Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.M. Gatot P. Soemartono
Jakarta: Sinar Grafika, 1991
344.046 GAT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bagong Setyo Nugroho
Abstrak :
Pembangunan Nasional yang sedang kita laksanakan sekarang ini telah mencapai tahap tinggal landas berarti pada tahap ini kita akan membangun industri kita secara besar besaran yang berarti diperlukan kewaspadaan dalam rangka mencegah timbulnya pencemaran akibat proses industri itu sendiri.

Jumlah penduduk yang makin berkembang juga tidak dapat kita abaikan. Penyediaan ''papan? dan lahan untuk membuatnya juga merupakan kendala yang kita hadapi baik keterbatasan pemerintah dalam menyediakannya maupun juga keterbatasan lahan yang tersedia menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perencanaan pembangunan terutama di kota - kota besar sebagai akibat pembangunan yang pesat menyebabkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dari desa ke-kota.

Penduduk Jakarta yang hampir mencapai 20 juta orang sekarang ini, akan meberikan tekanan yang makin besar karena daerah JABOTABEK merupakan daerah yang berkembang paling pesat dewasa ini di Indonesia. Perkembangan ini tentunya perlu kita waspadai bagaimana mengatur dan menyediakan fasilitas kota yang diperlukan untuk menampung bertambahnya penduduk dan keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas tersebut, hal ini akan menimbulkan berbagai masalah antara lain ialah masalah lingkungan. Dengan telah dikeluarkannya Undang - undang Nomar 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka perlu dilaksanakan dan perlu ditindak lanjuti dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya diantaranya adalah Peraturan Daerah (PERDA). Dan untuk melihat bagaimana kesiapan daerah dalam mengatisipasi perkembangan pengelolaan lingkungan dan bagaimana pelaksanaannya maka sebagai tempat penelitian dipilih Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sebagai studi kasus pelaksanaannya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipinang Jakarta Timur.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Langgai
Abstrak :
Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara merupakan salah satu wacana yang diumumkan pada tanggal 26 Agustus 2019, yang akan dipindah dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dengan nama Nusantara yang merupakan salah satu dari Program Strategis Nasional. Permasalahan yang akan timbul ialah hilangnya 40% (empat puluh persen) luas hutan produksi yang akan mengakibtakan ikut hilangnya hutan bagi ekosistem para satwa- satwa liar khususnya dilindungi yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara. Atas hal tersebut penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif yang bersifat Deskriptif, didapatkan melalui Data Sekunder yang diperoleh melalui Studi Kepustakaan. Data Sekunder antara lain menggunakan Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Terseir dengan alat pengumpukan data berupa Studi Dokumen. Dimana Metode Analisis yang digunakan adalah Analisis Kualitatif dengan Bentuk Hasil Penelitian Deskriptif. Sehingga simpulan yang didapat dari penulisan ini ialah; pembentukan kebijakan yang dimuat dalam Hukum Positif yang mengatur tentang pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara hanya menjadikan ketentuan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai formalitas saja. Maka utamanya adalah untuk tidak melupakan keberadaan atas flora dan fauna yang merupakan salah satu rantai kehidupan yang berperan sangat penting demi kehidupan masyarakat dan umat. ......The construction of the National Capital City of the Nusantara is one of the discourses announced on August 26, 2019, which will be moved from DKI Jakarta to Penajam Paser Utara, East Kalimantan under the name Nusantara which is one of the National Strategic Programs. The problem that will arise is the loss of 40% (forty percent) of the production forest area which will result in the loss of forest for the ecosystem of wild animals, especially protected ones in Penajam Paser Utara. For this reason, this research is in the form of normative juridical which is descriptive, obtained through secondary data obtained through library research. Secondary data, among others, uses Primary Legal Materials, Secondary Legal Materials, and Secondary Legal Materials with data collection tools in the form of Document Studies. Where the method of analysis used is qualitative analysis with the form of descriptive research results. So, the conclusions obtained from this writing are the formation of policies contained in the Positive Law which regulates the development of the National Capital City of the Nusantara only makes provisions regarding Environmental Protection and Management as a formality. The main thing is not to forget the existence of flora and fauna which are one of the chains of life that play a very important role for the life of society and the people.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsanto Nursadi
Abstrak :
