Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfons Taryadi
Abstrak :
Penilaian atas baik buruknya suatu teori bisa secara apriori maupun aposteriori. Secara apriori, suatu teori bisa dinilai dari tingkat testabilitas (refutabilitas) dan isinya. Teori yang lebih baik ialah teori yang lebih besar isi dan lebih tinggi daya penjelasannya. Suatu teori semakin besar isinya bila semakin banyak yang dilarangnya untuk terjadi. Dan dalam bandingannya dengan probabilitas (dalam pengertian probilitas kalkulus), isi suatu teori berbanding terbalik dengan probabilitasnya dan vice versa. Demikianlah maka, menurut Popper, ilmu bertujuan mencari teori yang semakin improbable...
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S15977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rodliyah Khuza`i
Bandung: Refika Aditama, 2007
121 ROD d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Abdullah
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003
121 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Armstrong, D. M.
New York: Cambridge University Press, 2004
121 ARM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sher, Gila
Oxford: Oxford University Press, 2017
120 SHE e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suparto
Abstrak :
Keberadaan epistemologi, sebagai bagian dari filsafat sistematis, adalah untuk mengkaji pengetahuan manusia secara mendasar, menyeluruh dan umum. Dalam sejarah perkembangan filsafat, sudah banyak aliran epistemologi yang muncul. Kemunculan suatu aliran epistemologi mencoba untuk memperbaiki keberadaan teori epistemologi yang telah ada. Hal ini adalah perkara yang alamiah. Karena pada hakikatnya pengetahuan manusia itu merupakan kumpulan/akumulasi dari pengetahuan-pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Artinya pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para pendahulu akan memberi sumbangan yang berarti bagi pengetahuan manusia pada masa selanjutnya. Hal ini tidak harus selalu dipahami bahwa pengetahuan yang telah ada itu senantiasa diterima sebagai suatu kebenaraan yang sudah jadi, tetapi lebih kepada bentuk kebenaran yang masih sedang menjadi (becoming truth). Masih terdapat peluang untuk menjadikan pengetahuan yang telah ada tersebut menjadi pengetahuan yang memiliki nilai benar yang lebih baik. Usaha ini dilakukan oleh manusia sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang senantiasa ingin mengetahui sesuatu yang baru yang belum pernah mereka ketahui. Hal ini akan senantiasa terjadi dalam sejarah peradaban manusia, dalam bidang apapun. Immanuel Kant adalah seorang filosof zaman modem yang mencoba mengkritisi pemikiran yang sedang berkembang pada masanya. Rasionalisme adalah aliran filsafat (terutama epistemology) yang sedang berada di puncak kejayaan pada masa itu yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Jarman. Sementara diseberang lautan (di Inggris), empirisme juga sedang mengalami hal yang sama. Mereka masing-masing mengklaim sebagai pihak yang paling benar dalam hal epistemologi. Namun demikian Immanuel Kant tidak mengikatkan diri kepada salah satu aliran tersebut. Kant mengambil jarak dengan keduanya. Ia memutuskan untuk mengkaji batas-batas kemampuan rasio manusia untuk mampu mengetahui. Ia menamakan hal ini dengan filsafat kritis (critical philosophy), Itulah salah satu yang menyebabkan ia berbeda dengan filosof yang lain. Immanuel Kant menyatakan bahwa rasio manusia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat gejala (fenomena) saja. Rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang berada dalam jangkauan ruang dan waktu. Sementara sesuatu yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Namun demikian, rasa pesimisme yang dimiliki oleh Immanuel Kant terhadap potensi rasio ini tidak berarti bahwa rasio itu tidak penting. Rasio memiliki tempat yang sangat panting dalam filsafat Kant. Rasio merupakan sarana yang dengannya manusia mampu menemukan dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang terbebaskan, dan manusia yang tercerahkan. Dengan rasiolah manusia mampu berpikir. Dengan rasiolah manusia mampu memberi atribut terhadap sesuatu yang datang kepadanya. Dengan rasiolah manusia mampu keluar dari belenggu_-belenggu yang ada di dalam dirinya. Penggunaan rasio di wilayah yang memungkinkan kita untuk tidak tersubordinasi oleh pihak lain,oleh Kant dinamakan penggunaan rasio secara publik (public use); sementara penggunaan rasio pada saat kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, oleh Kant disebut penggunaan rasio secara prifat (private use). Pada tataran kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, Kant tidak menyarankan kepada kita untuk menurut begitu saja terhadap pemikiran yang dimunculkan oleh sistem tersebut, tetapi kita wajib untuk menyesuaikannya dengan fungsi rasio secara publik. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tataran praksis, fungsi rasio mengalami penyimpangan. Rasio dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk merasionalkan sesuatu yang sebenamya tidak rasional. Rasio yang semula sebagai pemandu manusia untuk keluar dari keterkungkungan terhadap hal-hal yang tidak rasional, kini ia telah menjadi belenggu Baru bagi manusia. Manusia telah memitoskan rasio. Suatu keadaan yang paradoksal. Pada tataran praksis yang lain dimana kemajuan ilmu pengetahuan demikian pesat, berdampak terhadap sikap manusia dalam mengambil keputusan. Manusia, ada kalanya, dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan kepada putusan-putusan rasionalnya , tetapi lebih tergiur kepada citra yang disajikan dan dimunculkan oleh media. Hal ini bermakna bahwa manusia yang hidup pada masa pencerahan tidak dengan sendirinya memiliki pikiran yang tercerahkan, kalau rasio sebagai parameter tercerahkan atau tidak tercerahkannya manusia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Bernardo Gyorgy
