Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Era Meiwanti
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi komparasi agenda pemberitaan mengenai isu lingkungan diberbagai media cetak sehubungan dengan berkembangnya fenomena ekonomi politik global dewasa ini.
Pemberitaan mengenai isu lingkungan dijadikan sebagai parameter yang akan dihitung secara kuantitatif dalam menunjang keseluruhan interpretasi kualitatif yang dilakukan penulis. Sedangkan perumusan tesis ini menggunakan data sekunder yang diambil dari berbagai pusat data media cetak harian sebagai data penunjang dari analisa kualitatif dan interpretasi data berdasarkan beberapa literatur.

Adapun tujuan dari pembahasan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) pola agenda pemberitaan isu lingkungan di 3 media cetak harian periode tahun 1994 - 1995 sebagai fenomena ekonomi politik global; (2) pengaruh pemberitaan isu lingkungan di 3 media cetak harian terhadap pelaksanaan manajemen lingkungan; (3) perbandingan isi pemberitaan tentang isu lingkungan antara 3 media cetak harian yaitu KOMPAS, Suara Karya dan The Jakarta Post; (4) tingkat dominasi dari lima katagori berita lingkungan yang dijadikan parameter canton dari berbagai katagori yang umum digunakan pada 3 media cetak harian selama periode tahun 1994 sampai 1995; (5) gambaran tentang fenomena ekonomi politik global yang terbentuk melalui adanya pemberitaan isu lingkungan di 3 media cetak harian tersebut; (6) keterkaitan antara agenda pemberitaan isu lingkungan pada media cetak harian dengan pelaksanaan manajemen lingkungan dan pola sustainable development di era ekonomi politik global.

Hasil analisa data dari perhitungan kuantitatif, diketahui bahwa terdapat dominasi pemberitaan mengenai nuklir pada media cetak harian The Jakarta Post dan Suara Karya. Sedangkan pada media cetak Kompas didominasi oleh pemberitaan lingkungan yang berkaitan dengan peraturan-peraturan dibidang lingkungan hidup.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pentingnya peran media cetak sebagai saluran transformasi informasi dan alat persuasi yang membentuk sistem ekonomi politik global akan terwujud, apabila faktor-faktor yang mempengaruhi agenda pemberitaan sebuah media dapat diperkecil. Disini, kewenangan kepemilikan, kekuasaan, kualitas sumber daya, dan sistem pers yang dianut menjadi titik tolak terlaksananya fungsi media cetak dalam manajemen lingkungan.

1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiandriatmoko
Abstrak :
ABSTRAK Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001) dirasa perlu diterapkan antara lain karena: a) globalisasi perdagangan dunia menumbuhkan perhatian pada lingkungan global; b) kompetisi perdagangan dunia menimbulkan kebutuhan agar lingkungan tidak menjadi "hambatan non-tarif" (non-tariff barrier); c) tuntutan konsumen akan produk yang ramah lingkungan; d) kesadaran dan kepedulian pelaku industri terhadap pentingnya perlindungan lingkungan dan kesinambungan fungsi lingkungan. Lingkungan yang telah diakui secara internasional. Tujuan utama sistem ini ialah continual improvement, yaitu suatu rangkaian tindakan perbaikan guna mencapai kemajuan yang terus menerus dan berkesinambungan demi tercapainya kinerja manajemen lingkungan yang optimal. PT KRAKATAU STEEL dengan clta-citanya sebagai "industri baja kelas dunia" telah memutuskan untuk mengusahakan akreditasi ISO 14001, dengan tujuan untuk memperoleh peluang pasar yang semakin luas bagi produknya dan memperbaiki kinerja manajemen lingkungannya. Pelaksanaan program akreditasi ISO 14001 di PT KRAKATAU STEEL dikoordinasi oleh Divisi Pengendalian Lingkungan Industri (Divisi PLI) dengan bantuan seorang technical advisor (Dr. Michael Groves) dari PT QUALITEGH PERDANA, Jakarta. Tahap persiapan akreditasi telah dimulai sejak bulan Juni 1996, direncanakan pre-assessment pada bulan Maret 1997, dan main-assessment pada bulan Mei 1997. Sehubungan dengan program akreditasi tersebut, pada kondisi saat ini beberapa hal yang sangat menarik untuk diteliti ialah: a) Sejauhmana Sistem Manajemen Lingkungan yang sudah diterapkan PT KRAKATAU STEEL tersebut telah sesuai dengan standar ISO 14001 seperti diarahkan dalam "General Guidelines on Principles, System and Supporting Techniques" (ISO 14004); b) Kendala apa yang mempengaruhi tercapainya kesesuaian tersebut; c) Manfaat apa yang dapat diperoleh apabila penerapannya telah sesuai dengan standar ISO 14001. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah: 1. Mengecek sejauhmana kesesuaian Sistem Manajemen Lingkungan yang diterapkan di PT KRAKATAU STEEL dengan standar 1SO 14001. 2. Menelaah kendala yang mempengaruhi pencapaian kesesuaian seperti tersebut pada poin 1 di atas. 3. Menelaah manfaat yang dapat diperoleh apabila Sistem Manajemen Lingkungan yang telah diterapkan PT KRAKATAU STEEL telah sesuai dengan standar ISO 14001. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus mengenai penerapan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 di industri baja terpadu PT KRAKATAU STEEL, dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, Selain metode deskriptif kualitatif, dalam penelitian ini juga digunakan metode kuantitatif, yaitu dengan memberi pembobotan dan persentase untuk menilai hasil penelitian deskriptif kualitatif. Kuantifikasi dilakukan dengan memberi nilai atau jastifikasi menurut proses benchmarking, yaitu proses pengukuran yang sistematis dan berkesinambungan. Proses ini mencakup proses mengukur dan membandingkan secara berkesinambungan antara proses bisnis suatu organisasi dengan proses bisnis organisasi lain yang paling berhasil di seluruh dunia, dengan tujuan mendapatkan informasi bagi upaya perbaikan kinerja organisasi tersebut (Watson, 1996:3). Dalam kaitannya dengan studi ini, maka proses manajemen lingkungan PT KRAKATAU STEEL diukur dan dibandingkan dengan tolok ukur manajemen lingkungan seperti yang disyaratkan dalam General Guidelines (ISO 14004). Dalam penelitian ini ditempuh cara-cara sebagai berikut: 1. Menyusun matrik checklist Sistem Manajemen Lingkungan (Lampiran 1). Pengisian matrik ini dilakukan berdasarkan wawancara dengan anggota Komite ISO 14001 PT KRAKATAU STEEL. 