Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siringoringo, Horas Pardamean
Abstrak :
Program peningkatan sumber daya personil Polri merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup yang akhir-akhir ini kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat. Pembangunan berwawasan lingkungan menuntut partisipasi semua pihak, termasuk didalamnya Polri, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Hal ini merupakan kendala terciptanya pembangunan berwawasan lingkungan, kasus-kasus percemaran lingkungan hidup yang selama ini sulit tertangani akibat kurangnya perhatian pemerintah. Berbagai fakta menunjukkan pelaksanaan dan penegakan hukum tidak memberikan hasil yang memuaskan karena timbulnya berbagai persepsi yang keliru dalam penyelesaian kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup oleh sebagian besar aparat penegak hukum dan masyarakat. Sulitnya proses pembuktian disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran dan lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum, serta mahalnya biaya finansial dan sosial (Financial and social cost) yang harus dipikul masyarakat umumnya memiliki posisi sosial ekonomi lemah, rumitnya birokrasi peradilan untuk kasus lingkungan sebagai kendala non-yuridis para korban percemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu partisipasi Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup sangat diharapkan terutama dalam hal memberikan penyuluhan, kegiatan lingkungan, penaatan, pencegahan, teguran dan tindakan hukum.

Untuk menjelaskan informasi tentang bagaimana peranan Polri dalam menangani kasus-kasus percemaran lingkungan hidup, maka dilakukan penelitian tentang "Otimalisasi peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup", dengan tujuan mempelajari faktor -faktor yang mempengaruhi peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup. Faktor-faktor apa sajakah yang perlu diprioritaskan didalam mengoptimalkan peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan lingkungan hidup.

Hipotesis penelitian ini adalah peningkatan pemahaman tentang aspek lingkungan hidup, pemahaman peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup dan kemitraan polisi dengan instansi terkait, masyarakat serta dukungan sarana laboratorium lingkungan hidup mempengaruhi terhadap optimalnya peranan polisi dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup. Lokasi penelitian ditentukan di Polres Jakarta Timur, yang merupakan salah satu Kepolisian Resort yang ada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk mencapai tujuan penelitian dibuat kerangka konsep penelitian yaitu dilakukan pemahaman hubungan antara variabel-variabel yang berpengaruh.

Di dalam penelitian ini ditentukan variabel penelitian sebanyak 92 variabel yang dikelompokkan dalam:
1. kelompok variabel terkait pemahaman tentang lingkungan hidup.
2. kelompok variabel yang terkait dengan pemahaman peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.
3. kelompok variabel yang terkait dengan kemitraan responden dengan instansi terkait dan masyarakat.

Populasi penelitian adalah personil Polri sebagai responden yaitu Kepolisian Resort Jakarta Timur, dengan sampel 50 responden yang dipilih di setiap fungsi-fungsi yang ada di tingkat Polres. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terstruktur, observasi lapangan, wawancara dengan instansi terkait, masyarakat dan studi literatur.

Data dianalisis secara deskriprif dengan pendekatan kualilatif dan kuantitatif, hipotesis diuji dengan menggunakan Analisis Faktor. Faktor Analisis atau analisis komponen utama (principal component analysis) yang merupakan salah satu metode analisis variabel banyak (multivariate analysis). Data diolah dengan program SPSS for Windows.

Berdasarkan hasil pengelolaan data dari 92 (sembilan puluh dua) variabel yang diasumsikan terkait dengan tujuan penelitian, diperoleh 23 (duapuluh tiga) faktor utama yang memberikan kontribusi penelitian. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum faktor-faktor yang berpengaruh dan perlu dipertimbangkan di dalam mengoptimalkan peranan Polri dalam menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup sebagai berikut:
1. Aspek pemahaman tentang lingkungan hidup.
Responden harus mengetahui kosep-konsep ekologi, dan dapat mengaplikasikan di wilayah tugas responden serta dapat mengidentifikasi dampak-dampak lingkungan yang dihasilkan oleh limbah industri maupun rumah tangga dan daerah yang sering tercemar dan rawan banjir.
2. Aspek pemahaman Peraturan Perundang-Undangan tentang Lingkungan hidup.
Responden harus mampu dan dapat menerapkan undang-undang tentang lingkungan hidup serta peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup, jumlah penyidik bidang lingkungan hidup kurang memadai, informasi tentang lingkungan hidup, dan seringnya tidak tertangani akhirnya dilimpahkan ke instansi yang lebih berkompeten.
3. Aspek kemitraan responden terhadap instansi terkait dan masyarakat. Responden belum terlihat optimal untuk bekerja sama dengan instansi terkait dan masyarakat, terlebih dalam memprakarsai kegiatan-kegiatan tentang lingkungan.
4. Pengadaan Laboratorium Lingkungan hidup di tingkat Kepolisian Resort dalam mendukung peranan Polri menangani kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup di Tempat Kejadian Perkara dalam menemukan bukti permulaan.

Dalam hal ini responden masih cenderung bersifat menunggu laporan dari masyarakat. Responden diharapkan dalam melaksanakan tugas seharusnya mengutamakan tindakan preventif daripada represif.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka disarankan untuk:
1. Mengadakan pelatihan, pendalaman tentang lingkungan hidup secara rutin dan terpadu antara Polri, Jaksa, Hakim, LSM, Instansi terkait untuk menciptakan satu visi tentang lingkungan hidup.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana di tingkat Polres seperti membuat identifikasi lingkungan hidup atau laboratorium lingkungan.
3. Personil Polri diharapkan lebih proaktif dalam melakukan tindakan pencegahan yaitu melalui penyuluhan, bimbingan, kegiatan-kegiatan lingkungan, pemantauan, patroli, dan penegakan hukum.
The Optimallization of Police Role in Handling Living Environment Pollution Cases (A Case Study on Living Environment Pollution Cases Handling at East Jakarta Resort Police Jurisdiction]The empowerment program of Policemen is one of the alternatives to solve environmental cases that recently increased fast both in its quality and quantity. Development based on environmental insight requires the involvement of all the Indonesians including the Police Force to take care of the sustained capability of environment through environmental management. Development activities is not giving positive impact only but also negative impact This become the constraint to create development based on environmental insight and it can be observed during the times where many cases of environment pollution can not he handled well by the government. The facts indicated that the implementation of law enforcement still not giving satisfied results because of wrong perception in handling environment pollution by law enforce apparatus and community. The difficulties to proof environment pollution resulted by many factors for example weakness of law enforce apparatus professionalism, expensive of financial and social cost that must be carried by the people, and complexity of judicature bureaucracy where sometimes it becomes non juridical constraint for environment pollution victims. Therefore participation of police in this case is really required particularly in giving information, arrangement, prevention, warning, and law action.

To explain how police role in handling living environment pollution cases, research was done with title "The Optimallization of Police Role in handling Living Environment Pollution Cases (a case study on living environment pollution cases handling at East Jakarta Timur Resort Police jurisdiction)". The objective of this research was to know what factors influence police role in handling living environment pollution cases and what factors must be the priority to increase police role in handling living environment pollution cases.

