Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustinus Tamo Mbapa
Abstrak :
Pemilihan Umum Legislatif I April 2004 merupakan babak baru dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Calon anggota legislatif yang meraih suara terbanyak tidak otomatis terpilih mewakili partai untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat, kecuali perolehannya melebihi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Pemilu legislatif 2004 yang menerapkan sistem proporsional daftar terbuka yang berbeda dengan pemilu 1999 merupakan bahan penelitian yang menarik karena sebagian besar calon anggota legislatif di Daerah Pemilihan DKI Jakarta II tidak mencapai angka BPP dan hanya satu orang yang mencapai angka BPP atas nama Dr. Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera. Calon yang tidak mencapai angka BPP akan dipilih berdasarkan nomor unit dan bukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Permasalahan pokoknya adalah bagaimana dampak sistem pemilu terhadap perolehan suara calon anggota legislatif untuk mendorong proses demokrasi di Indonesia serta faktor-faktor pendukung atau penghambat dalam pencapaian BPP di daerah pemilihan DKI Jakarta II. Menurut Dieter Nohlen bahwa pemilu (sistem pemilu) mempunyai misi keterwakilan,konsentrasi, efektivitas, partisipasi, tidak rumit dan legitimasi. Keterwakilan bagi seluruh kelompok minoritas dalam lembaga perwakilan rakyat bukan didominasi oleh alit partai dan adanya keadilan (fairness) sebagai representasi kekuatan kepentingan dan politik dalam lembaga perwakilan. Sistem pemilu harus mendorong meningkatnya kualitas legitimasi sebagai syarat demokrasi yang partisipatif. Berdasarkan permasalahan pokok penelitian tentang bagaimana dampak sistem pemilu terhadap perolehan suara calon anggota legislatif maka ditemukan hasil penelitian antara lain, calon anggota legislatif sangat sulit mencapai angka BPP karena pemilih lebih mudah mencoblos tanda partai dari pada mencoblos nama calon yang mengakibatkan perolehan suara partai lebih besar ketimbang suara calon. Kedua, penetapan angka BPP setiap daerah pemilihan yang jumlahnya sama antara BPP calon dan BPP Partai juga menjadi hambatan/menyulitkan caleg perempuan untuk mencapai angka BPP. Implikasi teori yang berkaitan misi pemilu (sistem pemilu)yang disarnpaikan Dieter Nohlen tentang perwakilan politik, tidak rumit, efektivitas, legitimasi nampaknya telah sesuai dalam pelaksanaan pemilu 2004. Teori Andrew Reynolds tentang Sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan menggunakan perhitungan BPP yang sudah diterapkan pada pemilu 2004 namun hal tersebut banyak merugikan caleg perempuan.
Legislative Election 1 April 2004 is a new phase of democracy in Indonesia. Candidate of legislative member who gets the highest voters is not automatically elected to represent his/her party in the legislative institution, except their voters are more than Voters Divide Number (Bilangan Pembagi Pemilih or BPP). The legislative election in 2004 which implements open list proportional system different from previous election is an interesting topic to be research because most of candidates in the electoral district can not achieve the number. The only candidate who achieves the number is Hidayat Nur Wahid from Prosperous Justice Party. Candidates who cannot achieve the number will be selected based on rank on the list from the party, and the result of each candidates will not be counted. The research question of the research is how is the impact of election system on candidate's voters to endorse democratic process in Indonesia. Other problem is the stimulating and obstacle factors in achieving BPP in the electoral district of DKI Jakarta II. According to Dieter Nohlen, election system has several missions of representative ness, concentration, effectiveness, participation, simple, and legitimate. Representative ness for all of minority groups in the representative house is not dominated by elite of political party and fairness as a power of interest and politics in the house. Election system should endorse the quality of legitimacy as a condition for democratic participation. Based on the problems, it is found that candidates are difficult to achieve the number because the voters are easier to choose symbol of political party rather that choose the name of candidates; therefore the result for political party is higher than candidates' result. Second, in fixing the number in every electoral district that its number is similar between BPP of candidate and political party is also the obstacle for women candidates to achieve it. Theoretical implication related to the mission of election system seems relevant with the implementation of election in 2004. The theory from Andrew Reynolds on open list proportional system using BPP has been implemented in the election; however it is unfavorable for women candidates.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairurrizqo
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pemilihan Kepala Daerah Gubernur Jawa Barat Tahun 2008. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori komunikasi politik dari Harold Lasswell, Dan Nimmo dan Brian McNair serta pendekatan Konsep Strategi Politik dari Peter Schroder. Selain itu untuk melakukan analisa terhadap faktor eksternal yang mempengaruhi kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dilakukan dengan menggunakan pendekatan perilaku memilih (Voting Behaviour) dari Sidney Verba dan adaptasi modelnya dari Saiful Mujani dan William Liddle.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam dengan 11 narasumber. Selain itu juga dilakukan studi literatur dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait.

