Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amril Amirman Burhany
Abstrak :
Proses tumbuh kembang yang merupakan ciri khas anak, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor penyakit. Epilepsi merupakan suatu penyakit pada anak dengan insidens yang cukup tinggi yaitu 50/100.000 populasi anak (Shorvon, 1988). Pada pasien epilepsi, makin sering serangan, makin banyak sel-sel otak yang rusak, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kecerdasan pasien (Aicardi, 1986). Menurut Sofijanov (1982) epilepsi merupakan kondisi kronik yang ditandai oleh timbulnya serangan kejang berulang, tanpa panas dengan abnormalitas disritmik spesifik pada EEG dan minimal dua kali serangan dengan interval minimal 24 jam. Dalam penatalaksanaan epilepsi terdapat tiga jenis pengobatan yaitu terapi medikamentosa, terapi operatif dan terapi non-medikamentosa lain (Davidson dan Falconer, 1975; Aicardi, 1986). Pemakaian obat antiepilepsi bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan/atau beratnya serangan (Hoskins, 1974) dan merupakan terapi terpenting karena dapat mengontrol sebagian besar serangan (Aicardi, 1986). Di antara banyak obat anti epilepsi yang digunakan sekarang ini, fenobarbital merupakan salah satu yang disukai karena efektivitasnya yang cukup tinggi, efek samping minimal, mudah didapat dan harganya yang murah serta terjangkau (Gilman dkk., 1985; Ismael, 1990). Eenobarbital bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang kejang korteks motorik dan/atau membatasi penjalaran aktivitas serangan dari fakusnya ke organ-organ efektor (Hoskins, 1974; Gilman dkk., 1985). Menurut Lampe (1986) fenobarbital per oral diserap dengan baik, konsentrasi puncak serum tercapai dalam 1 - 6 jam. Pada anak waktu paruhnya adalah 3 - 4 hari, sehingga diperlukan waktu 3 - 4 minggu (kira-kira 5-7 kali waktu paruh) untuk memperoleh konsentrasi plasma steady state dalam rentangan 15 - 40 ug/ml. Dosis ganda (loading dose) untuk 4 hari pertama mempercepat pencapaian konsentrasi plasma efektif tetapi menambah efek sedasinya. Dosis per hari yang banyak dipakai adalah 4 - 6 mg/kg berat badan yang dibagi dalam dua dosis. Namun pemakaian satu kali sehari sudah adekuat pada anak dan dewasa setelah dosis rumatan diketahui/ditentukan?
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Hawari
Abstrak :
Latar Belakang: Bagi orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi, dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama. Tujuan: Untuk mendapatkan rerata skor kualitas hidup serta faktor-faktor demografik dan medik yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi. Metodologi: Penelitian potong lintang deskriptif menggunakan instrumen Quality of Life in Epilepsy (QOLIE)-31 untuk menilai kualitas hidup 145 penderita epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi RSCM. Sampel diambil secara konsekutif sejak Agustus 2005-Desember 2005. Dilakukan deskripsi demografi dan medik, serta analisis bivariate, multivariate untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan skor total QOLIE maupun skor masing-masing komponen QOLIE (kekhawatiran akan serangan, kualitas secara umum, kesejahteraan emosional, energilfatigue, fungsi kognitif, efek obat, fungsi sosial). Hasil: Pada penelitian ini didapatkan rerata skor total QOLIE 67.62 ± 14.55. Faktor-faktor yang mempengaruhi (p< 0.05) rendahnya skor total QOLIE-31 adalah tingkat pendidikan, frekuensi serangan dan jenis pengobatan. Tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan kekhawatiran akan serangan; frekuensi serangan dengan kekhawatiran akan serangan dan fungsi sosial; jenis pengobatan dengan fungsi kognitif dan efek obat. Simpulan: Tingkat pendidikan rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan politerapi berhubungan kuat dengan rendahnya kualitas hidup.
Background: For persons with a chronic disease such as epilepsy, where a cure is not attainable and therapy may be prolonged, quality of life (QoL) has come to be seen is an important goal. Objective: is determine mean scores of QoL, demographic and clinical factors that influence the epileptic patient?s QoL. Method: Cross-sectional study using QOLIE-31 instrument to determine the quality of life of 145 ambulatory epileptic patients at Epileptic Clinic of Department of Neurology-Ciptomangunkusumo Hospital. Samples were taken consecutively from August 2005 to December 2005. Clinical and demographic data were collected Bivariate and multivariate analysis were used to determine which factors influenced QOLIE-3 either the total scores or the scores from each component of the QOLIE-31 (seizure worry, overall quality of life, emotional well-being, energy/fatigue, cognitive function, medication effect and social function). Result: The mean total score of QOLIE-31 was 67.62 t 14.55. The variables that were most strongly predicted (p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21315
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arif
Abstrak :
ECVT adalah salah satu metode pencitraan kapasitansi volumetrik yang dapat menghasilkan citra 3D dari daerah yang dilingkupi oleh sensor kapasitansi. Metode ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui aktifitas kelistrikan otak pada penderita epilepsi dan pasien normal. Pasien diperiksa menggunakan EEG untuk mengetahui normal/abnormalitas pasien dan posisi abnormalitas yang menunjukkan gelombang epileptiform. Setelah diperiksa EEG, pasien diperiksa kembali menggunakan ECVT. Citra kepala hasil pemeriksaan ECVT diolah menjadi citra irisan aksial, sagital, dan koronal. Citra tiap pasien dianalisa untuk mengetahui karakteristik aktifitas listrik otak pasien normal dan pasien epilepsi. Citra aktifitas listrik otak pasien normal menunjukkan adanya pola yang seragam satu sama lain, tampak aktifitas listrik otak yang tinggi homogen dan kontinu pada daerah korteks. Sedangkan citra aktifitas listrik otak pasien epilepsi menunjukkan perbedaan pasien satu dengan yang lain dengan aktifitas listrik korteks tidak kontinu dan tidak homogen. Pada daerah abnormalitas menunjukkan aktifitas listrik otak yang lebih tinggi akibat lepasan muatan sedangkan pada daerah yang sama untuk pasien normal tidak menunjukkan adanya aktifitas listrik otak.