The research hypotheses was increasing of living environment understanding, living environment regulations and partnership with related instances, community and supporting of environment laboratory were very influence to the optimally of police role in handling living environment pollution cases. East Jakarta Resort Police was chosen as the research location with consideration this Resort Police is one of the biggest Resort Police in DKI Jakarta. To achieve the research objective, researcher made a research concept frame that is relationship understanding among influenced variables. There are 92 research variables that divided into 3 groups namely:
1. Variables that related with living environment understanding
2. Variables that related with living environment regulations understanding
3. Variables that related with partnership among respondent, community and related instances.

50 respondents were chosen randomly at all function level of East Jakarta Resort Police. Data collecting conducted by field observation, structured interview with respondents, related instances and community. The obtained data were analyzed descriptively by qualitative and quantitative approaches and hypotheses were tested by factor analysis. Analysis factor or principal component analysis is one of the multivariate analysis methods.

According to data processing output from 92 variables that assumed have relation with research objective, 23 main factors obtained giving significant influence, Research result concluded that generally there are 3 main factors influenced the optimally of police role in handling living environment pollution cases, they are:
1. Living environment understanding aspect
Respondent must understand ecology concepts and able to apply it in his/her duty area, able to identify environmental impacts produced by industrial waste and domestic waste and flood sensitive area.
2. Living environment regulations understanding
Respondent must able to apply the regulations of living environment. number of environment investigator still not enough; little information of living. environment make police often to delegate living environment pollution cases to the competent instance,
3. Partnership aspect among respondent. related instance and community Respondent do not yet make optimal partnership related instance and community particularly to initiative living environment activities.
4. It is needed to build an living environment laboratory at Resort Police level to support polices' role in handling living environment pollution cases to find initial evidences
In this case respondent still waiting the report from community. Respondent must doing preventive action than repressive action.
Based on these results, it was suggested:
1. To make an integrated regular training about living environment among police, lawyer, attorney, NGO and related instances to create one vision about living environment management,
2. To increase the infrastructures at Resort Police level for example build an environment laboratory.
3. Police must more proactive in doing prevention action through giving information, guidance, monitoring, patrol and enforcement.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arin Fithriana
Abstrak :
Penelitian ini membahas tentang keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan hidup. Permasalahan ini menjadi penting dan mengemuka setelah dunia melihat bahwa proses produksi produk-produk perdagangan ternyata menimbulkan dampak bagi pelestarian dan kelangsungan lingkungan hidup. Terutama pada konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia yang terangkum dalam dokumen The Control of Industrial Pollution and International Trade. Dokumen ini secara langsung mendorong GATT sebagai regime perdagangan untuk meninjau kembali kebijakannya. Keterkaitan antara perdagangan dan lingkungan hidup disisi lain menyebabkan terjadinya distorsi perdagangan berupa hambatan, penolakan dan produk perdagangan yang dianggap tidak ramah lingkungan. Bahkan dijadikan alat untuk melegitimasi penekanan perdagangan satu negara atas negara lain. Dalam kajian ilmu hubungan internasional isu ini merupakan bagian dari isu non-konvensional. Hal ini berhubungan dengan adanya kesadaran bahwa isu ini telah menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hidup manusia, terutama negara. Negara sebagai aktor hubungan internasional sangat berkepentingan dalam perdagangan internasional. Karena selama ini perdagangan intemasional telah mampu memberikan masukan bagi devisa negara yang turut menyokong pembangunan ekonomi. Indonesia sebagai salah satu aktor dalam hubungan internasional selalu berupaya agar produk perdagangannya dapat diterima di pasaran internasional secara luas. Karena selama ini perdagangan inilah yang telah memberikan devisa negara cukup besar. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya Indonesia dalam menyikapi isu lingkungan hidup dalam perdagangan internasional GATT/WTO. Penelitian ini mengambil kurun waktu antara tahun 1992 sampai tahun 1999. Untuk menjawab permasalahan ini, penelitian ini menggunakan konsep Adjustment Strategy dengan model Domestic Offensive Adjustment Strategi sebagai alat analisa Pada strategi ini terjadi perubahan struktur domestik agar lebih kompetitif dalam persaingan global. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang bersifat deskriptif serta menggunakan data sekunder. Berdasarkan analisa dengan konsep tersebut bahwa Indonesia telah melakukan strategi domestic offensive adjustment untuk melindungi produk perdagangannya dari penolakan dan hambatan. Strategi ini merupakan upaya Indonesia dalam menyikapi isu lingkungan hidup dalam perdagangan intemasionalnya. Upaya tersebut antara lain dengan membentuk bad an standarisasi dan sertifikasi nasional, mengadopsi beberapa konvensi lingkungan hidup dari Multilateral Environment Agreements (MEAs), membuat kebijakan dan aturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup bagi produsen dan konsumen serta melakukan kerjasama global. Meskipun upaya tersebut telah dilakukan Indonesia, bukan berarti tanpa hambatan. Karelia untuk melaksanakan strategi ini diperlukan persiapan baik dalam structural-nya maupun rasional-nya berupa biaya yang harus ditanggung bagi pelaksanaan, proses maupun hasil dari perubahan tersebut.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wangke, Humphrey
Abstrak :
Proses konstruksi etika lingkungan sebagai bagian penting dari budaya korporasi multinasional bukanlah suatu hal yang mudah untuk dipraktekkan. Pada umumnya korporasi multinasional telah lama terkondisi oleh pemikiran bahwa praksis-praksis lingkungan hidup hanya merupakan beban bagi korporasi itu yang bisa mengurangi daya saing mereka secara domestik maupun internasional. Presiden AS Bill Clinton berusaha mengubah cara pandang itu dengan mengeluarkan kebijakan yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi Amerika. Korporasi Amerika didorong untuk menjadikan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian dari etika bisnis mereka melalui perluasan UU Hak Mengetahui masyarakat. Cara ini secara tidak langsung menuntut korporasi Amerika untuk bersikap responsif terhadap masalah lingkungan hidup. Dukungan yang datang dari LSM dan anggota Konggres serta dari kalangan pengusaha sendiri menambah keyakinan bahwa lingkungan hidup merupakan masalah yang tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi. PT Freeport Indonesia sebagai bagian dari korporasi Freeport McMoRan dituntut pula untuk mengimplementasikan nilai baru dalam etika bisnis di Amerika tersebut. Banyak kendala yang ditemui dalam tahapan-tahapan proses konstruksi etika lingkungan ini. Meskipun telah mempunyai komitmen terhadap masalah lingkungan hidup, tetapi mereka masih pula melakukan penyimpangan-penyimpangan. Konsekuensinya pemerintah Bill Clinton menangguhkan bantuan OPIC senilai US$ 100 juta. Tekanan terhadap PTFI tidak hanya datang dari badan federal Amerika saja tetapi juga LSM-LSM luar negeri. Semuanya ini menunjukkan bahwa PTFI masih harus bekerja lebih keras lagi dalam mewujudkan etika lingkungan sebagai budaya korporasi mereka.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nurdjati
Abstrak :
Ringkasan
Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang partisipasi masyarakat Betawi pada upaya pelestarian lingkungan, dengan mengambil studi kasus di kawasan Cagar Budaya Condet. Penelitian ini juga membahas faktor-faktor yang berpengaruh dalam partisipasi tersebut serta implikasinya terhadap upaya pelestraian lingkungan.

