Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratyan Noer Hartiko
Abstrak :
Perekonomian global dan arus investasi lintas batas negara semakin berkembang dengan sangat pesat. Pesatnya arus investasi lintas batas negara membawa keuntungan sekaligus ancaman. Dalam hal perpajakan, investasi lintas batas negara bisa menyebabkan pemungutan pajak berganda oleh dua negara terhadap objek pajak yang sama. Hal ini dikarenakan yuridiksi negara dalam memungut pajak atas warga negara yang berada di negara asing untuk berinvestasi dan warga negara asing yang berinvestasi di negara tersebut. Keadaan ini menyebabkan satu objek pajak dikenakan pajak yang sama oleh kedua negara. sehingga pelaku bisnis mencoba untuk melakukan penghindaran pajak berganda. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak sebuah negara. Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah dengan membuat perjanjian penghindaran pajak berganda antar dua negara. Dalam perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya mengikuti model yang telah ada dan dipakai luas di dunia seperti OECD model (model yang dikembangkan Organization for Economic Cooperation and Development) dan UN model (model yang dikembangkan United Nations). Masing-masing model memiliki perbedaan terutama dalam hak menarik pajak oleh negara. Namun semua kembali kepada negosiasi antara kedua negara dalam menentukan isi pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda mereka. Indonesia sendiri telah melakukan negosiasi pertama mengenai perjanjian penghindaran pajak berganda dengan Belanda dimulai tahun 1970-an dan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda ini selain sebagai perjanjian untuk menghindarkan pajak berganda, juga sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain. Semakin berkembangnya perekenomian global, perjanjian penghindaran pajak berganda ini diamandemen beberapa kali hingga tahun 2002. Namun renegosiasi ini belum selesai dan akan terus terjadi, selama perekonomian global terus berkembang dan undang-undang pajak penghasilan terus berubah menyesuaikan kondisi masing-masing negara. ......Global economic and transnational of investment flows growing very fast. The rapid grow of transnational of investment flows bring both benefits and. In term of taxation, transnational investment could lead to double tax collection by both of the countries to same tax object. This is due to jurisdiction of the country in collecting taxes on citizens residing in foreign countries to invest and foreign citizens who invest in the country. This situation led to an same tax object of is taxed by both countries. So business people trying to do the avoidance of double taxation. This can lead to loss of potential tax revenues of a country. One of the solutions to this problem is to make a tax treaty between two countries. In the tax treaties typically follow a model that already exist and are used widely known in the world such as the OECD model (model developed by the Organization for Economic Cooperation and Development) and UN model (model developed by the United Nations). Each of model has its differences, especially in the right to tax by the country. But all returned to the negotiation between the two countries in determining the content of articles in their tax treaty. Indonesia itself has been negotiated the first tax treaty with the Netherlands began in the 1970s and within tax treaty is in addition to a treaty to avoid double taxation, as well as Indonesia's efforts to gain recognition from other countries. The continued development of global economies, this double taxation avoidance agreement was amended several times until 2002. However, renegotiation is not completed and will continue to occur, as long as the global economic continues to grow and the income tax law continue to change adjusting the conditions of each countries.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1330
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzi
Abstrak :
Direktorat Jenderal Pajak sebagai unsur dari Administrasi Perpajakan dituntut untuk dapat menyelenggarakan suatu sistem perpajakan yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi "Segala Pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang." Sistem perpajakan terdiri dari tiga unsur pokok yang meliputi (i) kebijakan perpajakan (tax policy); (ii) undang-undang perpajakan (tax laws); dan (iii) administrasi perpajakan (tax administration). Ketiga unsur tersebut saling berkait dan menunjang satu sama lain bagi terselenggaranya pemungutan pajak. Administrasi perpajakan mempunyai peran penting dalam rangka menunjang keberhasilan suatu kebijakan perpajakan yang telah diambil. Kebijakan perpajakan yang secara formal dirumuskan dalam undang-undang dan peraturan perpajakan harus didukung oleh administrasi perpajakan yang baik. Administrasi perpajakan menentukan berhasil tidaknya sistem dan kebijakan perpajakan yang diambil oleh suatu negara. Suatu pemungutan pajak yang baik harus menjamin adanya suatu kepastian hukum bagi wajib pajak. Untuk dapat memberikan sualu kepastian hukum, peraturan perpajakan harus mengatur secara jelas, tegas, dan tidak multi tafsir sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan oleh wajib pajak. Dengan demikian sarana dan prosedur bagi suatu pemungutan pajak harus diatur dan dituangkan dalam peraturan perpajakan sehingga dapat mendorong upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Tesis ini bertujuan unluk menganalisis tentang persyaratan bagi wajib pajak dalam negeri dari suatu negara mitra perjanjian untuk dapat menikmati treaty benefits sehubungan dengan penghasilan berupa bunga, dividen dan royalti dari sumber-sumber penghasilan di Indonesia. Untuk dapal diterapkannya ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara-negara mitra perjanjian, terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh wajib pajak daiam negeri dari negara mitra perjanjian untuk dapat menikmati treaty benefits (fasilitas PBB). Dalam pelaksanaannya, ketentuan P3B disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak untuk mendapatkan treaty benefits tersebut dengan cara melakukan treaty shopping, yakni mendirikan Suatu conduit company di negara treaty partner. Ketentuan perpajakan Indonesia belum mengatur secara lengkap dan jelas persyaratan-persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh pihak yang meminta treaty benefits tersebut, sehingga menimbulkan persengketaan antara wajib pajak dengan pihak fiskus. Untuk memberikan kepastian hukum, Direktorat Jenderal Pajak perlu membuat suatu peraturan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan yang jelas dan mudah dipahami sehingga dapat dilaksanakan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam menganalisis pelaksanaan pemberian treaty benfits sehubungan dengan penghasilan bcmpa bunga, dividen dan royalti dari sumber-sumber penghasilan di Indonesia, penulis melakukan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Data dan temuan berupa informasi dan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan Iapangan, yakni wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dengan masalah tersebut, dianalisis untuk memecahkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan. Berdasarkan teori dan pendapat para ahli perpajakan intemasional dapat disimpulkan bahwa pemberian treaty benefits dimaksud harus memenuhi persyaratan materiil berupa residency requirements dan beneficial ownership requirements. Sedangkan prosedur untuk mendapatkan treaty benefits dimaksud yang merupakan persyaratan formal atau administratif adalah dengan menyampaikan sertifikat yang diterbilkan oleh Competent Authority di negara mitra perjanjian yang menyatakan bahwa wajib pajak dimaksud berdomisili di negara mitra perjanjian dan merupakan beneficial owner dari penghasilan dimaksud. Sebagai upaya menciptakan sistem perpajakan yang baik dan memberikan kepastian hukum, disarankan agar Direktorat Jenderal Pajak memberikan pengaturan tentang persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang meminta treaty benefits berupa sertifikat yang diterbitkan oleh tax authority di negara domisilinya Sertifikat tersebut harus memberikan informasi mengenai dasar penetapan Status resident Wajib Pajak Dalam Negeri di negara mitra perjanjian dan merupakan beneficial owner dari penghasilan yang bersumber di Indonesia beserta informasi yang mendasarinya.
The Directorate General of Taxation as one of the element in tax administration are emphasized to run a taxes system based on Undang-Undang Dasar 1945 (highest regulation in Indonesia) article 23 point 2, that says "all taxes for country revenue are based on Undang-Undang (supreme regulation after the Undang-Undang Dasar 1945 in Indonesia)." The tax system in Indonesia consist of three main elements, which is (i) taxes policies; (ii) tax laws; and (iii) tax administration. All of this three elements are connected and working with synergy in collecting revenues for the country. Tax administration play a significant roles in sustaining a succesfull tax policy. Tax policy that formally planned in Undang-Undang dan tax regulation need to be supported by excellent tax administration. Tax administration will defined whether the implementation of taxes system and tax policy in a country will be succed or not. A good tax collection must ensure a certainty of law for the taxpayer. To do such thing, the tax regulation must be clear enough to reduce ambiguity in interpretation. This way, the procedure and tools for tax collection must be formally written in tax regulation so it can improve overall compliance level of the taxpayer and increase the revenues for the country. The goals of this thesis is to analyze the requirements for resident taxpayer from a treaty partner to enjoy the treaty benelits from interests, dividends, and royalies revenue received from Indonesia. To implement the Double Taxation Agreement (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) between Indonesia and treaty partners, there are some requirements that must be met by the resident taxpayer. In practice, the agreement are misused by parties with no rights to do so, they done it by conducting a treaty shopping, creating a conduit company in treaty partners.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22193
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library