Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rustiawan Anis
Abstrak :
Salah satu hasil penting KTT Bumi (1992) adalah menempatkan aspek lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perdagangan barang dan jasa, dan melahirkan suatu pendekatan baru dalam pengelolaan lingkungan, yaitu pendekatan berorientasi pasar (market-based oriented). Pendekatan tersebut melahirkan preferensi baru dalam pengaturan standar-standar lingkungan yang berlaku global dan bersifat sukarela (voluntary), serta digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional. Salah satu standar lingkungan internasional tersebut adalah standar manajemen lingkungan seri ISO-14000, dan salah satunya adalah standar sistem -manajemen lingkungan (SML) ISO-14001. SML ISO-14001 merupakan salah satu alat atau perangkat manajemen lingkungan guna mencapai perbaikan berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan (continual improvement). Penerapan SML ISO-14001 relatif baru, sejak terbit tahun 1996 sampai pertengahan tahun 2000 diperkirakan lebih dari 14,000 organisasi di dunia telah meraih sertifikat SML ISO-14001, dimana 70 organisasi diantaranya berada di Indonesia. Dalam penerapannya, beberapa kalangan masih meragukan efektifitas penerapan SML ISO-14001 dalam mendukung tercapai dan terpeliharanya perbaikan lingkungan yang berkelanjutan (continual improvement). OIeh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan penerapan SML ISO-14001 pada organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan pada tiga organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun adalah: a. Untuk mengetahui tingkat perkembangan penerapan SML ISO-14001; b. Untuk mengetahui pola kinerja lingkungan (operasional); c. Untuk mengetahui tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan; d. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh setelah menerapkana dan meraih sertifikat SML ISO-14001 3. Hipotesis Hipotesis kerja penelitian adalah organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun memiliki: a. Perkembangan SML yang lebih baik dari persyaratan minimun standar ISO-14001; b. Pola kinerja lingkungan (operasional) yang cenderung semakin membaik dari waktu ke waktu; c. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan yang cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu; d. Manfaat nyata penerapan SML. 4. Metode Penelitian Objek penelitian dibatasi pada 3 (tiga) organisasi industri yang telah memperoleh sertifikat SML ISO-14001 dan telah menerapkan SML paling sedikit dua tahun, serta berlokasi di wilayah Jabotabek. Lingkup periode waktu yang diteliti pada objek penelitian adalah sejak SML pertama kali diterapkan sampai waktu penelitian dilaksanakan. Instrumen penelitian divalidasi oleh lima ahli di bidang metodologi penelitian dan SML ISO-14001. Sebelas Orang ahli melakukan penilaian tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001 dengan metode proses analisis hirarki (PAH) yang diolah dengan software Expert Choice Version 9.0. Metode pengumpulan data lapangan menggunakan teknik audit SML, dengan instrumen: (a) daftar ujilperiksa skor tertimbang (weighting score checklist); (b) kuesioner; dan (c) daftar isian kinerja. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif, mencakup: (a) analisis kesenjangan (gap analysis); (b) analisis tabel dan grafik; dan (c) analisis kecenderungan (trend analysis) regresi kurva linier. 5. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Penilaian ahli dengan metode PAH menunjukkan ada perbedaan tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001, yaitu: prinsip pelaksanaan dan operasi (0.335), prinsip pemeriksaan dan tindakan koreksi (0.237), komitmen dan kebijakan (0.229), dan prinsip perencanaan (0.199). Sedangkan lima elemen dengan tingkat kepentingan relatif tertinggi adalah: kebijakan lingkungan (0.124), kaji ulang manajemen (0.105), pengendalian operasi (0.088), ketidaksesuaian, tindakan koreksi, pencegahan (0.083), dan struktur-tanggungjawab (0.071). b. Rerata skor penerapan SML 1S0-14001 masing-masing organisasi penelitian adalah 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), dan 63.2% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar dalam penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian. c. Rerata perkembangan (skor beyond ISO) masing-masing organisasi penelitian adalah 76.1%-(PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), dan 103.9% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah melampaui persyaratan minimum standar ISO-14001. d. Kinerja lingkungan (operasional) ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Kinerja operasional dipengaruhi oleh: (1) tingkat kepedulian karyawan; (2) pemantauan kinerja manajemen; (3) evaluasi kinerja operasional; dan (4) alokasi biaya lingkungan. e. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kinerja ketaatan terhadap peraturan lingkungan dipengaruhi oleh: (1) tingkat pengetahuan dan pemahaman peraturan lingkungan; (2) mekanisme inspeksi lingkungan; (3) pengkajian manfaat dan biaya; dan (4) mekanisme tindakan koreksi dan pencegahan. f. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian selama menerapkan SML ISO-14001 dua tahun atau lebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedulian lingkungan karyawan. g. Kesenjangan penerapan SML ISO-14001 terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices) terletak pada pendekatan rancangan sistem yang belum sepenuhnya tepat dan konsisten, baik dari segi orientasi sistem maupun karakteristik efektifitas system. 6. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: Penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah berkembang Iebih baik dari persyaratan minimum standar SML ISO-14001, namun masih memiliki kesenjangan relatif terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices); Pola kinerja lingkungan (operasional) pada ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001; Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian setelah menerapkan SML ISO-14001 dua tahun Iebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedutian lingkungan karyawan.
Progress Evaluation of Implementation of Environmental Management System ISO-14001 (Case Studies: 3 industries in Jabotabek Region)1. Background Earth Summit in 1992, among other results, has put environmental aspect as significant factor to trade on goods and services. The summit has also commenced market based oriented as a new approach on environmental management. The approach brings in new preference on regulating international and voluntary environmental standards, and has used as reference in international trade. One of the standards is ISO-14000 series standard on environmental management, which includes ISO-14001 environmental management system (EMS) standard. ISO-14001 EMS meant to achieve continual improvement within environmental impact management. Implementation of ISO-14001 EMS is relatively new, it is predicted that since its issuance in 1996 up till med of 2000, more than 14,000 organizations around the world has gained ISO-14001 certificate, includes 70 organizations in Indonesia. In the implementation, some group of people still skepticism on how effective implementation of ISO-14001 to achieve continual improvement of environmental performance. Therefore, writer interests to study progress of implementation of ISO-14001 EMS within organization that has gained and implemented ISO-14001 certificate. 2. Objectives Objectives of the study, progress evaluation of implementation of ISO-14001 in three organizations that has gained ISO-14001 certificate for at least two years, includes: a. To examine level of implementation progress of ISO-14001 EMS; b. To examine model of operational environmental performance; c. To examine level of compliance to environmental regulation; d. To examine benefits from implementing ISO-14001 EMS. 3. Hypothesis Hypothesis of the study is that organization that has gained and implemented ISO-14001 EMS for at least two years, should has: a. Progress of EMS implementation that is better than minimum requirement standard of ISO-14001; b. Pattern of operational environmental performance that is tend to continually improve; c. Level of environmental regulation compliance that is tend to improve from time to time; d. Gain real benefits of EMS implementation. 4.Research Methods The study limits to three organizations that has gained ISO-14001 certificate and has implemented it for at least two years, and located in Jabotabek region. Time frame of the study is since EMS was implemented for the first time up until the time of the study. Five experts on research methodology and ISO-14001 EMS validate instrument of the study. Eleven experts judges level of importance of each lSO-14001 principles and element by using Analytical Hierarchy Process (AHP). The judgment has developed by using Expert Choice Version 9.0 software. Method of data collection is EMS audit by using instruments: (a) weighting score checklist; (b) questionnaires; and (c) performance evaluation form. Data has been analyzed with descriptive analytical statistic, includes: (a) gap analysis; (b) tables and graphs analysis; and (c) trend analysis of linear regression curve. 5.Results and Discussion Results of the study are as follows: a. Experts judgment by using AHP indicates differentiate between level of importance of ISO-14001 EMS principles and elements implementation, as follows: implementation and operation principle (0.335), checking and corrective action principle (0.237), commitment and policy principle (0.229), and planning principle (0.199). Five elements with level of importance relatively higher are as follows: environmental policy (0.124), management review (0.105), operational control (0.088), non-conformance and corrective and preventive action (0.083), and structure and responsibility (0.071). b. Average score of ISO-14001 EMS implementation of each organization are 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), and 63.2% (PT.XYZ). The score indicates there is no big difference in ISO-14001 EMS implementation between the organizations. c. Average beyond ISO score of each organization is 76.1% (PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), and 103.9% (PT.XYZ). The score indicates implementation of ISO-14001 EMS by the organizations has go beyond minimum requirement standard of ISO-14001. d. Operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement. The operational performance has effected by: (1) level of employee awareness; (2) monitoring of management performance; (3) evaluation of operational performance; and (4) allocation of environmental budget. e. Level of compliance to environmental regulation of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time. The compliance performance has determined by: (1) level of knowledge and understanding of environmental regulation; (2) environmental inspection mechanism; (3) cost-benefit review; and (4) corrective action and preventive mechanism. f. Real benefits gained by the organizations by implementing ISO-14001 EMS for two years or more are even more clean and tidy, and increasing of environmental awareness of the employees. g. Gap to best environmental management practices (BEMP) is a chance to the organizations to improve and leveling their EMS performance. The Gap is on approach of system design that has not yet appropriate and consistent, for both system orientation and effectiveness of system characters. 6. Conclusions Conclusions drawn from the study are as follows: a. ISO-14001 EMS implementation of the organizations has developed better than minimum requirement standard of ISO-14001 EMS, however there is gap to BEMP; b. Pattern of operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; c. Level of environmental regulation compliance of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; d. Real benefits to the organizations for the period of the second year or more of ISO-14001 EMS implementation are cleanness and tidiness, and increasing environmental awareness of the employees. e. Bibliography: 57 (1985-2000)