Terjadinya proses pembangunan yang cepat di dalam mempertahankan kelestarian dalam wujud aslinya sehingga lahirlah lingkungan baru buatan manusia.

Dalam mengembangkan lingkungan buatan manusia ini harus diperhitungkan kelangsungan fungsi hidup alam agar peruuahan yang terjadi tidak sampai merugikan manusia. Karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, perlu dimanfaatkan faktor-faktor dominan seperti faktor demografi, sosial dan budaya, faktor geografi, hidrografi, geologi dan topografi, faktor klimatologi, faktor flora dan fauna, dan faktor-faktor kemungkinan perkembangannya. Berbagai faktor ini merupakan faktor komponen lingkungan hidup yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan.

Kawasan Condet yang terletak di daerah pinggiran kota Jakarta terdiri dari tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Balekambang, Batuampar dan Kampung Tengah. Pada awal tahun 1975, daerah tersebut merupakan daerah yang didominasi oleh Masyarakat Betawi yang hidup dari pertanian buah-buahan, yaitu salak dan duku. Keasrian lingkungan yang masih merupakan perkebunan buah-buahan beserta budayanya yang khas Betawi Condet saat itu, merupakan salah satu asset Pemerintah DKI Jakarta yang potensial untuk dilestarikan. Karena itu pada tahun 1975 Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijaksanaan yang pada dasarnya untuk melindungi eksistensi sektor agraris serta mempertahankan budaya Betawi.

Pada saat ini, 20 tahun kemudian setelah dikeluarkannya kebijaksanaan pertama yang menyangkut pengaturan pola tata guna tanah di kawasan Condet, lingkungan Condet sudah jauh berbeda dari tujuan yang diharapkan. Dibangunnya jalan Raya Condet serta pengaruh perkembangan dan pembangunan kota Jakarta merupakan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya penduduk pendatang, baik dari dalam kota maupun luar kota, masuk ke Kawasan Condet ini. Keadaan ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan, yang semula didominasi oleh tanaman buah buahan, menjadi pemukiman yang padat lengkap dengan fasilitasnya. Peningkatan kebutuhan masa ini yang berkembang sejalan dengan arus pembangunan, menyebabkan Kawasan Condet makin berubah, jauh dari tujuan pelestariannya. Meskipun demikian Pemerintah Daerah DKI Jakarta tetap berusaha agar kawasan Condet tetap dapat dipertahankan sebagai daerah pertanian buah-buahan melalui berbagai kebijaksanaan.

Penelitian ini akan mendiskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat Betawi di Condet dan sejauh mana implikasi dari sikap partisipasi itu dalam upaya pelestarian lingkungannya. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan, tingkat penghasilan, luas kepemilikan lahan sebagai faktor sosial dan ekonomi, sedangkan sebagai faktor budaya adalah kebiasaan pengalihan hak oleh ,masyarakat Betawi yang dalam hal ini berupa cara waris atau hibah kepada sanak keluarganya. Sampel yang diambil adalah sebanyak 74 sampel dari 123 Kepala Keluarga Betawi Condet pemilik lahan perkebunan buah-buahan atau setidaknya masih mempunyai pohon buah-buahan di halaman rumahnya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan di lapangan, teknik wawancara dan quesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif dari hasil tabulasi silang (cross tabulation); dan untuk menguji hubungan variabel digunakan uji statistik non parametric dengan menggunakan metode chi-square ( }C2 ) dan perhitungan koefisien kontingensi C.

Sebagai variabel bebas dipilih faktorfaktor (fungsi dari variabel) sebagai berikut . (1) tingkat peradidikan sebagai faktor sosial, (2) tingkat penghasilan sehubungan dengan jenis pekerjaan dan (3) luas kepemilikan lahan sebagai faktor ekonomi, serta (4) kebiasaan dalam pengalihan hak atas lahan yang dimiliki sebagai faktor budaya. Sebagai variabel terikat adalah partisipasi masyarakat yang meliputi (1) perilaku terhadap lahan yang dimiliki, (2) motivasi responden, yaitu keinginan responden untuk menjual lahannya kepada pihak ketiga, serta (3) sikap pemilik lahan terhadap peraturan yang berhubungan dengan upaya pelestarian.

Karena satu variabel dependen dihubungkan dengan dua atau lebih dari dua variabel independen, maka metode analisa yang digunakan adalah teknik regresi berganda atau multiple regression.

HASIL PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di ketiga kelurahan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat pendidikan, jenis lapangan pekerjaan yang berhubungan serta luasnya lahan yang dimiliki, merupakan variabel yang mempunyai korelasi positif dengan partisipasi masyarakat yang menyangkut sikap terhadap pemeliharaan lahan. Kecuali itu tingkat pendidikan juga mempunyai korelasi yang positif dengan motivasi masyarakat pada sikap adaptif terhadap lingkungan, dengan perkataan lain, makin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki, keinginan responden untuk menjual lahannya juga makin kecil. Keadaan ini dapat diartikan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar yang diharapkan dari partisipasinya terhadap upaya lingkungan. Tetapi sebaliknya upaya pelestarian tidak memberi pengaruh terhadap sikap masyarakat dalam keiinginannya untuk menjual lahannya.

2. Peran budaya pewarisan, yaitu yang berhubungan dengan cara pengalihan hak atas lahan yang dimiliki, kepada sanak keluarganya merupakan kondisi yang tidak menunjang upaya partisipasi, dalam arti bahwa tindakan demikian akan mengurangi luas kepemilikan lahan perkebunan yang dimiliki perorangan

3. Upaya pelestarian yang dilaksanakan melalui kebijaksanaan serta peraturan-peraturan di Kawasan Condet sampai saat ini makin jauh dari yang diharapkan. Kurang berfungsinya faktor-faktor penguat (reinforcement) yang berupa ganjaran, tindakan hukum dan lain-lain,mengurangi timbulnya sikap partisipasi masyarakat dalam menunjang upaya pelestarian.

KEGUNAAN HASIL PENELITIAN

Suatu hasil penelitian adalah untuk mencari suatu kebenaran dan pemberi artian yang terus menerus diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perumus kebijaksanaan dalam menentukan peraturan selanjutnya yang menyangkut upaya pelestarian di Kawasan Condet. Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan maka disarankan untuk membentuk suatu badan khusus yang tugas pokoknya

adalah menyelenggarakan usaha-usaha yang berhubungan dengan upaya pelestarian di kawasan Condet ini. Badan tersebut hendaknya membuat suatu konsep rencana pengadaan yang terarah dan operational untuk meningkatkan nilai tambah pelestarian lingkiingan dan budaya masyarakat Betawi Condet. Di samping itu dalam rencana kerjanya dimasukkan rencana untuk membantu meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat petani buah-buahan. Hal ini juga untuk mengurangi keinginan untuk rnengalihkan lahannya kepada orang lain.