Temuan di lapangan menujukkan faktor internal kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf ; Pertama, Fokus pada daerah pemilihan tertentu; Kedua, Fokus pada pemilih dengan segmentasi tertentu; Ketiga, Pesan Politik dan Isu yang sesuai dengan daerah pemilihan serta segmen pemilih tertentu dan Keempat, Faktor popularitas Dede Yusuf. Kemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf juga didorong oleh faktor eksternal situasi sosial-politik di Jawa Barat, diantaranya; Pertama, Kekecewaan masyarakat terhadap Incumbent Gubernur; Kedua, Identitas Kepartaian yang Lemah; Ketiga Kuatnya orientasi isu dari pemilih dan Keempat, Gagalnya Komunikasi Politik dari kandidat lain dan partai politik pengusungnya dalam meyakinkan pemilih.

Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pola kampanye dan komunikasi politik dalam pilkada harus menyesuaikan antara pesan politik untuk mempengaruhi pemilih, dengan metode komunikasi politik yang digunakan. Selain itu, segmentasi fokus dan segmentasi pemilih penting sebagai bagian dari strategi politik. Temuan ini sesuai dengan pendekatan Laswell dalam Teori Komunikasi politik dan urutan pola Komunikasi Politik dari Dan Nimmo.
This Reseach based on the case of Ahmad Heryawan and Dede Yusuf Winning The Local Head of Province Election in West Java at 2008. This research using Theory of Political Communication from Harold Lasswell, Dan Nimmo and Brian McNair. This research, also using Political Strategy approach from Peter Schroder. In order to find out the external factors that wins Ahmad Heryawan and Dede Yusuf, this research using Theory of Voting Behaviour from Sidney Verba and and the adaptation model from Saiful Mujani and William Liddle.

This reseach using Qualitative aprroach with Case Study method. Data collecting did by field observation and indepth interview with 11 informant. This research also using literature study by collecting document from all the Candidate, Statistics Center Council (BPS) and also Newspapaper and Online News. This reseach using Descriptive Analysis to analize information and data from the informant and document.

There are several facts researcher finds as the internal factors that wons Ahmad Heryawan and Dede Yusuf at The West Java Local Election. First, Winning Team focus at several District. Second, Winning Team focused on certain age Voter (Specially young and beginner Voter). Third, Political Message, Tag-Line, and Issue which well-suited with the segmentation of District and Voters. Fourth, Popularity of Dede Yusuf which well-known as an artist and entertainer. Another findings of research was that the Winning of Ahmad Heryawan-Dede Yusuf affected by several external factors, such as: First, Dissapointment of people about the Incumbent Governor. Second, Weak Party Identification. Third, Voter who has strong attractiveness on issue orientation.

Theoritical Implication showed that strategy of campaign and political communication in the Local Province Elecetion should adjust and focused between political message to influence the voter, with the political communication methods. Another implication showed that District Segmentation and Voters Segmentation was important as the part of the Political Strategy. This observation finding’s suited and proper with Lasswell in Theory of Political Communication and pattern of Political Communication concept from Dan Nimmo.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esty Ekawati
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini dilatarbelakangi oleh kondisi masih rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pasca Reormasi 1998. PKB merupakan partai politik yang sudah tiga kali mengikuti Pemilu pasca reformasi. Partai ini didirikan oleh PBNU dan memiliki basis massa warga Nahdliyin yang dianggap masih memiliki perspektif patriarki dalam menempatkan perempuan dalam agenda politik. Akibatnya peran dan posisi perempuan masih kurang terwakili baik di struktur partai maupun dalam lembaga legislatif. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban bagaimana PKB mengimplementasikan kebijakan afirmasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan baik di struktur kepengurusan partai maupun pada Pemilu 2009 dan bagaimana pola rekrutmen caleg dilakukan serta peran elit PKB dalam menentukan nomor urut dan dapil bagi caleg.