2. Jawaban dalam checklist ini selanjutnya digunakan sebagai pedoman . untuk melakukan observasi lapangan maupun observasi dokumen dengan tujuan mengetahui kesesuaiannya. 3. Hasil observasi lapangan maupun observasi dokumen mengenai kesesuaian tersebut, kemudian dideskripsikan untuk diberi nilai. 4. Terhadap elemen-elemen yang belum sesuai, dilakukan identifikasi mengenai kendala yang mempengaruhi pencapaian kesesuaiannya. 5. Menganalisis manfaat yang dapat diperoleh seandainya elemen yang diterapkan tersebut telah sesuai dengan standar ISO 14001. Adapun pemberian nilai dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 mempunyai lima klausul yang berkedudukan sama pentingnya, sehingga masing-masing klausul diberi bobot dengan nilai maksimum yang sama yaitu 100%. 2. Sesuai dengan EMS - General Guidelines (ISO 14004), dan EMS - Specification with guidance for use (ISO 14001) masing-masing klausul di atas memiliki sejumlah elemen yang harus diperhatikan dalam praktik penerapan Sistem Manajemen Lingkungan. Banyaknya jumlah elemen dalam satu klausul, tergantung pada banyaknya isu yang harus diperhatikan dalam klausul tersebut. 3. Nilai maksimum masing-masing elemen diperoleh dari hasil pembagian nilai maksimum tiap klausul (100%) dengan banyaknya elemen dalam tiap klausul. 4. Masing-masing elemen diberi kisaran nilai dari 0 sampal dengan nilai maksimumnya. Tiap elemen yang dinilai memiliki kedudukan dan kepentingan yang sama. 5. Seberapa besar persentase kesesuaiannya ditentukan melalui cara membandingkan hasil observasi lapangan dan observasi dokumen dengan arahan General guidelines (ISO 14004). Bila kesesuaiannya penuh diberi nilai maksimum, bila kurang dari nilai maksimumnya atau memiliki nilai berkisar antara 0 s/d nilai maksimumnya, maka penerapan elemen tersebut belum sesuai dengan General Guidelines ISO 14004. Gambaran mengenai seberapa jauh Sistem Manajemen Lingkungan yang diterapkan PT KRAKATAU STEEL telah sesuai dengan standar ISO 14001 dapat dilihat pada tabel benchmarking dibawah ini. Dari nilai masing-masing klausul diatas apabila dirata-ratakan, maka didapatkan nilai: 90% + 85% + 80% +100% + 100% = 91% Adapun kendala yang mempengaruhi pencapaian kesesuaian, dan manfaat yang dapat diperoleh apabila penerapan Sistem Manajemen Lingkungan telah sesuai dengan standar ISO 14001, ialah sebagai berikut. 1. Klausul Kebijakan Lingkungan. Kendala: Substansi dari pernyataan Komitmen dan Kebijakan Lingkungan belum dikomunikasikan secara memadai karena belum mendalamnya pemahaman terhadap substansi Sistem Manajemen Lingkungan. Manfaat: Apabila dikomunikasikan secara memadai, diharapkan "jiwa" dari Komitmen dan Kebijakan Lingkungan dapat mengakar, tumbuh dan berkembang menjadi budaya pada setiap karyawan, dan kinerja manajemen Lingkungan di PT KRAKATAU STEEL senantiasa terbangun dan terperbaiki secara berkesinambungan. 2. Klausul Perencanaan. a. Peraturan dan persyaratan terkait. Kendala: Identifikasi peraturan perundang-undangan yang terkait belum sampai pada ketentuan yang berkait langsung dengan kegiatan perusahaan. Manfaat: Apabila diidentifikasi sampai pada bab, pasal, dan ayat yang berkait langsung dengan kegiatan perusahaan, akan memudahkan melakukan evaluasi pentaatannya dan melakukan pelacakannya seandainya terjadi pelanggaran. b. Tujuan dan sasaran lingkungan. Kendala: Masih banyak tujuan dan sasaran lingkungan yang tidak jelas didefinisikannya dan tidak dirumuskan secara kuatitatif. Manfaat: Apabila dirumuskan secara kuantitatif dan jelas didefinisikannya, maka akan memudahkan mengukur progressnya dan mengevaluasi pencapaiannya. 3. Klausul Penerapan dan Pelaksanaan. a. Struktur dan pertanggungan jawab. Kendala: Sebagian besar karyawan masih mempunyai persepsi bahwa permasalahan lingkungan hidup adalah tugas dan tanggung jawab Divisi Pengendalian Lingkungan Industri (Divisi PLI). Manfaat: Apabila persepsi tersebut dihilangkan, maka diharapkan akan tumbuh dan berkembang kepedulian karyawan untuk secara proaktif menyelesaikan permasalahan lingkungan di area kerjanya. b. Pelatihan, penyadaran dan kompetensi. Kendala: Pengingatan dan penegasan kembali pernyataan Komitmen dan Kebijakan Lingkungan belum dinyatakan dalam prosedur. Manfaat: Apabila dinyatakan dalam prosedur, maka diharapkan substansi pernyataan Komitmen dan Kebijakan Lingkungan akan semakin dipahami dan dijiwai, sehingga kesadaran dan kompetensi karyawan terhadap perlindungan lingkungan selalu berkembang semakin mantap. c. Komunikasi. Kendala: Prosedur-prosedur manajemen lingkungan kurang intensif dikomunikasikan. Manfaat: Apabila intensif dikomunikasikan, maka diharapkan penerapan dan pelaksanaan prosedur tersebut akan lebih efisien. d. Dokumentasi Kendala: Tatacara pengendalian pelaksanaan belum diformulasikan dalam prosedur. Manfaat: Apabila dituangkan dalam prosedur, maka pelaksanaan pengendalian akan lebih konsisten. Jadi dapat disimpulkan bahwa sesuai deskripsi diatas, menunjukkan ada tujuh elemen yang belum sesuai penerapannya atau masih mengalami kendala dalam praktik penerapannya. Padahal apabila kendala tersebut dapat diatasi maka akan dapat diperoleh manfaat daripadanya. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan di PT KRAKATAU STEEL 91% secara formal telah sesuai dengan standar ISO 14001. Nilai 91% ini bukan merupakan gambaran bahwa kualitas lingkungan di PT KRAKATAU STEEL telah baik, juga bukan merupakan jaminan bahwa manajemen lingkungan PT KRAKATAU STEEL telah baik. Apabila ingin mengetahui seberapa jauh praktik penerapan Sistem Manajemen Lingkungan telah berhasil memperbaiki kualitas lingkungan, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan topik 'Evaluasi atau Audit Sistem Manajemen Lingkungan". Sampai saat penelitian ini selesai dilakukan, program manajemen lingkungan baru rampung ditetapkan sebagai sistem dan dalam praktiknya belum terlaksana seluruhnya, sehingga seberapa jauh penrapaian program-program tersebut juga belum dapat diketahui.