Untuk mempertahankan eksistensi kebun buah-buahan serta mengembangkan seni-budaya masyarakat Betawi, pada saat ini masih dimungkinkan untuk mengalokasikannya di Wilayah Balekambang, terutama disekitar pinggir sungai Ciliwung yang masih memiliki areal kebun buah-buahan yang masih cukup lugs.
Summary
This essay is based on research into the Hetawi ethnic participation toward environmental preservation efforts, which conducted by making a case study in the cultural preservation area of Condet in East Jakarta. This study also discusses the factors which influence the participations on the environmental preservation efforts.

The rapid development of a city always makes it' difficult to maintain its existing ecosystem. Therefore a new human made environment is often created. In order to expand this human made environment, one has to maintain the functions of the natural environment so that the adverse impact of the changes can be minimized. This means that to improve the prosperity of the community, factors as demographic, social and cultural, hydrographic, geology and topographic, and factors such as development possibility can be useful. In 1975, the Condet area in Jakarta Metropolitan City, which consists of three kelurahan, was one of Jakarta's fringe rural villages. The inhabitants of Condet, who for generation had been ethnically Betawi, still depended for their livelihood on fruit cultivation.

During this time, Condet was identified as one of many government assets with Potential for preservation. So in 1975 the DKI Jakarta government issued a regulation which established the Condet Cultural Preservation Project.

The objectives of the project were agricultural sector and the Betawi's culture. Nowadays, twenty years after the first rule on land use planning in the Condet area was made, the Condet environment has become very different from one which was expected. The construction of new asphalted Condet main road, connecting the center of the city and Condet village, and its subsequent influence on urban growth, has been the main factor which has caused these changes. City residents were attracted to move to this village, ruining its green-agricultural environment and making Condet increasingly urbanized. The natives of Condet are being progressively displaced by newcomers from the city center, and the amount of land owned by the indigenous population and used for cultivation has become less and less.

This is happening even though the DKI Jakarta Government still wants Condet to retain its fruit cultivation and preserve the native traditions of Condet, through some regulation.

This research will describe the extent to which the participation effort has been affected by the social and cultural lives of the natives and the implication to the environmental preservation. The factors which have affected their participation in this environment preservation are, the level of education, occupation and level of income, the quantity of land owned, and cultural role in Condet society. The research uses a sample of 74 responden taken from 123 Household Heads of the Betawian and who have their own land and stay in Kelurahan Balambang and Batuampar. Data used in this research were obtained by using observation technique, interviews, and questionnair. Data analysis is carried out descriptively by means of cross tabulation. To test the relationship between variables, this research uses statistical techniques such as chi-square and coeffisient contingency C. The dependent variables are (1) level of education as social factors, (2) ocupation, (3) land ownership as economic factors and (4) traditional behavior to transfer their land as part of cultural role. The independent variables are the participation of the inhabitants i.e., (1) the behaviour to the land owned, (2) the motivation to sell the land and (3) the behavior to the laws in connection with the preservation Multiple regression technique is used because one dependent variable is related to two or three independetn ones.

RESULT OF THE RESEARCH

The research was made in three kelurahan in Condet and give results as follows :

1. Level of education, occupation and land ownership are the factors that have positive corelations with public participation on land conservation. In addition, level of education has positive relationship with the motivation of the population towards environment preservation. In other words, the higher the educatioon the more reluctant the landowners to sell their land.This phenomenon also indicates that the higher educated inhabitants would contribute more to the efforts on the environment conservation. However, conservation efforts have relationship with the attitude of the people to sell their land.

2. The system of inheritance on how the land should be subdivided between the heirs, constrains the efforts to increase public participation because the size of the parcels to be cultivated would be reduced.



The research results are expected to be used as inputs by policy makers in developing the Condet preservement law in the future. To achieve such results the following considerations need to be taken into account: there has to be a committee in charge of the implementation for the action in Condet preservation, in which one of the program is making efforts to increase the income of the Betawi ethnics inhabitants.