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Budi Utami
Abstrak :
ABSTRAK Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan dipengaruhi oleh manusia. Hardjasoemantri dalam "Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (1986)" berpendapat bahwa kunci berhasilnya program pembangunan di bidang lingkungan hidup ada di tangan manusia dan masyarakat. Karena itu sangatlah penting untuk menumbuhkan pengertian, motivasi dan penghayatan di kalangan masyarakat untuk berperanserta dalam mengembangkan lingkungan hidup. Kesadaran masyarakat merupakan landasan motivasi untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Salim (1987:12) berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan akan dapat dicapai apabila penduduk telah memiliki sikap yang mantap terhadap keselarasan lingkungan. Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Surakarta telah menetapkan program pembangunan yang diberi nama Program Solo Berseri yaitu suatu upaya untuk mewujudkan kota Solo yang bersih, sehat, rapi dan indah. Untuk dapat mencapai keberhasilan program tersebut diperlukan adanya suatu usaha agar perilaku dan kesadaran masyarakat terhadap Program Berseri membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kesadaran masyarakat akan Program Berseri diharapkan masyarakat dapat berperanserta dalam keberhasilan Program Berseri. Dari hasil penelaahan pustaka dan pengamatan disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat dalam mengelola lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri masyarakat tersebut, di mana penulis batasi meliputi lama tinggal, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kelembagaan sosial. Adapun faktor eksternal adalah faktor dari luar diri masyarakat, yaitu peranan pemerintah dalam penyuluhan program dan penyediaan sarana kebersihan. Interaksi dari faktor-faktor tersebut akan melahirkan kesadaran masyarakat untuk melakukan penghijauan/tamanisasi, membayar retribusi kebersihan, mengelola sampah rumah tangga, menjaga kebersihan lingkungan dan berpartisipasi dalam penyuluhan program Solo Berseri, sehingga program Solo Berseri dapat berhasil. Atas dasar hal tersebut disusun hipotesis yaitu: 1. Semakin lama masyarakat tinggal akan semakin tinggi tingkat kesadarannya dalam melaksanakan program Solo Berseri; 2. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat akan semakin tinggi tingkat kesadarannya; 3. Semakin tinggi pendapatan masyarakat akan semakin tinggi tingkat kesadarannya; 4. Semakin besar keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan sosial akan semakin tinggi tingkat kesadarannya; 5. Semakin intensif penyuluhan program Berseri yang diberikan oleh Pemerintah -Daerah akan semakin tinggi tingkat kesadarannya; 6. Semakin memadai penyediaan sarana kebersihan akan semakin tinggi tingkat kesadarannya. Untuk membuktikan hipotesis di atas, dilakukan pengumpulan data primer dengan menggunakan daftar pertanyaan tentang keenam faktor yang penulis anggap mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat dan tentang pelaksanaan program Solo Berseri. Lokasi pengambilan sampel ditetapkan secara multi-stage dari tingkat kecamatan hingga tingkat RW, kemudian dari masing-masing RW yang terpilih mewakili populasi ditentukan respondennya secara proporsional, dan terpilih 130 responden dari empat RW yang terpilih. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel independen dengan vaxiabel dependen digunakan rumus koefisien korelasi Spearman yang dihitung melalui program SPSS for MS Windows Release 6.0, serta untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan uji koefisien determinasi. Berdasarkan uji dimaksud, maka disimpulkan sebagai berikut: (1) Terdapat tiga variabel penelitian yang mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam keberhasilanprogram Berseri, yaitu: a. Variabel lama tinggal, di mana besarnya koefisien korelasi Spearman 0,4539 pada taraf signifikan 0,000 dengan kontribusi 20,60%; b. Variabel penyuluhan program Berseri, dengan koefisien korelasi Spearman 0,2567 padataraf signifikan 0,003 dan kontribusi variabel ini terhadap kesadaran masyarakatsebesar 5,28%; c. Variabel penyediaan sarana kebersihan, koefisien korelasi Spearmannya 0,2295 pada taraf signifikan 0,009 serta kontribusinya sebesar 6,59%; (2) Jika dilihat dari besarnya persentase tiap-tiap kategori untuk ketiga faktor yang mempengaruhi kesadaran masyarakat tersebut di atas, maka terbukti bahwa: a. Semakin lama masyarakat tinggal, semakin tinggi tingkat kesadarannya dalam melaksanakan program Berseri; b. Semakin intensif penyuluhan program Berseri yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, semakin tinggi tingkat kesadarannya; c. Semakin memadai penyediaan sarana kebersihan, semakin tinggi tingkat kesadarannya. (3) Upaya-upaya yang telah dilakukan Pemda Kodya Surakarta diantaranya adalah: a. Penyediaan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) seluas 17 Ha di Putri Campo; b. Penyediaan angkutan sampah yang memadai; c. Penyediaan tenaga kebersihan sampah dan penyuluh kebersihan yang mencukupi; d. Pemasangan tanda-tanda peringatan tentang kebersihan kota; e. Adanya petugas pengawas kebersihan kota; f. Melakukan pendekatan kepada masyarakat secara terus-menerus; g. Memberi subsidi dana kebersihan, dan h. Mengaktifkan peranserta masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 130 responden yang kesadaran masyarakatnya tinggi sebesar 39,20%, yang cukup tinggi sebesar 43,10% dan yang rendah sebesar 17,70%.
ABSTRACT The key of successful development programmed on environment is in the hands of the people and the community So it is very important to develop understanding, motivation and comprehension of the community to participate in environmental development (Hardjasoemantri, 1986:19). Community awareness is the foundation of motivation for participation in environmental management. Salim (1987:12) stated that the success of development can be achieved if the community have a consistent attitude toward the harmony of environment. To implement environmental management in the area, the Municipal Government of Surakarta has launched the development programmed called "Berseri Programmed", an effort toward the realization of Solo to become a clean, healthy, tidy and beautiful city. In order to render this development programmed successful, efforts are needed to make the behavior and community awareness for Berseri Programmed into a way of life. And with this community awareness for Berseri Programmed, the community can participate in the success of Berseri Programmed. The results of the literature study and observation conclude that community awareness in environmental management is influenced by two factors, namely, internal and external factors. Internal factors are factors in the community itself. Those factors are: duration of stay, level of education, level of income and social institutions. External factors are factors outside of the community. Those factors are: the role of the government, the role in dissemination of the programmed and availability of cleanliness utilities. Interactions of two factors will reveal community awareness to provide green landscapes, pay the cleanliness retribution, manage the domestic waste properly, keep the environmental cleanliness and participate in the education program of Berseri Programmed. In so doing the Berseri Programmed will definitely be successful. Based on the above facts, the hypotheses are formulated as follows: 1) The longer the duration of stay in Solo, the higher the level of community awareness will be achieved to implement the Berseri Programmed; 2) The higher the level of education, the higher the level of community awareness will be; 3) The higher the level of income, the higher the level of community awareness will be; 4) The more intensive to take part in social institution, the higher the level of community awareness; 5) The more intensive the information dissemination of Berseri Programmed carried out by the Regional Government, the higher the level of community awareness; 6) The more adequate the availability of cleanliness utilities, the higher the level of community awareness. To prove the above hypotheses, primary data collection was conducted, by way of interviews using structured questionnaires on Six factors that was assumed to have influence on the level of community awareness and on the implementation of Berseri Programmed. Sample locations were taken by multi-stage method commencing at the Kecamatan/sub district level down to the RW level. Thence, from the proportionally selected four RW, some 130 respondents were selected. To test the presence of influence of dependent and independent variables, statistical tests were applied using Spearman correlation coefficient with SPSS Programmed for MS Windows Release 6.0; while determination coefficient test was also conducted to measure the degree of influence between the two variables. The test results disclosed that: (1) There are three study variables which influenced community awareness in the success of Berseri Programme, namely: a. The duration of stay variable where the magnitude of Spearman correlation coefficient is 0.4539 at the significant level of 0.000, with 20.60% contribution; b. The information dissemination of Berseri Program variable, with Spearman correlation coefficient 0.2567 at the significan Of 0.003 and this variable contribution to community awareness 5.28%; c. The availabality of cleanliness utilities variable, Spearman correlation coefficient is 0.2295 at the significan level of 0.009 and its contribution 6.59% (2) If the percentage of each category of the three factors which influenced community awareness as indicated above is observed, hence, it is proven that: a. The longer the duration of stay, the higher the level of community awareness will be achieved to implement the Berseri Programme; b. The more intensive dissemination of Berseri Programme carried out by the Regional Government, the higher the level of community awareness will be; c. The more adequate availability of cleanliness utilities, the higher the level of community awareness will be. (3) Efforts already carried out by The Regional Government of Surakarta include: a. Provision of final waste disposal site of 17 Ha in Putri Cempo; b. Provision of adequate waste transportation; c. Provision of waste cleanliness personil and sufficient cleanliness health educaters; d. Placement of warning signs on city clean liness; e. The present of city cleanliness supervisor; f. Implementation of continuous approaches toward the community; g. Provision of subsidy of cleanliness fund; h. Activition of community partisipation. The study disclosed that out of 130 respondents 39.20% are of good level community awareness, 43.10% are of moderate level and 17.70% are of poor level community awareness. References : 30 (1977-1997)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katili, Ekki Husein
Abstrak :
ABSTRAK
Pasal 19 UU No 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup.

Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan Desa atau Kelurahan, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 28 Tahun 1980. Dengan demikian wujud partisipasi masyarakat berupa prakarsa dan swadaya gotong royong harus dapat terhimpun dalam wadah LKMD.

Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan No 27 1984 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja LKMD dimana ditetapkan seksiseksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, antara lain seksi Lingkungan Hidup dan seksi PKK.

Salah satu tugas pokok LKMD adalah membantu Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam menggerakkan dan meningkatkan prakarsa dan partisipasi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara terpadu, baik yang berasal dari kegiatan Pemerintah maupun swadaya gotong royong masyarakat serta menumbuhkan kondisi dinamis masyarakat.

Pembinaan Kesejahteraan Keluarga selain sebagai salah satu seksi dalam struktur organisasi dan tata kerja LKMD, adalah juga merupakan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif bergerak di wilayah Kelurahan, dan juga mengemban tugas pembinaan masyarakat di bidang lingkungan hidup di Kelurahan terutama pada kaum wanita. Keikutsertaan organisasi PKK dalam pengelolaan lingkungan hidup Kelurahan dapat disalurkan dan ditingkatkan melalui LKMD.

Selanjutnya dalam rangka Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, telah diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 1984, tentang PKK sebagai penggerak serta pembina gerakan masyarakat dari bawah, terutama pada kaum ibu. Dari sepuluh program PKK salah satunya adalah Kelestarian Lingkungan Hidup, dan tugas-tugas pembinaannya mencakup antara lain: a. Melakukan usahalkegiatan di bidang peningkatan kebersihan, keindahan, kesehatan dan penghijauan serta kelestarian lingkungan hidup. b. Menanamkan rasa keindahan kepada masyarakat dengan Sara selalu memelihara rumah, kerapihan pagar, memelihara tanaman hias di halaman rumah. c. Menanam tanaman-tanaman (membuat taman-taman) pada tempat-tempat yang memungkinkan.

Dari tugas-tugas itu secara implicit LKMD diharapkan ikut berperanserta dalam pengelolaan Ruang Terbuka HijaulPertamanan (RTH) di wilayah administratifnya.

Namun dalam kenyataannya peranserta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan, khususnya di Kecamatan Grogol petamburan masih perlu ditingkatan.

Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu keperluan mutlak masyarakat kota; ini akan semakin terasa apabila pertumbuhan dan perkembangan kota semakin meningkat. Di lain pihak, pertumbuhan jumlah penduduk kota di DKI Jakarta akan menuntut lebih banyak lahan untuk perumahan, perkantoran, perdagangan, dan fasilitas umum lainnya, sementara lahan kota relatif tidak bertambah. Pertumbuhan kota yang sangat dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat menyebabkan timbulnya masalah dan manfaat di semua aspek ekonorni, social, dan fisik.