Penelitian ini menggunakan teori demokrasi Henry B. Mayo dan Iris Marion Young yang menitikberatkan pada keadilan, persamaan dan kesetaraan politik yang merupakan nilai-nilai demokrasi. Selain itu juga digunakan teori rekrutmen politik dan keterwakilan politik perempuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan sumber data primer berdasarkan wawancara dengan tujuh narasumber dan sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian diperlihatkan bahwa PKB megimplementasikan kebijakan afirmasi dalam dua hal: pertama, tindakan afirmasi pada Internal partai dimana PKB menempatkan lebih 38% perempuan dalam struktur kepengurusan partai (DPP PKB). Kedua,tindakan afirmasi pada Pemilu 2009. PKB telah memenuhi ketetuan UU Pemilu dengan megikutsertakan 33,7% perempuan dalam daftar caleg tetap (DCT) Pemilu 2009 dan menerapkan sistem semi zipper yang menempakan satu perempuan diatara tiga caleg. Dalam proses seleksi caleg pada Pemilu 2009 di PKB dlakukan oleh Tim Mantap, Lembaga Pemenangan Pemilu, Pengurus DPP PKB dan juga perwakilan dari PBNU. Pihak-pihak tersebut yang menyeleksi dan menentukan nomor urut bagi caleg. Akan tetapi, karena waktu yang tidak memungkinkan, PKB tidak mengadakan uji kompetensi/tes wawancara kepada caleg sehingga penilaian hanya didasarkan pada seleksi berkas, rekam jejak caleg, pengalaman organisasi caleg, dan rekomendasi dari PBNU serta pertimbangan/lobi-lobi politik.

Implikasi teoritis menunjukkan bahwa PKB telah melakukan demokratisasi interal di partai dengan menempatkan 38% perempuan dalam struktur partai dan juga mengikutsertakan perempuan sebanyak 33,7% dalam DCT Pemilu 2009 dan beberapa caleg perempuan potensial mendapat nomor urut kecil. Melalui penerapan kuota tersebut maka PKB telah berupaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan politik yang merupakan nilai-nilai demokrasi.
ABSTRACT
The Thesis is directed by the women under representation in parliament after political reform in 1998. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) is one of the political party which has followed three times of the election after reform. This party was initiated by PBNU and has a lot of masses from Nahdliyyin societies, which they have a patriarchy perspective to place women in the political agenda. As the result from patriarchy perspective, position of women in politic still under representated in party structure and also in the parliament body. This research was also done to answer how PKB adopted affirmative action to increase women political representation in politic and how recruitment process of the candidate in 2009 election to be done. Beside that, in this research also want to know how the position of PKB‟s elites determining the consecutive number and electoral area.

This research uses democracy theory by Henry B. Mayo and Iris Marion Young, especially the democratic value such as justice and political equality. Beside that, it uses political recruitment theory and women political representation. The method that is being used in this research is the qualitative method with a primary and secondary data usage and 7 respondent interview.

As the result from the research showed that PKB has implementated affirmative action in 2 matters: first, affirmative action at the party internal, which PKB has accommodated 38% of women representation in party structure. Second, affirmative action at the 2009 election. PKB has accommodated 33,7% women representation in candidate list (DCT) at the 2009 election and implemented semi-zipper system, which placed one women among three candidates list. At the process of candidate selection in 2009 election was done by Tim Mantap, Lembaga Pemenangan Pemilu, members of DPP PKB and representation from PBNU. They select the candidate and give the consecutive number and electoral area. Because of the limited time, PKB didn‟t do interview for candidate, so scoring given from administrative verification, candidate‟s track records, organization experiences and recommendation from PBNU and also political lobbying.