1996
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isaias Futwembun
Abstrak :
Among America's foremost Naturalists and Transcendentalists, only Emerson and Thoreau are recognized and respected as the greatest and most influential pioneers in America's environmental movement until the present. The name of John Muir has to subdue to the two names in the collective memories of contemporary Americans. This thesis argues against the above proposition and aims to present John Muir as the greatest and most influential pioneer in America's environmental movement. With his radical, consistent an intensive opposition toward the anthropocentric Transcendentalism and pro-Genesis Western (American) civilization that encourage the mastership of man over nature by means of technology, at the cost of the environment, John Muir, a preservationist offered an alternative civilization with more deep-ecological approach toward nature. Nature was considered as home, university, religion, fountain of civilization, however the most important of all it had equal right and dignity with man. Only in this way the human (America's) civilization will survive.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhatmansyah
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor penentu peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan, (2) mengindentifikasi peran kelembagaan, (3) mengetahui peranan tokoh informal dalam menggerakkan peranserta masyarakat agar mau dan mampu melaksanakan penghijauan secara swadaya, (4) merumuskan penataan kelembagaan dalam pelaksanaan penghijauan, serta (5) memberikan masukan bagi penyempurnaan materi penyuluhan penghijauan dari penyuluh kepada kelompok tani. Metode penelitian yang diterapkan adalah studi kasus di kecamatan Cempaka dengan objek penelitian peserta penghijauan di Desa Margaluyu, Susukan, Girimukti, Cidadap, Wangunjaya, dan Karyamukti yang terletak dalam wilayah Kabupaten daerah tingkat II Cianjur, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan empat cara yaitu, wawancara berstruktur dengan 90 orang responden petani peserta penghijauan, wawancara tidak berstruktur dengan sejumlah tokoh informal, pengamatan di lapangan, dan penelaahan dokumen yang telah ada. Data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif, dimaksudkan agar peneliti lebih banyak mempunyai kebebasan untuk mengadakan interprestasi dari data yang dikumpulkan melalui wawancara tidak berstruktur dan pengamatan dilapangan. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data dari hasil wawancara berstruktur dengan mempergunakan metode statistik. Penghijauan dalam arti luas adalah segala upaya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan kondisi lahan kritis di luar kawasan hutan, sehingga berfungsi secara optimal sebagai unsur produksi, media pengatur tata air dan perlindungan alam lingkungan, dengan tujuan : 1. Mengendalikan erosi dan mencegah banjir. 2. Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. 3. Merubah perilaku petani menjadi pelestari sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Peranserta masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan akan menentukan dalam pencapaian tujuan penghijauan. Dari uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah: 1. Peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan di daerah penelitian cukup baik. 2. Faktor yang menentukan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan adalah kelembagaan, tokoh informal, penyuluhan dan pendidikan. Untuk menguji hipotesis dilakukan uji regresi berganda secara simultan variabel X1 tokoh masyarakat, X2 kelembagaan, X3 pendidikan dan X4 penyuluhan terhadap Y peranserta masyarakat, serta secara parsial. Kemudian dilanjutkan dengan uji F dan t pada taraf nyata 5 persen. Hasil penelitian menunjukan bahwa, peranserta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan penghijauan cukup tinggi. Hal ini terlihat pada pelaksanaan kegiatan penanaman, kebiasaan masyarakat menanam pohon pada lahan kritis, serta pengawasan/pengamanan tanaman di areal penghijauan terhadap gangguan penggembalaan liar, serta intensitas petani mengikuti penyuluhan. Sedangkan dalam bidang perencanaan belum terdapat indikasi peranserta positif masyarakat yang memadai. Tingginya peranserta masyarakat dalam pelaksanaan dan pengawasan penghijauan di wilayah penelitian ditentukan oleh faktor pendidikan, penyuluhan, dan kelembagaan. Penyuluh dengan pendekatan personal yang baik dan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat, sehingga terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam perlakuan pengolahan dan pemanfaatan lahan. Petani yang telah mendapatkan pelatihan dapat dijadikan kader penyuluh lokal untuk membantu tenaga penyuluh yang secara kuantitatif masih kurang. Petani yang mendapatkan pelatihan mempunyai kemampuan yang cukup dalam teknologi RLKT, dan mampu mengembangkan hasil bantuan penghijauan. Penyuluhan sebagai salah satu upaya pembinaan peranserta masyarakat sangat mendukung tercapainya perubahan perilaku masyarakat menjadi pelestarian sumberdaya alam hutan, tanah dan air. Pada wilayah penelitian yang menjadi kendala adalah bahwa para penyuluh berfungsi ganda, yaitu sebagai penyuluh dan sebagai aparat proyek, yang terjadi karena keterbatasan jumlah tenaga yang tersedia dalam program penghijauan. Keadaan ini telah lama terjadi sehingga didalam pelaksanaan sulit membedakan fungsional penyuluh dengan tenaga teknis proyek. Koordinasi penyuluhan belum berjalan karena Balai Penyuluh Pertanian (BPP) sebagai wadah untuk mengkoordinasikan kegiatan dan tempat penyuluh melakukan pelatihan tidak berfungsi, sehingga program penyuluhan kurang terpadu, karena berjalan sendiri-sendiri. Kelembagaan sosial desa secara umum sudah berfungsi, tetapi belum optimal. Belum ada mekanisme dan pembagian tugas secara jelas dan operasional sampai ke tingkat Desa. Peningkatan peranserta dari faktor kelembagaan digerakkan oleh Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) serta Kepala Desa. Birokrasi penghijauan belum memfungsikan tokoh informal secara maksimal, sehingga tokoh informal belum banyak terlibat dalam program bantuan penghijauan. Tokoh informal di wilayah penelitian seperti mantan kepala dukuh, tokoh agama, pendidik adalah panutan bagi masyarakat yang mempunyai kharisma tersendiri, sehingga keterlibatan tokoh informal mempunyai pengaruh positif terhadap peranserta masyarakat. Berdasarkan hasil analisis statistik, tokoh informal, kelembagaan, pendidikan dan penyuluhan secara bersamasama dapat menentukan peranserta masyarakat. Pada taraf nyata 5 persen diperoleh koefisien determinan (R) sebesar 0,4664 dimana F hitung=9,995 > F tabel=3,92. Secara simultan terdapat pengarub yang nyata dari uji statistik antara variabel bebas (X1, X2, X3, X4) terhadap variabel terikat (Y). Sedangkan secara uji parsial faktor pendidikan, kelembagaan dan penyuluhan dapat menentukan peranserta masyarakat. Berdasarkan hasil analisis tidak terdapat pengaruh nyata tokoh informal terhadap peranserta masyarakat. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan: 1. X1, X2, X3, dan X4 variabel bebas yang diteliti secara bersama-sama dapat menentukan variabel terikat (Y), artinya tokoh masyarakat, kelembagaan, pendidikan dan penyuluhan dapat menentukan tingkat peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan. Pengaruh variabel bebas tersebut terhadap Y Baling terkait satu sama lain. 2. Peranserta masyarakat dalam penghijauan pada daerah penelitian cukup tinggi, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan masyarakat menanam pohon pada lahan kritis. Berdasarkan kesimpulan di atas langkah-langkah pengembangan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan disarankan sebagai berikut: a. Pengembangan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan penghijauan perlu memperhatikan keinginan kelompok tani, meningkatkan intensitas penyuluhan serta memperkuat lembaga kelompok tani. b. Pengembangan kelembagaan dengan membentuk struktur organisasi pelaksana di tingkat kecamatan. Dengan struktur tersebut jangkauan pembinaan dan pengawasan kepada masyarakat akan lebih mudah, tugas dan fungsi kelembagaan formal maupun non formal yang telah ada akan lebih meningkat. Untuk mengurangi birokrasi, tugas Tim Pembina Penghijauan di tingkat II dapat diserahkan kepada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Tingkat II. Untuk membantu menampung dan memasarkan hasil-hasil usaha tani perlu dikembangkan kelembagaan ekonomi desa, misalnya Lembaga Perkreditan Desa (LPD). c. Proses komunikasi perlu dikembangkan dengan meningkatkan pengetahuan para penyuluh melalui pelatihan yang dibutuhkan, sehingga diharapkan penyuluh dapat menjembatani kemauan petani dengan program pemerintah. Kegiatan penyuluhan terpadu perlu ditingkatkan dengan metode kerja latihan dan kunjungan. d. Input strategis yang diberikan kepada kelompok tani perlu diperbaiki dengan input yang dibutuhkan oleh petani dan dapat dirasakan manfaatnya, seperti pengadaan sarana produksi, bibit unggul dan dana pemeliharaan. e. Tokoh informal sebagai tokoh panutan perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan bantuan penghijauan.