ABSTRACT The Implementation Of Environmental Management System Iso 14001 In PT. Krakatau Steel Integrated Steel IndustryThe Environmental Management System ISO 14001 needs to be implemented becauseof the followingreasons: a) Worldtrade globalizationraised attentions to global environmental issues; b) World trade competition to raises the needs to present environment becoming a ?non tariff barrier"; c) Consumers demand for environmental friendly products; d) Rising awareness and concern of industrialists towards the importance of environmental protection and the maintenance of sustainable environmental function. ISO 14001 is one of Environmental Management System models which is internationally accredited. The main purpose of this system is "continual improvement", consisting of a series of improved action to achieve continuous and sustainable improvement for reaching optimal environmental management. PT KRAKATAU STEEL in reaching its goal as "world class steel industry" has decided to obtain ISO 14001 accreditation for the purpose of obtaining larger market opportunity and improved environmental management performance. The implementation of ISO 14001 accreditation programmed in PT KRAKATAU STEEL is coordinated by the Industrial Environment Controlling Division, with assistance of a technical advisor (Dr. Michael Groves) of PT QUALITECH PERDANA, Jakarta. The preparatory stage of this programmed has started in June 1996, followed by pre-assessment in March 1997 and continued with the main-assessment in May 1997. Related to the accreditation programmed. at present, it is very interesting to study: a) How far is the Environmental Management System applied by PT KRAKATAU STEEL in accordance with the ISO 14001 standard as directed in "General guideline on principles, system, and supporting techniques (ISO 14004); b) What are the obstacles influencing its achievements; c) What are the advantages if its implementation is in accordance with ISO 14001 standard. Based on the above points, the objectives of this study is as follows: 1. to identify to what extent the Environmental Management System currently implemented by PT KRAKATAU STEEL, is in accordance with ISO 14001 standard; 2. to study what obstacles are influencing the achievement of the standard adjustment; 3. to study what advantages can be gained if the Environmental Management System is implemented by PT KRAKATAU STEEL follows ISO 14001 standards. This study constitutes a case study focusing on the implementation of ISO 14001 Environmental Management System in PT KRAKATAU STEEL integrated steel industry, using descriptive and qualitative methodology. In addition to the method, this study also uses the quantitative method by giving weightings and percentage measurements to evaluate its results. Quantification is used by providing values based on benchmarking process, i.e. a systematic and continuous measuring process, which covers measuring and comparing processes with successful business organizations in the world. Its purpose is to obtain information's on the performance work of the organization (Watson, 1996:3). In this study, the process of environmental management in PT KRAKATAU STEEL is measured and compared with environmental management criteria as stipulated in the General guidelines (ISO 14004). The stages of this study are as follows: 1. Arrange the checklist matrices of Environmental Management System (Appendix 1). This matrices are used to access whether the elements of Environmental Management of ISO 14001 standards have been implemented in PT KRAKATAU STEEL. The content of this matrices is given based on interviews with Committee members of ISO 14001 of PT KRAKATAU STEEL. 2. The results of this checklist are used as guideline to conduct field and document observation in order to access its compliance. 3. Its compliance will be described and provided with values. 4. For elements that deviate the identification of obstacles are carried out accordingly. 5. Analyse the advantages the gains that can be obtain if the elements implemented are in accordance with 1SO 14001 standards. Methods ways of assessment or justification are as follows: 1. The ISO 14001 Environmental Management System has five clauses; that's having equal significant status. to each clause which is provided with the maximum value of 100%. 2. Based on Environmental Management System - General Guidelines on Principles, System and Supporting Techniques (ISO 14004) and Environmental Management System - Specification with Guidance for Use (ISO 14001), each of the above clause has several elements that should be considered in implementing Environmental Management System. The number of elements in each clause depends on the issues that should be considered in that clause. 3. The maximum value for each element is obtained by dividing the result of maximum value of each clause (100%) the number of elements of the respective clause. 4. Each element is given a value range of zero up to the maximum value and each measured element has the same position and interest. 5. The compliance percentage is determined by comparing the results of field and document observation based on the General Guidelines (ISO 14004). If the adjustment is fully reached, it obtains a maximum value, and if the adjustment is not reached it means that it does not conform with the General Guidelines ISO 14004. The illustration of Environmental Management System implemented by PT KRAKATAU STEEL which is accordance with the ISO 14001 standard can be seen at the following benchmarking table: Based on the values, the average value is calculated as follows: 90% + 85% + 80% + 100% + 100%=91% The obstacles and advantages that influence the ISO 14001 standard compliance are as follows: 1. The Environmental Policy clause. Obstacles: The substance of environmental commitment and policy is not adequately communicated, due to lack of complete knowledge concern of the substance of Environmental Management System. Advantaqes: if adequately communicated, it is expected that the "moral duty" of environmental commitment and policy will be deeply rooted, grow and develop as a way of life of each employee, environmental management in PT KRAKATAU STEEL will be established and improved continuously. 2. The clause of Planning. a. Legal and other requirements. Obstacles: Identification of legal and other requirements do not specifics details that has direct correlation to the company activity. Advantages: If identification could be specified to the chapter, article and clause, it would be easier to assess compliance and to conduct investigations should any violation occur. b. Environmental objectives and targets. Obstacle: There are still many objectives and targets that are not clearly defined and quantitatively formulated. Advantages; If the objectives and target are formulated quantitatively and defined clearly; it would be easier to measure its progress and evaluate its achievement. 