ECVT is a methode that used to measure volumetric capacitance that could generate 3D images of the enclosed region with capacitance sensor. This methode is used for this research to study brain electric activity of epilepsy patient and normal patient. Patients were examined using EEG to get information about normal/abnormal of the patient and abnormality position which show epileptiform wave and then examined using ECVT. Brain electric activity image from ECVT examination was viewed as axial, sagital, coronal slices. Each brain electric activity patient's image was analyzed to understand charactheristic of normal brain electric activity and epilepsy patient. Brain electric activity of normal patients image shows a similar uniform distribution of high brain electric activity, homogen and continue around cortex. Brain electric activity of epilepsy patient image shows difference one and each other with brain electric activity is heterogen. Abnormality region of brain electric activity epilepsy patient shows activity which is not shown in the normal patient's brain.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Norma Mediciani
Abstrak :
ABSTRAK Epilepsi lobus temporal mesial adalah sindrom epilepsi yang banyak diderita oleh dewasa yang sering mengalami refrakter dalam pengobatan. Atrofi hipokampus yang terlihat melalui MRI kepala dapat ditemukan sebanyak 87% pada pasien epilepsi lobus temporal mesial dan memiliki respon yang baik dengan operasi epilepsi. Salah satu syarat operasi epilepsi adalah EEG monitoring untuk mencari EEG iktal untuk mencari fokus epileptik, walaupun sudah didapatkan adanya gelombang interiktal sebelumnya. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan dan kesesuaian antara abnormalitas gelombang EEG dengan sisi atrofi hipokampus dan untuk mengetahui prevalensi atrofi hipokampus pada epilepsi lobus temporal mesial. Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan 37 subyek epilepsi lobus temporal mesial, yang terbukti secara klinis dan EEG. Dilakukan pemeriksaan MRI kepala 1,5T untuk melihat ada atau tidaknya atrofi hipokampus secara visual. Kemudian dibandingkan antara abnormalitas gelombang EEG interiktal dengan sisi atrofi hipokampus. Onset usia bangkitan, frekuensi bangkitan, riwayat kejang demam, lama menderita epilepsi dan penggunaan obat entiepilepsi dianalisis sebagai data demografi klinis. Hasil: Prevalensi atrofi hipokampus sebesar 64,8% dengan 64,8% subyek ditemukan gambaran EEG berupa gelombang epileptiform dan 45,8% gelombang lambat. Didapatkan kesesuaian yang kuat antara lateralisasi EEG interiktal, yaitu gelombang epileptiform, dengan MRI (p 0,000; nilai kappa 1,00) dan didapatkan keseuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan atrofi hipokampus (p 0,500; nilai kappa 0,689, p 0,008). Simpulan: Pada penelitian ini, didapatkan keseuaian yang kuat antara lateralisasi gelombang epileptiform dengan sisi atrofi hipokampus dan kesesuaian yang lemah antara gelombang lambat dengan sisi atrofi hipokampus.
ABSTRACT Mesial temporal lobe epilepsy (mTLE) is the most common epilepsy syndrome in adults and often refractory in medical treatment. The Magnetic resonance imaging (MRI) showed hippocampal atrophy present in 87% patients with mesial temporal lobe epilepsy and have good respons with surgery. EEG monitoring is needed to find ictal EEG although interictal EEG already obtained as one of the requirements of epilepsy surgery for localize the epileptic region. Objective: To investigate the concordance between abnormalities EEG and side of hippocampal atrophy in patients with mesial temporal lobe epilepsy. To determine prevalance of hippocampal atrophy. Methods: We reviewed 37 consecutive patients with mesial temporal lobe epilepsy defined by clinical and EEG criteria and had 1,5T MRI visually analyzed by radiologist. We compared the interictal EEG and side of hippocampal atrophy. Age of seizure onset, seizure frequency, history of febrile seizure, antiepileptic drug and duration of epilepsy were analyzed as clinical demographic data. Results: The prevalence hippocampal atrophy was 64,8%. With 64,8% had epileptiform discharge and 45,8% had slow wave associated with hippocampal atrophy. There was significant concordance between MRI lateralization and interictal EEG (p 0,000, Kappa value 1,00). There was weak concordance between hippocampal atrophy and focal slow wave (p 0,500; Kappa value 0,689, p 0,008). Conclusions: We found strong concordance between MRI lateralization and interictal EEG in patients with mTLE and weak concordance between hippocampal atrophy and interictal slow wave.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awidiya Afiati
Abstrak :
Latar belakang. Epilepsi fokal merupakan jenis epilepsi terbanyak pada anak. Kemungkinan untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada epilepsi fokal lebih besar dibandingkan dengan epilepsi umum. Data mengenai faktor risiko epilepsi fokal intraktabel masih sangat sedikit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui strategi pengobatan dan konseling bagi pasien dan keluarga. Tujuan. (1) mendapatkan frekuensi terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi fokal. (2) mengetahui karakteristik pasien epilepsi fokal yang kontrol ke poliklinik Neurologi Anak. (3) mengetahui apakah usia awitan, etiologi epilepsi, frekuensi awal serangan, status perkembangan motor kasar awal, respon terapi awal, gambaran EEG awal, dan gambaran CT-Scan/MRI kepala dapat memprediksi kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel pada pasien anak dengan epilepsi fokal. (4) mengetahui apakah evolusi status perkembangan motor kasar, dan evolusi EEG epileptiform dapat memprediksi terjadinya epilepsi intraktabel. Metode penelitian. Desain penelitian adalah kohort retrospektif dan dilakukan poliklinik rawat jalan Neurologi Anak di RSCM sejak November 2013 sampai dengan Februari 2014 terhadap anak epilepsi fokal hingga usia 18 tahun, dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis bivariat dan multivariat. Hasil penelitian. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel adalah 35 (39%).Usia subjek terbanyak adalah usia>3 tahun sebanyak 81(90%) subjek. Pada analisis bivariat didapat faktor risiko bermakna adalah etiologi kejang simtomatik (OR 6,12 IK95% 2,08-18,04), frekuensi kejang>5x/hari (OR 3,91 IK95% 1,43-10,75), respon awal terapi buruk (OR 233,14 IK95% 27,40-1983,27), EEG awal abnormal (OR 4,51 IK95% 1,82-11,17), MRI abnormal (OR 10,38 IK95% 2,91-37,06), evolusi status perkembangan motor kasar buruk (OR 21,62 IK95% 2,62-178,1), dan evolusi EEG epileptiform buruk (OR 25 IK95% 7,71-81,03). Pada analisis multivariat didapatkan respon awal terapi buruk dengan nilai OR136,00 (IK95% 14,79 sampai 1250,08), dan evolusi EEG epileptiform buruk dengan nilai OR 10,00 (1,68 sampai 59,35) merupakan faktor risiko yang berperan untuk menjadi epilepsi fokal intraktabel. Simpulan. Angka kejadian epilepsi fokal intraktabel sebanyak 39%. Faktor risiko yang berperan adalah respon terapi awal buruk, dan evolusi EEG epileptiform buruk.