ABSTRACT Determinant Factors Influencing Community Participation on the Implementation of Regreening. (A Case Study in Cempaka Sub-District, District of Cianjur, West Java)The objectives of this research is to know the roles of informal leaders in developing community participation in order to be willing and capable to do regreening by self-reliance, to identify institutional roles to know determinant factors influencing community participation on the implementation, and to complete regreening extension materials from extension workers to the farmer groups. The research method used is a case study in Cempaka Sub-District, and the research objects are regreening participants in Margaluyu, Susukan, Girimukti, Cidadap, Wangunjaya, and Karyamukti Villages in District of Cianjur, West Java. Data were collected according to four methods, structured interview of respondents of regreening participant farmers, non-structured interview for a number of informal leaders, field observations, and analyzing existing documents. The data are analyzed qualitatively and quantitatively. Qualitative analysis is used so that the research is free to interpreted the collected data by non-structured interview and field observations. Quantitative analysis are carried out by processing data of structured interview using statistical methods. The broad meaning of regreening is all efforts to recover, to maintain and to enhance the conditions of critical area outside the forest area, so that it can function optimally as production factors, media for water regulation, and environment protection, with the goals as follows: 1. To control erosion and to avoid flood. 2. To increase land productivity and farmers income, the changes of human behaviour toward nature resource and optimal environment. 3. To change farmers attitude to sustain natural resource. Community participation on planning, implementation and controlling determine the success of the regreening objective. From the above description, hypothesis could be proposed, which are: 1. Community participation on regreening implementation in the field is good enough. 2. The factors determining the regreening implementation are; institution, informal leaders, extension and education. To test the hypothesis a multiple correlation analysis was carried out simultaneously from variables XI until X4 against Y and partially, which later will be continued with testing F and t-test on 5 percent significance level. The research results indicate that the community participation and the implementation and control of regreening is high enough and this situation can be seen on the implementation activities of planting, community habit on planting trees and critical land and supervision of land on regreening area from wild shepherding and the farmers intensity to follow the extensions, while in the planning aspects there is not yet much role of the community. The height of the community participation in the implementation and supervision on regreening in the research area were determined by the factors of education, extension and institution. Extension with the human approach system can touch the social community needs, so that a change in community attitude can happen in the soil tillage and land utilization. Farmers which have obtained training can become cadre for local extension to assist the extension workers which quantitatively is not adequate. Farmers which have been trained have enough capability and the technology of RLKT and is capable to develop the result of the regreening program. Extension as one effort to provide guidance for community participation is very much supporting in obtain in the changes of community attitudes in sustaining the forestry, land and water resources. In the research area the constraints are that extension workers have double functions which are as extension worker and as project staff. This has happened because the limitation of extension workers to provide guidance and train the farmers. This system has been carried out for a long time which make it difficult to differentiate between the functional extension workers and the project technical staffs. Coordination of extension workers does not work because DPP (Dalai Penyuluh Pertanian) as home base to coordinate the activities and the location to carry out training is not functioning, with the result that extension program become less integrated and were carried out in according to their sectors. Institutions in general have been in function but not yet at maximum level, because there is no clear job description, for which regulation is needed to regulate clearly the task and authority of institutions involved, and their operational until to the village level. The increase in participation from the institutional factors will be moved by Dinas PKT (Perhutanan dan Konservasi Tanah) and the village head. The regreening bureaucracy has not yet make the informal leaders function to the maximum level, so that these informal leaders are not yet much involve in regreening progress. In fact the availability of informal leaders of the research area like retired Dukuh Head, religious leaders, and teachers are figures to the community which have own charisma, so that the involvement of these informal leaders will have influence for community participation. Based on the statistical analysis, together the informal leaders institutions, teachers, and extension can determine community participation, at the level 5% confident will be obtained coefficient determinants (R) as much as 0.4664, where calculated F > F table. While according to partial test the factors of education, institutions, and extension can determine community participation. While informal leaders have not yet functioning in the implementation of regreening, and from the result the analysis were not obtain the real influence of informal leaders for community participation. Based on the research of the result of data analysis it can concluded: 1. The five variables which studied together can determine community participation in the implementation of regreening, and those variables are involved each other, this condition can work on by increasing the channel of coordination. 2. Community participation in regreening on the research area is high enough. Based on above conclusions, steps need to be taken to develop community participation in the implementation of regreening are as follows: a. The development of community participation in the implementation of regreening need to consider the dynamic characteristics of farmer groups, land holding, extension, traditional binding which have institutionalized in the farmer group. b. Institutional development with the formation of the Organization Structure for implementation: at the Kecamatan level to make easier the reach of guidance and supervision for the community and to increase the available task and function of formal and non-formal institutions. To reduce bureaucracy the task of Tim Pembina Tingkat II can be transfered to Dinas PKT, while to collect and market the farm production, a village economic institution need to be developed, for example the Lembaga Perkreditan Desa (LPD), so that the continuation of farmers system can be sustained or guaranteed. c. Process of communication need to be developed by improving the knowledge of extension workers through the required training, so that extension workers can be expected to bridge the farmers need with the Government program. Integrated extension activities need to be improved with the training and visit systems. d. Strategic inputs which were provided to the farmer groups need to be improved with inputs which are needed by farmers and that the benefit can be obtained. e. The informal leaders as the figures need to be involved in very activity of regreening program. Total pages xxv 4-112, 27 Tables, 9 Pictures and 7 Pages of Photos about Field Condition.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sediono
Abstrak :