Hasil survai pendahuluan diperoleh informasi bahwa dari 50 buah RTH/Pertamanan yang ada di Kecamatan Grogol Petamburan terdapat 41 RTHIPertamanan yang beralih fungsi, sehingga RTH/Pertamanan (Taman Kota) itu sebahagian tidak lagi berfungsi sebagai taman kota melainkan sudah menjadi bangunan perkantoran, puskesmas, pemukiman liar, dan tempat beroperasinya pedagang kaki lima. Namun sesungguhnya peruntukan lahan sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Suku Dinas Tata Kota Jakarta Barat ternyata tetap peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau, sedangkan izin mendirikan bangunan tidak pernah dikeluarkan oleh Suku Dinas Pengawasan Pembangunan Kota Jakarta Barat. Untuk mengatasi hal itu perlu ada upaya pengelolaan RTHlpertamanan yang mandiri dari mayarakat sekitarnya, sehingga RTH/Pertamanan dapat berfungsi kembali sebagaimana mestinya, baik dari segi estetika maupun dari segi fungsi RTH itu sendiri. Di samping sebagai mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap penggunaan lahan dari praktek-praktek okupasi informal.

Berdasarkan keadaan itu, maka penelitian terhadap peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan menarik untuk dilakukan.

Dalam konteks Pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah di tingkat Kelurahan mengharapkan partisipasi masyarakat secara optimal, khususnya dalam melaksanakan 10 program PKK, yang salah satu di antaranya adalah Pembangunan prasarana dan lingkungan hidup.

Peranserta masyarakat itu diharapkan dapat ditampung dalarn suatu wadah yang dibina oleh Pemerintah yaitu LKMD. Kemudian dalam UU No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas lingkungan yang baik dan sehat serta bahwa setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Selanjutnya dalam .pasal 19 menyebutkan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup. Di sisi lain, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa upaya pembangunan prasarana dan lingkungan hidup kota, terutama pengelolaan RTH/Pertamanan berubah dari fungsi semula.

Selain dari itu peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan masih perlu ditingkatkan, karena pada prakteknya selama ini RTH/Pertamanan kurang mendapatkan perhatian dari LKMD, sehingga banyak RTHlpertamanan yang beralih fungsi.

Berdasarkan masalah tersebut, maka persoalan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Seberapa jauh peranan LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi partisipasi LKMD dalam pengelolaan RTHIPertamanan di Kecamatan Grogol Petamburan

Keberadaan LKMD di tengah masyarakat pada dasarnya diharapkan dapat berfungsi sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membantu pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah di tingkat desa/kelurahan. Dleh karena itu dalam upaya pembangunan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, keterlibatan LKMD diharapkan dapat meningkat aktif.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa bila dilihat dari aktifitas LKMD selama ini, ternyata bahwa LKMD masih belum aktif melaksanakan program-program yang telah digariskan dalam Keputusan Presiden No 28 Tahun 1980. Dalam hal ini pengelolaan RTH/Pertamanan menemui hambatan-hambatan. Akan tetapi kondisi ini dapat ditingkatkan bila pengelolaan RTH dapat dilakukan bersama-sama dengan instansillembaga lainnya, seperti misalnya kerja sama antara Lembaga Swadaya Masyarakat, Karang Taruna, atau instansi Pemerintah yang terkait dengan RTH. Tingkat Pengetahuan responden terhadap peran LKMD dalam rangka pengelolaan RTHIPertamanan, pada pengumpulan data lapangan yang dilakukan di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan hanya sebahagian kecil responden yang menjawab bahwa LKMD pernah mengadakan penyuluhan mengenai RTH/pertamanan. Terhadap kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh LKMD mengenai Jalur Hijau hanya 26 responden yang menyatakan LKMD pernah mengadakan penyuluhan dan 85 responden menyatakan bahwa LKMD tidak pernah mengadakan penyuluhan. Sedangkan untuk kegiatan LKMD lainnya, yaitu kerja bakti untuk membersihkan taman, dari 159 responden yang menjawab pernah dilakukan oleh LKMD hanya 68 responden, dan 53 responden menjawab pernah dilakukan kerja bakti membersihkan Jalur Hijau oleh LKMD. Dalam kaitan dengan aktifitas dari LKMD itu, hasil wawancara mendaiam dengan Kepala kelurahan dari Kelurahan Grogol, Kelurahan Tomang, Kelurahan Wijayakusurna, Kelurahan Jelarnbar, dan Kelurahan Tanjung Duren juga diperoleh gambaran yang sama, yaitu bahwa keberadaan LKMD di tengah masyarakat belumlah berjalan sesuai dengan fungsi yang telah digariskan dalam peraturan dan juga bahwa masyarakat sebahagian besar belum mengetahui fungsi dari LKMD yang sebenarnya.

Harapan bahwa pengelolaan RTH akan dapat dilakukan oleh LKMD dengan demikian dapat menemui hambatan-hambatan, karena dari pengumpulan data Iapangan dan basil wawancara diperoleh gambaran bahwa LKMD belum berperan aktif terhadap pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama apabila dikaitkan dengan pengelolaan RTH.

Hambatan-hambatan itu terutama disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: 1. Status keanggotaannya pada LKMD bukanlah pekerjaan utama dari anggota pengurus; sebahagian besar responden memiliki pekerjaan utama seperti misalnya: pegawai negeri, ABRI, pegawai swasta, wiraswasta, dan pekerjaan lainnya. 2. Pengetahuan anggota masyarakat mengenai LKMD masih sangat terbatas. 3. Kurang tepatnya penunjukkan kepengurusan LKMD, dapat menyebabkan program LKMD tidak berjalan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam peraturan. 4. Secara hierarkhis, keberadaan LKMD hanyalah sebagai lembaga sosial pada tingkat kelurahanldesa, sehingga apabila ada pembangunan yang dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi yang tidak sesuai dengan program LKMD, maka LKMD tidak punya wewenang untuk mengoreksi. 5. Masyarakat merasa keberatan apabila pengelolaan RTH/Pertamanan dilakukan oleh LKMD, apabila dana untuk pengelolaan RTH nantinya dibebankan kepada masyarakat, sebagai refleksi partisipasi.

Selain faktor yang dapat menghambat peranserta LKMD, keberadaan LKMD di tengah masyarakat juga dapat menunjang keberhasilan pengelolaan RTH.