Background. Epilepsy focal is the most common type epilepsy in children. The chance to be intractable epilepsy is higher than general epilepsy. Therefore, study of the risk factors to predict intractable epilepsy is the utmost importance to conduct the treatment strategy and consult the patients and family. Objective. (1) to determine the characteristic focal epilepsy in children (2) to determine the frequency of intractable focal epilepsy (3) to identify and analyze the association of early risk factors including the onset of seizure, frequency of seizure, etiology of epilepsy, gross motor developmental status, the response of antiepileptic drugs, the electroencephalogram (EEG), and magnetic resonance imaging (MRI) / computed tomography (CT) Scan findings with intractable focal epilepsy, (4) to identify and analyze the relationship between the evolution factors including the evolution of EEG epileptiform, and the evolution of gross motor development with intractable focal epilepsy. Methods. Retrospective cohort study was conducted in child neurology outpatient clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta on November 2013 to February 2014. Inclusion criteria was children with epilepsy focal who was treated with antiepileptic drugs at least 6 month therapy until 18 years old age. Patients with febrile convulsions; central nervous system infections; neurodegenerative, neurometabolic diseases; and catastrophic epileptic syndromes with poor prognosis were excluded from the study. Data were analyzed using the IBM SPSS for Windowsv.17 software (IBM, New York, USA). Results. The proportion of intractable focal epilepsy is 35 (39%). The most of children is >3 years old 81 (90%). Bivariate analysis showed that significantly early risk factors are symptomatic epileptic (OR = 6.12; 95%CI 2.08-18.04), frequency of seizure >5x/day (OR = 3.91; 95%CI 1.43-10,75), gross motor developmental delay (OR = 233.14; 95%CI 27.40-1983.27), early abnormal EEG wave (OR = 4.51; 95%CI 1.82-11.17), abnormal MRI (OR = 10.38; 95%CI 2.91-37.06), poor gross motor developmental evolution (OR = 21.62; 95%CI 2.62-178.1), and poor the EEG epileptiform evolution (OR = 25; 95%CI 7.71-81.03). Multivariate logistic regression analysis revealed that an initial non response to antiepileptic drugs (OR = 136.00; 95%CI 14.79-1250.08), and the poor evolution of EEG epileptiform (OR =10.00; 95%CI 1.68-59.35) were all found to be significant and independent risk factors for intractable focal epilepsy. Conclusion. The present study reveals that the early non response to antiepileptic drugs, and poor of EEG epileptiform evolution are strongly associated with intractable focal epilepsy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Hidayatullah
Abstrak :
Epilepsi merupakan serangan sesaat yang disebabkan oleh aktivitas neuronal yang berlebihan dan menghasilkan infuls listrik yang tidak normal. Epilepsi memberikan dampak terhadap beberapa aspek, yaitu aspek kesehatan fisik, aspek psikologis, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh edukasi manajemen epilepsi terhadap perubahan kualitas hidup pasien. Metode penelitian ini adalah quasy eksperiment. Sebanyak 86 pasien epilepsi yang melakukan kunjungan ke poliklinik saraf RS. Haji Jakarta yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara edukasi manajemen epilepsi dibandingkan edukasi epilepsi standar rumah sakit dalam meningkatkan kualitas hidup epilepsi (p=0,035). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien epilepsi adalah tingkat pendidikan (p=0,001), pekerjaan (p=0,003), dan frekuensi bangkitan (p=0,022). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kualitas hidup pasien epilepsi adalah tingkat pendidikan (p=0,000; R=0,520; R2 =0,270). Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan video edukasi manajemen epilepsi sebagai standar intervensi asuhan keperawatan pada pasien dengan epilepsi.
Epilepsy is a transient occurrence of signs or symptoms caused by abnormal neuronal activity or abnormal synchronization in the brain. The existence of epilepsy will have an impact on several aspects of life, namely the medical aspects, psychological aspects, social aspects, and environmental aspects. This impact will affect changes in the quality of life. The aim of this study was to determine the effect of epilepsy management education on changes in the quality of life of epilepsy patients. This study was a quasy experiment method. A total of 86 epilepsy patients who visited the nerve polyclinic Jakarta Haji Hospital were selected by purposive sampling technique. The results showed that there was a significant effect between epilepsy management education compared to hospital standard epilepsy education in improving the quality of life of epilepsy (p = 0.035). Factors related to the quality of life of epilepsy patients were the level of education (p = 0.001), employment (p = 0.003), and frequency of seizures (p = 0.022). The results of multivariate analysis showed that the most dominant factor related to the quality of life of epilepsy patients was the level of education (p = 0,000; R = 0,520; R2 = 0,270). This study is expected to make epilepsy management education videos the standard of nursing care interventions in patients with epilepsy.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53283
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lamia Aisha
Abstrak :