ABSTRAK Tulisan ini merupakan hasil penelitian tentang Peran Serta Anak Sekolah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Peran serta anak sekolah dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan faktor penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup. Untuk mencapai manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup perlu ditumbuhkan dan dikembangkan kesadaran masyarakat (anak sekolah) akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup (pasal 9 UU nomor 4 Tahun 1982). Wujud kongkrit dari kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup tersebut tercermin dalam peran sertanya untuk memanfaatkan, memelihara, menata, mengawasi, mengendalikan, memulihkan dan mengembangkan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan partisipasi aktif dari semua pihak, terutama anak sekolah yang merupakan generasi muda penerus masa depan. Selama ini belum banyak diketahui seberapa besar peran serta anak sekolah dalam melaksanakan secara aktif program-program pembangunan umumnya dan pengelolaan lingkungan hidup khususnya yang meliputi usaha pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Dengan makin berkembangnya kehidupan ekonomi, dan teknologi serta jasa yang dapat membantu kemudahan perikehidupan manusia, maka ada kecenderungan anak sekolah bergantung pada jasa dan teknologi yang ada sehingga dapat berdampak negatif pada kemandirian dan kreatifitas anak. Penelitian akan mendeskripsikan sejauhmana peran serta anak sekolah dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Di samping itu akan dikaji pula faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta anak sekolah tersebut. Faktor-faktor dimaksud adalah persepsi dan pengetahuan anak, peran guru, peran orang tua dan masyarakat, kondisi fisik sekolah dan prestasi belajar siswa tentang lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Menteng Jakarta Pusat, dengan mengambil sampel 287 anak sekolah dasar kelas VI, yang diambil dari sembilan sekolah dasar secara purposive sampling. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik observasi dan kuesioner serta tes prestasi belajar tentang lingkungan. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan program SPSS- PC, dalam bentuk tabulasi silang (cross tabulation). Untuk menguji hubungan antarvariabel digunakan uji statistik berupa x2 dan koefisien kontingensi C. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa : Peran serta anak sekolah dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat memiliki bentuk yang beraneka ragam. Bentuk-bentuk kegiatan peranserta anak sekolah dalam pengelolaan lingkungan hidup tersebut, meliputi: · penjagaan keamanan, kebersihan, kesehatan pribadi dan lingkungan, dengan hasil penelitian responden yang menjawab selalu : 44,94%; kadang-kadang 36,04% dan tidak pemah 19,02%. · penggunaan perpustakaan, alat-alat P3K, alat pelajaran dan alat rumah tangga, serta ikut serta dalam kegiatan senam kesegaran jasmani, dengan hasil penelitian responden yang menjawab selalu : 38,69% ; kadang-kadang 39,58% dan tidak pernah 21,73%. · bakti sosial, pramuka, pecinta alam, penghijauan, pengumpulan sumbangan, dan pemberantasan/pencegahan penyakit menular, dengan hasil penelitian responden yang menjawab selalu : 48,15% ; kadang-kadang 32,90% dan tidak pernah 18,95%. · perawatan dan pemeliharaan tanaman, pelaksanaan UKS, pemberian informasi, dan penggunaan benda-benda bekas serta penyaluran hobi, dengan hasil penelitian responden yang menjawab selalu : 41,39% ; kadang-kadang 37,84% dan tidak pernah 20,77%. Kegiatan dan peran guru dalam mengingatkan dan memperhatikan kebersihan kelas, sekolah dan lingkungan, menyediakan buku dan fasilitas kebersihan, menyesuaikan bahan pelajaran, melaksanakan UKS dan pramuka, aktif dalam pengelolaan lingkungan, mengundang penceramah dan mengadakan lomba kebersihan sekolah, berdasarkan analisis data ditemukan responden yang menjawab selalu 71,93 %, kadang-kadang 20,81 % dan tidak pernah 7,27 %. Kegiatan dan peran orang tua serta masyarakat dalam mengingatkan dan memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan, menyediakan buku dan fasilitas kebersihan, aktif dalam pengelolaan lingkungan, membayar iuran sampah dan keamanan, mengikuti siskamling, kepedulian kawan dan masyarakat terhadap pelestarian lingkungan, sanitasi lingkungan, dan ketersediaan tempat sampah, berdasarkan analisis data ditemukan responden yang menjawab selalu 54,33 %, kadang-kadang 36,00 % dan tidak pemah 9,67 %. Analisis hubungan antar variabel menemukan dengan α = 0,05 dk = 4 dari daftar distribusi x2 di dapat x2 0,95(4) = 9,49 dan koefisien kontingensi maksimum (C maks) = 0,816. Oleh karena itu penelitian ini memberikan pengujian yang berarti, bahwa pengetahuan dan persepsi anak tentang lingkungan cukup besar, dan memiliki peranan untuk meningkatkan peran serta anak dalam pengelolaan lingkungan dengan x2 hitung = 63,46, dan koefisien kontingensi C = 0,4225. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi peran serta anak dengan pengujian yang cukup berarti dalam penelitian ini meliputi peran guru, dengan χ2 hitung = 41,40, dan koefisien kontingensi C = 0,355 ; peran orang tua dan masyarakat, dengan χ2 hitung = 48,88, dan koefisien kontingensi C = 0,381 serta kondisi fisik sekolah, dengan χ2 hitung = 49,71, dan koefisien kontingensi C = 0,384. Faktor prestasi belajar anak tentang lingkungan dipengaruhi oleh peran orangtua dan masyarakat dengan χ2 hitung = 13,515, dan koefisien kontingensi C = 0,212. Kondisi fisik sekolah dasar, mempengaruhi peran serta anak dalam ikut serta pada berbagai kegiatan di sekolah maupun di rumah. Pada sekolah dasar yang kondisi fisiknya baik, ditemukan pola prestasi belajar, pengetahuan dan persepsi anak serta peran sertanya dalam pengelolaan lingkungan hidup tinggi. Kesimpulan Peran serta anak sekolah dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kecamatan Menteng sebagian besar dalam kategori sedang. Namun demikian orang tua dan masyarakat serta guru di sekolah telah memberikan bimbingan dan contoh perilaku membina lingkungan yang cukup memadai. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta anak dalam pengelolaan lingkungan dalam penelitian ini antara lain tingkat pengetahuan dan persepsi anak, peran guru, peran orang tua dan masyarakat, dan kondisi fisik sekolah.
ABSTRACT This thesis is the result of research on participation of students in management of the environment (case study in Sub District of Menteng, Central Jakarta). Participation of students in management of the environment is an important factor in the attempt of encouraging Indonesian citizens to act as organizers of the environment. To achieve this goal, awareness and responsibilities by society (students) for management of the environment should be developed through consolidation, guidance, education and research. The implementation of the society increased awareness and responsibility of the environment should be demonstrated by their participation in using, ordering, caring, supervising, managing, improving and developing their environment. The need for sustainable development requires active participation from all sides, including students, as they are the generation of the future. So far it is unknown what the amount of participation of the students is, in the active implementation of the programmes of development in general and the specific programmes on management of the environment. The development of the economy, and the progress in technology and services, has caused a considerable change in the life style of students to wards consumerism and a negative impact on creativity and self understanding. The following school program in regards to already existing environmental management need to be implemented intensively by active involvement of the students in the schools : LTKS (School Health Organization), 5K (safety , cleanliness, health, orderliness, family atmosphere), Pramuka (Boy Scouts), Pembinaan Kesiswaan (student care and development) and PKLH (population and environmental education). This research will give a description about the extend of the participation of students in the management of their environment. In addition, it will also describe the factors that influence the participation of students. These factors include perception and knowledge of students, participation of teachers, participation of parents and community, the physical condition of the schools and student achievement on environmental knowledge. This research takes place in the Sub District of Menteng , Central Jakarta, and involves 287 respondents of sixth grade students, from nine schools. The samples were selected in purposive sampling based on the role of primary school and the area involved. Data in this research are obtained by using the technique of observation and questionnaire, with an additional achievement test on the environment. Analysis of data is carried out descriptively by implementing program SPSS-PC, in the form of cross tabulation. To carry out intervariable relationship tests, this research makes use of such statistical tests as χ2 and coefficient contingency C. The result of this research reveals that : The participation of students in the management of their environment in the sub district of Menteng, Central Jakarta, consists of a variety of activities, as described below with its analysis : 1. Maintenance of security, cleanliness, personal and environmental health. In response to questions regarding these activities, the students' replies were always = 44.94%, seldom = 36.04%, never = 19.02%, 2. Utilization of the library, first aid equipment learning tools, home making tools, and participation in physical exercises. In regards to these activities, the students responses were: always = 38.69%, seldom = 39.58%, never = 21.73%, 3. Social service, boy scouts, nature lover, reforestation, collecting contributions, and preventing the spread of disease. On these activities, the students' responses were always = 48.15%, seldom = 32.90%, never = 18.95%, 4. Maintenance of plants, implementation of a school health organization, provision of information, utilization of junk, and practizipation in hobbies. On these activities, the students' responses were : always = 41.39%, seldom = 37.84%, never = 20.77%. The teachers activities and roles on warning, giving