Pengelolaan B3 dan limbah B3 dilakukan oleh instausi yang bertanggung jawab , yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Instansi ini membentuk norma hukum urnum-kongkret berupa Peraturan Menteri Negara yang merupakan kewenangan atribusi dari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meneg LH juga membentuk norma hukum individual-kongkret berupa perizinan-perizinan yang berkaitan dengan B3 dan limbah B3. Instansi sektoral berwenang membentuk norma hukum umum kongkret berupa kewenangan , misalnya Undang-undang tentang Perindusirian, tentang Kesehatan, tentang Pertambangan atau Mineral dan Batubara, tentang Tenaga Kerja, tentang Tenaga Atom/Nuklir, tentang Lalu Lintas Jalan. Kewenangan tersebut diwujudkan dalam pembentukan norma hukum Peraturan Menteri mengenai hal-hal tenentu, misalnya Peraturan Menteri Perindustrian tenumg Impor Bahan Berbahan Beracun. Instansi sektoral tersebut juga melakukan pengurusan dalam bentuk pembuatan norma hukum individual-kongkret berupa perizinan yang berkaitan dengan lingkungan seperti Izin Impor B3; Izin Penggunaan B3 untuk Industri, Pertambangan, Kesehatan; Izin Pengangkutan B3 dan limbah B3. Perizinan yang dikeluarkan oleh instasni sektoral memerlukan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab, karena instansi yang bertanggung jawab memang bertugas untuk menjaga dampak dari B3 dan limbah B3, sedangkan instansi yang berwenang lebih kepada perizinan dalam hal kegiatan di bidang masing-masing. Hasil penelitian nommatif menunjukkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab kepada masyarakatnya dalam hal perlindungan lingkungan. Bentuk pertanggtuxgiawaban dari Daerah tersebut adalah melakukan pengaturan dan pengurusan terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Daerah membuat nonna hukum abstrak-umum dalam bentuk Peraturan Daerah bagi objek-objek tenentu yang langsung mengatur atau hanya berkaitan dengan lingkungan.Contoh Perda yang langsimg mengatur objek lingkungan, adalah Perda tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaiian Pencemaran Air; tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan; tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis; tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi; tentang Pengelolaan Hutan; tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah; dan Perda tentang Izin Hinder Ordommxie (Izin HO). Contoh Peraturan Daerah yang ?l1anya? berkaitan dengan pengaturan linglcungan diantaranya adalah Perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah (salu di antaranya adalah pembentukan Badan Lingkungan Hidup Daerah) termasuk pembentukan Dinas-dinas Daerah tentang Pengelolaan Panas Bumi; tentang Irigasi; tentang Ketertiban Umum; tentang Pajak dan/atau Retribusi Daerah yang berkaitan dengan lingkungan; tentang Perikanan dan Usaha Kelautan; tentang RPJMD; teniang RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota; tentang Pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan. Perda-perda tersebut disebut berkaitan, karena yang diatur sebenarnya adalah objek yang lain, tetapi dekatfberkaitan dengan lingkungan. Daerah juga mengeluarkan norma hukum yang umum-konkret, berupa Peraturan Kepala Daerah tentang hal tertentu, rnisalnya tentang Baku Mutu Lingkungan di Jawa Timur. Nomm hukum yang individual-kongkret mempakan bentuk perwujudan kewenangan dan tanggung jawab daerah yang paling banyak, yaitu keluamya perizinan yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Pengaturan dan pengurusan mengenai B3 dan limbah B3 kemudian didesentralisasikan ke Daerah berdasarkan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Umsan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khusus pada lampiran mengenai bidang Lingkungan Hidup. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut tergannmg pada Iuas daerah, lingkup Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Kabupatenfliota, sedangkan bila urusan pemerintahan sub-sub bidang B3 dan limbah B3 tersebut lintas Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Provinsi. Meskipun Daerah hanya memiliki kewenangan yang terbatas , tetapi Daerah tetap dapat melindungi daerahnya dalam bentuk pcngatumn dan pengurusan yang tidak langsung pada objek B3 dan Iimbah B3. Misalnya pengaturan lokasi khusus industri (yang mungkin menggunakan, menghasilkan dan mengolah limbah B3) dalam Perda tentang RTRW, pengaturan mengenai pengangkutan lintas batas daerah Provinsi-Kabupaten-Kota dengan tidak membebani retribusi tetapi pengaturan pengangkutannya, pengaturan bersama mengenai kemungkinan menyebar/mengalimya limbah B3 dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi atau bahkan amar provinsi. Selain itu, Daerah juga dapat melakukan pengurusan terhadap B3 dan limbah B3 yang menjadi kewenangannya dalam bentuk pengendalian perlzinan. Beberapa hal mengenai B3 dan lirnbah B3 saat ini sudah menjadi kewenangan Daerah, dan hal tersebut dilaksanakan dengan ketat dan konsekugn. Seperti misalnya, Daerah dapat menolak suatu lokasi Industri yang tidak sesuai dengan RTRW yang sudah ditetapkan, atau menolak berdasarkan tingkat bahaya dari indusrri B3 dan limbah B3 yang akan ditempatkan didaerahnya. Pada sisi lain, diluar kewenangan yang dimilild oleh Daerah yang berasal dari kewenangan atributif undang-lmdang, Daerah juga dapat memiliki pertimbangan dalam hal pengaturan dan pengurusan