3. The Implementation and Operation. a. Structure and responsibility. Obstacles: Some of the employees have still the perception that "environmental issues" are basically the duty and responsibility of the Industrial Environment Control Division. Advantages: If such perception could be minimised, it can be expected that .the employees is concern could grow and develop to enable them proactively solve the environmental issues in their working area. b. Training, awareness and competence. Obstacles: Reminders and reiterations of environmental commitment and policy statement are not yet stipulated in procedures. Advantages: If it is contained in the procedures, the substance of environment commitment and policy will be understood and inspiring, so that the awareness and competency of the employees towards the environmental will always be improved. c. Communication. Obstacles: -Procedures of environmental management are not yet intensively communicated. Advantages: If it is intensively communicated, implementation and operation of the procedures will be more efficient. d. Documentation. Obstacles: The control operation procedure are not yet formulated in the handbook.Advantages: If it is included in the handbook, the implementation of operation control will be more consistent. It can be concluded that based on the above description, there are seven obstacles which are not settled or constraints in the implementation of Environmental Management System in PT KRAKATAU STEEL. If these obstacles can be overcome, it will improve the quality of Environmental Management System. The implementation of Environmental Management System in PT KRAKATAU STEEL achieves for 91 % is the standards as set in ISO 14001. This value (91%) does not mean that environmental quality at PT KRAKATAU STEEL can be categorized as already good. It does also not assure that environmental management of PT KRAKATAU STEEL can be categorised as good. To measure how far the implementation of Environmental Management System is successful in improving the quality of the environment, it is necessary to conduct a follow-up study focussing on the "evaluation of the Environmental Management Systems auditing". Until this study is completed, the evaluation of the Environmental Management System can only be limited to the compliance of its system which is the focus of this study to ISO 14001 guidelines. E. Literature: 30 (1988-1996).
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairuddin Hasyim
Abstrak :
ABSTRAK Seiring dengan makin meningkatnya kegiatan pertambangan batubara di Indonesia yang ditetapkan sebagai primadona ekspor tahun 2000 dan juga sebagai energi alternatif pengganti migas, diikuti pula dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkannya, maka pengelolaan lingkungan di pertambangan batubara perlu mendapat perhatian khusus. Permasalahan yang muncul pada pengelolaan lingkungan di pertambangan batubara terutama berkaitan dengan kegiatan pengelolaan air limbah, pengelolaan debu, pelaksanaan reklamasi, revegetasi dan pertumbuhan tanaman. Hal ini terlihat dengan banyaknya tanggapan yang muncul di media massa. Salah satu kegiatan dalam dokumen AMDAL adalah Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang pelaksanaannya sudah berjalan 9 tahun sejak penelitian ini dilakukan. Kegiatan Pertambangan Batubara dengan kapasitas produksi ~ 200.000 ton/ tahun merupakan salah satu kegiatan wajib AMDAL pada Bidang Pertambangan Umum dan Energi yang juga sebagai salah satu objek Pemantauan Lingkungan (RKL dan RPL) yang dipantau oleh Direktorat Pertambangan Umum. Pada tahun 1995/1996 di Indonesia terdapat 62 buah Perusahaan Tambang Batubara yang telah mempunyai dokumen AMDAL (RKL dan RPL), 16 perusahaan diantaranya telah dilakukan pemantauan secara rutin oleh Direktorat Teknik Pertambangan Umum melalui PIT sejak tahun 1994/1995. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelaksanaan pengelolaan lingkungan di tambang batubara sesuai RKL dan RPL. Secara khusus untuk melihat seberapa jauh kebijakan, organisasi dan personalia, ketersediaan sarana, prasarana dan biaya berkaitan dengan pengelolaan lingkungan di tambang batubara, serta hubungannya dengan pelaksanaan RKL dan RPL. Hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan pada berbagai pihak terutama untuk meningkatkan kinerja pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah crossectional. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Sampel adalah total populasi yaitu 16 tambang batubara yang dipantau secara rutin sejak tahun 1994- 1996 oleh Pelaksana Inspeksi Tambang (PIT). Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner Kepala Teknik Tambang tahun 1996, isi kuesioner mencakup variabel independen berkenaan dengan kebijakan, organisasi dan personalia, prasarana, sarana, dan biaya. Data sekunder diperoleh dari laporan rutin dari pemrakarsa, dan laporan tahunan dari hasil pemantauan PIT tahun 1994-1995. Untuk melihat besaran masalah dilakukan analisis persentase dan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen digunakan uji statistik Fisher Exact Test (2-tailed) pada a = 0,1. Hasil yang diperoleh ; 1) pelaksanaan pengolahan air limbah, reklamasi dan revegetasi umumnya belum berjalan dengan baik, sedangkan pengelolaan debu dan pertumbuhan tanaman sudah baik. 2) Penyusunan RTKL dan penyampaian laporan rutin umumnya sudah baik. 3) Secara kuantitas tenaga yang tersedia sudah baik tetapi kualitas tenaga ahli yang tersedia masih kurang. 4) Sebagian besar perusahaan telah mempunyai sarana pengolahan air limbah dan debu serta bibit tanaman yang cukup, tetapi sarana untuk pengambilan sampel masih kurang. Umumnya biaya yang tersedia untuk pengelolaan lingkungan masih terbatas. 5) Dari hasil uji statistik terlihat bahwa Penyampaian laporan rutin (kebijakan) berhubungan dengan pengelolaan air limbah (p-value 0,063), 6) Status tenaga ahli (organisasi dan personalia) berhubungan dengan pertumbuhan tanaman dan pengelolaan air limbah (p-value 0,040 dan 0,063). Masa kerja kepala teknik tambang berhubungan dengan pengelolaan debu (p-value 0,025). 7) Kelengkapan Sarana dan prasarana berhubungan dengan pengelolaan air limbah (p-value 0,088). Ketersediaan biaya berhubungan dengan pengelolaan debu (p-value 0,063). Dari hasil etudi ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan belum sesuai dengan RKL dan RPL yang telah disepakati, terutama pada kegiatan pengelolaan air limbah, pelaksanaan reklamasi dan revegetasi. Untuk terlaksananya pengelolaan lingkungan sesuai RKL dan RPL di tambang batubara perlu perhatian khusus terhadap variabel yang mempunyai daya ungkit besar seperti penyampaian laporan rutin, ketersediaan tenaga ahli, dan pengalokasian biaya.