Abstrak :
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan memperjelas permasalahan justifikasi epistemik. Descartes, pada kedua buku tersebut, diasumsikan memiliki argumentasi yang mendasari pengetahuan-pengetahuan yang ia temui. Beberapa dari pengetahuan tersebut adalah eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif. Epistemologi Descartes berangkat dari fondasi 'aku berpikir'; pengetahuan tersebut niscaya benar dan indubitable. Dari situ, Descartes mengetahui bahwa substansi ada dua: mind dan body. Setelah itu, ia mendeduksi (non-silogistik) bahwa pengetahuan mengenai realitas objektif bukan direpresentasikan oleh sensasi, melainkan direpresentasikan oleh ide-ide bawaan di dalam mind. Dari penelitian saya, saya berkesimpulan tiga hal. Yang pertama Descartes melakukan kekeliruan (invaliditas) ketika ia mengetahui eksistensi diri. Descartes keliru mencampur knowing-how dan knowing-that, dan menganggap 'aku berpikir' sebagai objek, hal yang dihipotesiskan tidak luput dari Evil Genius. Yang kedua pengetahuan mengenai distingsi mind-body inkoheren. Hal ini dikarenakan kekeliruan kategoris yang ia lakukan. Yang ketiga prakondisi pengetahuan Descartes mengenai realitas objektif tidak mencukupi. Hal ini dikarenakan justifikasi realitas formal dengan realitas objektif sama, dan akhirnya pengetahuan tersebut bergantung pada natural light. Oleh karena ketiga hal tersebut, argumentasi Descartes, dalam kedua buku tersebut, mengenai eksistensi diri, distingsi mind-body, dan realitas objektif tidak justified.
ABSTRACT
This undergraduate thesis aims to clarify the issues raised about the problem of epistemic justification. Descartes, on both of this book, is assumed to have underlying arguments on the knowledge he discovered. Some of these knowledge are self-existence, the mind-body distinction, and objective reality. Descartes‘ epistemology started from the foundation of 'I think'; such knowledge is necessarily true and indubitable. Descartes recognized that there are two substances: mind and body. Then, he deduced (non-syllogistically) that the knowledge of objective reality is not represented by sensation, but rather by the innate ideas inside of the mind. From my research, I concluded three things. First, Descartes committed an invalid deduction when he discovered self-existence. Descartes mistakenly mixed 'knowing-how' and 'knowing-that', and thought that 'I think' as an object, things which is hypothetically couldn't escape from the Evil Genius. Second, the mind-body distinction is incoherent. This is caused by categorical error that he committed. Third, Descartes' precondition of knowledge about objective reality is not sufficient. This is because in Descartes formal reality and objective reality is the same, and ultimately the knowledge depend on natural light. Because of these three notions, Descartes' arguments inside the two books, about the existence of self, mind-body distinction, and the objective reality are not justified.
2014
S54464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrila Ikhlasia Eprina
Abstrak :
ABSTRACT
Skripsi ini bertema epistemologi dengan mengangkat persoalan testimoni yang dimungkinkan sebagai bukti kuat untuk menjustifikasi keyakinan menjadi pengetahuan. Pembahasan mengenai testimoni ini berangkat dari sudut pandang Quine dan Ullian dalam The Web of Belief-nya dan dijelaskan dengan teori justifikasi Haack. Foundherentism merupakan teori justifikasi di dalam struktur pengetahuan dari Susan Haack. Foundherentism digunakan untuk menguatkan posisi testimoni sebagai justifikasi keyakinan. Konsep penting dalam foundherentism adalah penekanan pada justifikasi empiris yang merupakan gabungan dari mutual support dan empirical evidence. Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka, analisis deskriptif dan refleksi kritis. Skripsi ini menunjukkan bahwa foundherentism merupakan teori justifikasi yang memungkinkan bahwa testimoni dapat menjadi faktor penting untuk menjustifikasi keyakinan.
ABSTRACT
This thesis is themed epistemology by raising the issue of testimony that is possible as strong evidence to justify belief into knowledge. This discussion of testimony departs from Quine and Ullians point of view in The Web of Belief and then is explained by Haacks justification theory. Foundherentism is a justification theory within structure of knowledge of Susan Haack that used to strengthen the position of testimony as a justification of belief. An important concept in foundherentism is the emphasis on empirical justification which is a combination of mutual support and empirical evidence. This research uses literature review method, descriptive analysis and critical reflection. This thesis suggests that foundherentism is a justification theory that enables testimony to be an important factor in justifying belief.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cassirer, Ernst
Boston: Beacon, 1955
121 CAS p;121 CAS p (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jalaluddin
Jakarta: Rajawali Pres, 2013
121 JAL f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>