B3 dan limbah B3 dari sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Prinsip-prinsip tersebut memang tidak mengikat secara langsung subyek hukum Daerah, karena Daerah bukan merupakan subyek hukum intemasional, tetapi prinsip-prinsipnya dapat dijadikan rujukan dalam hal pembentukan norma hukum di Daerah. ......The responsibility for hazardous substance and hazardous waste management lies with the State Minister of Environment. In this regard, the Minister has an attributive authority, being an authority directly attributed by the Indonesian Environmental Management Act, to establish general-concrete legal norms, in the form of ministerial regulations. In addition to establishing these norms, the Minister has also an authority to issue individual-concrete legal norms in the fomis of various licenses related to hazardous substances and hazardous wastes. In addition to the Minister of Environment, other sectoral departments or agencies also share responsibility in managing hazardous substances and wastes. These departments or agencies have the responsibility to create general-concrete legal norms based on various sectoral acts, such as industrial, public health, mineral and coal, labour, nuclear energy, and road traffic acts. Although not focusing on environmental management, these sectoral acts may to some extent still be applicable to hazardous substance and waste management Hence, one could find various regulations issued by sectoral departments or agencies, which regulate hazardous substance and waste management within their relevant sector. One example of this type of sectoral regulation is the regulation of Minister of Industry concerning the Importation of Hazardous Substances. The sectoral departments or agencies have also the authority to create individual-concrete legal norms in form of various licenses, such as the license to import hazardous substances, the license to use hazardous substances in industry, mining, and public health sectors, and the license of hazardous substance and waste transportation. When issuing sectoral licenses, departments or agencies should base their decisions on the recommendation given by the Minister of Environment as the authority responsible for controlling the impacts of hazardous substances and wastes. Regional government has also responsibility and authority in environmental management. For this, autonomous local government may create general-abstract legal norms in the form of bylaws that directly or indirectly regulate environmental protection. Examples of environmental bylaws are bylaws concerning water quality management and water pollution control, bylaws concerning the utilization of surface water, bylaws concerning forest and critical land rehabilitation, bylaws concerning control on production forest, bylaws concerning forest management, bylaws concerning underground water, and bylaws concerning nuisance license (license derived from Hinder Ordonanrie -the nuisance ordinance). Meanwhile, examples of bylaws that indirectly relate to environmental management are bylaws on organization and management of regional agencies, including provincial and district agency for the environment, bylaws on geothermal energy, bylaws on public order, bylaws on regional environmental taxes and charges, bylaw on fisheries, bylaws concerning regional development planning, bylaws conceming regional spatial planning, bylaws on licenses or authorization related to the environment. Local Regional government has also the authority to create general-concrete legal norms, in the form of govemor or regent/mayor regulation related to certain environmental issues, such as environmental quality standards. Local government has also the authority to create individual~concrete legal norms in the form of various licenses that directly correspond to environmental management. The latter authority appears to be the most frequently exercised authority at the local level. According to Government Regulation No. 38 of 2007 concerning the Distribution of Government Affairs among Central Government, Province, and District government (in particular in its annex on environmental management), the responsibility and authority for hazardous substance and waste management are decentralized to local govemrnent. Decentralization of hazardous substance or waste management to regions applies only to the extent that [its impacts of] are confined to each region. If the scope of management of the substance or waste is considered to be limited to one district, it will become the responsibility and authority of the respective district. If the scope of management of the substance or waste is considered a cross-district issue, it will become the authority of the provincial government in which those districts are located. Although local government has a rather limited authority in regulating and managing hazardous substances and waste, it may nevertheless Provide protection by enacting bylaws which are not directly intended to regulate the substances and wastes. For example, the regional govemment has certainly the authority, in their spatial planning, to designate certain areas for industry that uses, produces, or