (p=0,000). The correlation between MICRO-R (r = -0,683) and HYPO-He (r = -0,679) with RET-He was a strong negative correlation and a weak correlation with transferrin saturation. We identified MICRO-R cutoff was 4,15% (sensitivity 91,2%, specificity 72%) and HYPO-He cutoff was 1.05% (sensitivity 82,4%, specificity 73,1%). MICRO-R and HYPO-He were new haematological parameters. Those parameters were reliable and inexpensive to measure iron-deficient erythropoiesis. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilfi Radifan Pandia
"Latar belakang - Skleroderma merupakan kelainan jaringan ikat yang ditandai dengan keterlibatan multisistem organ, bersifat kronik dan progresif, dan memiliki tingkat mortalitas serta disabilitas yang tinggi. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien skleroderma.
Tujuan - Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara laju endap darah dan kadar protein reaktif C dengan kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma.
Metode - Desain studi pada penelitian ini adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari 115 pasien skleroderma di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Hasil - Dari 115 pasien, hanya 46 subjek yang memenuhi syarat. Hipertensi pulmonal terdeteksi pada 4 pasien berdasarkan hasil ekokardiografi. Tidak ada perbedaan rerata laju endap darah yang bermakna antara kelompok yang mengalami hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,154; perbedaan rerata = 22,58; IK95%:  -8,80 – 53,97). Rerata kadar protein reaktif C juga tidak berbeda bermakna antara kelompok hipertensi pulmonal dengan yang tidak (p = 0,748; perbedaan rerata 0,80; IK95%: 0,19 – 3,29).
Simpulan - Dari penelitian ini, tidak ada hubungan antara laju endap darah dan kadar Protein reaktif C terhadap kejadian hipertensi pulmonal pada pasien skleroderma. Walaupun demikian, laju endap darah dan kadar protein reaktif C cenderung lebih tinggi pada kelompok yang tidak mengalami hipertensi pulmonal.

Background - Scleroderma is connective tissue disease characterized by multisystem organ involvement, chronic and progressive course, and high mortality and disability rate.
Objectives - This study aimed to determine the association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients.
Methods - This study design was cross-sectional. One-hundred-and-fifteen medical records of scleroderma patient in Cipto Mangunkusumo National Hospital were reviewed.
Results - From 115 patients, only 46 subject eligible in this study. Pulmonary hypertension was detected in 4 patients by echocardiography. There was no significant erythrocyte sedimentation rate mean  difference between the group with pulmonary hypertension and those without (p = 0,154; mean difference = 22,58; CI95%:  -8,80 – 53,97). Mean C-reactive protein level was not significantly different between those with pulmonary hypertension and those without (p = 0,748; mean difference = 0,80; CI95%: 0,19 – 3,29).
Conclusions - From this study, there was no significant association between erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein level to the occurrence of pulmonary hypertension in scleroderma patients. Nevertheless, erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein tend to be higher in those without pulmonary hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library