ABSTRACT The Implementation of Environmental Management and Monitoring Plans (RKL and RPL) in A Coal Mine (An Evaluation Study of 16 Coal Mining Enterprises in Indonesia)In line with the ever increasing coal mining activities in Indonesia, which was determined as the primadona to produce export commodity by the year 2000, therefore, environmental management in the coal mining areas need special attention. It became imperative, since coal is the energy alternative replacing oil gas and the cause of environmental pollution that followed during the mining activities. The issue emerged in environmental management in coaltation management activities. Such can be seen in the many responses emerging in the mass media. One of the activities in the AMDAL Document is the RKL (Environmental Management Plan) and RPL (Environmental Monitoring Plan), the implementation of which, took place some 9 years since this study was carried out. Coal mining activities which a production capacity >200.000 tons per year constitutes one of the activities that needs an AMDAL study in the field of General and Energy Mining. It is also an object of Environmental Monitoring and Management Plans that are monitored by the General Works Directorate. In 1995/1996 there were in Indonesia some 62 coal mining enterprises that have already AMDAL documents (RKL and RPL). Sixteen of them were monitored routinely by Technical Directorate of General Mining by way of PIT since 1994/1995. The objectives of this study are to know the factors that influence the level of Environmental Management implementation at the coal mine, in accordance with the pre-scribed RKL and RPL. Specifically, it is to see how far the policy, organization and personalia, availability of infra-structure and cost that relate to environmental management in the coal mine and interactions with the implementation of RKL and RPL. The result expected is to provide input to the various parties, especially to increase the activities in environmental management and monitoring. The design of this study is cross-sectional. This study is descriptive in nature. The sample taken is the total population, namely 16 coal mines that are routinely monitored since'1994-1996 by the Mining Inspection Implementor (PIT). The data collected covers primary and secondary data. Primary data was obtained from the responses of the 199S mining technical, chief questionnaires. The questionnaire content includes independent variables relating to policies, organization and personalia, infra-structure and facilities and cost. Secondary data was obtained from routine reports of proponent and annual report of PIT's monitoring results of 1994-1995. To get the issues' magnitude, thence, percentage analysis was undertaken. To see the association between dependent and independent variables, the Fisher Exact Test (2-tailed) was used at alpha = 0,1. The results obtained were: 1) The implementation of waste water processing, reclamation and revegetation, in general, do not yet run properly, whereas dust and greenery growth management is good. 2) The formulation of Annual Environmental Management Plan (RTKL) and routine report submission is good. 3) Quantitatively, available manpower is good, but the qualities of available expertise are meager. 4) The majority of enterprises have waste water and dust processing plans as well as sufficient plant seedlings, but the means of sample takings are still wanting. In general, the available fund for environmental management is still limited. 5) Statistical tests showed that routine report (policy) submission is associated with waste water management (p-value 0,063). 6) expertise status (organization and personalia) are associated with greenery growth, and waste water management (p-value 0,040 and 0,008), mining technical chief working years' duration is associated with dust management (p-value 0,025). 7) Infrastructure and facilities' completeness are associated with waste water management (p-value 0,086), availability of funds is associated with dust management (p-value 0,063). From the results of this study, it can be concluded that environmental management and monitoring implementation is not yet in accordance with RKL and RPL already agreed upon, especially in the waste water management, implementation of reclamation and revegetation. The realization of environmental management as stated in the RKL and RPL in the coal mine, special attention need be given to wards the variable has the greatest lever power like routine report submission, availability of expertise and fund allocation.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Dyah Ayu Mustika Rini
Abstrak :
Bekerjasama dengan CCAI, Laundry KDS berkomitmen untuk menjadi pelopor green economy UMKM. Laundry KDS telah mengolah limbahnya dengan IPAL sederhana. Efluen IPAL memenuhi baku mutu Kepmenlh 112/2003 dan berpotensi untuk didaurulang dengan unit pengolahan lanjutan seperti kolom adsorpsi GAC. Penelitian ini bertujuan untuk merekomendasikan desain kolom yang sesuai. Metode penelitian meliputi uji isotherm untuk mengetahui konstanta isotherm Kf, 1/n, dan carbon usage rate (CUR) teoritis untuk adsorpsi senyawa KMnO4 dengan pemodelan Freundlich dan metode uji kolom untuk mengetahui bed life. Diperoleh nilai Kf, 1/n, dan CUR sebesar 1,1246 (mg/g)(L/mg)1/n, 0,175, dan 56,6 gram/L. Uji kolom dilakukan selama 10 jam. Konsentrasi KMnO4 efluen melebihi baku mutu hampir pada jam ke 5 setelah mengolah air sebanyak 15700 ml. Desain kolom skala lapangan adalah berupa pipa berdiameter 12 inchi sebanyak 4 kolom, masing-masing setinggi 100 cm untuk mengolah efluen IPAL sebanyak rata-rata 10 liter per menit dengan 130 kg GAC dan bed life selama 29 minggu atau 10 bulan. Artinya setiap 7 bulan sekali, GAC di dalam kolom perlu diregenerasi. ......Laundry KDS treats its waste water with a simple Sewerage Treatment Plant (STP). The quality of STP effluent is as the standard of Kepmenlh 112/2003 and potentially recycled by adding an advanced treatment like adsorption column using GAC. This final project aims to recommend the proper column design. The methods cover isotherm test to determine Kf,1/n, and teoritical carbon usage rate (CUR) to adsorb KMnO4 using Freundlich modeling, and column test to predict the bed life. It found Kf, 1/n, and CUR are 1.1246 (mg/g)(L/mg)1/n, 0.175, and 56.6 gram/L respectively. The column test is carried out for 10 hours. The concentration of KMnO4 of the pilot column effluen sample is higher than the maximum standard at the fifth hour after treating 15000 ml of volume. The full-scale column design is made up of pipe that is 12 inch in diameter. There are 4 column with 100 cm in height respectively to treat 10 liter per minutes of STP effluent with 130 kg of GAC and bed life 29 weeks or 7 months. It means the GAC has to be regenerated once in every 7 months.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S52755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risha Novriana T.