Faktor-faktor yang dapat menunjang peran serta LKMD dalam pengelolaan RTH/Pertamanan adalah masih kuatnya rasa gotong royong masyarakat dan juga masyarakat menyadari akan pentingnya keberadaan RTH di tengah-tengah lingkungan tempat tinggal masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari tanggapan responden tentang apabila ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggunakan RTH untuk mebangun bangunan lain selain peruntukan RTH, masyarakat berkeberatan, dan melaporkan kepada pihak Pemerintah Daerah. Di samping itu masyarakat setuju sekali dengan keinginan Pemerintah Daerah untuk menatalmemulihkan kembali RTH yang telah berubah fungsi sehingga dapat dikembalikan pada fungsi semula.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachruddin Rahmat
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T6468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asep Supriadin
Abstrak :
Salah satu upaya untuk mencegah dan mengurangi pencemaran yang disebabkan ofeh aktivitas perkantoran adalah dengan menerapkan manajemen lingkungan dari ISO 14000 di lingkungan perkantoran melalui program eco-office atau green office. Eco-office adalah salah satu upaya yang efektif untuk rnewujudkan efisiensi penggunaan sumberdaya sekaligus menjadikan komunitas ramah lingkungan. Ecaoffce sebagaimana sifat dari suatu standar ini bersifat umum sehingga dapat diterapkan di berbagai jenis perkantoran seperti kantor pemerintahan pusat maupun daerah, swasta, publik atau privat, kantor besar dengan jumlah karyawan yang banyak maupun kantor kecil dengan karyawan beberapa orang saja. Tujuan dari penelitian ini, pertama adalah mendapatkan baseline data mengenai faktor-faktor penerapan Program eco-office seperti konsumsi energi, konsumsi air bersih, pengadaan barang, penggunaan kertas/stationery, upaya pengurangan timbulan sampah dan pengolahannya, dan penggunaan kendaraan. Data tersebut akan digunakan menjajaki kemungkinan penerapan eco-office di lingkungan kantor pemerintahan. Kedua adalah untuk mengkaji penerapan era-office di kantor yang menentukan kebijakan lingkungan dibandingkan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. Untuk studi kasus dipilih Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah 1) Jika konsep eco-office dapat diterapkan di setiap perkantoran di Indonesia, maka dapat menghemat penggunaan energi dan air, dan jumlah sampah yang dihasilkan dapat direduksi; 2) Kantor penentu kebijakan lingkungan akan lebih banyak menerapkan aspek eco-office dibandingkan dengan kantor yang bukan penentu kebijakan lingkungan. kWh/orang/bulan. Konsumsi listrik di KPDT rata-rata pada dari bulan Pebruari-Desember 2004 adalah 76036,4 kWh perbulannya dan rata-rata perorang tiap bulannya adalah 337,94 kWh/orang/bulan; 3) Pengadaan Barang: Pengadaan barang di KLH dan KPDT yang dipenuhi oleh Bagian Kerumahtanggaan hanya bersifat pengadaan rutin sedangkan untuk kebutuhan suatu proyek tertentu dipenuhi masing-masing; 4) Konsumsi Kertas: Konsumsi kertas perorang tidak dapat diketahui karena tidak ada informasi yang jelas jumlah pengadaannya, karena tersebar di tiap-tiap unit kerja berdasarkan kebutuhan nyata/proyek. Pegawai di kedua kantor rata-rata terlibat aktif dalam pengurangan jumlah sampah kertas. Manajemen penggunaan kertas lebih banyak menggunakan prinsip reuse, 5) Timbulan Sampah dan Pengelolaannya: Rata-rata timbulan sampah perhari 972,6 Titer/hari di KLH dan 165,4 liter/hari di KPDT. Jadi rata-rata tiap prang menghasilkan sampah 1,273 liter/prang/had di KLH dan 0,735 liter/orang/hari di KPDT. Sosialisasi pemilahan sampah pemah ada di KLH dan fasilitas tempat sampah berdasarkan jenisnya juga tersedia, akan tetapi belum berjalan semestinya. Sudah tersedia fasilitas pengomposan dan program pengomposan. Di KPDT belum ada sosialisasi tersebut dan fasilitas tempat sampahnya masih disatukan; 6) Penggunaan Kendaraan: KLH mempunyai kebijakan pengujian emisi kendaraan pegawainya, sedangkan di KPDT belum ada; 7) Persepsi Pegawai: Pegawai di masing-masing kantor memberikan respon dan persepsi yang baik pada konsep eco-office. Kesimpulan dari studi kasus ini yaltu: 1) Kebijakan lingkungan yang secara khusus dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan eco-office belum ada, balk di KLH maupun di KPDT. Di KLH kebijakan iingkungan mengenai eco-office ini bare dirumuskan dan masih dalam tatanan konsep yang akan segera diformulasikan menjaadi suatu kebijakan 2) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa KLH sebagai institusi penentu kebijakan lingkungan hidup mempunyai kelebihan dari KPDT dalam beberapa aspek eco-office yaitu kebijakan pengelolaan lingkungan kantor, jumlah pemakaian air bersih dan listrik, pengelolaan sampah, program uji emisi kendaraan. Saran-saran: 1) Pembuat kebijakan di tiap kantor dapat segera menerapkan program eco-office sebagai upaya kesadaran terhadap lingkungannya dengan prioritas pada konservasi energi dan air bersih serta reduksi timbulan sampah perkantoran. Konsep SML pada ISO 14001 dapat menjadi rujukan untuk pengembangan yang berkelanjutan; 2) Penyediaan fasilitas tempat sampah yang memadai dan terdistribusi secara merata berdasarkan jenisnya disertai dengan pelabelan yang jelas, sosialisasi yang baik serta pengawasannya yang kontinyu; 3) Penyediaan tempat sampah khusus untuk kertas (paper bin) di setiap sumber penghasilnya seperti dekat mesin fotokopi dan printer; 4) Berkenaan dengan penghematan energi maka perlu diupayakan pengaturan waktu penggunaan elevator/lift pada jam jam tertentu untuk menghemat penggunaan energi listrik, penyetelan mode stand by pada tiap komputer, mematikan listrik di ruangan pada saat istirahat atau tidak ada prang, reformulasi arsitektural dengan mempertimbangkan kelimpahan energi terbaharukan dan konsep green building, 5) Menurut pengamatan visual maka terjadi ketidakefisienan dari pemakaian AC yang disebabkan oleh sistem penyekatan ruangan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan sistem penyekatan ruangan dengan mempertimbangkan hal tersebut; 6) Untuk mengurangi jumlah sampah, maka penggunaan kertas perlu menjadi perhatian khusus tenatama dengan membudayakan penggunaan double sided dan paradigma 3R dengan mengutamakan tahapan reduce, reuse dan recycle. Dengan dihubungkan saran ke-3 maka pengefolaan sampah kertas terpisah dari sampah Iainnya. Untuk keperiuan makan-minum pada saat ada kegiatan seminar, sidang, rapat, daan lain-lain disediakan dengan sistem perasmanan; 7) Penerapan eco-office menyentuh masalah teknis dan pengelolaan melalui Sistem Manajemen Lingkungan maka berkenaan dengan INPRES No.5 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi sebaiknya pemerintah menerapkan secara komprehensif dengan mendukung terciptanya eco-oft ceaeco-project-eco-city.
The implementation of environment management from ISO 14000 through eco-office or green office will be one of pollution prevention and reduction effort in office activities. Eco-Office is an effective effort to establish resources efficiency and environmentally communities. Eco-Office can implement in various office activities including central and regional government office, private sector office as well as big and small office. The objective of research are as follow, first, to collect data baseline in regard to eco-office implementation factor e.g. energy and clean water consumption, material supplying use of paper/stationery, waste and its handling and, vehicle use. The data will be use for possibility of implementation of eco-office program in government offices. Second, to investigate eco-office implementation in office that issued environmental regulatory compared to another office. The State Ministry of Environment (KLH) and The State Ministry of Less Developed Region (KPDT) have been chosen for this case study. The purpose of research hypothesis are 1) if concept of eco-office is applied to office in Indonesia, energy and clean water consumption can be minimized and reduction of waste generation; 2) the office that issued environmental regulatory should be applied better eco-office aspects rather than another office. The results of research from each office show that 1) water consumption: average KLH's water consumption in 2004 is 1818,83 m3 per month or 2,3807 m3/person, whereas the average of clean water consumption in KPDT from June 2004 to March 2005 is 1962,3 m3 per month or 8,7213 m3/person; 2) energy consumption: average KLH's electrical consumption in 2004 is 167200 kWh per month or 218,85 liter/person in KPDT. Publication of waste separation has been applied in KLH and waste disposal facilities are also available for each type of waste, however this program didn't work properly. Composting facility and its program has been established. Whereas in KPDT both of them were not applied yet; 6) vehicle use: transportation emission test has been implemented for employing KLH, however it is not done in KPDT; 7) employees perception: employees in both of offices have given a positive response and good perception to eco-office concept. The conclusion of this case study are as follow 1) especially in KLH or KPDT there ware no regulation of eco-office which implemented. But in KLH, they will establish the concept of eco-office to regulation 2) based on study it known that KLH was better efforts than KPDT in eco-office aspect e.g. regulatory of office environment, clean water and electric consumption, waste management, test of vehicle emission. Recommendations: 1) the policy authorized in each could be immediately implemented eco-office program as environmental effort awareness which conservation of water and energy, and waste minimize. EMS in ISO 14001 can be referenced to sustain development; 2) the facilities of waste disposal should be in good manner, distributed properly for its types of waste, and a clearly label, a good publication and monitoring; 3) specific waste disposal for paper is provided near to the source e.g. photocopier machine and printer; 4) management of elevator/lift use at certain time, establish stand by mode in all computers, turn off the lighting of room in rest time or if no one, architecture reformulation to use renewable energy and green building concept for electrics energy efficiency; 5) Visually, there are inefficiency of AC system caused by room partitioning system, thus it is necessary to modify the system; 6) reduction of waste amount that produced from food accomplishment at the seminar activity, conference, meeting of group, and others are provided by "prasmanan" and separately handling for waste paper, double sided printing, and implement the 3R principle; 7) implementation of eco-office is improved technically and its management from EMS aspects. Therefore the INPRES No. 5 of 2005 regarding Energy Efficiency should be comprehensively implemented by fully support ecooffice-ecoproject eco-city.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wibowo
Abstrak :
Ruang Terbuka Hijau (RTH) aktual tahun 1999 yang luasnya mencapai 41% dari Iuas wilayah Jakarta, mempunyai kandungan biomassa hijau 330.556 ton. Kondisi ini hanya mampu mendukung sekitar dua per tiga penduduknya. Berkurangnya ruang terbuka hijau maka daya dukung untuk memenuhi kebutuhan udara bersih bagi penduduk menurun pula. Hal ini akan memberikan dampak negatif yakni penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menginformasikan terjadinya penurunan Iuas RTH 13 DAS yang melalui Jakarta dari tahun 1970 - 2000 di seluruh wilayahnya, dari Iuas RTH tahun 1970 yakni 52.179.33 ha berubah menjadi 15.117.77 ha pada tahun 2000. Dalam paparan di BPLHD DKI Jakarta dinyatakan bahwa meningkatnya luas bangunan beton, plesteran da aspal ± 18.798,5 ha atau + 28,7% Iuas daratan Jakarta, hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air hujan dan laju tingkat erosi 152,7 ton/ha/tahun pada wilayah kikisan, serta meluasnya wilayah endapan sebagai akibat hasil sedimentasi yang berpengaruh, bahkan memberikan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman ± 5.640 ha atau 8,6% dari luas daratan Jakarta. Dengan meningkatnya bangunan berdinding kaca f 4.061 ha atau 6,25 % dari luas daratan Jakarta, menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota, yaitu dari suhu udara rata-rata dari 28°C menjadi 29,1°C. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tampak bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan. Secara mendasar kondisi lingkungan hidup terus menurun di kawasan perkotaan, dikarenakan terus menurunnya luas daerah terbuka, sehingga menurunkan daya dukung lingkungan (fungsi ekologi vegetasi) Kota Jakarta. Berkaitan dengan permasalahan di atas, yaitu perubahan penggunaan tanah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, tujuan penelitian ini adalah Pertama, mengetahui hubungan antara jenis penggunaan tanah dan perubahannya dengan daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Kedua, mengetahui kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Ketiga, mengetahui kaitan antara manusia dengan perubahan penggunaan tanah dan daya dukung di wilayah Kota Jakarta. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode expostfactoyang dibahas secara deskriptif analitis. Data yang digunakan berupa data table dan peta yang diambil dari instansi terkait. Daya dukung yang diteliti hanya fungsi ekologis vegetasi yakni memperbaiki suhu (ameliorasi iklim) dan penyerap air hujan (hidrologis). Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Pertama, suhu dan air larian dipengaruhi oleh jenis penggunaan tanah, yaitu: (a) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan suhu yang terjadi. Lokasi sekitar Kantor Walikota Jakarta Barat memiliki suhu paling rendah dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur tahun 2003 memiliki suhu paling rendah dari Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Selatan. (b) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan air larian. Lokasi Kantor Walikota Jakarta Barat persentase air larian lebih sedikit dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur air larian lebih sedikit dari Wilayah Kota Jakarta Pusat dan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa luasan vegetasi punya peran dalam perbedaan suhu dan air larian sebagal daya dukung lingkungan hidup dalam hal fungsi ekologis, maka terlihat kaitan antara penggunaan tanah dengan daya dukung lingkungan hidup. Kedua, perubahan penggunanan tanah menyebabkan penurunan Iuasan vegetasi yang berakibat dengan berubahnya suhu dan kemampuan untuk meresapkan air, sehingga air larian menjadi meningkat. Tahun 1940 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 20 : 80, sedangkan tahun 2003 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 74 : 26, hal ini menyebabkan: (a) Jakarta pada tahun 1940 suhu masih dibawah angka 27°C (suhu nyaman) yakni 26,48°C, sedangkan pada tahun 2003 suhu sudah melebihi suhu nyaman yakni suhu mencapai angka 31,48°C. (b) Persentase air larian pada tahun 1940 adalah 22% dari volume hujan setahun, sedangkan tahun 2003 telah mencapal 60.38% dari volume ar hujan setahun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah menyebabkan penurunan luasan vegetasi, yang mengakibatkan perubahan daya dukung lingkungan hidup dalam hai fungsi ekologis, sehingga suhu dan air larian meningkat. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara perubahan penggunaan dan penurunan daya dukung Iingkurigan hidup di wilayah Jakarta. Ketiga, kapasitas daya dukung Jakarta tahun 1940 masih melebihi 100% sedangkan tahun 2003 menurun 86,76% untuk memperbaiki suhu (ikiim), sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air hujan tahun 1940 masih 100% sedangkan tahun 2003 menurun menjadi 66,25% setahun, untuk proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 76 : 24 pada tahun 2003. Berdasarkan hal ini maka pada tahun 2010 sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 87 : 13 dapat diprediksikan suhu menjadi lebih panas dan air larian meningkat yang menjadi potensi banjir akan semakin meluas. Keempat, manusia tidak hanya jumiahnya yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah, melainkan aktivitas yang membutuhkan ruang. Tahun 1940 jenis pekerjaan adalah lebih banyak petani sehingga luasan lahan pertanian (sawah, ladang, kebun, tambak) masih luas. Tahun 2003 luasan permukiman lebih luas dari lahan pertanian. Hal ini menggambarkan profesi petani tergantikan dengan profesi non petani (pegawai, jasa, di!). (b) perubahan penggunaan tanah memberikan dampak pada penurunan daya dukung lingkungan yakni kenaikan suhu dan menyebabkan banjir yang berkibat timbuinya biaya perbaikan dan biaya pengobatan. Berdasarkan hasii peneiitian ini maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah hares melakukan pemantauan perubahan penggunaan tanah dan mempertahankan luasan vegetasi yang masih ada serta meningkatkan kualitasnya, agar tercipta strata tajuk yang Iengkap dan rapat agar fungsi ekologinya meningkat. Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kuantitas luasan vegetasi dengan cara membuat tanaman rambat dengan jaring di dinding (rumah, perkantoran atau pertokoan) atau membuat pot tanaman yang diletakkan vertikal di sepanjang dinding, yang disesuaikan dengan jenis tanaman dan estetika. Ketiga, memperbesar kuantitas air hujan yang terserap ke dalam tanah dengan memberlakukan secara ketat pelaksanaan sumur resapan di rumah perkantoran dan pertokoan, sehingga dapat menjadi asupan air tanah agar tidak terjadi dampak banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Keempat, membangun sumur resapan dan saluran air di sepanjang jalan, baik jalan utama maupun jalan lokal, sebagai tempat limpasan air saat hujan, serta membuat saluran air tersebut juga berfungsi sebagai sarana resapan air dengan tidak membuat bagian dasamya kedap air.
In the year of 1999, existing green area in Jakarta reached 41% of the total area, and it contains 330.556 tons of green biomass. This condition only could support two-third of its population. With the lack of green area, it makes the carrying capacity to fulfill the need of clean air for the population also decreasing. This situation gives a negative impact on the environment, and it was strengthened by Tambunan's research in 2005 which described on decreasing green area of 13 watersheds which passed trough Jakarta from 52.179,33 hectares in the year 1970 becoming 15.117,77 hectares in 2000. The increasing area of concrete buildings, cements, and asphalt surface in Jakarta ± 18.798,5 Ha or ± 28,7% of Jakarta causes the high surface run off and erosion in the area or 152,7 tons/ha/year, also creating a vast sedimentation area and effecting on the wide spreading of inundation area ± 5.640 hectare or 8,6% of Jakarta. This meant the increasing number of glass buildings ± 4.061 hectare or 6,25 % of Jakarta causes the increasing of the city temperature from 28°C to 29,1°C. Based on the background, it looks like there has been an environmental damage. Basically, the conditions of the environment in the cities are always descending because of the decreasing of the open area and also causing the deteriorating of environment carrying capacity (vegetation ecological function). Related to the problems that certain land use changes cause the descending of environment carrying capacity, the purposes of this research are: (1) To observe the relationship between land use with its changes and the environment carrying capacity in Jakarta City. (2) To observe the environment carrying capacity in Jakarta City. (3) To observe the relationship between human being and land use change and the carrying capacity in Jakarta City.Quantitative approach of this research is carried out by using the ex post facto method and analyzed by descriptive analytic method. The data that being used are tabular data and spatial (maps) data taken from related institutions. Several conclusions of this research can be withdrawn: First, run off and temperature influenced by type of land use, that is: (a) the type of land use affecting the temperature condition of the area. Location around West Jakarta City Hall office has the lowest temperature than other location. Temperatures in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. (b) Difference of type land use cause difference run off. Location around West Jakarta City Hall has the lowest run off than other location. Run off in East Jakarta are lower than Central and South Jakarta. This matter indicate that vegetation area have a role in run off differentiation and temperature as environmental carrying capacity in the case of ecological function, it shown that there is a relationship between land use and environmental carrying capacity. Second, land use changes cause the decreasing of vegetation area and gives impact on the increasing temperature and run off. In 1940 the proportion of build up and open area was 20 : 80, while in 2003 the proportion of build up and open area are 74 : 26, this matter cause: (a) Jakarta in 1940 temperature still below 27°C (balmy temperature) which is 26,48°C, while in 2003 temperature have exceeded balmy temperature namely tired temperature of 31,48°C. (b) Percentage run off in 1940 is 22% of one year rain volume, while in 2003 has reached 60.38% of one year rain volume. This indicate that the changing of land use cause the changing of vegetation area, and environmental carrying capacity, resulting on the increasing of temperature and run off. It shown that there is a relationship between the changing of land use and carrying capacity. Third, In 1940 carrying capacity still over 100% and in 2003 carrying capacity become 86,76% to get the ideal temperature and carrying capacity for water absorption still 100% and in 2003 carrying capacity for water absorption become 66,25% to get the ideal water absorption, those condition for proportion of build up and open area of 74 : 26. Base on those conditions in 2010 the proportion of build up and open area are 87 : 13, this mean the temperature and run off will be higher. Fourth, the human being also can affect the environments by their occupation and quantities: (a) the occupation on 1940 most of the farmer's causes the agriculture area (paddy field, plantation, and fishpond) still vast. In 2003 the settlement area more than the agriculture area. (b) land use changes cause the decreasing carrying capacity which is the high temperatures and flood, causing the government and people's spent more money for healthy and maintenance cost. Several recommendations are: First, the government has to conduct monitoring of usage of land use and maintain the green area and also upgrade the quality, to create a complete and closed vegetations canopy, so it will increase the ecological function. Second, Government and society should improve amount of green area in their homes and office. Third, to create a large amount of water that can be absorb by soil, by creating an absorption well in house and office in order to mitigate the effect of flood and a water supply in the dry season. Fourth, to create abso;ption well and aqueduct alongside the main road and also local road; as place for run off, and also make the aqueduct also function as a medium for absorption without making its base waterproof.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Yuniastuti
Abstrak :
Perkotaan seringkali mengesampingkan kebutuhan akan RTH disamping kondisi RTH belum ramah anak sehingga kurang optimal untuk anak bermain dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tujuan penelitian untuk menganalisis kondisi RTH dalam fungsinya sebagai ruang ekologi dan aktivitas sosial terutama bagi anak di kawasan perkotaan, menganalisis penerapan faktor-faktor ramah anak di Ruang Terbuka Hijau untuk mendukung tumbuh kembang anak, serta membuat model Ruang Terbuka Hijau yang ramah anak. Fungsi ekologis dianalisis menggunakan Sistem Informasi Geografis, fungsi aktivitas sosial anak dianalisis melalui pengamatan, kuesioner dengan 'purposive sampling' terhadap 36 responden serta wawancara dengan 3 orang informan. Hasil penelitian menunjukkan fungsi ekologis dan aktivitas sosial bagi anak belum maksimal maka penerapan faktor ramah anak masih memerlukan peningkatan antara lain faktor keamanan, keselamatan, kenyamanan, aksesibilitas, estetika, fasilitas penunjang dan kelembagaan. Model pengembangan dilakukan dengan membuat sistem zonasi dan didukung kelengkapan fasilitas yang sesuai untuk anak. Dengan terpenuhinya kebutuhan anak dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosial di RTH diharapkan meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal bagi anak di perkotaan. ...... Urban often overrides the need for green open space (GOS) besides the fact that GOS are not child friendly so it is less optimal for children to play and interact with their environment. The research objective is to analyze the condition of green space in its function as an ecological space and social activities especially for children in urban areas, analyze the application of child-friendly factors in GOS to support child growth and development, and create a child-friendly GOS model. Ecological functions were analyzed using Geographic Information Systems, the function of children's social activities were analyzed through observations, questionnaires with purposive sampling of 36 respondents and interviews with 3 informants. The results showed that ecological functions and social activities for children were not maximized, so the application of child-friendly factors still required improvements including security, safety, comfort, accessibility, aesthetics, supporting and institutional facilities. The development model is carried out by creating a zoning system and supported by complete facilities suitable for children. With the fulfillment of children's needs in interacting with the natural and social environment in green space is expected to improve cognitive, affective and psychomotor abilities to support optimal growth and development for children in urban areas.
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Univeritas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Fajarisman
Abstrak :
Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sebagaimana tercantum di dalam UU No.32 Tahun 2009 pasal 1 ayat (3) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Fakta di lapangan menunjukkan perkembangan industri yang pesat dalam mengeksploitasi sumber daya alam cenderung memaksimalkan keuntungan yang diraih sementara pemulihan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan belum terantisipasi dengan baik. Adalah penting untuk mempertimbangkan konsep pemindahan risiko tersebut, dapat dianalogikakan dengan asuransi kerugian, namun dalam hal ini yang diasuransikan adalah risiko tercemarnya atau rusaknya lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan industri. Konsep asuransi lingkungan dapat menjadi alternatif upaya mewujudkan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Bagaimana kelayakan dan urgensi penerapan asuransi lingkungan ini, merupakan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Metode yang dipergunakan secara deskriptif normatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa asuransi lingkungan merupakan alternatif upaya yang layak untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan mengingat permasalahan lingkungan sudah menjadi isu global yang harus mendapat perhatian yang khusus dari para pihak yang terkait. Berdasarkan kasus-kasus lingkungan yang terjadi, sudah urgen asuransi lingkungan tersebut diberlakukan wajib kepada industri terutama yang menghasilkan limbah B3, demi melindungi kelestarian lingkungan hidup sehingga masyarakat dan lingkungan sekitar industri tetap dapat melanjutkan kehidupannya sesuai hak asasinya. ......National economic development, as mandated in Article 33 paragraph ( 4 ) of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, organized by the principles of sustainable and environmentally friendly. Environmentally sustainable development as set out in the Act 32 of 2009 section 1 (3 ) of the Environmental Protection and Management is a conscious and planned effort that combines aspects of environmental, social, and economic development strategies to ensure the environmental integrity life and safety, capability, welfare, and quality of life of the present generation and future generations. Facts on the ground show the rapid industrial development in the exploitation of natural resources tend to maximize the benefits achieved while the recovery of natural resources and preservation of the environment from pollution and environmental damage has not been properly anticipated. It is important to consider the concept of the transfer of risk, analogous to insurance losses, but in this case the insured is risk of contamination or damage to the environment caused by the industry. The concept of environmental insurance can be an alternative to efforts to achieve economic development is environmentally friendly. How does insurance eligibility and urgency of implementing this environment, an issue examined in this study . The method used is descriptive normatif. The results of the study explained that the insurance environment is a viable alternative efforts to realize economic development of environmentally friendly considering environmental issues have become a global issue that should receive special attention of the parties concerned. Based on environmental cases that occur, it is proper that imposed mandatory environmental insurance industry, especially the B3 waste, in order to protect the health of the environment so that people and the environment surrounding the industry could continue an existence worthy of human rights.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Metrini Geopani
Abstrak :
Tesis ini menganalisis kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil terluar Indonesia terkait dengan bagaimana proses sekuritisasi, strategi pengelolaan sumberdaya lingkungan hidup dan pengelolaan kesejahteraan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ancaman kedaulatan negara. Metode analisis isi ( content analysis) terhadap kebijakan pengelolaan 12 pulau kecil terluar Indonesia digunakan melalui tabulasi skema Barry Buzan, et al, indikator kinerja aspek pengelolaan lingkungan hidup dan pendekatan kesejahteraan pada 12 pulau kecil terluar Indonesia dengan pendekatan kualitatif. Variabel yang diamati adalah proses sekuritisasi, lingkungan hidup, dan kesejahteraan masyarakat terhadap ancaman kedaulatan negara. Hasil penelitian memperlihatkan proses sekuritisasi 12 pulau kecil terluar untuk mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia hanya terjadi pada derajat politisasi dimana isu PKT hanya penting dibicarakan antar lembaga saja terutama Pulau Nipa dan Pulau Miangas. Sepuluh dari keduabelas PKT Indonesia justru mengalami desekuritisasi akibat kebijakan pengelolaan 12 PKT lebih menekankan aspek lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Strategi pengelolaan lingkungan hidup ( environment) 12 pulau kecil terluar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat sepenuhnya mampu mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia. Degradasi lingkungan baik secara alami maupun tekanan antropogenik pada 12 PKT Indonesia tidak menjamin keberlanjutan SDA. Strategi pengelolaan kesejahteraan ( prosperity approach) 12 pulau kecil terluar Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah dapat mengatasi ancaman kedaulatan Indonesia dengan segala keterbatasan pada lima pulau yang berpenduduk terkait dengan jarak, infrasruktur, ketimpangan ekonomi dengan negara tetangga. Hal ini berpengaruh pada kualitas hidup dalam pemenuhan kebutuhan dasar penduduk setempat yang pada akhirnya berdampak pada nasionalisme. Strategi pengelolaan 12 PKT Indonesia pada akhirnya memerlukan proses sekuritisasi, pendekatan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat untuk keberlanjutan kedaulatan negara.
2008
T25626
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Standar internasional tentang sistem manajemen lingkungan ISO 14001 dapat merupakan wahana untuk meni amin kriteria sistem manajemen lingkungan. Meskipun bukan merupakan jaminan atas pembangunan berkelanjutan, sistem manajemen lingkungan seperti yang terdapat didalam Standar ISO 14001 memadukan Icriteria lingkungan ke dalam kriteria kinerja perusahaan pada semua tlngkatan. Untuk memperoleh sertifikasi ISO 14001, banyak organisasi-organisasi yang harus meluangkan lebih banyak waktu untuk melakukan program pengelolaan lingkungan. Hal yang menjadikan penting bagi konsumen, dimana mereka lebih dapat mengevaluasi apakah produk atau jasa yang mereka beli sudah dibuat seoara sadar lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan secara kuantitatif melalui analisis regresi berganda hubungan elemen-elemen ISO 14001 terhadap kinerja sistem manajemen lingkungan yang diterapkan oleh perusahaan konstruksi dalam proyek konstruksi jalan. Pengumpulan data ditujukan kepada perusahaan konstruksi yang telah mempunyai sertifikasi ISO 9001. Dari total sampel telsebut dilakukan analisis statistik untuk akhimya mendapatkan model regresi berganda tentang hubungan antara variabel-variabel elemen-elemen ISO 14001 terhadap kinerja sistem manajemen lingkungan perusahaan konstruksi. Berdasarkan hasil analisis data dan model regresi yang telah dilakukan mengenai pengaruh elemen-elemen ISO 14001 terhadap kinerja sistem manajemen lingkungan. Model regresi yang diperoleh adalah model linier untuk variabel bebas hubungannya dengan kinelja sistern manajemen Iingkungan, hal ini sesuai Adjusted R2 yang lebih besar pada model linier dibandingkan dengan non Inner. Nilai Adjusted R2 = 0.561 (>0,5) sehingga model dapat diyakinkan. Variabel Penentunya adalah variabel (X2), Sifat & besarnya kebijakan lingkungan yang diberikan dan variabel (X7), Mematuhi persyaratan perundang- undangan. Dengan demikian hipotesis penelitian ini yaitu “Korelasi elemen- elemen ISO 14001 terhadap Sistem Manajemen Lingkungan adalah secara positif terbukti.”
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S35239
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>