Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widha Dianasari
Abstrak :
Latar belakang: Pemerintah menetapkan Peraturan BPOM No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional yang dalam praktiknya mendorong semua produsen obat tradisional (OT) melakukan pengujian produk terhadap sepuluh parameter keamanan dan mutu obat tradisional. Sepuluh parameter tersebut antara lain organoleptik; kadar air; cemaran mikroba; jumlah aflatoksin; cemaran logam berat; kesanaan berat; waktu hancur; volume terpindahkan; kadar alkohol; dan pH. Namun demikian, pengujian terhadap kesepuluh parameter tersebut membutuhkan SDM, fasilitas (laboratorium) dan dana yang besar. Pemerintah memberikan kelonggaran terhadap produsen kelompok UMKM dalam bentuk sertifikat CPOTB Bertahap dimana produsen tetap dapat memproduksi OT meskipun tidak memiliki fasilitas lengkap (termasuk laboratorium). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Peraturan tentang Kemanan dan Mutu OT tahun 2019 oleh Produsen OT di level UMKM. Mengingat peraturan ini merupakan peraturan tingkat nasional tetapi dilaksanakan di level daerah maka factor komunikasi, disposisi menjadi perlu diperhatikan. Selain itu, karena peraturan ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh seluruh produsen OT di Indonesia maka variabel lingkungan social dan ekonomi juga perlu diperhatikan. Metode: Dalam menganalisis implementasi peraturan persyaratan keamanan dan mutu obat tradisional tahun 2019 melalui pelaksanaan pengujian sepuluh parameter uji, studi dengan pendekatan kualitatif ini menggunakan data dari berbagai sumber. Kuesioner dibagikan kepada seluruh UMKM di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan untuk mendapatkan gambaran kinerja UMKM dalam hal keamanan dan mutu obat tradisional. Ketiga provinsi dipilih secara purposive dengan memperhatikan representasi tiap regional, temuan kasus TMS, serta jumlah UMKM terbanyak sehingga penelitian ini dapat menggambarkan implementasi kebijakan (Peraturan No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional) di Indonesia, dengan kondisi yang beragam. Untuk analisa mendalam, data tersebut didukung dengan hasil wawancara terhadap UMKM, Balai POM, Badan POM serta Gabungan Pengusaha Jamu. Adapun kinerja implementasi kebijakan dianalisis menggunakan model variabel karakteristik badan pelaksana, komunikasi antar badan pelaksana, disposisi dan lingkungan social dan ekonomi. Hasil: Dari sepuluh parameter uji keamanan dan mutu obat tradisional yaitu organoleptik; kadar air; cemaran mikroba; jumlah aflatoksin; cemaran logam berat; keseragaman bobot; waktu hancur; volume terpindahkan; kadar alkohol; dan pH., hanya tiga di antaranya yang diuji oleh sebagian besar UMKM di tiga provinsi yaitu organoleptis, kadar air dan keseragaman bobot. Sumber daya manusia dan fasilitas, terutama tidak adanya laboratorium, menjadi faktor internal yang menjadi penghambat UMKM untuk melakukan pengujian keamanan dan mutu OT sebelum diedarkan. Di Provinsi Jawa Tengah, komunikasi antara Balai POM dengan UMKM berperan penting sehingga UMKM memahami tujuan peraturan ini dan mengupayakan keamanan dan mutu produk OT. Di Provinsi Sumatera Utara, komunikasi tidak berjalan baik akan tetapi lembaga Pendidikan di daerah mendukung upaya penjaminan keamanan dan mutu obat tradisional. Di Sulawesi Selatan, disposisi kebijakan ini tidak berjalan baik karena komunikasi yang kurang terbangun. UMKM yang tidak mengikuti sosialiasi dari Badan BPOM dan Balai POM dianggap tidak informatif terhadap UMKM. Kesimpulan: Peraturan BPOM No.32 Tahun 2019 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional belum terimplementasi dengan baik di tingkat UMKM tiga provinsi ini. Sebagian besar UMKM tidak memiliki laboratorium dan SDM yang adekuat untuk melakukan pengujian terhadap sepuluh parameter keamanan dan mutu. Faktor komunikasi, disposisi dan lingkungan (ekonomi dan sosial) berkaitan dengan kinerja UMKM dalam mengimplementasi peraturan ini. Saran: Komunikasi yang efektif antara badan pelaksana dan pemerintah perlu dibangun untuk mendorong UMKM mampu melaksanakan jaminan keamanan dan mutu obat tradisional melalui pengujian sepuluh parameter uji. Dikarenakan terbatasnya kemampuan UMKM, diperlukan peraturan turunan yang lebih teknis terkait kebijakan pengujian secara berkala berdasarkan kajian risiko. ......Background: The government stipulates Regulation of Indonesian FDA No. 32 of 2019 concerning the Safety and Quality Requirements of Traditional Medicines, which encourages all manufacturers of traditional medicines (OT) to conduct product testing on ten parameters of safety and quality of traditional medicines. The ten parameters include: organoleptic, water content, microbial contamination; the amount of