Abstrak :
Sebagai salah satu komponen sistem transportasi, terminal merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi. Terminal merupakan tempat dimana penumpang masuk dan meninggalkan lokasi serta mempunyai peran penting untuk pengendalian dan pengaturan sistem pelayanan angkutan umum. Permasalahan yang terjadi di terminal adalah terjadinya kondisi antrean bus yang sedang menunggu penumpang pada lajur bus terminal. Dampak yang diakibatkan oleh kondisi antrean tersebut adalah meningkatnya emisi gas buang kendaraan bermotor. Salah satu emisi gas buang kendaraan bermotor yang berbahaya dan sulit dikendalikan adalah polutan NOx yang terdiri dari polutan NO dan polutan NO2. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap konsentrasi NOx pada udara ambien di sekitar lajur bus terminal. Metode yang digunakan untuk pengukuran konsentrasi NOx adalah metode Griess Slatzman sesuai dengan SNI 19-7119.2-2005. Hasil penelitian menunjukkan jenis kendaraan berbahan bakar gas memiliki kontribusi terkecil dalam mempengaruhi besarnya nilai konsentrasi NOx yang terukur di lajur bus terminal blok-m. Nilai korelasi hubungan antara volume bus terhadap konsentrasi NOx sebesar 0,055 – 0,856. Hasil tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara volume bus dengan konsentrasi pencemar udara (NO dan NO2) bernilai sangat lemah hingga kuat. Nilai konsentrasi NOx yang terukur berada di bawah baku mutu 400 μg/m3. Nilai RQ hasil perhitungan menunjukkan para pemilik kios yang berada di lajur bus masih berada dalam tingkat risiko yang cukup aman. ......As one component of the transportation system, terminal represents a nodal point in transportation network. Terminal is a place where passengers enter and leave the site as well as having an important role for the control and regulation of public transport service system. The problems that occur in the terminal is the condition of the bus queue for waiting the passengers at the bus lanes. Impact caused by the condition of the queue is increasing exhaust emissions of motor vehicles. One of the exhaust emissions of motor vehicles which is dangerous and difficult to control is NOx pollutants, consisting of NO and NO2. Therefore, it is necessary to study the NOx concentration in the ambient air around the terminal bus lanes. The method used for measuring the concentration of NOx is Griess Slatzman method in accordance with SNI 19-7119.2-2005. The results showed the type of gas-fueled vehicles have the smallest contribution in influencing the value of the NOx concentration measured in bus lanes Terminal Blok M. Value of the correlation relationship between the volume of buses and NOx concentration is 0,055 – 0,856. The results showed that the correlation between the volume of buses with air pollutant concentrations (NO and NO2) is worth very weak to strong. NOx concentrations measured values were well below the standards 400 μg/m3. RQ value calculation results indicate that the stall owners were in the bus lane is still in a fairly safe level of risk.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46077
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati Caesaria
Abstrak :
Timbulan limbah padat yang terus meningkat serta minimnya lahan TPA mendorong timbulnya upaya untuk mengatasi masalah persampahan, salah satunya dengan Extended Producer Responsibility (EPR) dimana tanggung jawab produsen diperluas hingga tahap post-consumer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi reduksi sampah kemasan di apartemen dengan diterapkannya konsep EPR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata timbulan sampah di Apartemen Gardenia Boulevard dan Kalibata Residence adalah 0,226 dan 0,342 kg/orang/hari atau sebesar 2,746 dan 2,687 liter/orang/hari, dengan sampah kemasan sebesar 63,5% dan 43,7% dari total limbah padat anorganik yang dihasilkan.Rekomendasi mekanisme pelaksanaan konsep EPR yang sesuai untuk Apartemen Gardenia Boulevard adalah melakukan penarikan kembali produk dan/atau kemasan yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse dan recycle oleh produsen. Sedangkan untuk Apartemen Kalibata Residence pelaksanaan EPR akan memanfaatkan lapak disekitar lokasi untuk selanjutnya disalurkan ke pabrik daur ulang. Dengan diterapkannya konsep EPR kemasan di Apartemen Gardenia Boulevard dan Kalibata Residence dapat mengurangi timbulan limbah padat anorganik yang dibawa ke TPST Bantar Gebang yaitu sebesar 55,2% dan 50,2%.