Latar belakang: Prevalensi wanita dengan epilepsi (WDE) usia reproduktif di Rumah Sakit Pusat Umum Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah 61,7% pada tahun 2019. Pada sebagian WDE, frekuensi bangkitan dipengaruhi oleh perubahan hormonal. Fungsi reproduksi WDE di RSCM sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik gangguan fungsi reproduksi pada WDE di RSCM.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data primer. Kriteria inklusi adalah WDE berusia diatas 18 tahun, yang didiagnosis epilepsi oleh spesialis saraf, yang berobat di RSCM dari bulan September 2020 – November 2021. Ganguan fungsi reproduksi terdiri dari ganngguan siklus menstruasi, infertilitas, gangguan kehamilan atau gangguan persalinan.

Hasil Penelitian: Dari 136 subjek penelitian yang didapatkan, 41,2% mengalami gangguan fungsi reproduksi. Gangguan siklus menstruasi didapatkan pada 31,6% subjek. Subjek yang sudah menikah sebanyak 34,6%, dengan gangguan fertilitas didapatkan pada 45,5% subjek. Dari subjek yang sudah menikah, 77,3% pernah hamil. Gangguan kehamilan didapatkan pada delapan (47,1%) subjek, berupa riwayat abortus sebanyak 23,5%. Perubahan frekuensi bangkitan selama kehamilan ditemukan pada 94,1% subjek, berupa frekuensi bangkitan meningkat (23,5%), frekuensi menurun (23,5%) dan bebas bangkitan (47,1%). Lima belas (68,2%) subjek pernah melahirkan, dan sebanyak 66,7% melahirkan dengan sectio sesaria. Dua subjek mengalami gangguan saat persalinan, berupa persalinan prematur dan kejang saat persalinan.