aflatoxin; heavy metal contamination; heavy going; ruined time, transferred volume, alcohol content, and pH. However, testing the ten parameters requires human resources, facilities (laboratory), and large funds. The government provides concessions to Micro, Medium, and Small Entreprises (MSME) group producers in the form of Gradual CPOTB certificates where producers can still produce OT even though they do not have complete facilities (including laboratories). This study aims to analyze the performance of the implementation of the Regulation on Safety and Quality of OT by OT Manufacturers at the MSME level. Since this regulation is national but implemented at the regional level, the communication factor and disposition must be considered. In addition, because this regulation is expected to be implemented by all OT producers in Indonesia, the social dan economic environmental variables also need to be considered. Methods: This study uses a combination of quantitative and qualitative approaches using data from various sources. Questionnaires were distributed to all MSMEs in the Provinces of North Sumatra, Central Java, and South Sulawesi to get an overview of MSME performance regarding the safety and quality of traditional medicines. For in-depth analysis, the data is supported by interviews with MSMEs, Indonesia FDA, Indonesian FDA in Provincies, and the Association of Herbal Medicine Entrepreneurs. The performance of policy implementation was analyzed using the Van Meter Van Horn implementation model with variables of the characteristics of the implementing agency, communication, disposition, and social and economic environment. Results: Of the ten parameters of the safety and quality of traditional medicines, namely organoleptic; water content; microbial contamination; the amount of aflatoxin; heavy metal contamination; weight uniformity; ruined time; transferred volume; alcohol content; and pH., only three of which were tested by most MSMEs in three provinces, namely organoleptic, moisture content and weight uniformity. Human resources and facilities, especially the absence of laboratories, are internal factors hindering MSMEs from testing OT safety and quality before being circulated. In Central Java Province, communication between Indonesian FDA in Provincies and MSMEs plays an important role so that MSMEs understand the purpose of this regulation and strive for the safety and quality of OT products. In North Sumatra Province, communication is not very good, but educational institutions in the region support efforts to ensure the safety and quality of traditional medicines. In South Sulawesi, this policy disposition did not work well due to poor communication. MSMEs that do not participate in the socialization from the Indonesian FDA and Indonesian FDA in Provincies are considered uninformative MSMEs. Conclusion: Regulation of Indonesian FDA No. 32 of 2019 concerning the Safety and Quality Requirements of Traditional Medicines has not been implemented properly at the MSME level in these three provinces. Most MSMEs do not have adequate laboratories and human resources to conduct tests on ten safety and quality parameters. Communication, disposition, and environmental factors (geography, economy, social, and politics) are related to the performance of MSMEs in implementing this regulation. Suggestion: Effective communication between the implementing agency and the government needs to be built to create a common perception about the importance of ensuring the safety and quality of traditional medicinal products. Due to the limited capacity of MSMEs, clearer derivative regulations are needed regarding the policy of periodic testing based on risk assessments.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Pharmaceutical press, 2011
658.3 WOR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhti Okayani
Abstrak :
Di Indonesia, malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian.Obat malaria yang digunakan dalam program Nasional di Indonesia yaitu kombinasi Artesunat dengan Amodialuin, di laboratorium amodiakuin sudah terbukti bereaksi silang dengan klorokuin sehingga dikhawatirkan kombinasi artesunat-amodiakuin penggunaannya tidak akan bertahan lama di Indonesia. Hal ini didukung dengan data di lapangan yang memperlihatkan variasi efektifitas artesunat-amodiakuin di berbagai daerah malaria. Laporan uji efikasi artesunat-amodiakuin di Lampung memperlihatkan efektifitasnya 80% terhadap P.falciparum. karena itu diperlukan kombinasi artemisinin lain yang aman, efektif, murah, dapat digunakan balk Untuk P.falciparum dan P.vivax serta tidak mengandung komponen yang bereaksi silang dengan klorokuin_ Untuk itu digunakan alternatif kombinasi Dihidroartemisinin --- Piperakuin sebagai pilihan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan risiko kejadian yang tidak diitiginkan pada terapi dengan pengobatan kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin dibandingkan terapi Artestinat-Amodiakuin untuk penderita malaria P.falciparum tanpa komplikasi. Penelitian dilakukan di Puskesmas Hanura, Kabupaten Lampung Selatan, propinsi Lampung. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian Uji Klink Acak terkontrol atau Randomized Controlled Trial (RCT), Uji klinis terbuka (open trial) . Penelitian dilakukan mulai September 2005 sampai November 2006. Dengan pertimbangan waktu, tenaga dan biaya, pada penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 106 orang (55 orang untuk dihidroartemisinin-piperakuin dan 51 orang untuk artesunat-amodiakuin). Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis univariat, bivariat dengan Chi Square dan multivariat dengan logistic regression dengan backward elimination. Proporsi kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin , yaitu Sakit kepala, lesu dan lemah, gangguan pada sistim gastro intestinal, dan Gangguan lain pada hari 1-3 adalah 69%, 67%, 60%, 67% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 67%, 67%, 76,5%, 67% berturutan. Pada hari 7-28 kejadian yang tidak diinginkan yang timbul dengan pemakaian obat malaria DHA-Piperakuin seperti disebutkan diatas, yaitu 24%, 7%, 9%, 24% berurutan, dan untuk Artesunat-Amodiakuin 24%, 18%, 14%, 23,5% berturutan. Perbandingan proporsi terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dengan penggunaan obat DHA-Piperakuin mempunyai risiko relatif lebih sedikit atau hampir sama dibandingkan penggunaan obat Artesunat-Amodiakuin.
Malaria needs to be taken into consideration in Indonesia, in particular in Eastern part, as its incidence rate is still high thereby causing high mortality rate amongst the children under five years of age and bearing women. To date, a drug combination of Artesunate-Amodiaquine is widely used by the Indonesia National Program. However, this combination seems unlikely to be chosen in the future as Amodiaqume was experimentally proven to cause a cross-reaction to Chloroquine. Moreover, several data from the field showed a wide diversity of the effectivity of this drug combination, In example, an efficacy trial performed in Lampung has shown the 80% effectivity of this combination drug administration. Consequently, another drug combination,.e.g. Dihydroartemisinine (DHA) - Piperaquine to be considered as an alternate drug of choise. This study aims to investigation the risk discrepancies of Adverse Event (AEs) between DHA-Piperaquine and Artesunate-Amodiaquine administration during therapy in P.falciparum malaria patients without complication. This study uses a randomized Controlled Trial (RCT), open trial was conducted at health district Hanura, South Lampung from September 2005 to November 2006. 106 subjects (55 with DHA-Piperaquine and 51 with Artesunate Amodiaquine administration) were included due to time, financial and energy constraints in this study. Findings were analyzed using linivariate, Bivariate with the Chi Square test and the logistics regression with backward elimination (Multivariate analysis). This study result shows that on day 1 to 3, the AEs due to DHA - Piperaquine administration were headache, weakness, gastrointestinal disturbance, an others of 69%, 67%, 60%, 67% respectively, while those of Artesunate - Amodiaquine were of 67%, 67%, 76,5%, 67% respectively. On day 7 to 28, the AEs due to DHA Piperaquine administration were definitely similar to above mention AEs of 24%, 7%, 9%, 24% respectively, while AE rate after Artesunate-Amodiaquine administration were 24%, 18%, 14%, 23,5% respectively. The DHA-Piperaquine appeared to have less or almost the same the mild AEs of Artesunate-Amodiaquine administration.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Hidayat
Abstrak :
Pekerjaan Undercover yang dilakukan oleh Anggota Polri Satuan Reserse Narkotika Polda. X memberikan peluang terjadinya penggunaan narkotika yang dilakukan oleh Anggota Polri undercover. Hal ini terjadi karena adanya ekspektasi lingkungan pekerjaan Anggota Polri dan ekspektasi lingkungan penyamaran pada saat melakukan undercover. Dalam karya akhir ini akan dibahas latar belakang penyebab Anggota Polri undercover menggunakan narkotika. Latar belakang tersebut dibahas menggunakan teori self-fulfilling prophecy. Dengan menggunakan teori tersebut ditemukan bahwa latar belakang penyebab Anggota Polri undercover menggunakan narkotika adalah adanya tuntutan lingkungan kerja yang terdiri dari tugas undercover, budaya lingkungan kerja, prosedur undercover dan afiliasi kelompok serta tuntutan dari lingkungan penyamaran.