The continously increasing solid waste generation and lack of landfill area encourage efforts to tackle the waste problem. This includes Extended Producer Responsibility (EPR) where a producer?s responsibility for a product is extended to the post-consumer stage of the product?s lifecycle, including its final disposal. This study aims to determine the reduction potential of packaging waste in apartment with the implementation of EPR concept. The results showed that the rate of waste generation in Gardenia Boulevard and Kalibata Residence is 0.226 dan 0.342 kg/person/day or 2.746 dan 2.687 liters/person/day, respectively, in which the packaging waste is 63.5% and 43.7% of the total inorganic solid waste generated. Recommendation mechanism for EPR concept in Gardenia Boulevard is product/waste collection in the post-consumer stage and then managing with reuse and recycle. Whereas in Kalibata Residence, retailer close to building will accept packaging waste to convey it afterwards to recycling plant. The implementation of EPR concept in Gardenia Boulevard and Kalibata Residence can reduce the generation of inorganic solid waste brought to Bantar Gebang landfill by 55.2% and 50.2%.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46343
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Tattya Lokhita Adnyaswari Kartika
Abstrak :
Kualitas udara di dalam ruangan merupakan masalah yang sangat penting sehingga mulai mendapat perhatian dari masyarakat. Pencemaran udara dalam ruangan menempati peringkat kelima dalam masalah kesehatan di dunia. Salah satu polutan udara di dalam ruang yaitu bakteri dan jamur, yang dapat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, cahaya matahari dan kecepatan angin. Tingkat kelembaban 25-75% dapat meningkatkan pertumbuhan jamur. Ruang Senat Gedung Rektorat Universitas Indonesia diduga memiliki konsentrasi yang tinggi karena hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi jumlah bakteri dan jamur yang terdapat di udara di ruang senat di lantai sembilan, serta membandingkan kualitas udara di lantai tersebut dengan lantai dibawahnya yaitu lantai delapan. Metode yang dilakukan adalah dengan menggunakan Single Stage Multi Orifice Bioaerosol Sampler berdasarkan beberapa pedoman dari American Industrial Hygiene Association (AIHA) dan menggunakan media agar Tryptic Soy Agar untuk bakteri dan Malt Extract Agar untuk jamur sebagai tempat tumbuhnya. Dari penelitian ini didapatkan konsentrasi bakteri dan jamur di lantai Sembilan berturut-turut, yaitu pada rentang 301-3481 CFU/m3 dan 336-1944 CFU/m3. Untuk konsentrasi bakteri dan jamur di lantai delapan yaitu pada rentang 212-778 CFU/m3 dan 248-460 CFU/m3. Oleh karena itu diperlukan adanya pembersihan ruangan setiap harinya secara keseluruhan untuk mengurangi konsentrasi bakteri dan jamur. ...... Indoor air quality is a very important problem that began to receive attention from the public. Indoor air pollution is ranked fifth in the world in health problems. One of the indoor air pollutants is bacteria and fungi, which can be affected by temperature, humidity, sunlight and wind speed. Approximately, 25-75% humidity levels can increase fungal growth. The Senate Room, in the University of Indonesia Rector Building is suspected of having high levels bacteria and fungi concentration because it is only used at certain times. This study was conducted to determine the concentration levels of bacteria and fungi in the air contained in the nine floor, and compare the quality of it with the floor below. The method is the Single Stage Multi Orifice bioaerosol sampler based on a few guidelines from the American Industrial Hygiene Association (AIHA) and using the media of Tryptic Soy Agar for bacteria and Malt Extract Agar for fungi to test growth. From this study, the concentration of bacteria and fungi on the ninth floor, is in the range of 301-3481 CFU/m3 and 336-1944 CFU/m3. And the concentration of bacteria and fungi on the eighth floor is in the range of 212-778 CFU/m3 and 248-460 CFU/m3. Therefore, it is necessary to clean the whole room each day as to reduce the concentration of bacteria and fungi.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S53420
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Nilam Sari
Abstrak :
Rumah Sakit, yang merupakan salah satu fasilitas kesehatan bagi publik, tentu akan menghasilkan limbah, salah satunya adalah limbah cair. Limbah cair tersebut tentu harus diolah terlebih dahulu di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Rumah Sakit agar sesuai dengan baku mutu air limbah rumah sakit dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 1995. Namun demikian, dalam proses pengolahan air limbah, tidak dapat dihindari kemungkinan terlepasnya pencemar udara mikrobiologis (bioaerosol) ke udara sekitar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh proses pengolahan pada unit pengolahan penghasil bioaerosol serta parameter fisik udara terhadap konsentrasi bioaerosol, khususnya bakteri dan fungi, selama proses pengolahan air limbah. Hasil pengukuran yang didapatkan menunjukkan bahwa di IPAL Terpadu 1, konsentrasi bakteri tertinggi terdapat di bak aerasi, yaitu 17.385±10.044 CFU/m3 sedangkan konsentrasi fungi tertinggi terdapat di bak ekualisasi yaitu 2.968±1.349 CFU/m3; dan di IPAL Terpadu 2, konsentrasi bakteri tertinggi terdapat di bak ekualisasi, yaitu 6.784±4.198 CFU/m3 sedangkan konsentrasi fungi tertinggi terdapat di bak sedimentasi yaitu 2.544±899 CFU/m3. Hasil pengukuran tersebut melebihi ambang batas konsentrasi bioaerosol pemukiman yang digunakan sebagai acuan baku mutu lingkungan, yaitu konsentrasi bakteri sebesar 1.272 CFU/m3 dan fungi sebesar 388 CFU/m3. Tingginya konsentrasi bioaerosol dipengaruhi oleh beberapa parameter fisik udara. Parameter yang paling dominan memengaruhi mikroba tumbuh dan bertahan hidup di udara, yaitu temperatur dan Kelembaban udara. Untuk mencegah penyebaran bioaerosol yang berlebihan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar, diperlukan jarak penyangga IPAL RS dari lingkungan sekitar, yaitu lebih dari 50 meter. Selain itu, upaya pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah menanam tanaman pagar atau pepohonan di sekitar IPAL RS. ......Hospital, which is one of health facilities for public, will produce waste, such as wastewater. The wastewater must be processed at Hospital Wastewater Treatment Plant (WWTP) to comply with the hospital wastewater quality standard based on the Indonesia’s Ministry of Health Decree Number 58 at 1995. However, in the treatment process, it is inevitable for the possibility of microbial air pollutants (bioaerosol) released to surrounding air. The objective of this research are to study the effect of treatment processing in the unit where produced bioaerosol and the physical parameters to the concentration of bioaerosol, particularly bacteria and fungi, during the treatment processes. The measurement results show that in the Integrated WWTP 1, the highest concentration of bacteria is found in the aeration basin, which is 17.385±10.044 CFU/m3 while fungi concentration was the highest in the equalization basin which is 2.968±1.349 CFU/m3; and in the Integrated WWTP 2, the highest concentration of bacteria is found in the equalization basin, which is 6.784±4.198 CFU/m3 while fungi concentration was the highest in the sedimentation basin which is 2.544±899 CFU/m3. These measurements exceeds the threshold concentration of bioaerosol at residential area which used as a reference for environmental quality standards, which is the concentration of bacteria is 1.272 CFU/m3 and fungi is 388 CFU/m3. The high concentration of bioaerosol are affected by several physical parameters of air. The most dominant parameters that affect the microbial growth and survival in the air are temperature and humidity. To prevent excessive dispersion of bioaerosol that can cause negative impacts on the surrounding area, it is required some buffer distance from the hospital WWTP to surrounding environment, which is more than 50 meters. In addition, other preventive efforts are planting trees around the fence or surrounding the hospital WWTP area.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S54138
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Ragina B.