attention to class cleanliness, school and environment cleanliness, providing facilities, adjusting the content of teaching materials, school health, boy scouts, inviting guest lecturers, clean-up competion, and managing the environment, can be described based on the result of analysis, as teachers who are always implement such activities= 71.93%, seldom = 20.81%, and never = 7.27%. The parents and society roles on warning, giving attention to cleanliness in the home and environment, providing facilities, paying tax for environmental security, joining a task force for guarding environmental sanitation, and managing the environment, can be described, based on the result of analysis, that parents who are always implementing such activities : 54.33%, seldom - 36.00%, and never - 9.67%. The relationship intervariables used cc = 0.05, df = 4, χ20.95(4)=9.49, maximum coefficient contingency Cmax = 4.816. Based on these tables , this research proved that the knowledge and perception of students on environment are sufficient and have a role to improve the participation of students in management of environment (χ2 = 63.46,C= 0.4225). The other factors influencing the participation of students in this research include the role of teacher, (χ2 =41.40,C =0.355) the role of parents and community, (χ2=48.88,C=0.381) and the physical conditions of the schools (χ2=49.71,C=0.384). The factor of students' achievement on environmental knowledge is influenced by the role of parents and community. The physical condition of the schools influences the participation of students in activities at school and at home. In schools that are in good physical condition, the pattern of student achievement, knowledge perception and the participation are highly founded. The participation of students' in the management of their environment can be said to be overall moderate. Besides that, the roles of parents and society in giving guidance and examples for maintaining the environment are quite good. Factors that influence students in managing their environment in this research are teachers, knowledge and perception of the students, parents and society, and the schools physical condition.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Metrianda A. Utomo
Abstrak :
Aktifitas manusia yang berlebihan akan menimbulkan tekanan-tekanan terhadap lingkungan dan lebih jauh akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Untuk menjaga kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan serta menghindari kerusakan lebih lanjut yang dapat membawa kepada masalah lingkungan lain yang lebih serius, indikasi kerusakan harus diketahui lebih awal. Untuk itu diperlukan data dan informasi yang aktual, akurat, dan cepat bagi pengambilan keputusan. Untuk membantu upaya pengendalian dan pengawasan serta penanggulangan keadaan darurat (Contingency Planning) di kawasan Kepulauan Seribu, penelitian ini mencoba mencari metode dan cara yang dapat secara cepat dan tepat menginformasikan tingkat kepekaan lingkungan yang disajikan secara spasial dalam bentuk peta indeks kepekaan lingkungan. Peta indeks kepekaan lingkungan, dengan bantuan teknologi penginderaan jauh dan sistim informasi geografis, memperlihatkan tingkat kepekaan lingkungan di suatu wilayah dengan informasi yang dapat diperbaharui secara kontinu. Untuk menentukan indeks ini, tahapan pekerjaan dilakukan dalam 4 (empat) tahap yaitu: pengumpulan data primer dan sekunder, pembangunan basis data sistem informasi geografis, penyajian peta tematik dan penyajian peta IKL. Daftar Kepustakaan : 45 (1974-2000)
Human activities that are excessive yield to pressures on the environment, any damages to it will affect the various aspects of life. To preserve the environment, maintain a sustainable development, and guard against further damages that might result in serious environmental problems, indicators on level of damages to be handled should be developed. To do this, there is a need for data and information that are easily obtained and up to date to support any decisions on the planning process and management of that area. In this study, the area of interest is the Thousand Islands Marine National Park. The above mentioned data and information are given in the form of an Environmental Sensitivity Index Map which presents levels of environmental sensitivities for an area. This map may be continuously updated using technologies of remote sensing and geographic information systems. Mapping of the Environmental Sensitivity index through geographic information systems technology supported by remote sensing technology will help in the acquisition and the storing of data more efficiently and accurately, which help in monitoring for the continuous changes and giving current information. Number References 45 (1974-2000)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T14623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumayyah Amalina Nasr
Abstrak :
Agama Islam telah mengajarkan umatnya untuk memerhatikan keadaan sesama, termasuk lingkungan. Semakin tinggi dan beragamnya permasalahan lingkungan membuat perspektif konsumen terkait kegiatan konsumsi menjadi berbeda. Hal ini mengubah konsumen untuk memiliki perilaku yang sadar lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor penentu perilaku eco-conscious konsumen muslim Indonesia dengan menggunakan Theory of Planned Behavior serta menganalisis teori yang telah terbukti untuk menyelidiki apakah attitude toward green products, subjective norm, dan perceived behavioral control dapat mendorong eco-conscious behavior konsumen muslim di Indonesia dengan menggabungkan intrinsic religious orientation, green trust, dan environmental concern sebagai variabel tambahan. Kemudian, penelitian ini juga menganalisis pengaruh variabel intrinsic religious orientation, green trust, dan environmental concern secara langsung terhadap eco-conscious behavior konsumen muslim dan menganalisis efek moderasi intrinsic religious orientation pada hubungan green trust terhadap attitude toward green products. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Partial Least Square-Structural Equation Modelling (PLS-SEM) dengan menggunakan perangkat lunak SmartPLS untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mendukung perilaku eco-conscious konsumen muslim Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intrinsic religious orientation memengaruhi eco-conscious behavior konsumen muslim di Indonesia baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui mediasi attitude toward green products. Begitupula dengan environmental concern yang memengaruhi eco-conscious behavior konsumen muslim di Indonesia baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui mediasi subjective norm dan perceived behavioral control. Sedangkan, green trust hanya memengaruhi eco-conscious behavior konsumen muslim di Indonesia apabila melalui mediasi attitude toward green products dan tidak memiliki pengaruh secara langsung. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ditemukannya efek moderasi intrinsic religious orientation pada hubungan green trust terhadap attitude toward green products. ......Islam has taught its followers to be mindful of others, including to the environment. The increasing and more diverse environmental problems can change the consumer's perspective towards consumption. This shapes consumers to have ecologically conscious behavior. The purpose of this study is to analyze the determinants of eco-conscious behavior of Indonesian Muslim consumers by using the Theory of Planned Behavior, and also analyze a theory that has been proven to investigate whether attitude toward green products, subjective norms, and perceived behavioral control can encourage eco-conscious consumer behaviour for Indonesian Muslim consumers with several additional variables, namely intrinsic religious orientation, green trust, and environmental concern. This study also analyze the influence of intrinsic religious orientation, green trust, and environmental concern to eco-conscious behavior of Indonesian Muslim directly, and moderating effect of intrinsic religious orientation on the relationship of green trust to attitude toward green products. The analysis used for this research is Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM) using SmartPLS software to analyze any factors that support the eco-conscious behavior of Indonesian Muslim consumers. The result showed that intrinsic religious orientation influence eco-conscious behavior of Indonesian Muslim directly and indirectly through attitude toward green products as mediator. It same goes with environmental concern that influence eco-conscious behavior of Indonesian Muslim directly and indirectly through subjective norm and perceived behavioral control as mediator. However, green trust influence eco-conscious behavior of Indonesian Muslim directly only and there was no mediator effect through attitude toward green products. The result also showed that there was no moderating effect of intrinsic religious orientation on the relationship of green trust to attitude toward green products.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>