Implication of the theory showed that PKB has done the democratization in party internal with placed 38% women in party structure and accommodated 34% women in candidate list (DCT) at the 2009 election. And among the potencial women get beautifull number. With implemented quota system, PKB has tried to create justice and political equality which is the democratic values.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nulidya Stephanny Hikmah
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas peran Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen?s constitutional rights) yang tercermin dalam putusan-putusannya, baik dalam perkara pengujian undang-undang (judicial review) maupun perkara sengketa perselisihan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah memulihkan hak perseorangan warga negara untuk mencalonkan diri (right to be a candidate) dan menjadi peserta dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sebelumnya dibatasi atau terhalang suatu peraturan perundang-undangan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap regulasi pemilihan umum agar hak dasar setiap warga negara Indonesia yang sudah terjamin oleh UUD 1945 dapat dilindungi, serta diperlukan suatu mekanisme khusus dan tersendiri bila kemudian terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional yang tidak bisa diperjuangkan melalui perkara pengujian undang-undang, melainkan melalui mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaints).
ABSTRACT
This thesis discusses the role of the Constitutional Court as the protector of citizen's constitutional rights that reflected in its decisions, both in the case of judicial review and dispute on the result of local election (election complaint) that have restored the rights of individual citizens to be a candidate and as a participant in the local election that previously restricted or obstructed by a legislation. This research is a qualitative research with descriptive design. The results of this study suggest the need for improvements of the elections regulation to protect the basic rights of every citizen of Indonesia, which is guaranteed by the 1945 Constitution, and requires a special mechanism if violation of constitutional rights occured and can not be fought through judicial review, but through the constitutional complaint mechanism.
2013
T32611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmadudin Rajab
Abstrak :
Mekanisme penanganan pelanggaran pidana, administrasi dan kode etik penyelenggara pemilu dalam Pemilu Kepala Daerah tidak memiliki pengaturan yang jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, baik mengenai pelanggaran itu sendiri, mekanisme penyelesaiannya, dan berbagai pengaturan lainnya. Dalam pelaksanaan Pemilu kepala daerah ini juga banyak pelanggaran-pelanggaran seperti halnya dalam penyelenggaraan Pemilu kepala daerah tahun 2010 yang dilaksanakan di sebanyak 244 Daerah baik itu Provinsi dan Kabupaten/Kota ditemukan sebesar 1179 pelanggaran administrasi, 572 pelanggaran pidana, dan 35 rekomendasi kode etik dari Bawaslu. Hal yang serupa adalah bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu kepala daerah tahun 2010 yang dilaksanakan di sebanyak 244 daerah tersebut, Mahkamah Konstitusi selama tahun 2010 menerima permohonan perkara perselisihan hasil Pemilu kepala daerah sebanyak 230 permohonan. Banyakanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilukada sebagaimana data tersebut semakin menegaskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia pada saat ini masih jauh dari rasa keadilan karena penuh dengan berbagai bentuk pelanggaran baik itu administratif, pidana maupun kode etik. Lembaga peradilan hadir untuk menangani pelanggaran-pelangaran Pemilu kepala daerah berdasarkan kesadaran bahwa pelaksanaan Pemilu tersebut tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas negara hukum dan demokrasi tanpa melakukan evaluasi dan perbaik terhadap mekanisme dan sistem Pemilu Kepala Daerah tersebut. Dalam konteks pemilukada sebagai sebuah pelaksanaan negara hukum, maka seluruh pelaksanaan pemilukada harus dimaknai juga sebagai bagian dari penguatan sebuah sistem hukum. Namun yang menjadi kendala hingga saat ini adalah Pemilu Kepala Daerah yang hampir selalu bermasalah tidak diimbangi dengan lembaga peradilan yang dapat secera efektif menyelesaikan segala permasalahan, dikarenakan lembaga peradilan yang ditugaskan dalam undang-undang untuk menyelesaikan persoalan Pemilu Kepala Daerah adalah lembaga peradilan biasa bukan lembaga peradilan khusus. Sehingga penyelesaian pelanggaran berlarut-larut dan kepastian hukum tidak terjamin. Sehingga pelaksanaan Pemilu kepala daerah masih sulit dalam mewujudkan pelaksanaan pemilu yang demokratis dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. ......The mechanism of handling criminal offences, the Administration and the organizers of the election code of conduct in The Direct Election of District Head does not have a setting that is clear in Law Number 32 of 2004 about Regional Governments as amended several times, the last by Act No. 12 of 2008 about the second amendment in the Law Number 32 of 2004 concerning Regional Governments, both regarding the violation itself, settlement mechanisms, and various other settings. In the implementation of The Direct Election of District Head as well as many violations as well as in organizing regional head Election in 2010 were held in as many as 244 Regional both province and Kabupaten/Kota found of 1179, 572 administrative violations a criminal offense, and 35 recommendations code of ethics from Bawaslu. A similar thing is that in the conduct of The Direct Election of District Head in 2010 were held in as many as 244 of the area, the Constitutional Court during the year 2010 receiving the petition for lawsuit disputes election results head area as much as 230 petition. Banyakanya violations that occur in the data as pemilukada increasingly confirms that the Election Officer and Deputy Head of the region in Indonesia at the moment still far from a sense of Justice because it is filled with various forms of violation of the administrative, criminal and code of ethics. The judiciary is present to handle infringement infringement-Election districts based on the realization that the implementation of such Elections does not by itself guarantee improved quality of legal State and democracy without doing evaluation and perbaik of mechanism and system of The Direct Election of District Head. In the context of the implementation of the State as a The Direct Election of District Head law, then the implementation must also The Direct Election of District Head is meant as part of a strengthening of the legal system. But the obstacles to date was Election regional Head is almost always in trouble are not offset by the judiciary that can effectively resolve any secera problems, since the judiciary is assigned in legislation to resolve the question of the election of the head of The regular judiciary is not the Election Court. So the resolution of protracted violation and legal certainty is not guaranteed. So the implementation of The Direct Election of District Head are still hard in realizing the implementation of democratic elections and produces a quality leader
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romi Maulana
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang tinjauan kelembagaan Bawaslu dengan kewenangan quasi judicial atau semi peradilan dalam menyelesaikan masalah hukum pemilu pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu pada pelaksanaan pemilu tahun 2019. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum kualitatif. Secara konstitusional, pembentukan Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu di Indonesia menginduk kepada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 serta dikuatkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010. Pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa penyelenggara pemilu bersifat mandiri. Dalam prakteknya, Bawaslu telah memenuhi karakteristik sebagai lembaga Negara yang mandiri atau independen berdasarkan dasar pembentukannya. Sebagai lembaga Negara yang mandiri, Bawaslu secara ketatanegaraan dimungkinkan untuk memiliki kewenangan dalam  menjalankan fungsi quasi judicial. Diketahui bahwa dalam perkembangan lembaga negara pasca amandemen UUD 1945, selain Bawaslu terdapat lembaga negara independen lainnya yang memiliki kewenangan dengan fungsi quasi judicial. Lembaga tersebut misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Informasi Publik (KIP). Sebagai lembaga Negara lapisan kedua, pembentukan Bawaslu, KPPU dan KIP berada diluar sistem peradilan di Indonesia. Namun pada dasarnya lembaga-lembaga Negara independen ini melakukan fungsi campuran dengan sifatnya yang penunjang terhadap lembaga Negara utama untuk menjalankan fungsi regulatif dan administratif termasuk fungsi quasi judicial dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsi kekuasaan quasi judicial yang dilakukan oleh Bawaslu secara umum telah memenuhi karakter kekuasaan quasi judicial yang dirumuskan oleh Jimly Asshiddqie. ......This thesis discusses the institutional review of Bawaslu with quasi-judicial or semi-judicial authority in solving electoral legal problems in administrative violations and electoral process disputes in the 2019 elections. This research is a normative legal research using library studies and interviews in data collection, then data- the data obtained were analyzed using a qualitative legal approach. Constitutionally, the formation of Bawaslu as a unified function of the administration of elections in Indonesia is based on Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution and is strengthened based on the Decision of the Constitutional Court Number 11 / PUU-VIII / 2010. Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution confirms that the election organizer is independent. In practice, Bawaslu has fulfilled its characteristics as an independent or independent State institution based on the basis of its formation. As an independent state institution, Bawaslu in an administrative manner is possible to have the authority to carry out the quasi judicial function. It is known that in the development of state institutions after the amendment to the 1945 Constitution, in addition to Bawaslu there are other independent state institutions that have authority with quasi-judicial functions. Such institutions include the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) and the Public Information Commission (KIP). As the second layer state institution, the formation of Bawaslu, KPPU and KIP is outside the justice system in Indonesia. However, basically these independent state institutions perform a mixed function with their supporting nature to the main State institutions to carry out regulatory and administrative functions including quasi judicial functions in carrying out their duties and authorities. In carrying out the functions of quasi judicial power carried out by Bawaslu in general it has fulfilled the character of quasi judicial power formulated by Jimly Asshiddqie.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Yudatmono
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S26017
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erven Langgeng Kaseh
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Apriati Santi
Abstrak :
Pemilu merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara Republik Indonesia. Untuk menjamin kemurnian pemilu dan tercapainya demokrasi, para pembuat undang-undang telah merumuskan sejumlah perbuatan curang yang memiliki sifat dan bentuk yang spesifik yang dilakukan selama tahapan pemilu sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam undang-undang tersebut diatur 26 (dua puluh enam) pasal tindak pidana pemilu yang memuat ketentuan minimal dan ketentuan maksimal ancaman hukuman, dan terdapatnya pidana denda dan/atau pidana penjara yang dapat dijatuhkan secara alternatif kumulatif. Selain itu, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 merupakan Undang-undang Pemilu pertama yang mengatur tentang proses beracara dalam menyelesaikan tindak pidana pemilu karena pembuat undang-undang berpikir bahwa pemilu merupakan satu-satunya hak asasi dalam bidang politik bagi sebagian besar warga negara Indonesia. Perumusan tersebut adalah untuk menghindari tidak terselesaikannya perkara tindak pidana pemilu seperti yang banyak terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam undangundang tersebut terdapat beberapa kekhususan/penyimpangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal; pertama, pelaporan karena melibatkan panwaslu sebagai gerbang penyelesaian tindak pidana pemilu; kedua, pembatasan waktu dalam proses beracara (laporan, penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan); dan ketiga, adanya pembatasan upaya hukum sehingga Pengadilan Negeri mempunyai kewenangan yang besar sebagai Pengadilan tingkat pertama dan terakhir pada tindak pidana pemilu yang diancam hukuman kurang dari 18 (delapan belas) bulan dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir untuk tindak pidana pemilu yang diancan hukuman lebih dari 18 (delapan belas) bulan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, ketentuan khusus tersebut belum dapat ditegakkan secara baik karena banyak menghadapi benturanbenturan dengan kepentingan masyarakat, hak-hak terdakwa, dan keadilan hukum.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiyanto
Abstrak :
Perselisihan hasil pemilu merupakan suatu sengketa yang timbul sebagai akibat dari dilaksanakannya pemilu yang menyangkut perolehan suara para peserta pemilu. Ia sarat dengan konflik kepentingan yang apabila tidak diselesaikan akan berakibat pada tidak stabilnya pemerintahan di suatu negara. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, perselisihan hasil pemilu yang pada awalnya merupakan sengketa politik diarahkan oleh undang-undang menjadi sengketa hukum yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan. Seperti peradilan pada umumnya, maka Penyelesaian perselisihan pemilu di Mahkamah konstitusi memiliki hukum acara dan ketentuan tentang pembuktian tersendiri. Pembuktian pada hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu. Dengan ketentuan inilah perselisihan hasil Pemilu Legislatif diperiksa, diadili dan diputus. Pada Pemilu 2004, Tak kurang dari 252 perkara perselisihan hasil pemilu dari 23 partai politik peserta pemilu harus diputus Mahkamah Konstitusi dalam 30 hari. Dari 252 perkara tersebut, dikaji mengenai pembuktian dalam perkara yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan Partai Keadilan Sejahtera di daerah pemilihan Kepulauan Riau, Jawa Timur 8 dan Seluma 2. Konsekuensi dari limitasi waktu yang diberikan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu disamping banyaknya perkara yang harus diputus, membuat proses pembuktian yang dijalankan Mahkamah Konstitusi tidak dapat berjalan maksimal.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>