Abstrak :
ABSTRAK
Penggunaan air rumah tangga yang tinggi biasanya terjadi dalam sebuah kota metropolitan, seperti halnya kota Jakarta. Standar kebutuhan air domestik yang ditetapkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum adalah sebesar 126,9 liter/kapita/hari sementara standar kebutuhan air yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan adalah 150 liter/orang/hari. Menurut Kajian dan Verifikasi Cakupan Layanan Air Minum Perpipaan di DKI Jakarta Tahun 2009, tingkat konsumsi air rata-rata rumah tangga pelanggan PAM adalah sebesar 253,302 liter/orang/hari sampai 261,496 liter/orang/hari, sementara tingkat konsumsi air rata-rata rumah tangga yang bukan pelanggan PAM di wilayah DKI Jakarta adalah sebesar 204,698 liter/orang/hari. Penduduk miskin Jakarta mengalami peningkatan dari 51,24 ribu jiwa pada Maret 2011 menjadi 363,42 ribu jiwa, dibandingkan Maret 2010 yang hanya 312,18 ribu jiwa.Jumlah ini sekitar 3,75 % dari total penduduk Jakarta. Ironisnya di beberapa tempat warga kelas ekonomi menengah bawah terpaksa membeli air dengan harga mahal ataupun membuat sumur komunal karena tidak terlayani jaringan pipa air bersih atau PAM. Maka diperlukan data penggunaan air domestik pada rumah tangga kelas ekonomi menengah ke bawah dengan harapan dapat dijadikan dasar perbaikan layanan jaringan pipa air bersih. Melalui metode wawancara dengan menggunakan kuisioner diketahui pola penggunaan air rumah tangga kelas ekonomi menengah ke bawah kota Jakarta adalah mandi sebesar 193,89 liter/orang/hari, masak beras sebesar 2,66 liter/orang/hari, merebus bahan makanan sebesar 0,18 liter/orang/hari, minum sebesar 2,23 liter/orang/hari, mencuci pakaian sebesar 42,39 liter/orang/hari, mencuci peralatan makan sebesar 19,41 liter/orang/hari, mencuci kendaraan sebesar 3,87 liter/orang/hari, sehingga total penggunaan air rumah tangga kelas ekonomi menengah ke bawah di kota Jakarta adalah sebesar 264,64 liter/orang/hari. Dari seluruh data hasil sampling yang diolah dengan dengan metode korelasi dan regresi pada Ordinary Least Square didapatkan kesimpulan bahwa tingkat pendapatan tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaan air rumah tangga. Data dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber penggunaan air rumah tangga yang representatif terhadap kota Jakarta. Large quantities of household water consumption usually occurs in a metropolitan
ABSTRACT
city, as well as Jakarta. Standard domestic water requirements set by Kementrian Pekerjaan Umum is at 126.9 liters/capita/day while the standard water requirement established by the Departmen Kesehatan is 150 liters/person/day. According to the “Kajian dan Verifikasi Cakupan Layanan Air Minum Perpipaan di DKI Jakarta” in 2009, the average level of household water consumption using PAM amounted 253.302 liters/person/day to 261.496 liters/person/day, while the average level of water consumption of households that is not using PAM is equal to 204.698 liters/person/day. The amount of citizens with middle-low class of economy in Jakarta has increased from 51,240 in March 2011 to 363,420 inhabitants, compared to March 2010 is only 312.180. This amounts to about 3.75% of the total population in Jakarta. Ironically in some places middle-low economic class citizens forced to buy water at high prices or make a communal well as underserved water pipelines or PAM. Through interviews using a questionnaire method it is known the patterns of water usage in household with middle-low economic class in Jakarta. Water usage of shower is 193.89 liters/person/day, rice cooking by 2.66 liters/person/day, boiling food by 0.18 liters/person/day, drinking of 2.23 liters/person/day, washing clothes for 42.39 liters/person/day, washing dishes of 19.41 liters/person/day, washing vehicles at 3.87 liters/person/day, so the total water usege in household with middle-low economic classes in the city is amounted to 264.64 liters/person/day. The entire data sampling results was processed by the correlation and regression method in the Ordinary Least Squares. It is concluded that the level of income does not affect the use of household water significantly. The data in this study is expected to be a source of domestic water use that are representative of the Jakarta city.
2014
S53118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamala, A.
New Delhi: Tata McGraw-Hill, 1994
620.82 KAM e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>