Kesimpulan: Gangguan fungsi reproduksi pada WDE didapatkan pada 41,2% subjek, dengan jenis gangguan terbanyak adalah gangguan siklus menstruasi dan gangguan fertilitas.

Kata Kunci: gangguan fertilitas, gangguan fungsi reproduksi, gangguan menstruasi, wanita dengan epilepsi.

 


Background: Women with epilepsy (WWE) in reproductive age prevalence at Cipto  Mangunkusumo Nasional Hospital (RSCM) is 61,7% in 2019. Seizure frequencies in WWE could be influenced by hormonal changes. Reproductive function of WWE in RSCM has not been exactly known until now. The purpose of this study is to know the characteristic of reproductive system disorder in WWE at RSCM.

Methods: A cross-sectional study using primary and secondary data. Inclusion criteria are WWE older than 18 years old and has been diagnosed with epilepsy by the doctors at RSCM from September 2020 until November 2021. Reproductive system disorder consist of menstrual cycle disorder, infertility, pregnancy problems or delivery problems.

Results: There were 136 subjects, 41,2% have reproductive system disorder. Menstrual cycle disorder found in 31,6% subjects. There were 34,6% married subjects, and 77,3% of them have pregnancy experience, while infertility found in 45,5% subjects. Eight (47,1%) subjects were having problem during their pregnancy. Spontaneous abortion found in 23,5%. Seizure frequency increased in 23,5% subjects, decreased in 23,5% subjects and 47,1% subjects. Seizure free during their pregnancy. Fifteen (68,2%) subjects have delivery experiences and 66,7% subjects were using C-section methods. Two subjects were having problem during their delivery. One subject has premature delivery while the other one was having seizure during delivery.

Conclusion: Reproductive system disorder found in 41,2% subjects. Menstrual cycle disorder and infertility are the greatest disorder found in this study.

Keyword: infertility, menstrual cycle disorder, reproductive system disorder, women with epilepsy

 

Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Appleton, Richard
London : Martin Dunitz, 1998
616.853 APP e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Priguna Sidharta, 1924-2003
Jakarta: Gaya Favorit Press, 1986
616.853 PRI e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta : Depkes , 1994
616.853 LUM e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>