treats hazardous Wastes. They could also enact bylaws that specify how hazardous substances and wastes are to be properly and safely transported. In another example, a group of regional governments might form a joint bylaw concerning the possibility of hazardous wastes to spread or flow trom one district to others within one province or even to districts in other provinces. Furthermore, regional government may play a role in the management of hazardous substances and wastes by excersing its control over various licenses. Several aspects in the management of hazardous substances and wastes have indeed become the authority of local govemment. For example, regional government may retiise a proposal for an industrial use that it considers not in compliance with the previously determined regional spatial planning; or it may also refuse the proposal based on the magnitude of harms likely to result from the proposed industry. In addition to various attributive authorities, regional government may also resort to other sources of authority when it intends to play a role in the management of hazardous substances and wastes. These sources are intemational environmental principles. Although not directly binding for local government, since it is not part of multinational environmental agreements, these principles could nevertheless be used as references forthe formulation of legal norms at the local level.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D988
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S20379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Hanifah
Abstrak :
Pembangunan tidak akan mencapai kemajuan yang berarti tanpa disertai dengan kegiatan industrialisasi. Di sisi lain pembangunan industri juga membawa dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada, baik makhluk hidup maupun benda mati termasuk daya dan kondisi yang terdapat dalam ruang dimana kita hidup dan dapat mempengaruhi kehidupan. Suatu sistem ekologis terj adi secara alamiah, namun seringkali manusia berperan dalam menciptakan keseimbangan bahkan ketidak-seimbangan ekosistem. Kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup pada umumnya terjadi karena adanya over exploitation terhadap sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampaknya dalam dimensi waktu yang lebih panjang, atau industriawan enggan mengeluarkan biaya untuk menanggulangi limbah pabrik yang berbahaya (hazadous waste) Terhadap pencemaran dan perusakan lingungan hidup ini tindakan hukum harus diambil segera untuk menunjukan bahwa pelaku harus embayar mahal setiap perbuatan mereka yang merusak dan mengakibatkan kerugian pada orang lain. Undang-Undang No. 4 tahun 1982 pasal 23 menjadi dasar hukum acuan untuk dapat menuntut pihak pelaku dengan ketentuan hukum. pidana yang telah ada. Untuk mengaktualisasi pasal 20 dan 21 UULH, pihak masyarakat korban atau LSM lingkungan hidup dapat menggugat secara perdata dengan menggunakan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata t entang perbuatan melanggar hukum (PMH) di forum pengadilan. Adanya peluang hukum tersebut memberikan keberanian kepada WALHI untuk mengajukan gugatan PMH terhadap PT. IIU dan Pemerintah RI di forum pengadilan pada 20 Desember 1988. Kasus ini menjadi kasus lingkungan hidup paling menarik dan paling revolusioner ditahun 1989 dimana secara implisit lingkungan hidup diakui sebagai subyek hukum. Dengan demikian setiap pelaku dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan orang lain.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Entol Maliki Achyar
Abstrak :
Terjadi pencemaran akibat meluapnya air Kali Cipinang sehingga masuk ke dalam lagoon limbah PT. Century Textile Tbk yang terus mengalir hingga ke pemukiman penduduk di sekitar pabrik. Karena pencernaran ini disebabkan adanya keadaan memaksa (Banjir) maka PT. Century Textile Tbk. tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian baik kepada orang yang terkena dampak juga untuk memulihkan kondisi lingkungan yang tercemar meskipun limbah PT. Century Textile Tbk adalah bahan berbahaya dan beracun. Keadaan memaksa/Overmacht merupakan alasan pemaaf bila menyebabkan pencernaran, dimana hal ini di atur dalam pasal 35 ayat (2) Undang-undang nomor 23 tahun 1997, sehingga terhadap pihak yang mencemari dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Bagi industri yang menggunakan dan menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun seperti industri tekstil maka berlaku asas tanggung jawab mutlak/strict liability. Dengan asas ini unsur kehati-hatian menjadi suatu keharusan. Keadaan memaksa yang bersifat apa yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf. Bila semua keadaan memaksa dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf, maka orang yang terkena dampak akibat pencemaran akan semakin sengsara dan lingkungan semakin tercemar. Guna mendapatkan pemahaman tersebut maka karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan metode penelitian lapangan yakni wawancara. Dengan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan memaksa yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf adalah keadaan memaksa yang bersifat absolut yakni keadaan memaksa itu benar-benar tidak dapat di tanggulangi dan diluar perhitungan yang matang serta keadaan memaksa itu haruslah bersifat obyektif yakni keadaan memaksa tersebut memang keadaan memaksa menurut penilaian masyarakat pada umumnya. (EMA)