Undercover work carried out by the police drug unit investigation of Polda. X provide opportunities for the actions using narcotics by undercover police. It can occur because there are expectations from work and the disguise environment to Polri undercover when doing undercover. This paper will discuss the background of undercover Polri members which is causing undercover Polri members using narkotics. Thse backgrounds will be discussed using self-fulfilling prophecy theory. By using self-fulfilling theory, author found that the backgrounds of undercover Polri members using narcotics because there are demands from work and disguise evironment to undercover Polri members consisting of undercover work, cultural working environment and group affiliation along with demand from disguise environment.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Rizqi Nursyifa
Abstrak :
Bagian pengawasan mutu pada industri farmasi bertugas untuk memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan terhadap setiap sampel baik berupa produk jadi, produk ruahan, bahan kemas, ataupun bahan baku telah dilakukan dengan baik. Setiap pengujian yang dilakukan oleh bagian pengawasan mutu suatu industri farmasi mengacu pada spesifikasi dan metode analisis yang telah ditetapkan pada industri tersebut sebelumnya. Dalam hal ini, penulisan tugas khusus mengenai analisis spesifikasi dan metode analisis pada catatan pengujian produk Betadine Solution dan Pantoprazol Tablet Salut Enterik dimaksudkan untuk mengkaji lebih dalam terkait ketepatan serta kesesuaian antara parameter analisis, spesifikasi, dan metode yang digunakan dalam pengujian produk tersebut. Metode yang digunakan dalam pembuatan laporan yaitu dengan cara menganalisis kesesuaian spesifikasi dan metode analisis produk Betadine Solution dan Pantoprazole Tablet Salut Enterik yang terdapat pada Catatan Pengujian Produk (CPP) terhadap Farmakope Indonesia Edisi VI. Berdasarkan proses analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa parameter spesifikasi yang digunakan dalam catatan pengujian pada kedua produk telah relevan dengan kriteria sediaan yang diinginkan, dan metode analisis yang digunakan telah sesuai dengan kompendial yang berlaku. ...... The quality control department in the pharmaceutical industry is responsible for ensuring that necessary and relevant tests on each sample, whether in the form of finished products, bulk products, packaging materials, or raw materials, have been carried out properly. Each test carried out by the quality control department of a pharmaceutical industry refers to the specifications and analysis methods that have been previously established in the industry. In this case, the writing of the special assignment report regarding the analysis of specifications and analysis methods in the test records of Betadine Solution and Pantoprazole Enteric-Coated Tablets is intended to examine in more depth the accuracy and suitability between the analysis parameters, specifications, and methods used in testing the product. The method used in making the report is by analyzing the suitability of the specifications and analysis methods of Betadine Solution and Pantoprazole Enteric-Coated Tablets contained in the Product Analytical Worksheet (CPP) to the Indonesian Pharmacopoeia Edition VI. Based on the analysis process carried out, it can be concluded that the specification parameters used in the analytical worksheet of both products are relevant to the desired specification criteria, and the analysis methods used are in accordance with the applicable compendial.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover