Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saharuddin
Abstrak :
ABSTRAK
Modal sosial akhir-akhir ini menjadi perhatian bagi ahli-ahli sosiologi ekonomi. Sebagian mengajukan konsep modal sosial sebagai alternatif baru bagi pendekatan pembangunan yang berbasis masyarakat. Namun sebagian lain melihat gejala kemunduran modal sosial sejalan dengan semakin meluasnya ekspansi kapitalisme.

Penelitian ini lebih melihat modal sosial sebagai kekuatan dinamis yang dimiliki oleh suatu komunitas. Kedinamisan modal sosial tersebut diwujudkan dalam bentuk pergeseran norma-norma pertukaran; sedemikian rupa sehingga individu-individu merasa terjamin untuk memperoleh keuntungan timbal balik.

Fokus penelitian adalah mengkaji bagaimana cara modal sosial menjembatani berbagai kelompok kepentingan dalam kelembagaan kesehatan lokal. Untuk itu dipilih pendekatan kritis dengan tehnik pengolahan dan analisis data secara kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian tesis dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif memang tidak lazim dilakukan. Namun saya perlu melanjutkan penelitian dengan pendekatan kualitatif setelah saya menemukan keunikan dari hasil penelitian awal, yaitu: (1) analisis statistik (prosedur logistik; program Statistic Analysis System/SAS) atas data hasil survey menunjukkan tidak ada hubungan antara karakteristik rumahtangga atau individu dengan kegiatan menabung; (2) Posyandu yang semula direncanakan menjadi pintu masuk pengembangan masyarakat ternyata tidak mendapat "legitimasi" dari partisipan. Justru organisasi-organisasi akar rumput memiliki kekuatan untuk memfasilitasi tindakan-tindakan kolektif anggotanya.

Untuk memperoleh penjelasan lebih jauh mengenai kekuatan organisasi akar rumput tersebut di atas maka saya telah mengubah orientasi penelitian dari pendekatan survey ke arah pendekatan kualitatif. Untuk itu maka pengumpulan data dilakukan melalui dialogis di tingkat kelompok akar rumput hingga ke birokrasi lokal. Dengan cara dialogis tersebut maka memungkinkan penerapan metode koogeneratif. Prosedur aksi - refleksi sangat dominan dalam proses pengumpulan dan analisis data. Dengan pendekatan sepeti di atas aspirasi organisasi akar rumput dan aspirasi aparat birokrasi dapat secara langsung dipertemukan.

Partisipan penelitian adaiah anggota dari organisasi akar rumput yang tersebar pada empat desa. Setiap kelompok akar rumput mewakili karakteristik desa dan karakteristik aktivitas organisasi akar rumput. Pada keempat organisasi akar rumput tersebut peneliti bersama partisipan menggunakan modal sosial lokal untuk mengintegrasikan institusi-institusi lokal dalam suatu jaringan yang kuat. Untuk itu upaya menemukan simpul interaksi antar warga dan antar institusi menjadi penting. Simpul interaksi dan jaringan institusi lokal dalam hal ini diperlukan untuk menciptakan organisasi akar rumput yang kuat dan otonom dalam mengelola lembaga kesehatan lokal.

Dalam penelitian ini peneliti telah membedah lingkungan sosial dan sumberdaya komunitas dengan menggunakan tujuh unsur-unsur pemberdayaan komunitas yang telah digunakan oleh UNICEF (1999), yaitu kepemimpinan, organisasi komunitas, pengetahuan komunitas, dana komunitas, proses pengambilan keputusan komunitas, teknologi komunitas dan sumberdaya material komunitas. Dari ketujuh unsur itu, lima unsur pertama secara berturut-turut telah menjembatani tindakan-tindakan kolektif, khususnya dalam kegiatan menabung. Kegiatan menabung menjadi perilaku yang dibimbing oleh seperangkat sistem norma dalam komunitas sehingga tercipta tindakan kolektif yang terorganisir. Kegiatan menabung dalam organisasi akar rumput kemudian menjadi simpul interaksi warga komunitas. Peristiwa menabung mampu meniadakan perbedaan-perbedaan dalam komunitas, baik secara horizontal (perbedaan karakteristik keluarga dan atau karakteristik pribadi) maupun secara vertikal (perbedaan kelas atau status sosial ekonomi).

Implikasi terhadap metodologi penelitian aksi adalah organisasi akar rumput yang memfasilitasi kegiatan menabung dan memiliki mekanisme pengelolaan pelayanan kesehatan secara partisipatif menjadi titik tolak pengembangan modal sosial. Setanjutnya peristiwa menabung dalam organisasi akar rumput menjembatani terbangunnya proses dialogis antara kelompok akar rumput dengan birokrasi lokal, khususnya aparat kesehatan. Fokus perhatian adalah bagaimana cara agar organisasi lokal dapat memperkuat lembaga kesehatan lokal.