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banu Laksmana
Abstrak :
Pembangunan akan menghasilkan produksi yang dibutuhkan tetapi akan dihasilkan pula limbah atau sisa hasil produksi yang mengandung zat-zat berbahaya dan beracun yang akan mengancam rusaknya ekosistem serta kelangsungan makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya. Hal tersebut dapat terjadi apabila tidak dilakukan pengolahan yang baik terhadap limbah atau zat-zat dari sisa hasil produksi tersebut. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup menimbulkan kerugian baik materil, fisik maupun mental. Perbuatan yang menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup mempunyai akibat hukum yaitu salah satunya siapakah yang harus bertanggungjawab mengganti kerugian akibat pencemaran itu. Unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dengan adanya tanggung awab mutlak yang diatur pada pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup atau Strict Liability dapat diartikan meniadakan kewajiban untuk membuktikan adanya unsur kesalahan tersebut apabila terjadi pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, dimana penanggungjawab usaha atau kegiatan secara langsung harus mengganti kerugian. Dengan diintrodusirnya tanggung jawab mutlak ini, maka gugurlah doktrin yang dikenal dengan adagium tidak ada tanggungjawab bila tidak terbukti ada unsur kesalahan. Hal ini sebenarnya juga merupakan penyimpangan dari azas hukum pidana, dimana seseorang tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau " geen straaf zonder schuld". Tanggung jawab mutlak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997 yang unsur-unsurnya adalah Suatu perbuatan atau kegiatan. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; Menggunakan atau menghasilkan bahan/limbah berbahaya dan beracun; Tanggung jawab timbul secara mutlak; Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran perusakan lingkungan. Strict Liability, sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sulit diterapkan, karena hanya diberlakukan untuk kegiatan yang menggunakan dan/atau menghasilkan bahan berbahaya dan beracun (B3), sehingga Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 1997 perlu diamandemen, yaitu dengan menghilangkan unsur "rnenggunakan dan/atau menghasilkan bahan berbahaya dan beracun".
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Anastasia Pratiwi
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim terlebih dahulu harus memeahami asas-asas kebijakan lingkungan. Dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 dimuat mengenai asas In dubio pro natura yang dimuat didalam pembahasan mengenai prinsip kehati-hatian Precautionary Principle . Asas In dubia pro natura sudah digunakan sebagai pertimbangan Hakim untuk menghukum PT. KALLISTA ALAM. Akan tetapi jika dilihat dalam dokumen-dokumen Internasional dan dalam penggunaannya di negara-negara yang telah lama menggunakan asas In dubio pro natura, terdapat ketidaksesuaian dengan penggunaan asas ini di Indonesia. Dalam Skripsi ini diperoleh suatu kesimpulan bahwa asas In dubia pro natura di Indonesua belum dipandang jauh sebagai suatu asas yang berbeda dengan prinsip kehati-hatian Precautionary Principle . Asas In dubio pro natura hanya dipandang sebagai pedoman untuk berpihak kepada lingkungan tetapi belum secara tegas didefinisikan lingkup penggunaannya, sehingga dapat terjadi ketidakasdilan, dan bahkan tujuan dari prinsip tersebut untuk berpihak kepada lingkungan dapat saja tidak terpenuhi Metode penulisan dalam skripsi ini adalah Yuridis Normatif. Oleh karena itu, didalam skripsi ini dimuat mengenai perbedaan asas In dubio pro natura dan prinsip kehati-hatian Precautionary Principle.
ABSTRACT
In examining and adjudicating environmental cases, judges must first understand the principles of environmental policy. In the Decree of Supreme Court Number 36 of 2013 contains the principle named In dubio pro natura which is contained in the discussion of the Precautionary Principle. Principle In dubia pro natura has been used as a judge consideration to punish PT. KALLISTA ALAM. However, when viewed in international documents and in their use in countries that have long used the principle of In dubio pro natura, there is a discrepancy with the use of this principle in Indonesia. In this thesis, it can be concluded that the principle of In dubia pro natura in Indonesia has not been considered as a different principle from Precautionary Principle. The principle of In dubio pro natura is only seen as a guideline for siding with the environment but has not explicitly defined the scope of its use and even the purpose of that principle may be unfulfilled. The method of writing in this thesis is Juridical Normative. Therefore, in this thesis is published about the difference of principle In dubio pro natura and Precautionary Principle Precautionary Principle.
2017
S68756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>