Penelitian ini menemukan bahwa: (i) Modal sosial memberi kontribusi yang besar dalam menjembatani tindakan kolektif dalam kelompok organisasi akar rumput sehingga terbentuk suatu simpul interaksi yang kondusif bagi pengembangan suatu lembaga (kesehatan lokal). (ii). Munculnya lembaga kesehatan lokal dalam komunitas menunjukkan bahwa manajemen pelayanan kesehatan telah mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Hal itu mengandung konsekuensi bahwa penerapan prinsip-prinsip resiprositas berkenaan dengan masalah kesehatan tidak lagi bersifat spontan tetapi telah bergeser ke arah pengaturan yang lebih sistematis, (iii) Dalam konteks hubungan antara organisasi akar rumput dengan birokrasi lokal penelitian ini telah menunjukkan bahwa harapan untuk terjadinya integrasi antara kelompok akar rumput dengan birokrasi lokal masih sulit tercapai. Perbedaan visi pelayanan kesehatan antara organisasi akar rumput dengan birokrasi lokal telah mempertegas betas antara keduanya. Kegagalan dalam mempertemukan visi kedua pihak berarti telah hilang satu kesempatan membangun kepercayaan organisasi akar rumput terhadap birokrasi lokal. Hal itu sekaligus memutus simpul interaksi antara organisasi akar rumput dengan birokrasi lokal dalam proses pelayanan kesehatan. Penyebabnya adalah keragaman mekanisme yang menjadi pilihan masing-masing organisasi akar rumput masih belum mendapat pengakuan dari birokrasi lokal. Birokrasi pemerintahan lokal masih mempertahankan pola lama; terlalu banyak masuk dalam wilayah otonomi masyarakat. Kebijakan birokrasi lokal belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi secara lebih cepat. Dengan kata lain ruang demokrasi yang mulai terbuka pada tingkat organisasi akar rumput belum didukung dengan perubahan sikap pada birokrasi pemerintahan lokal.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sy. Arif Arizal
Abstrak :
Perkembangan suatu daerah dan desa menjadi kota merupakan suatu hal yang menarik untuk diamati dimana adanya perubahan fisik dan budaya, adanya perbedaan pelayanan yang dilakukan pemerintah antara penduduk Desa dan Kota. Di lain pihak adanya anggapan sebagai kejelian Pemda untuk menciptakan peluang menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memungut Retribusi sebagai salah satu sumber Pendapatan. Faktor lain adanya keterbatasan Pemerintah untuk pembinaan dan terlepas dari ekonomis atau tidaknya pelayanan kebersihan, kesehatan lingkungan sangat dibutuhkan masyarakat. Disamping faktor tersebut diatas adanya fluktuasi penerimaan retribusi kebersihan dan kemungkinan lain adanya pengaruh perubahan ekonomi Nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerimaan retribusi kebersihan terhadap pelayanan kebersihan terutama tentang faktor sosial masyarakat serta Budaya masyarakat (dalam hal ini Faktor Pelayanan Pemerintah akan kebersihan) Metode yang digunakan dengan kuantitatif, dengan populasi penelitian adalah masyarakat Kota Bangko, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya pengaruh positif antara faktor sosial masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan sebesar 0,443 dengan tingkat signifikansi 0,000, dapat disimpulkan bahwa Ha yang menyatakan ada pengaruh antara faktor sosial masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan bisa diterima dan Ho yang menyatakan tidak ada pengaruh antara faktor sosial masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan ditolak Analisis korelasi ini kemudian dilanjutkan dengan mencari Z hitung kemudian dibandingkan z tabel dengan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat signifikansi 5% dengan uji dua sisi sebesar Z = 5,424, akan dicari luas kurva 50%-2,5% = 47,5%. Dan tabel Z didapat Z tabel 1,96 yang berarti faktor sosial sangat berpengaruh terhadap penerimaan retribusi kebersihan, karena harga Z hitung (5,424) > Z tabel (1,96), Sementara faktor Pelayanan Pemerintah akan kebersihan masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan sebesar 0,470 dengan tingkat signifikansi 0,000, dapat disimpulkan bahwa Ha yang menyatakan ada pengaruh antara Pelayanan Pemerintah akan kebersihan masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan bisa diterima dan Ho yang menyatakan tidak ada pengaruh antara Pelayanan Pemerintah akan kebersihan masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan ditolak Analisis korelasi ini kemudian dilanjutkan dengan mencari Z hitung kemudian dibandingkan z tabel dengan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat signifikansi 5% dengan uji dua sisi sebesar Z = 5,754, akan dicari luas kurva 50%-2,5% = 47,5%. Dan tabel Z didapat Z tabel 1,96 yang berarti Pelayanan Pemerintah akan kebersihan sangat berpengaruh terhadap penerimaan retribusi kebersihan, karena harga Z hitung (5,754) Z tabel (1,96), Mengacu hasil penelitian beberapa kebijakan pokok yang harus ditempuh oleh para. perencana dan pelaksana program adalah sebagai berikut : Pertama menekankan kepada segenap pihak eksekutif yang terlibat dengan dinas kebersihan dan penerimaan retribusi kabupaten merangin mengenai sangat pentingnya pemenuhan kebutuhan fasilitas sosial atau umum seperti air bersih, pembuangan sampah, penataan ruang dan penataan lingkungan serta fasilitas umum lainnya. Kedua, pihak-pihak eksekutif yang terlibat di lapangan secara teknis yang berhadapan langsung dengan masyarakat, hendaknya seorang yang profesional, inovatif dan memiliki seperangkat kecakapan. Untuk itu diperlukan Pendidikan dan Latihan. Ketiga, meningkatkan fungsi kontrol, baik dari lembaga maupun kontrol dan masyarakat. Keempat, menggali nilai-nilai budaya masyarakat. Nilai-nilai budaya masyarakat yang tumbuh dan berkembang melingkupi seluruh dimensi kehidupan. Ada yang menyangkut budaya hidup sehat, budaya hidup bersih, budaya hidup aman, bahkan tentang keadilan, hak dan kewajiban, dan ketertiban. Masih banyak nilai-nilai budaya lainnya, yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siburian, Robert
Abstrak :
Tesis ini adalah kajian tentang Dalihan na Tolu dan kegiatan ekonomi, yang mengambil studi kasus pada Orang Batak Toba di Porsea. Hal ini dilatarbelakangi oleh kuatnya sistem kekerabatan berdasarkan prinsip Dalihan na Tolu, yang unsur-unsurnya adalah dongan tutu, hula-hula, dan boru dalam melaksanakan upacara adat. Dalam melaksanakan upacara adat tersebut ketiga unsur menyatakan sebagai satu pelaksana adat (si sada ulaon). Pernyataan sebagai satu pelaksana adat mengakibatkan apabila pada upacara adat, salah satu di antara ketiga unsur tidak diikutsertakan maka upacara adat tidak dapat dilaksanakan. Apabila anggota dan masing-masing unsur tidak diikusertakan dalam upacara adat, hal itu dikategorikan pengucilan yang menyakitkan. Saling menghormati di antara Orang Batak Toba tidak saja hanya dalam percakapan ataupun sekedar istilah kekerabatan saja tetapi jugu dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Berangkat dan terintegrasinya Orang Batak Toba dalam melaksanaan sebuah upacara adat, penelitian ini mencoba melihat kekuatan dari semangat Dalihan na Tolu itu dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, permasalahan pokoknya adalah bagaimana peranan Dalihan na Tolu dalam kegiatan ekonomi Orang Batak Toba. Apakah memang kerja sama yang luar biasa kuatnya dalam pelaksanaan adat Orang Batak Toba juga berperan dalam kegiatan ekonomi. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah teori sistem kekerabatan yang diperkenalkan oleh Murdock dan teori struktur sosial yang diperkenalkan oleh Redcliffe-Brown. Penggunaan teori ini karena Dalihan na Tolu tidak terlepas dart sistem kekerabatan Orang Batak Toba, dan sebagai sebuah sistem kekerabatan, di sana terjadi hubungan-hubungan sosial. Hubungan sosial terwujud karena adanya struktur sosial. Teori struktur sosial inilah yang melihat hubungan-hubungan sosial yang ada dalam sistem kekerabatan tersebut. Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa sistem kekerabatan yang merupakan bagian dari struktur sosial berpengaruh terhadap seluruh kehidupan masyarakat termasuk kegiatan ekonomi. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kekerabatan berdasarkan prinsip Dalihan na Tolu kurang terlihat peranannya dalam kegiatan ekonomi Orang Batak Toba di Kelurahan Pasar Porsea dan Patane III. Dalihan na Tolu yang dapat dikategorikan sebagai modal sosial yang menyemangati Orang Batak Toba untuk bekerja sama dalam pelaksanaan adat, yang menjadi salah satu faktor untuk membentuk perkumpulan klen tidak saja di Kecamatan Porsea juga di daerah-daerah lain tidak tercermin dalam kegiatan perekonomian. Orang Batak Toba yang bermukim di Kecamatan Porsea berjalan sendiri-sendiri. Bentuk-bentuk jaringan ekonomi yang terbentuk pun hanya didasarkan kepada kepentingan ekonomi saja, walaupun aktor-aktor yang sating berhubungan dalam bidang ekonomi itu melahirkan istilah-istilah kekerabatan setelah merujuk pada unsur-unsur dalam unit Dalihan na Tolu masing-masing. Kendati peranan Dalihan na Tolu tidak tercermin dalam kegiatan ekonomi, para pelaku ekonomi tidak menafikan bahwa unsur-unsur dari Dalihan na Tolu dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh aktor. Akan tetapi pengalaman mereka mencatat bahwa melibatkan unsur-unsur Dalihan na Tolu dalam kegiatan ekonomi dapat merusak hubungan sosial mereka yang berkerabat. Sebab, ketersinggungan dalam kegiatan ekonomi dapat berakibat ketersinggungan dalam kehidupan sosial. Hal lain yang mengakibatkan para pelaku ekonomi lebih memilih orang luar untuk bekerja dalam usaha ekonominya adalah karena anggota kerabat tersebut relatif lebih sulit diajak bekerja sama. Ada anggapan bekerja ditempat kerabat justru memperkaya pemilik usaha saja. Sementara dari pihak yang mau diajak untuk bekerja itu lebih memilih bekerja di tempat lain. Sebab dengan demikian, mereka lebih babas untuk bekerja. Dengan hasil penelitian yang demikian, Dalihan na Tolu yang dapat mengikat Orang Batak Toba di mana pun berada hanya efektif di kegiatan adat saja, sementara dalam kegiatan ekonomi, dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya tidak efektif untuk membangun sebuah kekuatan ekonomi di kalangan Orang Batak Toba di Kecamatan Porsea.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12197
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medina Putri Ramadha
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji tentang model bisnis sharing economy dalam layanan GO-FOOD. Layanan tersebut telah mengemas praktik jual beli makanan dengan cara yang modern, yaitu menggunakan sistem jasa pesan antar melalui aplikasi. Aktivitas yang terjadi dalam layanan GO-FOOD melibatkan lebih dari dua pelaku ekonomi di dalamnya, yaitu adanya peran driver sebagai perantara dari merchant (penjual) dan customer (pembeli). Skripsi ini menyajikan pentingnya hubungan sosial antara merchant dan driver sebagai pihak ketiga dalam membangun trust pada aktivitas ekonomi tersebut. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, tulisan ini mengulas interaksi antar kedua pihak dalam menyikapi dinamika layanan GO-FOOD. Aktivitas ekonomi GO-FOOD yang terjadi dalam realitas hubungan sosial antara driver dan merchant menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan aspek non-ekonomi dalam menentukan tindakan ekonominya. Fenomena tersebut telah didefenisikan oleh Granovetter (1985) dengan istilah social embeddedness, bahwa suatu tindakan ekonomi melekat dengan hubungan sosial yang terjadi antar pelaku ekonomi.
ABSTRACT
This study examines sharing economy business model in GO-FOOD service. The service has transformed the process of buying and selling food into a modern way by ordering and delivering via application. Transactions that have emerged in GO-FOOD require more than two economic actors, the role of drivers as intermediaries from merchant to customer. This study presents the importance of social relations between merchant and driver as third party in building trust in this economic activity. By using an ethnographic approach, this study analyzes the interactions between them in responding the dynamic changes on GO-FOOD service. Economic activities that occurred in the reality of social relation between driver and merchant, shows that there are some considerations of non-economic aspects in determining their economic actions. This phenomenon has been defined by Granovetter (1985) as social embeddedness, an economic action which is attached to the social relationship that occured between the economic actors.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsa Meilivia
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konstruksi identitas individu melalui presentasi diri dalam unggahan tren self-reward menggunakan luxury fashion goods di media sosial, serta mengungkap pemaknaan dari self-reward tersebut. Studi-studi terdahulu mengenai fenomena ini terbagi menjadi dua, yaitu presentasi diri melalui praktik self-reward, dan konstruksi identitas melalui konsumsi luxury fashion goods. Namun, hingga kini belum banyak studi yang melihat perpaduan antara kedua aspek ini, yaitu pemaknaan terhadap self-reward dan kaitannya dengan konstruksi identitas melalui praktik self-reward menggunakan luxury fashion goods, khususnya dalam konteks di media sosial. Peneliti berargumen bahwa presentasi diri yang ditampilkan dalam unggahan self-reward menggunakan luxury fashion goods di media sosial merupakan perilaku konsumsi mencolok yang berpengaruh terhadap konstruksi identitas individu. Dengan menggunakan teori presentasi diri yang disampaikan oleh Erving Goffman dan konsep conspicuous consumption oleh Veblen sebagai alat analisis, hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa self-reward menggunakan luxury fashion goods merupakan justifikasi gaya hidup hedonic yang berkontribusi pada pembentukan identitas individu. Kegemaran mengkonsumsi produk tersier seperti luxury fashion, membuat setiap pembeliannya dimaknai sebagai wujud apresiasi dan mencintai diri sendiri. Dengan mengunggah hadiah yang memiliki keterbatasan jumlah, harga yang tinggi, dan nilai materialisme seperti luxury fashion, mampu membentuk identitas diri pada pengguna, seperti elegan, pekerja keras, mampu, independen, hingga stand-out. Namun, keterbatasan atribut komunikasi secara digital dapat pula membentuk identitas yang tidak diharapkan, seperti sombong dan pamer. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan observasi digital pada individu yang mengunggah self-reward menggunakan luxury fashion goods di Instagram dan TikTok. ......This study aims to explain the construction of individual identity through selfpresentation in uploading self-reward trends using luxury fashion goods on social media, as well as uncovering the meaning of self-reward. Previous studies on this phenomenon are divided into two, namely self-presentation through self-reward practices, and identity construction through the consumption of luxury fashion goods. However, until now not many studies have looked at the combination of these two aspects, namely the meaning of self-reward and its relation to identity construction through self-reward practices using luxury fashion goods, especially in the context of social media. Researchers argue that self-presentation shown in self-reward uploads using luxury fashion goods on social media is conspicuous consumption behavior that influences the construction of individual identities. By using the self-presentation theory presented by Erving Goffman and the concept of conspicuous consumption by Veblen as analytical tools, the findings of this study suggest that self-reward using luxury fashion goods is a justification for a hedonic lifestyle that contributes to the formation of individual identity. The penchant for consuming tertiary products, such as luxury fashion, interprets every purchase as a form of appreciation and self-love. Uploading gifts that have limited quantities, high prices, and materialistic values, such as luxury fashion, can form self-identities in users, such as elegant, hardworking, capable, and independent, to stand out. However, with limited digital communication can also form unexpected identities, such as being arrogant and showing off. This study uses a qualitative method with in-depth interview techniques and digital observation of individuals who upload self-rewards using luxury fashion goods on Instagram and TikTok.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malden, MA: Blackwell, 2002
330 REA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Kriekels, Jan
Tielt: Lannoo Campus, 2013
330 KRI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yundanita Prilliana Fitrizky
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara status kepegawaian dan job embeddedness pada karyawan PT X. Responden penelitan ini adalah 176 karyawan yang terdiri dari 89 karyawan tetap dan 87 karyawan kontrak dengan lama kerja di perusahaan terkait minimal enam bulan. Metode yang digunakan adalah non -random sampling, job embeddedness diukur dengan Kuesioner Job Embeddedness (Mitchel et al., 2001). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan linksorganization antara karyawan tetap dan karyawan kontrak (t= 3,727, p < 0.05); tidak terdapat perbedaan fit-organization antara karyawan tetap dan karyawan kontrak (t= - 0,096, p > 0.05); dan tidak ada perbedaan sacrifice-organization antara karyawan tetap dan karyawan kontrak (t= 0,626, p > 0.05). Artinya, status kepegawaian dapat menjelaskan links-organization tetapi tidak dapat menjelaskan fit- organization dan sacrifice- organization.
Abstract
This study aims examine the differences of job embeddedness between permanent worker and contract worker. Subjects are 176 employees of a service and logisctic company, consisting of 89 permanent employees and that of contract 87, with minimun six-month employment history. The method uses in this study is non-random sampling, job embeddedness measured using Job Embeddedness Questionnaire (Mitchel et al., 2001). Results indicate differences in links-organization is found between permanent and contract employees (t= 3,727, p < 0.05); no differences in fit- organization between permanent and contract employees (t= -0,096, p < 0.05); differences in sacrifice ? organization between permanent and contract employees (t= 0,626, p > 0.05). That is, work status can explain links-organization, but cannot explain fit-organization and sacrifice-organization.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nankivell, Owen
Aldershot: Avebury, 19965
306.3 NAN e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Hatta, 1902-1980
Djakarta: Fasco, 1957
306.3 MOH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>